Anda di halaman 1dari 12

Materi Kajian Jumat, 01 Juli 2022

Bulan Dzulqo’dah
a. Termasuk Al-Asyhur Al-Hurum (M, DD, Raj)
b. Bermula dari kebiasaan orang Arab dulu tidak berperang pada bulan Dzulqo’dah
1. Disebut Dzulqa’dah disebabkan orang-orang Arab pada masa lalu tidak
melakukan perang (qu’uud ‘anil qitaal) di dalamnya. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 
2.
 ٌ‫ض ِم ْنهَا َأرْ بَ َعة‬
َ ْ‫ت َواَأْلر‬ ِ ‫ُور ِع ْن َد هَّللا ِ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا فِي ِكتَا‬
َ َ‫ب هَّللا ِ يَوْ َم َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬ ِ ‫ِإ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه‬
)٣٦ :‫ ُح ُر ٌم (سورة التوبة‬ 
3.
Artinya: Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas
bulan, sebagaimana dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan yang diagungkan
(Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). (QS at-Taubah: 36). 
2. Dzulqa’dah adalah satu di antara 3 bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqa’dah dan
10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Tidak sah ihram untuk haji pada selain waktu
tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 

Artinya: Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi


(ditentukan). (QS al-Baqarah: 197). 

3. Rasulullah SAW tidak pernah melakukan umrah kecuali pada bulan


Dzulqa’dah. 
Sahabat Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu meriwayatkan sebagai berikut: 

Artinya: Rasulullah SAW berumrah sebanyak 4 kali, semuanya pada bulan


Dzulqa’dah, kecuali umrah yang dilaksanakan bersama haji beliau, yaitu 1
umrah dari Hudaibiyah, 1 umrah pada tahun berikutnya, 1 umrah dari Ji’ranah
ketika membagikan rampasan perang Hunain dan 1 lagi umrah bersama
haji. (HR al-Bukhari).  

4.  Dzulqa’dah adalah 30 malam yang disebutkan oleh Allah SWT dalam


firman-Nya; 

ْ َ‫ ُمو َسى َأِل ِخي ِه هَارُون‬ ‫ َوقَا َل‬،ً‫ات َربِّ ِه َأرْ بَ ِعينَ لَ ْيلَة‬
 ‫اخلُ ْفنِي‬ ُ َ‫َو َوا َع ْدنَا ُمو َسى ثَاَل ثِينَ لَ ْيلَةً َوَأ ْت َم ْمنَاهَا بِ َع ْش ٍر فَتَ َّم ِميق‬
)١٤٢ :‫ل ْال ُم ْف ِس ِدينَ (سورة األعراف‬wَ ‫فِي قَوْ ِمي َوَأصْ لِحْ َواَل تَتَّبِ ْع َسبِي‬ 

Artinya: Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa untuk memberikan


kepadanya kitab Taurat setelah berlalu 30 malam (bulan Dzulqa’dah), dan
Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan 10 malam lagi (10 malam
pertama bulan Dzulhijjah), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan
Tuhannya menjadi 40 malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, yaitu
Harun: Gantikanlah aku dalam memimpin kaumku, dan perbaikilah dirimu dan
kaummu, dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat
kerusakan. (QS al-A’raf: 142).
Aneka Peristiwa di Bulan Dzulqa’dah 
1. Pada tahun 5 hijriah, terjadi perang Bani Quraizhah.   

2. Pada hari Kamis, 6 Dzulqa’dah tahun 10 hijriah, Rasulullah berangkat dari


Madinah menuju Mekah untuk melaksanakan haji wada’.   

3. Pada Dzulqa’dah tahun 3 hijriah, terjadi perang Badr Sughra.   

4. Pada hari Sabtu, tanggal 7 Dzulqa’dah tahun 403 H, wafat seorang ulama ahli
ilmu kalam dan ahli debat yang sangat masyhur, yaitu Imam Abu Bakr al-
Baqillani. Beliau adalah salah seorang pejuang, pembela dan penyebar mazhab
Asy’ari yang tiada lain adalah mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) ke
berbagai penjuru. Berkat kegigihan dan perjuangannya dan ulama-ulama
Aswaja lain saat itu, aqidah dan ajaran kelompok-kelompok yang menyimpang
semakin tenggelam dan ditinggalkan para pengikutnya. 
a. Sebagai catatan, ketiga puasa ini dilaksanakan bagi mereka yang tidak sedang
beribadah haji ke Baitullah. Hari-hari ini, ketika prosesi ibadah haji sedang berlangsung
adalah saat-saat yang sangat berat bagi jamaah haji. Karena itu berpuasa pada hari-hari
ini merupakan bagian dari “solidaritas”, di samping mendapatkan pahala tersendiri yang
sangat fantastik.
Nabi SAW memberi tahu, “Barangsiapa yang tidak melakukan ibadah haji, maka
ia disunahkan untuk berpuasa pada hari Tarwiyah,  yaitu hari kedelapan Zulhijjah
dimana ia akan memperoleh kebaikan dari Allah berupa pengampunan dosa setahun
yang telah lalu.” (HR. Bukhari). Sungguh, ini jadi motivasi besar bagi para ahli ibadah
yang mengejar ridha-Nya.

b. Secara sosio-historis, puasa Tarwiyah dilaksanakan terkait dengan perenungan Nabi


Ibrahim soal perintah Allah SWT dalam mimpi untuk menyembelih Nabi Ismail. Nabi
Ibrahim merenungkan atau memikirkan perintah ini, bagaimana menyampaikannya
kepada Nabi Ismail dan bagaimana juga cara untuk melaksanakan perintah yang sangat
berat tersebut.

Bulan Dzulqa'dah merupakan satu dari empat bulan haram yang dimuliakan Allah SWT selain
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Ada banyak amalan ibadah di Bulan Dzulqa'dah yang pahalanya
akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.  Bulan Dzulqa'dah masuk asyhurul hurum atau bulan yang
diharamkan untuk berbuat maksiat, kerusakan maupun pembunuhan. BACA JUGA: 10 Amalan
Pasca Ramadhan Agar Bisa Istiqomah hingga Meraih Predikat Takwa Bulan Dzluqa'dah merupakan
bulan ke-11 dalam kalender Hijriah atau penanggalan Islam. Tahun ini, Bulan Dzulqa'dah 1443 H
jatuh pada Rabu1, 1 Juni 2022. Bulan Dzulqa'dah ini juga disebut dengan Al-Qadah, dapat juga
disebut Al-Qidah. Dinamakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) diam di tempatnya, tidak
mengadakan peperangan, tidak pula bepergian. Dijamakkan menjadi zawatul qa’dah.

Para ulama tafsir merespons ayat tersebut tentang keutamaan Bulan Zulqa'dah. Yakni dalam bulan-
bulan Haram itu dilarang berbuat aniaya terhadap diri sendiri maupun orang lain, karena dalam
bulan-bulan Haram itu sanksi berbuat dosa jauh lebih berat daripada dalam hari-hari lainnya.
Diriwayatkan Imam Ahmad bahwa Nabi Muhammad SAW berkhotbah dalam haji wada. Nabi SAW
kemudian bersabda tentang empat bulan haram termasuk di antaranya Dzulqa'dah

Amalan Bulan Dzulqa'dah Beberapa amalan di Bulan Dzulqa'dah yang bisa dilakukan di antaranya
menjalankan puasa, memperbanyak sedekah, menunaikan umrah, dan berbuat baik kepada orang
lain.

1. Puasa Sunnah  Di Bulan Dzulqa'dah dianjurkan menjalankan puasa Sunnah. Dzulqa'dah


merupakan satu dari empat bulan mulia. Puasa sunah di bulan ini memiliki nilai lebih dibandingkan
berpuasa sunah di bulan yang lain.

3. Melaksanakan Haji dan Umrah Dzulqa’dah merupakan salah satu dari bulan-bulan haji (asyhrul
ٌ ‫( “ ْالحَ ُّج َأ ْش ُه ٌر َمعْ لُوم‬Musim) haji adalah beberapa bulan
hajj) yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya: ‫َات‬
yang dimaklum” Dalam tafsir Ibnu Katsir dikemukakan bahwa asyhur ma’lumat merupakan bulan
yang tidak sah ihram untuk menunaikan ibadah haji kecuali pada bulan-bulan ini. Dan disebutkan
pula bahwa bulan-bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Ibnu Rajab
menyatakan dalam kitabnya “Lathaaiful Ma’arif” bahwa Rasulullah melaksanakan ibadah umrah
sebanyak empat kali dalam bulan-bulan haji. Sedangkan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwasannya
menunaikan umrah di bulan-bulan haji sama halnya dengan menunaikan haji di bulan-bulan haji.
Bulan-bulan haji ini dikhususkan oleh Allah dengan ibadah haji, dan Allah mengkhususkan bulan-
bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara umrah merupakan haji kecil (hajjun ashghar).
Maka, waktu yang paling utama untuk umrah adalah pada bulan-bulan haji. Sedangkan Dzulqa’dah
berada di tengah-tengah bulan haji tersebut.

4. Sholat Berjamaah Sholat berjamaah lebih baik daripada sholat sendirian dan pahalanya pun lebih
banyak yakni 27 derajat. Di bulan Dzulqa'dah, umat Islam dianjurkan istikamah menjalankan sholat
berjamaah terutama dalam sholat subuh. Selain disaksikan malaikat, sholat subuh berjamaah
terlebih di bulan mulai Dzulqa'dah pahalanya dilipatgandakan. At-Thabari menyebutkan dalam
tafsirnya bahwa bulan Dzulqa’dah adalah bulan haram. Yaitu bulan yang dijadikan oleh Allah
sebagai bulan yang suci lagi diagungkan kehormatannya. Di mana di dalamnya amalan-amalan
yang baik akan dilipatgandakan pahalanya sedangkan amalan-amalan yang buruk akan
dilipatgandakan dosanya. 5. Perbanyak Dzikir dan Berdoa Perbedaan orang yang mati dan yang
hidup adalah terletak pada zikirnya. Bulan Dzulqa'dah yang penuh dengan kemuliaan hendaknya
diisi dengan zikir dan berdoa

Umat Islam saat ini sudah memasuki bulan Dzulqa’dah setelah berakhirnya
bulan Syawal. Bulan Syawal sendiri berakhir pada hari Selasa lalu
(31/5/2022).

Hal ini berdasarkan perhitungan dari Lembaga Falakiyah Pengurus Besar


Nahdlatul Ulama (LF PBNU) yang menyatakan 1 Dzulqa’dah 1443 H jatuh
pada Rabu Pon (mulai malam Rabu) 1 Juni 2022.

Lantas, bagaimana sih sejarah dan asal-usul bulan Dzulqa’dah ini?

Bulan Dzulqa’dah sendiri merupakan bulan ke-11 dari bulan hijriah. Bulan
Dzulqa‘dah termasuk bulan yang istimewa dalam Islam.

Secara bahasa, bulan Dzulqa‘dah terdiri atas dua kata, yaitu dzu dan al-


qa‘dah. Dalam bahasa Arab, dzu berarti ‘yang memiliki’, dan al-qa‘dah berarti
‘cara duduk’.

Ustaz Ibnu Kharis Lc, MA atau biasa dikenal dengan nama Ustaz Ahong
menjelaskan di balik penamaan bulan ini dan tradisi di Arab yang unik. 
Ustaz Ahong yang meraih anugerah Maarif Award Institute 2020 dari
Lembaga bikinan Buya Syafii Maarif itu lantas menukil pendapat  Imam Ibnu
Manzur dalam kitabnya terkait bulan tersebut. 

“Dalam kitab Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa tradisi perang yang dilakukan


orang Arab dihentikan pada bulan tersebut,” paparnya saat
dihubungi KOMPAS.TV pada Rabu malam (1/6/2022).

Ustaz Ahong juga menjelaskan, pada bulan larangan berperang itu, orang
Arab memang istirahat atau istilahnya duduk-duduk saja di rumah selama
bulan Dzulqa'dah.

“Selain itu, bulan tersebut juga merupakan bulan mulia dan terdapat  dilarang
berperang, orang Arab pada masa itu memang sengaja beristirahat (atau
duduk-duduk) pada bulan Dzulqa‘dah,” paparnya

“Artinya, orang Arab hanya berduduk-duduk santai di rumah-rumah mereka


tanpa melakukan aktivitas,” imbuhnya.

Lantas, kenap orang Arab beristirahat di bulan itu?


Ustaz Ahong pun menjelaskan, Bulan Dzulqa’dah menjadi penting karena
bulan ini adalah pijakan menuju musim bulan haji.

Sebagai bulan sarana persiapan untuk ibadah yang sudah jadi tradisi ratusan
tahun untuk menyambut bulan haji yang istimewa. 

Untuk itulah, dalam tradisi Arab kata Ustaz Ahong, bulan Dzulqa’dah disebut
juga sebagai bulan persiapan diri dan bulan untuk rehat sejenak sebagai
upaya persiapan bulan haji.

“Hal ini mereka lakukan untuk mempersiapkan diri menunaikan ibadah haji
pada bulan Dzulhijjah,” tutupnya.
Itulah kisah unik bulan Dzulqa’dah, bulan istirahat dan 'duduk-duduk' orang
Arab sebagai persiapan untuk bulan haji

Berdasarkan urutan kalender Hijriyah, Dzulqadah menempati urutan ke-11, diapit


Syawal dan Dzulhijjah. Karena bulan ini diapit antara lebaran Syawal dan Lebaran Haji,
masyarakat Jawa menyebutnya bulan Apit atau Hapit.

Dari segi kebahasaan, Dzulqadah berasal dari bahasa Arab dan terbentuk dari
gabungan dua kata. Pertama kata dzu yang biasa diartikan “memiliki”, dan kedua
qa’dah seperti dikutip dari al-Mu’jam al-Wasith kata tersebut berarti tempat yang
diduduki. (al-Mu’jam 2/748).

Jika diterjemahkan apa adanya ke dalam bahasa Indonesia, arti kata Dzulqadah adalah
“bulan duduk-duduk”. Sekilas penamaan ini akan tampak aneh dan tidak biasa bagi
orang Indonesia, akan tetapi jika ditelusuri, penamaan bulan Dzuqadah ternyata
memiliki alasan yang cukup dalam.

Terkait alasan penamaannya, al-Biruni dalam salah satu karyanya “al-Atsar al-Baqiyah
‘anil Qurun al-Khaliyah“ menerangkan Dzulqadah orang Arab bahkan sebelum Islam,
lebih banyak berdiam diri di rumah. Selain itu, di bulan Dzulqadah orang Arab lebih
memilih “duduk” menahan diri dari peperangan. (al-Atsar al-Baqiyah, 69, 416)

Pakar linguistic, Ibnu Mandzur, salah satu ulama ahli bahasa Arab paling otoritatif di
dunia Islam juga menjelaskan sebab penamaan Dzulqadah. Alasannya orang Arab
pada bulan ini memilih duduk-duduk bersantai di rumah mereka alih-alih perang dan
mencari kehidupan atau perlindungan. (Lisanul Arab, 3/357)

Terlebih Dzulqadah merupakan bulan persiapan menuju puncak ibadah haji. Tidak
heran jika orang Arab menyepakati perdamaian di bulan ini karena memang, bulan ini
termasuk empat bulan yang disepakati oleh orang Arab sebagai bulan hurum bersama
bulan Muharram, Rajab, dan Dzulhijjah. Bulan di mana pertumpahan darah tidak
diperbolehkan. AlQuran mempertegas status bulan-bulan ini, firman Allah SWT :

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana)
dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu….. (QS At-Taubah [9]: 36)

Fakhruddin ar-Razy dalam tafsirnya “Mafatih al-Ghaib” mengungkap makna kata


hurum. Menurutnya penamaan tersebut disebabkan segala macam maksiat akan
berlipat ganda dosanya. Sebaliknya, segala macam amal baik akan dilipatgandakan
pahalanya. Alasan terakhir, orang Arab sangat mengagungkan bulan-bulan tersebut.
(Mafatih al-Ghaib 16/41)
Melihat uraian di atas penamaan Dzulqadah cukup unik karena lekat dengan tradisi orang Arab
bahkan jauh sebelum Islam hadir. Mereka duduk bersantai, berdamai, lebih menikmati hidup
karena jauh dari konflik dan peperangan yang setiap saat menghantui.

Kiranya, bagi masyarakat Indonesia setiap bulan adalah Dzulqadah, karena kultur
negara ini identik dengan perdamaian bahkan tradisi negara ini bukan hanya duduk dan
santai, justru Indonesia adalah tempat terenak untuk rebahan
Hari Arafah jatuh setiap tanggal 9 Zulhijah, sehari sebelum Iduladha. Pada tanggal ini
jemaah haji dari seluruh dunia berkumpul untuk wukuf di padang Arafah, yang merupakan
inti dari ibadah Haji. Arafah adalah daerah terbuka dan luas di sebelah timur luar kota
Mekkah, Arab Saudi.

Bagi yang tidak berhaji, hari Arafah disambut dengan berpuasa Arafah. Puasa ini sangat
dianjurkan bagi umat muslim yang tidak pergi haji. Dalam Islam, hari Arafah adalah salah
satu hari yang mulia.

Allah membebaskan hambanya dari api neraka

Di hari Arafah, Allah banyak membebaskan hambanya dari api neraka. Hari Arafah adalah
hari pengampunan dosa dan pembebasan dari siksa neraka. Ini sesuai dengan hadis dari
Aisyah, yang berbunyi:

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Tidak ada satu hari di mana Allah lebih banyak membebaskan hamba dari neraka,
melebihi hari arafah. Sesungguhnya Allah mendekat, kemudian Allah membanggakan
mereka di hadapan para Malaikat." (HR. Muslim).

Hari baik untuk berdoa

Hari Arafah merupakan hari di mana Allah mengabulkan doa hambanya. Pada hari ini,
ibadah dan nikmat begitu disempurnakan. Ini sesuai dengan hadis yang berbunyi:

Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi
sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku walahul
hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir.” (HR. at-Tirmidzi).

Hari raya umat Islam

Hari Arafah adalah hari raya umat Islam yang tak kalah istimewa dari Iduladha dan Idulfitri.
Hari Arafah bukanlah hari yang istimewa bagi orang yang wukuf di Arafah saja. Hari ini juga
istimewa bagi semua umat Islam. Di hari ini, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, mulai
dari puasa, membaca Alquran, atau memperbanyak zikir.

Bagi yang tidak melaksanakan haji, ada sejumlah ibadah yang bisa diamalkan saat hari
Arafah. Berikut amalan yang bisa dilakukan di hari Arafah:

Puasa Arafah

Puasa Arafah merupakan amalan yang paling diajurkan saat hari Arafah. Puasa Arafah
dilaksanakan pada tanggal 9 Zulhijah. Puasa Arafah diketahui mampu menghapus dosa
selama dua tahun. Ini sesuai dengan hadis yang berbunyi:

Dari Abu Qatadah Al-Anshariy,


”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang (keutamaan)
puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang
lalu dan yang sesudahnya.” H.R. Muslim.

Perbanyak doa

Hari Arafah merupakan hari di mana doa lebih banyak dikabulkan. Rasulullah Muhammad
SAW sendiri menyatakan doa terbaik adalah doa yang diucapkan di Hari Arafah. Ini sesuai
dengan hadis yang berbunyi:

"Doa paling utama pada hari Arafah dan kalimat paling utama yang saya baca dan para
nabi sebelum saya adalah, 'La ilaha illah wahdahu la syarikalah, lahul mulku wa lahul
hamdu wahuwa ‘ala kulli syai-in qodir'."

Berdasarkan hadis tersebut doa yang dianjurkan dibaca saat hari Arafah adalah:

La ilaaha illallahu wahdahu, la syarikalahu, lahul mulku wa lahul hamdu, wahuwa 'ala kulli
syaiin qodir.

Bertakbir

Hari Arafah yang jatuh pada 9 Zulhijah merupakan hari sebelum Iduladha. Salah satu
sunah untuk menyambut hari raya Iduladha adalah memperbanyak takbir. Takbir ini bisa
dimulai pada hari Arafah sampai hari Tasyrik selesai. Hal ini sesuai dengan hadis yang
berbunyi:

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Kami pagi-pagi bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mina menuju Arafah, di antara kami ada yang
bertalbiyah dan di antara kami ada yang bertakbir.” (HR. Muslim, no. 1284).

Bersedekah

Amalan di hari Arafah selanjutnya adalah memperbanyak sedekah. Hari Arafah masih
termasuk 10 hari pertama bulan Zulhijah yang begitu mulia. Bersedekah di waktu ini sangat
besar pahalanya. Bersedekah termasuk ibadah yang dicintai Allah. Bersedekah tak harus
dengan materi. Umat Islam bahkan bisa bersedekah hanya dengan senyuman dan
perkataan baik.
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan ayat kedua. Ada yang berpendapat
yang dimaksud adalah 10 hari terakhir di Ramadhan; ada yang berpendapat 10 hari awal
Muharram; dan ada juga yang berpendapat 10 hari awal Dzulhijjah. Hanya saja, pendapat yang
sahih sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir adalah pendapat ketiga, yaitu 10
hari di awal Dzulhijjah. (Abul Fida’ Ad-Dimisqi, Tafsîr Ibnu Katsîr, [Bairut, Dârul Fikr: 1999],
juz VIII, halaman 391).   Alasan ketiga pendapat di atas tentunya berbeda-beda. Menurut
pendapat pertama karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat menjaga 10 malam
terakhir di Ramadhan. Tidak hanya itu, di antara malam-malam itu juga bertepatan dengan
Lailatul Qadar. Menurut pendapat kedua karena pada Muharram terdapat hari yang sangat mulia,
yaitu hari Asyura. Sedangkan alasan pendapat ketiga karena pada Dzulhijjah bertepatan dengan
kesibukan umat Islam dalam menjalankan pilar Islam yang kelima, yaitu ibadah haji ke
Baitullah. (Fakhruddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Dârul Fikr: 1992], juz XXXI, h.
149).   Sebagai bukti keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah ialah Allah bersumpah atas nama fajar
dan malam 10 awal Dzulhijjah. Semua itu sebenarnya tidak lepas dari beberapa kemuliaan di
dalamnya. Kata kemuliaan di sini bisa diartikan dengan dua arti: (1) kemuliaan dan keagungan
secara ukhrawi, seperti mengesakan Allah subhânahu wata’âlâ; dan (2) kemuliaan dan
keagungan secara duniawi, seperti harusnya bersyukur saat itu disebabkan kenikmatan yang telah
Allah berikan.   Maksud dari kemuliaan ukhrawi dengan mengesakan Allah adalah bahwa pada
hari itu semua umat Islam berkumpul dalam rangka mensucikan Allah dari segala sekutu dan
kekurangan. Dikemas dengan ibadah haji bagi yang mampu, dan dengan melaksanakan shalat
Idul Adha bagi yang tidak mampu. Dengannya Allah akan memberikan pahala bagi mereka yang
mengerjakannya. Tentunya, pahala yang diberikan akan dinikmati kelak di akhirat. Sedangkan
yang dimaksud kemuliaan secara duniawi adalah pada hari tersebut umat Islam ditakdirkan
sebagai makhluk yang beriman kepada Allah dan mempercayai semua ketentuan-Nya. Tidak ada
nikmat yang lebih besar selama di dunia selain nikmat Islam dan Iman.

Berkaitan dengan keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Tidak ada hari di mana amal kebaikan saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-
hari ini. Rasulullah menghendaki 10 hari (awal Dzulhijjah). Lantas para sahabat bertanya:
‘Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam
menjawab: ‘Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar berjihad dengan jiwa dan
hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun (mati syahid)’.” (HR. Al-Bukhari).
(An-Nawawi, Riyâdhus Shâlihîn, juz II, halaman 77-78).

Dalam hadits ini seolah Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam hendak memberikan motivasi
yang sangat tinggi kepada para sahabat dan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan keutamaan 10
hari awal Dzulhijjah. Bahkan perbandingannya dengan jihad di jalan Allah.   Motivasi itu
disampaikan Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam tidak lain karena banyaknya manfaat dan
agungnya kemuliaan pada hari itu. Di antara hari tersebut terdapat hari Arafah dan hari
penyembelihan kurban, sekaligus menjadi hari pelaksanaan ibadah haji. Semuanya tidak
diragukan kemulian dan keagungannya. Umat Islam sepakat bahwa hari-hari tersebut merupakan
hari yang sangat dimuliakan oleh Allah Ta’ala.   Hadits di atas juga memberikan pemahaman
bahwa adanya keutamaan 10 hari awal Dzulhijjah secara khusus meniscayakan hari-hari tersebut
lebih mulia dari hari lainnya. Semua ibadah dan amal kebaikan yang dilakukan saat itu lebih
mulia dan lebih besar pahalnya daripada di hari-hari lainnya. Karenanya, tidak heran jika
Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam sangat memotivasi para sahabat dan umatnya untuk
melakukan ibadah dan amal kebaikan pada hari-hari tersebut.   Syekh Muhammad Abdurrahman
bin Abdurrahim Al-Mubarakfuri menyampaikan penjelasan ulama:   ‫ت ِإ َذا‬ ُ ‫ت هللاِ َو ْال َو ْق‬ َ َ‫َأِلنَّهَا َأيَّا ُم ِزي‬
ِ ‫ار ِة بَ ْي‬
ْ ‫َأ‬ ْ َ
َ ‫ض َل كانَ ال َع َم ُل الصَّالِ ُح فِ ْي ِه ف‬
‫ض ُل‬ ْ ‫َأ‬ َ
َ ‫ كانَ ف‬  Artinya, “Karena 10 hari awal Dzulhijjah tersebut menjadi hari
berkunjung ke Baitullah, sementara suatu waktu apabila lebih mulia dari waktu yang lain, maka
amal kebaikan di dalamnya juga lebih utama.” (Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadi,
[Bairut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1999], juz III, halaman 386).   Karenanya sangat beruntung
bagi umat Islam yang bisa menjumpai 10 hari awal bulan Dzulhijjah dan dapat melakukan
ibadah disertai berbagai kebaikan lainnya. Semua itu merupakan nikmat sangat besar yang Allah
berikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Tidak sepantasnya umat Islam menyia-nyiakan
hari yang sangat berlimpah nilai pahalanya di sisi Allah subhânahu wata’âlâ.   Umat Islam yang
menjumpai 10 hari awal Dzulhijjah mempunyai momentum untuk melakukan ibadah dan
kebaikan dengan pahala yang lebih besar dibandingkan hari-hari lainnya. Sepatutnya hari-hari
mulia itu dijadikan kesempatan untuk lebih giat dan semangat dalam menjalankan semua
kewajiban, menambah ibadah sunnah, dan melakukan berbagai kebaikan melebihi
kesehariannya.

Jauh sebelum Islam menjejakkan kaki di kota Makkah, masyarakat jahiliah setempat sudah
memiliki tradisi yang cukup mapan. Kendati mereka belum tersentuh ajaran wahyu dari
Rasulullah, bangsa Arab sudah memiliki budaya dan tradisi moral yang luhur. Jadi, jangan
sampai begitu kita mendengar kata ‘jahiliah’, kemudian berpikir bahwa nilai-nilai moral pada
saat itu sangat bobrok sama sekali dan sangat jauh dari semangat moral ajaran Islam. Bangsa
Arab jahiliah dengan segala dinamikanya tetap memiliki budaya yang luhur, bahkan beberapa
semangat tradisi saat itu masih dilestarikan Islam sampai hari ini. Bulan-bulan yang dimuliakan
Salah satu budaya lokal bangsa Arab jahiliah adalah menghormati bulan-bulan haram (asyhurul
ḫurum) yang ada empat, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Sya’ban. Dinamakan
‘haram’ karena pada bulan tersebut dilarang untuk melakukan peperangan dan perbuatan keji.
Sejarawan Jawad Ali menjelaskan dalam kitabnya, al-Mufasshal fi Tarîkhil ‘Arab Qablal Islâm,
bangsa Arab jahiliah membagi bulan menjadi dua. Pertama sebagai bulan biasa (i’tiyâdiyah)
yang jumlahnya ada delapan, yaitu Rabiul awal, Rabiul Akhir, Jumadil ula, Jumadil akhir, Rajab,
Sya’ban, Ramadhan, dan Syawal.  Sementara yang kedua adalah bulan-bulan suci yang
jumlahnya ada empat, yaitu rajab, dzulqa’dah, dzulhijah, dan muharam. Untuk menjaga
kemuliaannya, pada bulan-bulan tersebut masyarakat dilarang untuk melakukan peperangan dan
perbuatan keji.   Berbeda dengan kesebelas bulan lainnya, aktivitas peperangan masih
diperbolehkan. Bahkan seorang laki-laki tidak boleh menyerang atau membalas seorang yang
membunuh ayah atau saudaranya sendiri pada bulan mulia tersebut.

Asal mula tradisi penghormatan ini tidak lepas dari tabiat bangsa Arab Badui (pedalaman). Nasib
hidup yang serba kekurangan membuat mereka menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup,
termasuk jika harus menghunuskan pedang. Akibatnya, peperangan dan pertikaian
berkepanjangan menjadi bagian integral dari kehidupan mereka, termasuk tidak segan untuk
merampok dan memerangi rombongan dagang yang melintas untuk dirampas hartanya. Hidup
dalam kondisi sosial yang penuh ketegangan, tentu membuat Arab Badui tidak nyaman. Mereka
membutuhkan waktu sebagai jeda untuk menyelesaikan hal-hal yang tidak bisa tersentuh dalam
kondisi masyarakat yang tidak stabil. Sebab itulah mereka menentukan waktu jedah yang
kemudian ditetapkan empat bulan tersebut. Selanjutnya kondusifitas waktu ini juga diteruskan
oleh bangsa Arab secara umum, bukan hanya dari kalangan Badui. (Jawad Ali, Al-Mufasshal fi
Tarîkhil ‘Arab Qablal Islâm, [Maktabah Syamilah Online], juz 16, h. 105) Tradisi penghormatan
tersebut masih tetap eksis dalam ajaran Islam sampai hari ini. Jika pada masa jahiliah bentuk
penghormatannya dengan larangan perang dan perbuatan keji, maka pada masa Islam dengan
berbagai keistimewaan yang dijanjikan pada bulan tersebut. Seperti pelipatgandaan pahala amal
shaleh, anjuran berpuasa, penekanan untuk menghindari dosa, dan banyak lainnya. Allah swt
dalam Al-Qur’an berfirman,

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi
kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS.
At-Taubah [9]: 36) Berkaitan ayat di atas, Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatihul
Ghaib menjelaskan, para ulama sepakat bahwa Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharam
merupakan bulan-bulan yang dimuliakan dalam Islam. Maksud kata al-ḫurum pada ayat tersebut
adalah perbuatan maksiat pada bulan-bulan tersebut akan mendapat balasan siksa lebib berat di
banding bulan lain. Demikian pula perbuatan baik akan mendapat pahala lebih besar.
(Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, juz XVI, h. 52) Selain disinggung dalam nash Al-Qur’an,
penegasan ini juga disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Saw
bersabda,

“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan
langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan yang
dihormati: 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang
terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Akhirah dan Sya’ban.” (HR
Bukhari dan Muslim) Dalam tradisi Islam, mengistimewakan amal shaleh berdasarkan waktu dan
tempat tertentu memang banyak ditemui. Seperti mengistimewakan kota suci Makkah dibanding
kota atau negara lainnya, hari Jumat dibanding hari-hari pada umumnya, hari ‘Arafah dibanding
hari yang lain, bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lain, malam lailatul qadar dibanding
malam-malam lain, dan sebagainya. (Fakhruddin ar-Razi, juz XVI, h. 52) Keistimewaan empat
bulan itu banyak dijelaskan banyak hadits Nabi. Bahkan tidak sedikit ulama yang menulis kitab
dengan pembahasan secara khusus tentang keutamaan-keutamaannya. Seperti Ibnu Hajar al-
Atsqalani menulis kitab berjudul Tabyînul ‘Ajab bi Mâ Warada fî Fadhli Rajab yang
menghimpun hadits-hadits seputar amalan pada bulan Rajab dan keutamaannya.

Anda mungkin juga menyukai