Anda di halaman 1dari 18

AMALAN BID’AH DI BULAN MUHARROM

Berikut adalah beberapa amalan bid’ah (tidak ada tuntunan) yang ada di bulan
Muharram yang masih laris manis di tengah-tengah kaum muslimin di tanah air.
1. Pertama: Keyakinan bahwa bulan Muharram bulan keramat
Sekarang kita telah memasuki bulan Suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang
Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lainnya yang
mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah bulan Muharram
menurut kalender Islam. Terlebih dahulu marilah kita melihat, bagaimanakah penilaian
Islam mengenai bulan Suro (bulan Muharram). Semoga Allah memudahkan urusan ini.
1) Islam Menilai Bulan Suro Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram atau bulan Suro, merupakan salah satu di antara
empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
‫ت‬ َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ َ َ‫ب هَّللا ِ يَ ْو َم َخل‬ِ ‫ُور ِع ْن َد هَّللا ِ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا فِي ِكتَا‬
ِ ‫ِإ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه‬
‫ظلِ ُموا فِي ِه َّن َأ ْنفُ َس ُك ْم‬ْ َ‫ِّين ْالقَيِّ ُم فَاَل ت‬ َ ِ‫ض ِم ْنهَا َأرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم َذل‬
ُ ‫ك الد‬ َ ْ‫َواَأْلر‬
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya
diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ْ
« …‫القَ ْع َد ِة‬ ٌ َ‫ ثَالَثَةٌ ُمتَ َوالِي‬، ‫ ِم ْنهَا َأرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم‬، ‫ال َّسنَةُ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا‬
‫ات ُذو‬
َ َ‫ض َر الَّ ِذى بَي َْن ُج َما َدى َو َش ْعب‬
‫ان‬ َ ‫ َو َر َجبُ ُم‬، ‫» َو ُذو ْال ِح َّج ِة َو ْال ُم َح َّر ُم‬
“… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan
lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR.
Bukhari no. 3025)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3)
Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram ?
Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini.
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena
dua makna, yaitu:
 Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-
orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
 Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih
ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut.
Demikian pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.”
(Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)
2) Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫صالَ ِة بَ ْع َد ْالفَ ِر‬
‫يض ِة‬ َ ‫ان َش ْه ُر هَّللا ِ ْال ُم َح َّر ُم َوَأ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬ َ ‫ض‬َ ‫ض ُل الصِّ يَ ِام بَ ْع َد َر َم‬ َ ‫َأ ْف‬
‫صالَةُ اللَّي ِْل‬َ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812)
Sangat mulianya bulan Muharram ini. Bulan ini betul istimewa karena disebut
syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena
disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan
keagungan dan keistimewaannya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 1/475).
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir
(2/53), beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah
(bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia
dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah‘ (rumah
Allah) atau ‘Alullah‘ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang
khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan
adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan
nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya
masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama
islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk
berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’
(puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada
melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10
Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki
keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan
pembuka tahun.”
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, “Apa hikmah
bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan
adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Disebut demikian karena di
bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan
pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut
syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan
ini. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan
bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh
Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ‘Iroqiy di atas,
jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Selanjutnya kita melihat berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Muharram
(bulan Suro).
3) Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro
Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan
keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan
Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk
menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya
adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini
akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang
wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini
(sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri).
Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol
kejahatan. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua
menasehati anaknya seperti ini: “Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-
kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.” Karena bulan ini adalah bulan sial,
sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan
pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak
lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan
masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu
mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah
bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan
penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat
penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
4) Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang
musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan
mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala
berfirman,
ُ ‫َوقَالُوا َما ِه َي ِإاَّل َحيَاتُنَا ال ُّد ْنيَا نَ ُم‬
‫وت َونَحْ يَا َو َما يُ ْهلِ ُكنَا ِإاَّل ال َّد ْه ُر َو َما لَهُ ْم‬
َ ُّ‫ك ِم ْن ِع ْل ٍم ِإ ْن هُ ْم ِإاَّل يَظُن‬
‫ون‬ َ ِ‫بِ َذل‬
“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa
(waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka
tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela
waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang
musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu.
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan mencela waktu (ad-
dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ال هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل يُْؤ ِذينِى اب ُْن آ َد َم يَسُبُّ ال َّد ْه َر َوَأنَا ال َّد ْه ُر ُأقَلِّبُ اللَّ ْي َل‬
َ َ‫ق‬
َ َ‫َوالنَّه‬
‫ار‬
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela
waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan
malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ فَالَ يَقُولَ َّن َأ َح ُد ُك ْم يَا‬.‫ال هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل يُْؤ ِذينِى اب ُْن آ َد َم يَقُو ُل يَا َخ ْيبَةَ ال َّد ْه ِر‬ َ َ‫ق‬
‫ت قَبَضْ تُهُ َما‬ ُ ‫ارهُ فَِإ َذا ِشْئ‬ َ َ‫ فَِإنِّى َأنَا ال َّد ْه ُر ُأقَلِّبُ لَ ْيلَهُ َونَه‬.‫َخ ْيبَةَ ال َّد ْه ِر‬
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan
‘Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara
kalian mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena
Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika
suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa
orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai
macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain
sebagainya sehingga mereka mengucapkan ‘Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela
waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu
adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan
bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu
dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu
membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ‘Azza
wa Jalla.
Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa
bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka
pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid berikut.
Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:
 Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus
semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan karena
hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap
amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan
Nabi Luth ‘alaihis salam,
ِ ‫هَـ َذا يَ ْو ٌم َع‬
ٌ‫صيب‬
“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)
 Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-
balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik
akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama
Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah.
Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana
seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.
 Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara
yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik.
Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ‘dungu’) yang
menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja
dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu
tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu
bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk
kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara
langsung.
Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-
Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan
tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini
sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela
waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan
melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari
banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika
bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka.
Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.
‫ان َونَ ْعلَ ُم َما تُ َوس ِْوسُ بِ ِه نَ ْف ُسهُ َونَحْ ُن َأ ْق َربُ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل‬ َ ‫َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا اِإْل ْن َس‬
)17( ‫ال قَ ِعي ٌد‬ ِ ‫ين َو َع ِن ال ِّش َم‬ ِ ‫ان َع ِن ْاليَ ِم‬
ِ َ‫) ِإ ْذ يَتَلَقَّى ْال ُمتَلَقِّي‬16( ‫ْال َو ِري ِد‬
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya,
seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf
[50] : 16-17)
2. Kedua: Doa awal dan akhir tahun
1) Pendapat para Ulama tentang pusa awal dan akhir tahun
 Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata, “Syariat Islam
tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan doa atau dzikir untuk awal
tahun. Manusia saat ini banyak yang membuat kreasi baru dalam hal amalan
berupa doa, dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa
awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan
shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini
tidak ada dalilnya sama sekali.” (Tashih Ad Du’a’, hal.107)
 Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiriy berkata, “Sebagian orang membuat inovasi
baru dalam ibadah dengan membuat-membuat doa awal tahun dan akhir
tahun. Sehingga dari sini orang-orang awam ikut-ikutan mengikuti ritual
tersebut di berbagai masjid, bahkan terdapat para imam pun mengikutinya.
Padahal, doa awal dan akhir tahun tersebut tidak ada pendukung dalil sama
sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dari para sahabatnya,
begitu pula dari para tabi’in. Tidak ada satu hadits pun yang mendukungnya
dalam berbagai kitab musnad atau kitab hadits.” (Al Bida’ Al Hawliyah, hal.
399).
 Dilanjutkan pula oleh Syaikh At Tuwaijiriy di halaman yang sama, “Kita
tahu bahwa doa adalah ibadah. Pengkhususan suatu ibadah itu harus
tawqifiyah (harus dengan dalil). Doa awal dan akhir tahun sendiri tidak ada
tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula pernah
dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Idem)
2) Kaedah Memahami Bid’ah
Para ulama telah menjelaskan kaedah untuk menerangkan manakah yang termasuk
bid’ah, manakah yang bukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap perkara yang faktor pendorong
untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dan
mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat.
Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah
maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101)
Contohnya saja, adzan saat shalat ‘ied, ada faktor pendorong dan tidak ada yang
menghalangi untuk menghidupkannya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
namun beliau tidak melakukannya, maka ini menunjukkan bahwa adzan saat shalat
‘ied jika ada yang melakukannya saat ini dihukumi sebagai bid’ah.
Sama halnya dengan doa awal dan akhir tahun. Itu pun tidak pernah dilakukan di
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan di masa para
sahabat. Padahal saat itu bisa saja dilakukan karena masih adanya faktor pendorong
dan tidak ada yang menghalanginya, namun hal itu tidak dilakukan. Ini
menunjukkan jika ada yang membuat-buatnya saat ini dengan mengumpulkan
jamaah menjelang waktu Maghrib untuk membacakan doa akhir tahun dan setelah
masuk Maghrib untuk membaca doa awal tahun, itu semua termasuk bid’ah yang
tidak dituntunkan.
Perlu dipahami pula bahwa penetapan tarikh hijriyah (kalender Hijriyah) baru ada
di masa khalifar Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Berdasarkan kesepatakan para sahabat, bulan Muharram ditetapkan sebagai awal
tahun dan bulan Dzulhijjah ditetapkan sebagai akhir tahun. Ketika penetapan awal
dan akhir tahun pun, kita tidak dapati para sahabat memanjatkan doa awal dan
akhir tahun. Tidak ada di antara para sahabat yang membuat ritual tersebut padahal
bisa saja mereka melakukannya.
Syaikh Muhammad bin Husain Al Jizani berkata, “Setiap ibadah yang tidak
dilakukan oleh salafush sholeh dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang mengikuti
jejak mereka, atau tidak ada nukilan, tulisan, atau penyampaian di dalam majelis,
maka perbuatan tersebut disebut bid’ah dengan syarat ada faktor pendorong untuk
melakukannya dan tidak ada penghalang yang menghalangi untuk melakukan
ibadah tersebut.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 181)
3) Tinggalkan Bid’ah!
Marilah kita bersama menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjauhkan diri dari segala macam bid’ah.
Jika seseorang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah tanda
orang yang cinta pada Allah. Seorang ulama yang terkenal zuhud dan pemberi
nasehat yang menyentuh hati, Dzun Nuun Al Mishri berkata,
‫ب هللاِ فِي َأ ْخالَقِ ِه َوَأ ْف َعالِ ِه َوَأ َوا ِم ِر ِه‬
ِ ‫ت ال ُم ِحب هللِ ُمتَابَ َعةُ َحبِ ْي‬
ِ ‫ِم ْن َعالَ َما‬
‫ُو ُسنَنِ ِه‬
“Tanda seseorang cinta pada Allah adalah mengikuti habibullah (kekasih Allah
yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam akhlak, perbuatan, urusan dan
sunnahnya.” (Al I’tishom, 1: 152).
Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Ats Tsaqofi berkata,
َ ‫ص َوابِهَا ِإالَّ َما َك‬
‫ان‬ َ ‫ص َوابًا َو ِم ْن‬َ ‫ان‬ ِ ‫الَ يَ ْقبَ ُل هللاُ ِم َن اَأل ْع َم‬
َ ‫ال ِإالَّ َما َك‬
‫ق ال ُّسنَّة‬َ َ‫صهَاـ ِإالَّ َما َواف‬
ِ ِ‫صاـ َو ِم ْن َخال‬ ً ِ‫َخال‬
“Allah tidaklah menerima amalan kecuali amalan tersebut showab (benar). Amalan
yang benar adalah amalan yang ikhlas. Amalan yang ikhlas adalah amalan yang
sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al I’tishom, 1: 156).
Semoga kita menjadi orang yang benar-benar mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan mengikuti petunjuknya dan meninggalkan amalan yang tidak
beliau contohkan.
Referensi:
 Al I’tishom, Ibrahim bin Musa Asy Syathibi, terbitan Dar Ibnil Jauzi,
cetakan kedua, tahun 1431 H.
 Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At
Tuwaijiriy, terbitan Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
 Iqtidho’ Shirothil Mustaqtim li Mukholafati Ash-habil Jahiim, Ahmad bin
‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin Taimiyyah, tahqiq: Dr. Nashir bin
‘Abdul Karim Al ‘Aql, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedelapan,
tahun 1421 H.
 Qawa’id Ma’rifatil Bida‘, Muhammad bin Husain Al Jizani, terbitan Dar
Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1430 H.
 Tashih Ad Du’a’, Syaikh Bakr Abu Zaid, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan
pertama, tahun 1419 H.
3. Ketiga: Peringatan tahun baru hijriyyah
1) Hukum Memberi Ucapan Selamat Merayakan Tahun Baru Islam
Fatwa Mufti Saudi Arabia sahamatus syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh –
Hafizhahullah-
Pertanyaan :
Bolehkah memberi ucapan Selamat atau membuat perayaan tahun Baru?
Jawab:
Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah
perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi
yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul
peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang
demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam
hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.
Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada.
Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia
yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah
perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa
perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita
adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat
peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan
menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas
kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah
subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi
wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa
mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,
‫قل إن كنتم تحبون هللا فاتبعوني يعببكم هللا‬
“Katakanlah , “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”(Qs. Ali Imran:31)
Nuurrun ‘ala Ad-Darb (2/1/1427H)
2) Hukum Merayakan Tahun Baru Islam
Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun
Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam
yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram
sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at
Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih
Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan
tersebut. Beliau adalah seorang Ulama Besar ahli fiqih paling terkemuka pada
masa ini.
Pertanyaan :
Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan
Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah.
Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka
tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam
bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab
bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan
manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka
bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk
dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk
bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau.
Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan
amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
‫ أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع‬،‫ أو الشهور‬،‫تخصيص األيام‬
‫ ولهذا لما قدم النبي صلى هللا عليه وعلى آله وسلم‬،‫وليس إلى العادة‬
‫المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما‬
‫ فقال‬،‫ كنا نلعب فيهما في الجاهلية‬:‫ «ما هذان اليومان»؟ قالوا‬:‫فقال‬
‫ «إن هللا قد أبدلكم بهما‬:‫رسول هللا صلى هللا عليه وعلى آله وسلم‬
،‫ يوم األضحى‬:‫خيراً منهما‬

‫ ولو أن األعياد في اإلسالم كانت تابعة للعادات‬.»‫ويوم الفطر‬


.‫ألحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن لألعياد الشرعية كبير فائدة‬
‫ثم إنه يخشى أن هؤالء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة‬
‫للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة‬
ً‫الميالدية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيدا‬
‫ كتبه محمد بن صالح العثيمين‬.‫محذور آخر‬
‫ هـ‬24/1/1418
Jawab :
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun
tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada
ketentuan syari’at, bukan kepada adat.
Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke
Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka
bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka
mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa
jahiliyyah.
Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah
telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul
Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka
manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari
besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun
(hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan
Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun
miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari
besar/hari raya terdapat bahaya lain.
Allah berfirman :
“ٌ‫ون الَّ ِذي هُ َو َأ ْدنَى بِالَّ ِذي هُ َو َخ ْير‬
َ ُ‫َأتَ ْستَ ْب ِدل‬
Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS.
Al-Baqarah : 61)
Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn pada 24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan
menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena:
Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam
menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul
Fitri.
Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir
Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan
menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan
memperingati Tahun Baru Islam.
Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari
peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain
yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh
kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus
peringatan Tahun Baru Islam.
4) Hukum Memberi Ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Berikut fatwa berkaitan akan masuknya bulan Muharram:
‫سئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه هللا ما حكم التهنئة بالسنة‬
‫الهجرية وماذا يرد على المهنئ ؟‬
: ‫فأجابـ رحمه هللا‬
‫إن هنّأك احد فَ ُر َّد عليه وال تبتديء أحداً بذلك هذا هو الصواب في هذه‬
‫ هنئك هللا‬: ‫المسألة لو قال لك إنسان مثالً نهنئك بهذا العام الجديد قل‬
، ‫بخير وجعله عام خير وبركه‬
‫لكن ال تبتدئ الناس أنت ألنني ال أعلم أنه جاء عن السلف أنهم كانوا‬
‫يهنئون بالعام الجديد بل اعلموا أن السلف لم يتخذوا المحرم أول العام‬
‫الجديد‬
‫ انتهى المصدر إجابة‬.‫إال في خالفة عمر بن الخطاب رضي هللا عنه‬
‫ من اسطوانة موسوعة اللقاء الشهري والباب المفتوح‬835 ‫السؤال رقم‬
‫اإلصدار األول اللقاء الشهري لفضيلته من إصدارات مكتب الدعوة و‬
‫اإلرشاد بعنيزة‬
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya: Apa
hukum mengucapkan selamat tahun baru islam. Bagaimana menjawab ucapan
selamat tersebut.
Syaikh menjawab:
Jika seseorang mengucapkan selamat,maka jawablah, akan tetapi jangan kita yang
memulai. Inilah pandangan yang benar tentang hal ini. Jadi jika seseorang berkata
pada anda misalnya: ”Selamat tahun baru!, anda bisa menjawab “Semoga Allah
jadikan kebaikan dan keberkahan ditahun ini kepada anda”
Tapi jangan anda yang mulai, karena saya tidak tahu adanya atsar salaf yang saling
mengucapkan selamat hari raya. Bahkan Salafus Shalih tidaklah menganggap 1
muharram sebagai awal tahun baru sampai zaman Umar bin Khattab radhiallahu
‘anhu.
Ini sama juga untuk ucapan-ucapan yang biasa beredar semisal “Kullu ‘aamin wa
antum bi khoirin”.
Juga mengenai Hari Raya Lebaran, boleh mengucapkan “Mohon maaf lahir batin”
dan yang semisal selama tidak mengandung dosa.
4. Keempat: Puasa awal tahun baru hijriyyah
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ شهر هللا المحرم‬، ‫أفضل الصيام بعد رمضان‬
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.”
(HR. Muslim 1163).
Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya memperbanyak puasa selama Muharam. An-
Nawawi mengatakan,
‫تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم‬
”Hadis ini menegaskan bahwa Muharam adalah bulan yang paling utama untuk puasa.”
(Syarh Shahih Muslim, 8/55).
Kemudian, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ُ‫ َأحْ تَ ِسبُ َعلَى هللاِ َأ ْن يُ َكفِّ َر ال َّسنَةَ الَّتِي قَ ْبلَه‬،‫ورا َء‬
َ ‫صيَا ُم يَ ْو ِم َعا ُش‬
ِ ‫َو‬
”Puasa hari Asyura, saya berharap kepada Allah, puasa ini menghapuskan (dosa)
setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim 1162).
Dan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan informasi bahwa Puasa
Asyura adalah kebiasaan puasa yahudi yang paling agung, beliau bertekad, tahun depan
akan puasa tanggal 9 Muharam, agar puasa beliau beda dengan kebiasaan puasa yahudi.
(HR. Muslim 1134)
Berdasarkan keterangan di atas, kita sepakat, bahwa dalam puasa Muharam, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan hari khusus yang paling istimewa untuk
puasa, selain tanggal 9 dan 10 Muharam. Beliau hanya menganjurkan memperbanyak
puasa selama Muharam. Karena itu, tidak dibenarkan seseorang menyatakan ada
anjuran khusus untuk berpuasa tanggal 1 Muharam atau tanggal sekian Muharam,
sementara dia tidak memiliki dalil yang mendukung pernyataannya.
Hukum Puasa Tanggal 1 Muharam
Satu prinsip yang penting untuk kita garis bawahi, bahwa satu amal yang sama, bisa
jadi memiliki hukum yang berbeda, tergantung dari niat pelakunya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kaidah,
ِ ‫ِإنَّ َما اَأل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ َوِإنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِرٍئ َما نَ َوى‬،‫ت‬
”Sah dan tidaknya amal, bergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan
sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari 1 dan Muslim 1907)
Sebagai contoh, misalnya ada orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada orang
lain, “Ambillah uang ini!” Ada tiga kemungkinan akad yang berlangsung dalam kasus
ini, (1) jika ia berniat mendermakannya, maka akadnya adalah hibah. (2) Jika tidak
berniat berderma, maka akadnya adalah qardh (utang) yang wajib dikembalikan oleh
penerima uang, atau (3) akadnya wadi’ah (titipan) yang wajib dijaga oleh penerima.
Bentuknya penyerahan uang, namun hukumnya berbeda karena perbedaan niat saat
penyerahan uang itu.
Contoh yang lain, si A melakukan puasa di hari senin tanggal 9 Dzulhijah. Ada tiga
kemungkinan hukum puasa tersebut, (1) jika si A meniatkan puasa itu untuk qadha
ramadhan yang menjadi tanggungannya, maka statusnya puasa wajib. (2) si A
meniatkan puasa sunah hari senin, atau (3) si A berniat puasa Arafah. Puasa yang
dikerjakan sama, namun status dan nilai puasa itu berbeda tergantung niat orang yang
melaksanakannya.
Orang yang melakukan puasa tanggal 1 Muharam, ada 2 kemungkinan niat yang dia
miliki,
 Pertama, dia berpuasa tanggal 1 Muharam karena motivasi hadis yang
menganjurkan memperbanyak puasa di bulan Muharam. Ini termasuk puasa yang
bagus, sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana penjelasan di
atas.
 Kedua, dia berpuasa tanggal 1 Muharam karena ’tahun baru’, atau mengawali
tahun baru dengan puasa, atau karena keyakinan adanya fadhilah khusus untuk
puasa awal tahun, dst.
Dr. Muhammad Ali Farkus – ulama Aljazair – menegaskan,
‫شهر هللاِ المحرَّم يجوز الصيا ُم فيه من غير‬َ َّ ‫وجدي ٌر بالتنبيه‬
‫أن‬
‫ وال‬،‫آخر العام بنية توديع ال َّسنَ ِة الهجرية القمرية‬
ِ ‫تخصيص صوم يوم‬
‫أول يوم من المحرم بنية افتتاح العام الجديد بالصيام‬
”Perlu diperhatikan bahwa selama bulan Muharam, dianjurkan memperbanyak
puasa. Tidak boleh mengkhususkan hari tertentu dengan puasa pada hari terakhir
tutup tahun dalam rangka perpisahan dengan tahun hijriyah sebelumnya atau
puasa di hari pertama Muharam dalam rangka membuka tahun baru dengan
puasa.” (http://ferkous.com/site/rep/Bg29.php)
Kemudian Dr. Muhammad Ali Farkus menjelaskan hadis yang menganjurkan
puasa tutup tahun dan pembukaan tahun baru. Beliau mengatakan,
‫ومن خصّص آخر العام وأ َّو َل العام الجديد بالصيام إنما استند على‬
‫الح َّج ِة َوَأ َّو َل يَ ْو ٍم ِم َن‬
ِ ‫آخ َر يَ ْو ٍم ِم ْن ِذي‬ ِ ‫صا َم‬ َ ‫ « َم ْن‬:‫ث موضوع‬ ٍ ‫حدي‬
ُ‫ص ْو ٍم َج َع َل هللاُ لَه‬ َ ِ‫اضيَةَ َوا ْفتَتَ َح ال َّسنَةَ ال ُم ْستَ ْقبلَةَب‬
ِ ‫ َختَ َم ال َّسنَةَ ال َم‬،‫ال ُم َحر َِّم‬
ُ‫ق على النبي صلى هللا‬ ٌ َ‫ وهو حديث مكذوبٌ و ُمختل‬،»ً‫ين َسنَة‬ َ َّ‫َكف‬
َ ‫ارةَ َخ ْم ِس‬
‫عليه وآله و َسلَّم‬
Orang yang mengkhususkan puasa pada hari terakhir tutup tahun, atau hari
pertama tahun baru, mereka dengan hadis palsu, “Barangsiapa yang puasa pada
hari terakhir Dzulhijah dan hari pertama Muharam, berarti dia menutup tahun
sebelumnya dan membuka tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasa ini
sebagai kaffarah dosanya selama 50 tahun.” Hadis ini adalah dusta dan
kebohongan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis ini terdapat perawi bernama Ahmad bin Abdillah al-Harawi dan
Wahb bin Wahb. As-Suyuthi menilai, keduanya perawi pendusta. (al-Lali’ al-
Mashnu’ah, 2/92). Penilaian yang sama juga disampaikan as-Syaukani dalam al-
Fawaid al-Majmu’ah (hlm. 96).
Peringatan al-Hafidz Abu Syamah
Banyaknya amalan yang beredar di tengah masyarakat terkait tahun baru hijriyah,
menjadi sebab para ulama hadis mengingatkan masyarakat untuk menghindari amalan
semacam itu. Diantaranya al-Hafidz Abu Syamah (w. 665 H), seorang ahli sejarah dan
ahli hadis dari Damaskus. Dalam kitabnya al-Bahis ’ala Inkar al-Bida’, beliau
menegaskan bahwa berbagai hadis yang menyebutkan keutamaan amalan di akhir tahun
atau awal tahun, semuanya hadis yang sama sekali tidak ada dalam kitab hadis (la ashla
lahu). Dan derajat ini, lebih parah dari pada hadis palsu.
Beliau mengatakan,
‫ت فيما نقل من اآلثار صحيحًا‬ ُ ‫ وقد فَتَّ ْش‬،‫ولم يأت شي ٌء في أول ليلة المحرم‬
‫ وإني‬،‫ وفي األحاديث الموضوعة فلم أر أحدًا ذكر فيها شيًئا‬،‫وضعيفًا‬
‫مفتر يختلق فيها حديثًا‬ ٍ ‫ من‬-‫والعياذ باهلل‬- ‫ألتخ ّوف‬
”Tidak ada riwayat apapun yang menyebutkan keutamaan malam pertama Muharam.
Saya telah meneliti berbagai riwayat dalam kitab kumpulan hadis yang shahih maupun
yang dhaif atau dalam kumpulan hadis-hadis palsu, namun aku tidak menjumpai
seorangpun yang menyebutkan hadis itu. Saya khawatir – wal iyadzu billah – hadis ini
berasal dari pemalsu, yang membuat hadis palsu terkait tahun baru.”(al-Bahis ’ala Inkar
al-Bida’ wa al-Hawadits, hlm. 77)
5. Kelima: Menghidupkan malam pertama bulan Muharram[7]
Syaikh Abu Syamah berkata: “Tidak ada keutamaan sama sekali pada malam pertama
bulan Muharram. Aku sudah meneliti atsar-atsar yang shahih maupun yang lemah
dalam masalah ini. Bahkan dalam hadits-hadits yang palsu juga tidak disebutkan!!,
aku khawatir -aku berlindung kepada Allah- bahwa perkara ini hanya muncul dari
seorang pendusta yang membuat-buat hadits!!.[8]
6. Keenam: Menghidupkan malam hari ‘Asyuro
Sangat banyak sekali kemungkaran dan bid’ah-bid’ah yang dibuat pada hari
‘Asyuro[9]. Kita mulai dari malam harinya. Banyak manusia yang menghidupkan
malam hari ‘Asyuro, baik dengan shalat, do’a dan dzikir atau sekedar berkumpul-
kumpul. Perkara ini jelas tidak ada tuntunan yang menganjurkannya.
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Termasuk bentuk bid’ah dzikir dan doa adalah
menghidupkan malam hari ‘Asyuro dengan dzikir dan ibadah. Mengkhususkan do’a
pada malam hari ini dengan nama do’a hari Asyuro, yang konon katanya barangsiapa
yang membaca doa ini tidak akan mati tahun tersebut. Atau membaca surat al-Qur’an
yang disebutkan nama Musa pada shalat subuh hari ‘Asyuro[10]. Semua ini adalah
perkara yang tidak dikehendaki oleh Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin!!”. [11]
7. Ketujuh: Shalat ‘Asyuro
Shalat ‘Asyuro adalah shalat yang dikerjakan antara waktu zhuhur dan ashar, empat
rakaat, setiap rakaat membaca al-Fatihah sekali, kemudian membaca ayat kursi
sepuluh kali, Qul HuwAllahu Ahad sepuluh kali, al-Falaq dan an-Nas lima kali.
Apabila selesai salam, istighfar tujuh puluh kali. Orang-orang yang menganjurkan
shalat ini dasarnya hanyalah sebuah hadits palsu!![12]
As-Syuqoiry berkata: “Hadits shalat ‘Asyuro adalah hadits palsu. Para perowinya
majhul, sebagaimana disebutkan oleh as-Suyuti dalam al-Aala’I al-Mashnu’ah. Tidak
boleh meriwayatkan hadits ini, lebih-lebih sampai mengamalkannya!!”.[13]
8. Kedelapan: Do’a hari ‘Asyuro
Diantara contoh do’a ‘Asyuro adalah; “Barangsiapa yang mengucapkan HasbiyAllah
wa Ni’mal Wakil an-Nashir sebanyak tujuh puluh kali pada hari ‘Asyuro maka Allah
akan menjaganya dari kejelekan pada hari itu”.
Doa ini tidak ada asalnya dari Nabi, para sahabat maupun para tabi’in. Tidak
disebutkan dalam hadits-hadits yang lemah apalagi hadits yang shahih. Do’a ini hanya
berasal dari ucapan sebagian manusia!!. Bahkan sebagian syaikh sufi ada yang
berlebihan bahwa barangsiapa yang membaca doa ini pada hari ‘Asyuro dia tidak
akan mati pada tahun tersebut!!.[14] Ucapan ini jelas batil dan mungkar, karena Allah
telah berfirman:
َ ‫ِإ َّن َأ َج َل هَّللا ِ ِإ َذا َجا َـء اَل يَُؤ َّخ ُر لَ ْو ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau
kamu Mengetahui. (QS.Nuh: 4)
9. Kesembilan: Memperingati hari kematian Husein[15]
1) Sejarah kematian husain
Setelah Yazid dibaiat sebagai amirul mukminin di Syam (wilayah sekitar
Damaskus, Suriah, Lebanon, dan Palestina), Husain diajak oleh kelompok Yazid
untuk turut membaiat Yazid. Namun Husain menolak, dan beliau segera
meninggalkan Madinah menuju Mekah. Ketika Penduduk Kufah (Irak) yang
mendengar sikap Husain terhadap Yazid, mereka langsung mengirim berbagai
surat kepada Husain. ada lebih dari 500 surat yang diterima Husain. Inti dari isi
surat itu ada 3 hal,
Penduduk Kufah tidak membaiat Yazid
Penduduk Kufah hanya mau taat jika Husain dan keluarga Ali sebagai khalifah
Mengundang Husain untuk datang ke Kufah agar bisa dibaiat
Untuk menyelidiki kebenaran ini, Husain mengirim Muslim bin Aqil (sepupu
Husain) agar memeriksa keadaan di Kufah yang sebenarnya. Sesampainya Muslim
bin Aqil tiba di Kufah, dia singgah di rumah Hani bin Urwah. Di rumah ini, banyak
penduduk Kufah yang membaiat Husain melalui perwakilan Muslim bin Aqil.
Merasa bahwa penduduk Kufah telah loyal terhadap Husain, Muslim mengirim
surat kepada Husain, agar segera datang ke Kufah, karena semua telah disiapkan.
Berita tentang penduduk Kufah didengar oleh Yazid. Ketika itu, Kufah termasuk
daerah kekuasaan bani Umaiyah dengan gubernur: Nu’ban bin Basyir radhiyallahu
‘anhuma, salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun karena
Nu’man tidak perhatian dengan kejadian baiat Husain di Kufah, beliau dinon-
aktifkan dan wiliyah Kufah diserahkan kepada Ubaidillah bin Ziyad, yang ketika
itu menjadi gubernur Bashrah. Sehingga Ubaidillah memegang kekuasaan dua
wilayah, Bashrah dan Kufah.
Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya tentang gejolak di
Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri penjelasan langsung dari Hani’ bin
Urwah. Namun Hani’ tidak mau mengaku, hingga dia dipenjara. Mendengar kabar
bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil datang
bersama 4000 orang syiah (pembela) Husain yang membaiatnya dan mengepung
istana Ubaidullah bin Ziyad. Ini terjadi siang hari.
Ubaidullah bin Ziyad merespon pengepungan Muslim bin Aqil dengan mengancam
akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah
membuat takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan berlari
meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim
bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam, hingga hanya tersisa Muslim bin Aqil
seorang diri.
Anda bisa menilai, bagaimana karakter penduduk Kufah yang menjadi syiah
(pembela) Husain dan Ali bin Abi Thalib.
Muslim pun ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan agar dia dibunuh. Sebelum
dieksekusi, Muslim meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein, keinginan
terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein
adalah “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh
penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan
juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki akal”. Muslim bin Aqil
kemudian dibunuh, tepatnya tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah.
Husein berangkat dari Mekah menuju Kufah di tanggal 8 Dzulhijah, hari tarwiyah.
Banyak para sahabat Nabi menasihatinya agar tidak pergi ke Kufah. Berikut
beberepa nasehat mereka kepada Husain,
Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu menemui Husain,
“Sesungguhnya aku adalah seorang penasihat untukmu, dan aku sangat
menyayangimu. Telah sampai berita bahwa orang-orang yang mengaku sebagai
Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu
untuk bergabung bersama mereka. Mohon jangan engkau pergi bergabung bersama
mereka karena aku mendengar ayahmu –Ali bin Abi Thalib- mengatakan tentang
penduduk Kufah, ‘Demi Allah, aku bosan dan benci kepada mereka, demikian juga
mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak memiliki sikap memenuhi janji
sedikit pun.”
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu menemui Husain,
“Aku hendak menyampaikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian memberikan dua
pilihan kepada beliau antara dunia dan akhirat, maka beliau memilih akhirat dan
tidak mengiginkan dunia. Engkau adalah darah dagingnya, demi Allah tidaklah
Allah memberikan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali
hal itu adalah yang terbaik untuk kalian”.
Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Ibnu Umar pun menangis,
lalu mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah agar tidak dibunuh”.
Singkat cerita Husein menginjakkan kakinya di daerah Karbala bersama 73 orang
yang mendampinginya. Kemudian tibalah 4000 pasukan yang dikirim oleh
Ubaidullah bin Ziyad di bawah pimpinan Umar bin Saad. Husein bertanya, “Apa
nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Kemudian
Husein menanggapi, “Karbala: Karbun wa Balaa’.” Karbun artinya bencana dan
Balaa’ artinya musibah.
Anda bisa lihat, bagaimana Husain sama sekali tidak memberikan pujian terhadap
Karbala’. Justru beliau memberikan nilai buruk, dari nama Karbala. Berbeda
dengan orang syiah. Mereka memuji habis Karbala’ dan menyebutnya sebagai
tanah suci.
Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein radhiallahu ‘anhu
menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu dia menawarkan 3 hal, “Aku ada 3
pilihan, (1) kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau (2) kalian
biarkan aku pergi menghadap Yazid di Syam untuk membaiatnya, atau (3) Aku
pergi ke daerah perbatasan dan ikut bergabung bersama kaum muslimin dalam
jihad melawan daerah kafir.
Ubaidullah bin Ziyad menyetujui tawaran Husain. Namun tiba-tiba sosok jahat
Syamr bin Dzil Jausyan memprotes. “Jangan. jangan kabulkan tawarannya, sampai
dia menjadi tawananmu, wahai Ubaid.” Syamr masih termasuk kerabat dekat
Ubaidillah.
Mendengar usulan ini, Ubaidillah merasa ada unsur bangga. Diapun
menyetujuinya. Namun Husein menolak untuk menjadi tawanan Ubaidullah.
Mulailah terjadi ketegangan antara pasukan Husain yang berjumlah 73 orang
dengan pasukan Irak 4000 orang. Husain pun berceramah mengingatkan status
dirinya dan kedekatannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga
sekitar 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi
membelot dan bergabung dengan Husein.
Namun apa daya 100 lawan 4000. Peperangan yang tidak imbang itu menewaskan
semua orang yang mendukung Husein, hingga tersisa Husein seorang diri. Orang-
orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuhnya. Masih tersisa sedikit
rasa hormat mereka kepada darah keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Tiba-tiba datang Syamr bin Dzil Jausyan –semoga Allah menghinakannya –
meneriakkan, ”Apa yang kalian lakukan, segera serang dia.” Syamr pun
melemparkan panah lalu mengenai Husein dan ditambah tombah Sinan bin Anas
yang mengenai dada Husain. Beliaupun terjatuh lalu orang-orang mengeroyoknya,
Husein akhirnya mati syahid.
Ini terjadi di hari jumat, 10 Muharam, hari Asyura.
Kisah ini diceritakan dari berbegai sumber oleh Dr. Utsman al-Khamis dalam buku
beliau: Huqbah min at-Tarikh hlm. 140 – 147.
Syiah dan Nashibah
Wafatnya Husain radhiyallahu ‘anhu, melahirkan dua kelompok sesat. Dan
demikianlah setan, selalu mengajak manusia untuk bersikap ekstrim dalam setiap
kejadian.
Kelompok pertama, mereka meratapi kematian Husain di hari Asyura. Mereka
mengenang kematian Husain dengan memukul-mukul diri, bahkan melukai
tubuhnya sendiri. Yang lebih parah, mereka menjadikannya darah Husain sebagai
alasan untuk mencela setiap orang yang tidak mengikuti ritual mereka. Hingga
mereka mencela para sahabat, mengkafirkan para sahabat dan mencatut nama
orang yang sama sekali tidak memiliki kesalahan dalam peristiwa itu.
Untuk membumikan aqidah ini, mereka membuat ribuan hadis palsu tentang
keutamaan Karbala dan keutamaan meratap di hari Asyura.
Semua orang tahu, kelompok pertama ini adalah kelompok syiah.
Kelompok kedua adalah kelompok an-Nashibah, kelompok yang menampakkan
kegembiraan dan suka cita. Mereka menjadikan asyura sebagai hari raya, dengan
menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memberikan banyak kelonggaran di
hari Asyura. Turunan dari anjuran ini adalah munculnya keyakinan hari
menggembirakan anak yatim, hari keluarga, dst.
Syaikhul Islam menjelaskan,
‫وكانت الكوفة بها قوم من الشيعة المنتصرين للحسين وكان رأسهم‬
‫المختار بن أبي عبيد الكذاب وقوم من الناصبة المبغضين لعلي رضي‬
‫هللا عنه وأوالده ومنهم الحجاجـ بن يوسف الثقفي وقد ثبت في الصحيح‬
‫عن النبي صلى هللا عليه وسلم أنه قال سيكون في ثقيف كذاب ومبير‬
‫فكان ذلك الشيعي هو الكذاب وهذا الناصبي هو المبير فأحدث أولئك‬
‫الحزن وأحدث هؤالء السرور ورووا أنه من وسع على أهله يوم‬
‫عاشوراء وسع هللا عليه سائر سنته‬
Kufah merupakan daerah kaum syiah syiah yang membela Husain. Pemimpin
mereka adalah Mukhtar bin Abi Ubaid al-Kadzab (sang pendusta). Kufah juga
tempat kelompok an-Nashibah, yang membenci Ali radhiyallahu ‘anhu dan
keturunannya. Pemimpin mereka adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Dinyatakan dalam hadis yang shahih, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda,
‫سيكون في ثقيف كذاب ومبير‬
“Akan muncul dari Bani Tsaqif, seorang pendusta dan seorang perusak.”
Orang syiah adalah manusia pendusta, dan sekte an-Nashibi adalah si perusak.
Yang satu menampakkan kesedihan, sementara satunya menampakkan
kegembiraan. Kemudian mereka membuat riwayat (dusta), ”Siapa yang
memberikan kelonggaran kepada keluarga pada hari Asyura maka Allah akan
memberikan kelonggaran nafkah kepadanya sepanjang tahun.”
Syaikhul Islam melanjutkan pembahasan mengenai aqidah an-Nashibah,
‫قال حرب الكرماني سألت أحمد بن حنبل عن هذا الحديث فقال ال أصل‬
‫له وليس له إسناد يثبت … ورووا أنه من اكتحل يوم عاشوراء لم يرمد‬
‫ذلك العام ومن اغتسل يوم عاشوراء لم يمرض ذلك العام فصار أقوام‬
‫يستحبون يوم عاشوراء االكتحال واالغتسال والتوسعة على العيال‬
‫وإحداث أطعمة غير معتادة وهذه بدعة أصلها من المتعصبين بالباطل‬
‫على الحسين رضي هللا عنه وتلك بدعة أصلها من المتعصبين بالباطل‬
‫له وكل بدعة ضاللة ولم يستحب أحد من أئمة المسلمين األربعة‬
‫وغيرهم ال هذا وال هذا‬
Al-Harb al-Karmani mengatakan, “Aku bertanya kepada Ahmad bin Hambal
tentang hadis: ‘Siapa yang memberikan kelonggaran kepada keluarga pada hari
Asyura’ beliau mengatakan, ’La ashla lahu’ hadis tidak ada sanadnya dan tidak ada
sanad yang terpercaya. Kaum nashibah juga membawakan riwayat hadis, ”Siapa
yang memakai celak pada hari Asyura, maka dia tidak akan sakit mata selama
tahun itu. Siapa yang mandi besar pada hari asyura maka dia tidak sakit selama
setahun itu.” sehingga masyarakat menganjurkan pada hari asyura untuk memakai
celak, mandi, dan memberikan kelonggaran kepada keluarga, dan menghidangkan
makanan lebih, tidak seperti biasanya.
Ini semua adalah bid’ah, awalnya dari kelompok ekstrim yang membenci Husain
radhiyallahu ‘anhu. Sementara memukul-mukul diri adalah bid’ah yang asalnya
dari kelompok ekstrim yang mendukung Husain. dan semua bid’ah adalah sesat.
Tidak ada satupun ulama kaum muslimin dari empat madzhab maupun lainnya
yang menganjurkannya. Baik kelompok pertama maupun kedua.
[Minhaj as-Sunah an-Nabawiyah, 4/276 – 277].
Sebagai muslim yang baik, kita menyadari, kematian Husein bin Ali bin Abi
Thalib dalam kondisi syahadah (mati syahid) termasuk musibah. Innalillahi wa
inna ilaihi raaji’un. Namun bersikap ekstrim, seperti syiah yang meratap dan
mengkafirkan banyak sahabat atas nama Husain, maupun sekte nashibah yang
gembira dengan wafatnya Husain, selamanya tidak pernah kita ridhai dan tidak
sejalan dengan islam.
Allahu a’lam
Pada bulan Muharram, kelompok Syi’ah setiap tahunnya mengadakan upacara
kesedihan dan ratapan dengan berdemontrasi ke jalan-jalan dan lapangan,
memakai pakaian serba hitam untuk mengenang gugurnya Husain. Mereka juga
memukuli pipi mereka sendiri, dada dan punggung mereka, menyobek saku,
menangis berteriak histeris dengan menyebut: Ya Husain. Ya Husain!!!
Lebih-lebih pada tanggal 10 Muharram, mereka lakukan lebih dari itu, mereka
memukuli diri sendiri dengan cemeti dan pedang sehingga berlumuran darah!!!
Anehnya, mereka menganggap semua itu merupakan amalan ibadah dan syi’ar
Islam!! Hanya kepada Allah kita mengadu semua ini[16].
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rojab: “Adapun menjadikan hari
asyuro sebagai hari kesedihan/ratapan sebagaimana dilakukan oleh kaum
Rofidhah karena terbunuhnya Husain bin Ali, maka hal itu termasuk perbuatan
orang yang tersesat usahanya dalama kehidupan dunia sedangkan dia mengira
berbuat baik. Allah dan rasulNya saja tidak pernah memerintahkan agar hari
mushibah dan kematian para Nabi dijadikan ratapan, lantas bagaimana dengan
orang yang selain mereka?!”.[17]
Husein bin Ali bin Abi Thalib adalah cucu Rasulullah dari perkawinan Ali bin
Abi Thalib dengan putrinya Fatimah binti Rasulullah. Husein sangat dicintai oleh
Rasulullah. Beliau bersabda:
‫ب هَّللا ُ َم ْن َأ َح َّـ‬
‫ب ُح َس ْينًاـ ُح َسي ٌْن ِسبْطٌ ِم َن‬ ‫ُح َسي ٌْن ِمنِّي َوَأنَا ِم ْن ُح َس ْي ٍن َأ َح َّـ‬
‫اَْأل ْسبَا ِط‬
Husein adalah bagianku juga dan Aku adalah bagian Husein. Semoga Allah
mencintai orang yang mencintai Husein. Husein termasuk cucu keturunanku.[18]
Husein terbunuh pada peristiwa yang sangat tragis, yaitu pada tanggal 10
Muharram tahun 61 H, di sebuah tempat bernama Karbala, karenanya peristiwa
ini kemudian lebih dikenal dengan peristiwa Karbala.[19]
Namun, apapun musibah yang terjadi dan betapapun kita sangat mencintai
keluarga Rasulullah bukan alasan untuk bertindak melanggar aturan syariat
dengan memperingati hari kematian Husein!!. Sebab, peristiwa terbunuhnya
orang yang dicintai Rasulullah sebelum Husein juga pernah terjadi seperti
terbunuhnya Hamzah bin Abdil Muthollib, dan hal itu tidak menjadikan
Rasulullah dan para sahabatnya mengenang atau memperingati hari peristiwa
tersebut, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Syi’ah untuk mengenang
terbunuhnya Husein!!.[20]
10. Kesepuluh: Peringatan hari suka cita
Yang dimaksud hari suka cita adalah hari menampakkan kegembiraan,
menghidangkan makanan lebih dari biasanya dan memakai pakaian bagus. Mereka
yang membuat acara ini, ingin menyaingi dan mengganti hari kesedihan atas peristiwa
terbunuhnya Husein dengan kegembiraan, kontra dengan apa yang dilakukan orang-
orang Syiah. Tentunya, acara semacam ini tidak dibenarkan, karena bid’ah tidak
boleh dilawan dengan bid’ah yang baru!! Dan tidak ada satu dalilpun yang
membolehkan acara semacam ini.[21]
11. Kesebelas: Berbagai ritual dan adat istiadat di tanah Air
Di tanah air, bila tiba hari ‘Asyuro kita akan melihat berbagai adat dan ritual yang
beraneka ragam dalam rangka menyambut hari istimewa ini. Apabila kita lihat secara
kacamata syar’I, adat dan ritual ini tidak lepas dari kesyirikan! Seperti meminta
berkah dari benda-benda yang dianggap sakti dan keramat, bahkan yang lebih
mengenaskan sampai kotoran sapi-pun tidak luput untuk dijadikan alat pencari
berkah!!. [22]
Wallahu waliyyut taufiq.

[1] Syarh Masail al-Jahiliyyah, DR.Sholih al-Fauzan hal.302
[2] Ishlahul Masajid, al-Qoshimi hal.129, as-Sunan wal Mubtada’at, Muhammad Ahmad
Abdus Salam hal.155
[3] Tashih ad-Duu’a, Bakr Abu Zaid hal.107
[4] Bida’ wa Akhtho’ hal.218. Lihat secara luas masalah ini dalam risalah Al- Ihtifal bi
Ra’si Sanah wa Musyabahati Ashabil Jahim  oleh Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari.
[5] as-Sunan wal Mubtada’at hal.191, Tashihud Du’a hal.107
[6] al-A’lai al-Mashnu’ah, as-Suyuti 2/108, Tanziihus Syari’ah, Ibnu Arroq 2/148, al-
Fawaid al-Majmu’ah, as-Syaukani no.280. Kritik Hadits-Hadits Dho’if Populer, Abu
Ubaidah Yusuf as-Sidawi hal.114
[7] Tashihud Du’a hal.107, Bida’ wa Akhtho hal.221
[8] al-Ba’its Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239
[9] Iqthido as-Sirath al-Mustaqim 2/129-134, Majmu’ Fatawa 25/307-314 keduanya oleh
Ibnu Taimiyyah, al-Ibda’ Fi Madhoril Ibtida’ Ali Mahfuzh hal.56, 269, as-Sunan wal
Mubtada’at hal.154-158, 191.
[10] Bida’ al-Qurro Bakr Abu Zaid hal.9
[11] Tashihud Du’a hal.109
[12] al-Fawaid al-Majmu’ah no.60 al-Aala’I al-Masnu’ah 2/92.
[13] as-Sunan wal Mubtada’at hal.154
[14] Du’a Khotmil Qur’an, Ahmad Muhammad al-Barrok, buku ini sarat dengan khurafat
dan kedustaan!!. (Bida’ wa Akhtho hal.230).
[15] Iqthidho as-Siroth al-Mustaqiem 2/131-132
[16] Lihat Min Aqoid Syi’ah/Membongkar Kesesatan Aqidah Syi’ah hlm. 57-58, Syaikh
Abdullah bin Muhammad
[17] Lathoiful Ma’arif   hlm. 113
[18] HR.Tirmidzi: 3775, Ibnu Majah: 144. Ibnu Hibban: 2240, Hakim 3/177, Ahmad:
4/172, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahihah: 1227.
[19] Lihat kisah lengkapnya dalam al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir 8/172-191.
[20] Syahr al-Muharram wa Yaum ‘Asyuro, Abdullah Haidir hal.29
[21] Majmu’ Fatawa 25/309-310, Iqtidho as-Siroth al-Mustaqiem 2/133, Tamamul Minnah,
al-Albani hal.412
[22] Diantara adat ritual yang sering dilakukan di daratan Jawa adalah yang dikenal dengan
istilah Kirab 1 Syuro. Acara ini sarat dengan kesyirikan, mulai dari keyakinan mereka
terhadap benda pusaka keraton, keyakinan kerbau yang punya kekuatan ghaib, tirakatan
dengan doa dan dzikir pada malam harinya dan kemungkaran-kemungkaran lainnya yang
sangat jelas!!. WAllahul Musta’an.

Anda mungkin juga menyukai