Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
ini sesuai dengan waktu yang di telah tetapkan.
Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
atas jasanya yang telah membawa kita ke zaman yang terang benderang seperti saat
ini dan menerangi hati nurani kita, menjadi cahaya bagi segala perbuatan mulia. Dan
Insya Allah kita semua termasuk umat Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr.Taufiq Ramdani,S.Th.I M.Sos
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah
membimbing kami dengan tegas dan penuh kedisplinan.
Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat serta dapat menginspirasi para
pembaca.kritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan tugas ini.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR PUSTAKA 32
iii
BAB I. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap
yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh
manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di
dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah.
Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung,
pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:
Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.
1
َ مْس َو ْال َق َم َر لَ َي ُقولُنَّ هَّللا ُ َفأ َ َّنى ي ُْؤ َف ُك
ون َ ْت َواأْل َر
َ ض َو َس َّخ َر ال َّش ِ َولَئِنْ َسأ َ ْل َت ُه ْم َمنْ َخلَقَ ال َّس َم َوا
Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.
Dikalangan umat Islam terdapat egativ dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah
yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat
Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup
menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah
oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah).
Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat
Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu
Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya
digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.
2
Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok
orang Muhajirin yang egativ dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali),
dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah
yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan
gerakannya.
Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa
khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi egative dari kalangan warga Abdul
Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi
Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus
dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan
Muawiyah bin Abi Sufyan.
Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di
kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap
setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung
dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan
kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah
menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok
Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.
3
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak
segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan
kelompok lainnya. Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik
pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir
karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak
bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum
berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya,
berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44
Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.
Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak
Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan
mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain
tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya
mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk
ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan
mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.
4
Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang
dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama
Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan
bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina
pengajian tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya
bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih
hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir.
Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang
baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-
kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia
dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi
rasional dengan sebutan Qadariah.
5
Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak
mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja
menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia
menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah
inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai
landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji
secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu
yang tidak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut
dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.Suatu
percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu
dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap
salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada
pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu
pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya
penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan
hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi.
6
Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa
kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu
banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung.
Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata
seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada
seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”.
Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut
secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan
tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab
yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib”
dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik
agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada
yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup
“penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas
pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang
penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan
telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang
lain.
7
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya
tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: <<Percaya adanya
makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar.
Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan.
Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu
bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan
sendirinya tanpa pencipta?
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori
pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin
bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari
keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin,
yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi
panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang
ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus
berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa
alam bukan bersifat azali.
8
Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai
dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu
pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari
bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap
edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak
93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil
per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun
sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi,
yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-
sama dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan
600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya”
kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy
tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita,
beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000
tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi
yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan
sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan
maha besar yang membuat dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut,
kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.
9
BAB II SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
Dalam Al-Qur’anKata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit
dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan
manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui
penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data
pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan
teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan
alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif
ekonomis(Baiquni, 1995: 58-60).Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan
untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an
bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu
secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena
beberapa isu penting di seputar epistemologi sains dan teknologi modern patut
dipertimbangkan.Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai
menjadi perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan
10
bukunya The Decline of the Westsetelah Perang Dunia I. Argumen bahwa sains itu
netral –bahwa sains bisa digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa
pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan bom
nuklir dan juga bisa menyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa
dipergunakan untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa dipergunakan
untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika)–semua tampak amat meyakinkan.
Tetapi, benarkahsains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? Padahal, sejak
masa renaissance(masa kelahiran sains modern) tujuan sains adalah untuk diterapkan
dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan
untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia sendiri, apapun akibat yang
ditimbulkannya.
Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu pola
di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific
method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada pola pikir
manusia di hampir semua bidang kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas
realitas-realitas –baikrealitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan –diukur
berdasarkan kesadaran obyektif di mana eksperimen, pengalaman empiris, dan
abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya.
11
Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwanIndia) yang ingin
memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains telah memungkinkan
manusia untuk memandang setiap persoalan secara obyektif dan membebaskan
manusia dari ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan
manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita sudah
semakin sempit. Yang nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk
agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.
12
Berpijak pada ajaran Tauhid –di mana Allah adalah Pencipta alam semesta, segala
sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya –seyogyanya setiap langkah yang
diambil ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya.
13
Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu
pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-
Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah Allah
SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam
pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang secara tegas
maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sains merupakan dua sisi
yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama
merupakan dua hal yang terintegrasi.
Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas
supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-
prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran,(istikhlaf, keseimbangan,
taskhir,dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam
mempelajari subyek apapun.Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembaga-
lembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi, masih
menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan.
Ada beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini,
yaitu: 1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada
munculnya split personalitydalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem
pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada out putpendidikan yangjauh dari
cita-cita pendidikan Islam. Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu
dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan
sekelompok ahli pendidikan atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan
tesebut. Ada tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu: 1)
integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran,
14
3) integrasi ilmu (Islamisasi ilmu). Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilai-
nilai ilahiyah dalam keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar
kompetensi sampai dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang
dimaksud adalah menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang
sainskepada peserta didik di saat proses pembelajran berlangsung.
15
Akibatnya, karena kata ulama (yang memiliki akar kata yang sama dengan
ilmu) dipersepsi sebatas orang yang berilmu di bidang pengetahuan agama,tidak
mengherankan apabila tokoh-tokoh sains Muslim tidak dikenali sebagaimana tokoh-
tokoh ulama (agama).Demikian pula dengan terminologi amal shalih dan ihsan amat
perlu diterjemahkan dalam konteks yang meliputi karya sains dan teknologi, bukan
kebajikan dalam arti sempit. Umpamanya, seseorang yang mencipta teori baru di
bidang sains dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan harus
dihargai sebagai orang yang berbuat shalih
.Pengembangan pemahaman umat Islam terhadap agamanya itu mudah-
mudahan dapat memotivasi untuk menekuni sains dan teknologi dengan landasan
nilai-nilai al-Qur’an.
16
BAB III. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
ُصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َث ُل أُ َّمتِي َم َث ُل ْال َم َط ِر اَل ي ُْد َرى أَوَّ لُ ُه َخ ْي ٌر أَ ْم آ ِخ ُره ٍ َعنْ أَ َن
َ ِ س َقا َل َقا َل َرسُو ُل هَّللا
Riwayat dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan umatku
seperti perumpamaan hujan, tidak diketahui apakah yang terbaik itu ada pada
permulaan atau pada akhirnya.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)
ِيه ْم
ِ تفُ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل َخ ْي ُر َه ِذ ِه اأْل ُ َّم ِة ْال َقرْ نُ الَّذِي ُبع ِْث
َ ِ ْن أَنَّ َرسُو َل هَّللا
ٍ ُصي
َ ْن ح َ َعنْ عِ ْم َر
ِ ان ب
Riwayat dari Imran Ibn Hushain bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik umat
ini adalah generasi yang aku di utus pada mereka.” (H.R. Ahmad)
Riwayat dari Abdullah r.a. dari Nabi SAW, bersabda: “ sebaik-baik manusia adalah
orang-orang yang hidup pada zaman ku (generasiku), kemudia orang-orang setelah
mereka ,kemudia orang-orang setelah mereka. (H.R Bukhari Muslim)
17
Dimana hal tersebut tidak didapati oleh generasi setelahnya. Namun Nabi SAW juga
tidak mengabaikan bahwa diakhir zaman nanti ada generasi yang memiliki kontribusi
yang sebanding dengan kontribusi yang dilakukan para sahabat Nabi.
Yang terbaik di sisi-Nya adalah dia yang paling bertakwa.Dan orang-orang yang
bertakwa, tidak hanya ada di masa Nabi dan akhir zaman. Namun juga ada di masa
setelahnya, pun di masa kita.
Namun ,ada pula orang-orang di masa Nabi yang dinilai munafiq dan banyak
melakukan kesalahan,seperti saling membunuh,mabuk-mabukan dan berzina. Begitu
pula di akhir zaman.
18
Di gambarkan banyak umat manusia yang terkecoh kehidupan dunia yang megah
sehingga mengabaikan nilai-nilai agama.Berdasarkan hal ini, selayaknya generasi
terbaik itu harus ditinjau dari segi individunya. Oleh karena itu, maka setiap generasi
bisa mendapatkan predikat generasi terbaik, termasuk kita hari ini.
Misalnya di abad ke-2, ada beberapa Imam Mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik
Ibn Anas dan al-Syafi’i, atau di abad ke-3 H, lahir beberapa pakar hadis, seperti
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad dan lainnya. Mereka semua layak disebut
sebagai generasi terbaik.Bahkan, apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di
Uigur, India, Afrika dan lainnya yang sedang mengalami penindasan dan penderitaan,
namun tetap berpegang teguh dengan agama Islam, mereka juga layak disebut
sebagai generasi terbaik.Oleh karena itu, tak mengherankan jika Muhammad Syahrur
dalam karyanya al-Sunnah al-Rasuliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah mengatakan,
“Andaikan kita terus menerus merasa rendah dan selalu beranggapan bahwa yang
terbaik hanya ada di masa Nabi (para sahabat),maka hal itu akan membuat kita
berhenti untuk berpikir, takut untuk berijtihad, dan lebih memilih menyerahkan dan
mengait-ngaitkan problematika hari ini kepada mereka, padahal mereka sendiri tidak
merasakan apa yang tengah kita rasakan.”
Dari sini, semoga kita termotivasi untuk berlomba-lomba menjadi sosok terbaik dan
menghiasi figur generasi terbaik pada masa kini.
19
BAB IV. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)
Definisi Salaf ( ُ )ال َّسلَفMenurut bahasa (etimologi), Salaf ( ُ ) اَل َّسلَفartinya yang
terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti para
pendahulu. Jika dikatakan ( ) َسلَفُ الرَّ ج ُِلsalaf seseorang, maksudnya kedua orang tua
yang telah mendahuluinya. Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi
pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)
pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
: اس َقرْ نِيْ ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم
ِ خ ْي ُر ال َّن.
َ
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian
yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini
yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…”Syaikh
Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas
Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi
waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.).
Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai
‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi
meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa
pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi
meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
20
Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan
berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena
dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami
oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah,
beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap
Muslim.
Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: Mereka
yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena
kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. As-Sunnah menurut bahasa
(etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Sedangkan menurut
ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad
(keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib
diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.
21
Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-
Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”Disebut al-
Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam
urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang
kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa
yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.
Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu
yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa
melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah
mereka.” Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:
ِ هللا الَ َيضُرُّ ُه ْم َمنْ َخ َذلَ ُه ْم َوالَ َمنْ َخالَ َف ُه ْم َح َّتى َيأْ ِت َي ُه ْم أَ ْم ُر
َ ِهللا َو ُه ْم َعلَى َذل
ك ِ الَ َت َزا ُل مِنْ أ ُ َّمتِيْ أُم ٌَّة َقا ِئ َم ٌة ِبأَمْ ِر.
22
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah
Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan
orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap
di atas yang demikian itu.” Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
ُ َف،ً َو َس َيع ُْو ُد َك َما َب َدأَ غَ ريْبا،ً َبدَ أَ ْاإلسْ الَ ُم َغريْبا.
ط ْو َبى ل ِْل ُغ َر َبا ِء ِ ِ ِ
“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka
beruntunglah bagi al-Ghurabaa’ (orang-orang asing).”
اس س ُْو ٍء َك ِثي ٍْر َمنْ َيعْ صِ ي ِْه ْم أَ ْك َث ُر ِممَّنْ يُطِ ْي ُع ُه ْم ُ َ ٌأ ُ َناس. “
ِ صالِح ُْو َن فِيْ أ َن
Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek,
orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan: …الَّ ِذي َْن يُصْ لِح ُْو َن َما أَ ْف َسدَ ال َّناسُ مِنْ َبعْ دِي مِنْ ُس َّنتِي.
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.” Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah
dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus
Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu
hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan
tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan
dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul
Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari,
23
Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, ]21[رحمهم هللا. Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H)
rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku
melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan
Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga
pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada
kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah
Azza wa Jalla:
“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang
hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka
dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab
disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran: 106] “Adapun orang yang putih wajahnya
mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya
mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.” Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh
kebanyakan ulama Salaf رحمهم هللا,
di antaranya:
1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku
dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah
satu anggota tubuhku.”
24
2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan
kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka
adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [28] (wafat th. 187 H) berkata: “…Berkata
Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”
4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata
dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan : “…Maka sesungguhnya apabila engkau
bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman,
bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau
berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang
demikian…”
5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata
dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar
dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat
Radhiyallahu anhumg hingga pada masa sekarang ini…”
25
Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul
Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah
agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka
dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya. Dan ini juga sebagai
bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali
dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-
4 Hijriyyah.
26
BAB V. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM
a. Berbagi
islam menganjurkan kita untuk selalu berbagi.Salah satu pahala berbagi adalah
dibuat gembira oleh Allah SWT pada hari kiamat. Nabi SAW berpesan, “Barangsiapa
yang menjumpai saudaranya yang Muslim dengan (memberi) sesuatu yang disukainya
agar dia gembira, maka Allah akan membuatnya gembira pada hari kiamat.” (HR.
Thabrani). Gembira pada hari kiamat adalah dambaan setiap orang.
Selain itu, berbagi juga akan mendapat pahala besar. Allah SWT tegaskan,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan yang menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar.” (QS. al-Hadid/57: 7).
Dalam pandangan pengarang Tafsir Jalalain, salah seorang sahabat Nabi SAW
yang akan mendapatkan pahala yang besar itu adalah Utsman bin Affan. Dalam
sejarah beliau dikenang sebagai seorang pengusaha yang kaya raya namun hidup
zuhud. Beliaulah yang membeli Sumur Rum milik orang Yahudi di Madinah pada saat
kaum Muslim mengalami kesulitan air.
Di dalam hadits Nabi SAW disebutkan bahwa orang yang berbagi akan didoakan
oleh malaikat, “Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya
kecuali akan turun (datang) dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berdoa, ‘Ya
Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya.” Doa malaikat
tidak ditolak oleh Allah SWT.
Namun sebaliknya orang yang tidak mau berbagi akan disumpah-serapahi oleh
malaikat, seperti Nabi SAW beritahu dalam lanjutan hadits ini, “Sedangkan yang
satunya lagi berdoa, ‘Ya Allah berikanlah kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang
menahan hartanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan menahan
harta di sini adalah bakhil.
27
Tentang materi yang dibagi kepada orang lain adalah yang paling dicintai. Allah
SWT berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran/3:
97).Terkait ayat ini, ada suatu cerita yang bersumber dari Anas. Ia berkata, “Abu
Thalhah adalah seorang sahabat Anshar yang terkaya di Madinah karena pohon
kurma yang dimilikinya.
Sedangkan harta yang paling disukainya adalah kebun Bairuha yang terletak di
dekat masjid. Rasulullah SAW sering masuk ke kebun itu dan minum air bersih yang
ada di dalamnya. Anas melanjutkan, “Ketika turun ayat, ‘Kamu sekali-sekali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai’, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak akan sampai
kepada kebajikan (yang sempurna) …’”Padahal harta yang paling aku cintai adalah
kebun Bairuha dan kebun itu (kini) adalah sedekah (dari aku) karena Allah. Aku
mengharap kebaikan dan pahala dari Allah. Maka dari itu pergunakanlah wahai
Rasulullah sesuai petunjuk Allah kepadamu. Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagus, itulah
harta (yang mendatangkan) untung.’
Nabi SAW bersabda lagi, ‘Bagus itulah harta (yang mendatangkan) untung. Aku
telah mendengar apa yang kamu katakan, dan aku berharap kamu membagikannya
kepada semua kerabatmu.’ Abu Thalhah berkata, ‘Ya Rasulullah, aku akan
melaksanakan petunjukmu’. Lalu Abu Thalhah membagi kebun itu kepada kerabat dan
anak pamannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ajaran Islam untuk berbagi ini tercantum dalam QS Ali Imran ayat 92.
Artinya:
"Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah
Maha Mengetahui."
28
b. keadilan Penegakan Hukum
Belum lagi kaidah hukum dalam hal perundang-undangan yang simpang siur
penerapannya (kasus Prita). Agar suatu kaidah hukum berfungsi maka bila kaidah itu
berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah
mati (dode regel), kalau secara sosiologis (teori kekuasaan), maka kaidah tersebut
menjadi aturan pemaksa (dwang maat regel).Jika berlaku secara filosofi,maka
kemungkinannya hanya hukum yang dicita-citakan yaitu ius constituendum.Kaidah
hukum atau peraturan itu sendiri, apakah cukup sistematis, cukup sinkron, secara
kualitatif dan kuantitatif apakah sudah cukup mengatur bidang kehidupan tertentu.
Dalam hal penegakan hukum mungkin sekali para petugas itu menghadapi
masalah seperti sejauh mana dia terikat oleh peraturan yang ada, sebatas mana
petugas diperkenankan memberi kebijaksanaanKemudian teladan macam apa yang
diberikan petugas kepada masyarakat. Selainselalu timbul masalah jika peraturannya
baik tetapi petugasnya malah kurang baik. Demikian pula jika peraturannya buruk,
makakualitas petugas baik.Fasilitas merupakan sarana dalam proses penegakan
hukum. Jika sarana tidak cukup memadai,maka penegakanhukum pun jauh dari
optimal. Mengenai warga negara atau warga masyarakat dalam hal ini tentang derajat
kepatuhan kepada peraturan. Indikator berfungsinya hukum adalah kepatuhan warga.
Jika derajat kepatuhan rendah, hal itu lebih disebabkan oleh keteladanan dari petugas
hukum.
29
Pengertian keadilan dapat ditinjau dari dua segi yakni keadilan hukum dan
keadilan sosial. Adapun keadilan mengandung asas kesamaan hukum artinya setiap
orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Dengan kata lain hukum harus
diterapkan secara adil. Keadilan hukum ternyata sangat erat kaitannya dengan
implementasi hukum ditengah masyarakat. Untuk mencapai penerapan dan
pelaksanaan hukum secara adil diperlukan kesadaran hukum bagi para penegak
hukum. Dengan demikian guna mencapai keadilan hukum itu,maka faktor manusia
sangat penting.
Keadilan hukum sangat didambakan dan diinginkan oleh siapa saja.Jika dalam
suatu negara ada yang cenderung bertindak tidak adil secara hukum, termasuk
hakim,maka pemerintah harus bertindak mencegahnya. Pemerintah harus
menegakkan keadilan hukum, bukan malah berlaku zalim terhadap rakyatnya.
Keadilan sosial terdapat dalam kehidupan masyarakat, terdapat saling tolong-
menolong sesamanya dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri saling ketergantungan
satu dengan yang lain dalam kehidupan sosial (interdependensi).Keadilan sosial itu
diwujudkan dalam bentuk upah yang seimbang, untuk mencegah diskriminasi ekonomi.
Keadilan sosial adalah persamaan kemanusiaan, suatu penyesuaian semua nilai, nilai-
nilai yang termasuk dalam pengertian keadilan. Kepemilikan atas harta seharusnya
idak bersifat mutlak. Perlu dilakukan pemerataan, distribusi kekayaananggota
masyarakat. Bagaimana pemilik harta seharusnya menggunakan hartanya.
Penimbunan atau konsentrasi kekayaan,sehingga tidak dimanfaatkan dalam sirkulasi
dan distribusi akan merugikan kepentingan umum. Sebaiknya harta kekayaan itu
digunakan sebaik mungkin dan memberikan manfaat bagi pemiliknya maupun bagi
masyarakat.
30
yang satu bergantung pada yang lain. Kita mahluk sosial harusberhadapan dengan
berbagai macam persoalan hidup, dari persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, berantara negara, berantar agama dan sebagainya, semuanya
problematika hidup duniawi yang bidangnya amat luas.
Tidak mungkin hukum dan keadilan dapat tegak berdiri keadilan dapat tegak
berdiri kokoh apabila konsep persamaan itu diabaikan. Implementasi keadilan hukum
dimasyarakat dewasa ini banyak ditemui sandungan yang menyolok atas pandangan
lebih terhadap orang yang punya kedudukan tinggi, yang punya kekayaan melimpah,
sehingga rakyat banyak telah menyimpan imej bertahun-tahun bahwa dinegeri ini
keadilan itu dapat dibeli.
c.Semua warga negara memiliki hak yang sama mendapatkan lapangan pekerjaan
31
DAFTAR PUSTAKA
2. Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001), h. 28-39.
3. Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.
4. Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah,
1981), h. 9-11.
6. Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h.
67-77.
10. Hutabarat, Ramly Hukum dan Demokrasi menurut M.Natsir, Biro Riset DDII
Jakarta, 1999.
12 https://bincangsyariah.com/kalam/siapa-generasi-islam-terbaik-itu/
13. https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-
jamaah.html
32