Berikut adalah beberapa amalan bid’ah (tidak ada tuntunan) yang ada di bulan
Muharram yang masih laris manis di tengah-tengah kaum muslimin di tanah air.
1. Pertama: Keyakinan bahwa bulan Muharram bulan keramat
Sekarang kita telah memasuki bulan Suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang
Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lainnya yang
mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah bulan Muharram
menurut kalender Islam. Terlebih dahulu marilah kita melihat, bagaimanakah penilaian
Islam mengenai bulan Suro (bulan Muharram). Semoga Allah memudahkan urusan ini.
1) Islam Menilai Bulan Suro Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram atau bulan Suro, merupakan salah satu di antara
empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
ت َ ق ال َّس َم
ِ اوا َ َب هَّللا ِ يَ ْو َم َخلِ ُور ِع ْن َد هَّللا ِ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا فِي ِكتَا
ِ ِإ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه
ظلِ ُموا فِي ِه َّن َأ ْنفُ َس ُك ْمْ َِّين ْالقَيِّ ُم فَاَل ت َ ِض ِم ْنهَا َأرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم َذل
ُ ك الد َ َْواَأْلر
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya
diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ْ
« …القَ ْع َد ِة ٌ َ ثَالَثَةٌ ُمتَ َوالِي، ِم ْنهَا َأرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم، ال َّسنَةُ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا
ات ُذو
َ َض َر الَّ ِذى بَي َْن ُج َما َدى َو َش ْعب
ان َ َو َر َجبُ ُم، » َو ُذو ْال ِح َّج ِة َو ْال ُم َح َّر ُم
“… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan
lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR.
Bukhari no. 3025)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3)
Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram ?
Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini.
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena
dua makna, yaitu:
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-
orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih
ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut.
Demikian pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.”
(Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)
2) Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ صالَ ِة بَ ْع َد ْالفَ ِر
يض ِة َ ان َش ْه ُر هَّللا ِ ْال ُم َح َّر ُم َوَأ ْف
َّ ض ُل ال َ ضَ ض ُل الصِّ يَ ِام بَ ْع َد َر َم َ َأ ْف
صالَةُ اللَّي ِْلَ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812)
Sangat mulianya bulan Muharram ini. Bulan ini betul istimewa karena disebut
syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena
disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan
keagungan dan keistimewaannya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 1/475).
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir
(2/53), beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah
(bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia
dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah‘ (rumah
Allah) atau ‘Alullah‘ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang
khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan
adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan
nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya
masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama
islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk
berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’
(puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada
melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10
Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki
keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan
pembuka tahun.”
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, “Apa hikmah
bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan
adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Disebut demikian karena di
bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan
pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut
syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan
ini. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan
bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh
Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ‘Iroqiy di atas,
jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Selanjutnya kita melihat berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Muharram
(bulan Suro).
3) Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro
Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan
keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan
Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk
menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya
adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini
akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang
wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini
(sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri).
Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol
kejahatan. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua
menasehati anaknya seperti ini: “Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-
kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.” Karena bulan ini adalah bulan sial,
sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan
pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak
lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan
masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu
mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah
bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan
penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat
penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
4) Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang
musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan
mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala
berfirman,
ُ َوقَالُوا َما ِه َي ِإاَّل َحيَاتُنَا ال ُّد ْنيَا نَ ُم
وت َونَحْ يَا َو َما يُ ْهلِ ُكنَا ِإاَّل ال َّد ْه ُر َو َما لَهُ ْم
َ ُّك ِم ْن ِع ْل ٍم ِإ ْن هُ ْم ِإاَّل يَظُن
ون َ ِبِ َذل
“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa
(waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka
tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela
waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang
musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu.
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan mencela waktu (ad-
dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ال هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل يُْؤ ِذينِى اب ُْن آ َد َم يَسُبُّ ال َّد ْه َر َوَأنَا ال َّد ْه ُر ُأقَلِّبُ اللَّ ْي َل
َ َق
َ ََوالنَّه
ار
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela
waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan
malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَالَ يَقُولَ َّن َأ َح ُد ُك ْم يَا.ال هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل يُْؤ ِذينِى اب ُْن آ َد َم يَقُو ُل يَا َخ ْيبَةَ ال َّد ْه ِر َ َق
ت قَبَضْ تُهُ َما ُ ارهُ فَِإ َذا ِشْئ َ َ فَِإنِّى َأنَا ال َّد ْه ُر ُأقَلِّبُ لَ ْيلَهُ َونَه.َخ ْيبَةَ ال َّد ْه ِر
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan
‘Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara
kalian mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena
Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika
suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa
orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai
macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain
sebagainya sehingga mereka mengucapkan ‘Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela
waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu
adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan
bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu
dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu
membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ‘Azza
wa Jalla.
Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa
bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka
pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid berikut.
Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:
Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus
semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan karena
hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap
amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan
Nabi Luth ‘alaihis salam,
ِ هَـ َذا يَ ْو ٌم َع
ٌصيب
“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)
Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-
balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik
akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama
Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah.
Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana
seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.
Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara
yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik.
Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ‘dungu’) yang
menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja
dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu
tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu
bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk
kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara
langsung.
Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-
Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan
tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini
sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela
waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan
melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari
banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika
bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka.
Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.
ان َونَ ْعلَ ُم َما تُ َوس ِْوسُ بِ ِه نَ ْف ُسهُ َونَحْ ُن َأ ْق َربُ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل َ َولَقَ ْد َخلَ ْقنَا اِإْل ْن َس
)17( ال قَ ِعي ٌد ِ ين َو َع ِن ال ِّش َم ِ ان َع ِن ْاليَ ِم
ِ َ) ِإ ْذ يَتَلَقَّى ْال ُمتَلَقِّي16( ْال َو ِري ِد
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya,
seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf
[50] : 16-17)
2. Kedua: Doa awal dan akhir tahun
1) Pendapat para Ulama tentang pusa awal dan akhir tahun
Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata, “Syariat Islam
tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan doa atau dzikir untuk awal
tahun. Manusia saat ini banyak yang membuat kreasi baru dalam hal amalan
berupa doa, dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa
awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan
shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini
tidak ada dalilnya sama sekali.” (Tashih Ad Du’a’, hal.107)
Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiriy berkata, “Sebagian orang membuat inovasi
baru dalam ibadah dengan membuat-membuat doa awal tahun dan akhir
tahun. Sehingga dari sini orang-orang awam ikut-ikutan mengikuti ritual
tersebut di berbagai masjid, bahkan terdapat para imam pun mengikutinya.
Padahal, doa awal dan akhir tahun tersebut tidak ada pendukung dalil sama
sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dari para sahabatnya,
begitu pula dari para tabi’in. Tidak ada satu hadits pun yang mendukungnya
dalam berbagai kitab musnad atau kitab hadits.” (Al Bida’ Al Hawliyah, hal.
399).
Dilanjutkan pula oleh Syaikh At Tuwaijiriy di halaman yang sama, “Kita
tahu bahwa doa adalah ibadah. Pengkhususan suatu ibadah itu harus
tawqifiyah (harus dengan dalil). Doa awal dan akhir tahun sendiri tidak ada
tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula pernah
dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Idem)
2) Kaedah Memahami Bid’ah
Para ulama telah menjelaskan kaedah untuk menerangkan manakah yang termasuk
bid’ah, manakah yang bukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap perkara yang faktor pendorong
untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dan
mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat.
Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah
maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101)
Contohnya saja, adzan saat shalat ‘ied, ada faktor pendorong dan tidak ada yang
menghalangi untuk menghidupkannya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
namun beliau tidak melakukannya, maka ini menunjukkan bahwa adzan saat shalat
‘ied jika ada yang melakukannya saat ini dihukumi sebagai bid’ah.
Sama halnya dengan doa awal dan akhir tahun. Itu pun tidak pernah dilakukan di
masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan di masa para
sahabat. Padahal saat itu bisa saja dilakukan karena masih adanya faktor pendorong
dan tidak ada yang menghalanginya, namun hal itu tidak dilakukan. Ini
menunjukkan jika ada yang membuat-buatnya saat ini dengan mengumpulkan
jamaah menjelang waktu Maghrib untuk membacakan doa akhir tahun dan setelah
masuk Maghrib untuk membaca doa awal tahun, itu semua termasuk bid’ah yang
tidak dituntunkan.
Perlu dipahami pula bahwa penetapan tarikh hijriyah (kalender Hijriyah) baru ada
di masa khalifar Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Berdasarkan kesepatakan para sahabat, bulan Muharram ditetapkan sebagai awal
tahun dan bulan Dzulhijjah ditetapkan sebagai akhir tahun. Ketika penetapan awal
dan akhir tahun pun, kita tidak dapati para sahabat memanjatkan doa awal dan
akhir tahun. Tidak ada di antara para sahabat yang membuat ritual tersebut padahal
bisa saja mereka melakukannya.
Syaikh Muhammad bin Husain Al Jizani berkata, “Setiap ibadah yang tidak
dilakukan oleh salafush sholeh dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang mengikuti
jejak mereka, atau tidak ada nukilan, tulisan, atau penyampaian di dalam majelis,
maka perbuatan tersebut disebut bid’ah dengan syarat ada faktor pendorong untuk
melakukannya dan tidak ada penghalang yang menghalangi untuk melakukan
ibadah tersebut.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 181)
3) Tinggalkan Bid’ah!
Marilah kita bersama menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjauhkan diri dari segala macam bid’ah.
Jika seseorang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah tanda
orang yang cinta pada Allah. Seorang ulama yang terkenal zuhud dan pemberi
nasehat yang menyentuh hati, Dzun Nuun Al Mishri berkata,
ب هللاِ فِي َأ ْخالَقِ ِه َوَأ ْف َعالِ ِه َوَأ َوا ِم ِر ِه
ِ ت ال ُم ِحب هللِ ُمتَابَ َعةُ َحبِ ْي
ِ ِم ْن َعالَ َما
ُو ُسنَنِ ِه
“Tanda seseorang cinta pada Allah adalah mengikuti habibullah (kekasih Allah
yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam akhlak, perbuatan, urusan dan
sunnahnya.” (Al I’tishom, 1: 152).
Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Ats Tsaqofi berkata,
َ ص َوابِهَا ِإالَّ َما َك
ان َ ص َوابًا َو ِم ْنَ ان ِ الَ يَ ْقبَ ُل هللاُ ِم َن اَأل ْع َم
َ ال ِإالَّ َما َك
ق ال ُّسنَّةَ َصهَاـ ِإالَّ َما َواف
ِ ِصاـ َو ِم ْن َخال ً َِخال
“Allah tidaklah menerima amalan kecuali amalan tersebut showab (benar). Amalan
yang benar adalah amalan yang ikhlas. Amalan yang ikhlas adalah amalan yang
sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al I’tishom, 1: 156).
Semoga kita menjadi orang yang benar-benar mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan mengikuti petunjuknya dan meninggalkan amalan yang tidak
beliau contohkan.
Referensi:
Al I’tishom, Ibrahim bin Musa Asy Syathibi, terbitan Dar Ibnil Jauzi,
cetakan kedua, tahun 1431 H.
Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At
Tuwaijiriy, terbitan Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.
Iqtidho’ Shirothil Mustaqtim li Mukholafati Ash-habil Jahiim, Ahmad bin
‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin Taimiyyah, tahqiq: Dr. Nashir bin
‘Abdul Karim Al ‘Aql, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedelapan,
tahun 1421 H.
Qawa’id Ma’rifatil Bida‘, Muhammad bin Husain Al Jizani, terbitan Dar
Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1430 H.
Tashih Ad Du’a’, Syaikh Bakr Abu Zaid, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan
pertama, tahun 1419 H.
3. Ketiga: Peringatan tahun baru hijriyyah
1) Hukum Memberi Ucapan Selamat Merayakan Tahun Baru Islam
Fatwa Mufti Saudi Arabia sahamatus syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh –
Hafizhahullah-
Pertanyaan :
Bolehkah memberi ucapan Selamat atau membuat perayaan tahun Baru?
Jawab:
Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah
perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi
yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul
peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang
demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam
hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.
Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada.
Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia
yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah
perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa
perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita
adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat
peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan
menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas
kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah
subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi
wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa
mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,
قل إن كنتم تحبون هللا فاتبعوني يعببكم هللا
“Katakanlah , “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”(Qs. Ali Imran:31)
Nuurrun ‘ala Ad-Darb (2/1/1427H)
2) Hukum Merayakan Tahun Baru Islam
Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun
Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam
yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram
sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at
Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih
Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan
tersebut. Beliau adalah seorang Ulama Besar ahli fiqih paling terkemuka pada
masa ini.
Pertanyaan :
Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan
Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah.
Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka
tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam
bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab
bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan
manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka
bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk
dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk
bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau.
Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan
amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع، أو الشهور،تخصيص األيام
ولهذا لما قدم النبي صلى هللا عليه وعلى آله وسلم،وليس إلى العادة
المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما
فقال، كنا نلعب فيهما في الجاهلية: «ما هذان اليومان»؟ قالوا:فقال
«إن هللا قد أبدلكم بهما:رسول هللا صلى هللا عليه وعلى آله وسلم
، يوم األضحى:خيراً منهما