Anda di halaman 1dari 35

ULASAN TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama :Nanda Riztina Miryati


NIM :G1C020034
Fakultas&Parodi:FMIPA & KIMIA
Semester :1 (Ganjil)

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
ini sesuai dengan waktu yang di telah tetapkan.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
atas jasanya yang telah membawa kita ke zaman yang terang benderang seperti saat
ini dan menerangi hati nurani kita, menjadi cahaya bagi segala perbuatan mulia. Dan
Insya Allah  kita semua termasuk umat Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr.Taufiq Ramdani,S.Th.I M.Sos
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam yang telah
membimbing kami dengan tegas dan penuh kedisplinan.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat serta dapat menginspirasi para
pembaca.kritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan tugas ini.

Penyusun, Mataram 15 Oktober 2020

Nama :Nanda Riztina Miryati


NIM :G1C020034

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

I . Keistimewaan dan Kebenara Konsep Ketuhanan dalam Islam 1

II. Sains dan Teknologi dalam Al-Quran dan Al-Hadits 10

iii. Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits 17

IV. Pengertian Salaf Menurut Al-Hadits 20

v. Islam: Ajaran Tentang Berbagi Serta Keadilan Penegakan Hukum 27

DAFTAR PUSTAKA 32

iii
BAB I. KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap
yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh
manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di
dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah.
Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung,
pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti
dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ً ‫ُون هَّللا ِ أَ ْن‬


ِ ‫دَادا ُي ِحبُّو َن ُه ْم َكحُبِّ هَّللا‬ ِ ‫اس َمنْ َي َّتخ ُِذ مِنْ د‬
ِ ‫َوم َِن ال َّن‬

 Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep


tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-
ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu
Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar
15 tahun sebelum turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat
Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di
kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah,
kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan
tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi
Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan
konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep
ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka
yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan


dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

1
َ ‫مْس َو ْال َق َم َر لَ َي ُقولُنَّ هَّللا ُ َفأ َ َّنى ي ُْؤ َف ُك‬
‫ون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّش‬ ِ ‫َولَئِنْ َسأ َ ْل َت ُه ْم َمنْ َخلَقَ ال َّس َم َوا‬

 Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu


berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan
bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas
dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan
ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan
sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana


dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai
jawaban atas perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika
Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah
disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai
Uswah hasanah.

- Pemikiran Umat Islam

Dikalangan umat Islam terdapat egativ dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah
yang menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat
Islam pernah menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup
menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah
oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah).
Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat
Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu
Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya
digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

2
Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok
orang Muhajirin yang egativ dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali),
dan kelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode
kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah
yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan
gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik
menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa
khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi egative dari kalangan warga Abdul
Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah
terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi
Thalib.  Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus
dibalas dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan
Muawiyah bin Abi Sufyan.

Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan,


antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi
kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk
memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara
pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi)
tersudut.

Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di
kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap
setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung
dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok SYIAH, dan
kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat Islam terpecah
menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2) Kelompok
Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

3
Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak
segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan
kelompok lainnya. Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik
pihak Muawiyah maupun pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir
karena menentang pemerintah, sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak
bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum
berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungknya,
berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ ‫َو َمنْ َل ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َفأُولَ ِئ‬


َ ‫ك ُه ُم ْال َكافِر‬
‫ُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-
Quran), maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok


lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar
akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu
Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan
pendapat tentang orang  yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan
bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir.

Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak
Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan
mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain
tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya
mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk
ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan
mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

4
Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang
dimajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama
Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan
bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina
pengajian tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya
bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih
hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir.

Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang  yang sependapat


dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta
pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala
Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah
Wasil dan pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun
Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan


konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa
politik pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang
arus).Doktrin Muktazilah terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-
kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang
baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-
kewajiban lain. Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia
dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi
rasional dengan sebutan Qadariah.

5
Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak
mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja
menempatkan orang yang baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia
menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah
inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat Islam.

-. Pembuktian Wujud Tuhan

1. Metode Pembuktian Ilmiah

Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode


pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang
akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan
percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang
menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai
landasan ilmiah.

Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai
landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji
secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu
yang tidak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut
dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.Suatu
percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu
dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap
salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada
pada tingkat yang sama.

Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu
pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya
penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan
hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi.

6
Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa
kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu
banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung.
Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata
seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada
seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”.
Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut
secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan
tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab
yang tidak diketahui.

Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib”
dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik
agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada
yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup
“penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas
pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang
penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan
telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang
lain.

Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan


pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat
mengatakan:  Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang
berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang
disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada
hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi
justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat
diamati oleh para sarjana.

7
2. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan

Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang


pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang
telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal
percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu
dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.

Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya
tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: <<Percaya adanya
makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar.
Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan.
Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu
bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan
sendirinya tanpa pencipta?

3. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika

Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan


dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah
ditemukan “hukum kedua termodinamika”  (Second law of Thermodynamics),
pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.

Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori
pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin
bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari
keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin,
yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi
panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang
ada” dengan “energi yang tidak ada”.

Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di alam terus
berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa
alam bukan bersifat azali.

8
Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai
dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini. Oleh karena itu
pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.

4. Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi

Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari
bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap
edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak
93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil
per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun
sekali. Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi,
yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.

Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-
sama dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan
600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya”
kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy
tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita,
beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000
tahun cahaya.

Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi
yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan
sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik semuanya itu ada kekuatan
maha besar yang membuat dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut,
kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.

Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan


keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu
Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah
metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat
alam bagi kehidupan manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).

9
BAB II SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS

Dalam Al-Qur’anKata sains dan teknologi ibarat dua sisi mata uang yang sulit
dipisahkan satu sama lain. Sains, menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan
manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui
penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data
pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan
teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan
alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif
ekonomis(Baiquni, 1995: 58-60).Al-Qur’an, sebagai kalam Allah, diturunkan bukan
untuk tujuan-tujuan yang bersifat praktis. Oleh sebab itu, secara obyektif, al-Qur’an
bukanlah ensiklopedi sains dan teknologi apalagi al-Qur’an tidak menyatakan hal itu
secara gamblang. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai huda li al-nas, al-Qur’an
memberikan informasi stimulan mengenai fenomena

untuk memberikan penjelasan dan mengungkapkan keterkaitan itu.Ilmuwan-


ilmuwan Muslim klasik telah menghabiskan sebagian besar umurnya untuk
mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap fenomena alam dan akhirnya
mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti dan tidak dapat dipungkiri bahwa
sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan(makhluk) pasti ada yang
menciptakan.
Proses penciptaan yang berada pada tingkat sistem yang begitu rapih, teliti, serasi,
tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya terarah, pastilah bersumber dari
kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha Mengatur.Berdasarkan empat
prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan (sains dan teknologi)
merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia melakukannya
dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta mengarahkannya
kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang benar dan
memuaskan.

beberapa isu penting di seputar epistemologi sains dan teknologi modern patut
dipertimbangkan.Persoalan apakah sains dan teknologi itu netral ataukan sarat nilai
menjadi perhatian dan polemik di kalangan ilmuwan Barat sejak Spengler menerbitkan

10
bukunya The Decline of the Westsetelah Perang Dunia I. Argumen bahwa sains itu
netral –bahwa sains bisa digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk; bahwa
pengetahuan yang mendalam tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan bom
nuklir dan juga bisa menyembuhkan penyakit kanker; bahwa ilmu genetika bisa
dipergunakan untuk mengembangkan teknoogi pertanian dan juga bisa dipergunakan
untuk “menyaingi Tuhan” (ingat rekayasa genetika)–semua tampak amat meyakinkan.
Tetapi, benarkahsains dapat dipisahkan dari penerapannya (teknologi)? Padahal, sejak
masa renaissance(masa kelahiran sains modern) tujuan sains adalah untuk diterapkan
dengan menempatkan manusia sebagai penguasa alam dan memberinya kebebasan
untuk mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia sendiri, apapun akibat yang
ditimbulkannya.

Dampak-dampak fisis dari penerapansains ini tentunya sudah dirasakan dalam


realitas kehidupan dahulu dan saat ini. Dengan demikian, pada hakekatnya sains tidak
dapat dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, sehingga sains tidak netral.
Pernyataan ini, sudah barang tentu, mengundang pertanyaan: “sistem nilai siapa yang
mempengaruhi sains?”Berdasarkan penelitian Shaharir, (1992: 20) ada indikasi kuat
bahwa sains banyak dipengaruhi oleh sistem nilaiyang dianutkomunitas ahli sains yang
terkait, yang setengahnya tidak serasi dengan nilai Islam. Oleh sebab itu, nilai-nilai
yang menyertai sains modern harus diantisipasi secara cermat agar kita tidak
terperangkapdalam nilai-nilai yang tidak Islami itu.

Di sisi lain, sejak awal kemunculannya, sains telah mengembangkan suatu pola
di mana rasionalisme dan empirisme menjadi pilar utama metode keilmuan (scientific
method). Pola berpikir sains ini ternyata telah berpengaruh luas pada pola pikir
manusia di hampir semua bidang kehidupannya. Sehingga, penilaian manusia atas
realitas-realitas –baikrealitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan –diukur
berdasarkan kesadaran obyektif di mana eksperimen, pengalaman empiris, dan
abstraksi kuantitatif adalah cara-cara yang paling bisa dipercaya.

11
Akibatnya, seperti pengalaman AB Shah (1987) (ilmuwanIndia) yang ingin
memanfaatkan sains untuk memajukan masyarakat India, sains telah memungkinkan
manusia untuk memandang setiap persoalan secara obyektif dan membebaskan
manusia dari ikatan-ikatan takhayul. Akan tetapi, sayangnya, sains juga membebaskan
manusia dari agamanya. Tampaknya, menurut AB Shah, dunia pengalaman kita sudah
semakin sempit. Yang nyata adalah yang empiris, rasional. Selain itu, termasuk
agama, adalah mitos, obsesi dan khayalan.

Di samping itu, sains juga membawa nilai-nilai sekularisme. Sains memisahkan


secara jelas antara dunia material dengan spiritual, antara pengamat dengan yang
diamati, antara subyek dengan obyek, antara manusia dengan alam. Akibatnya,
karena sains hanya mengamati fakta dan aspek yang dapat diukur, sifat ruhaniah dari
alam dan benda-benda yang ada di dalamnya dihilangkan. Inilah yang disebut
sekularisme oleh Naquib al-Attas. (1991) Belum diketahui secara persis sejauh mana
dampak nilai-nilai yang menyertai perkembangan sains itu terhadapmasyarakat
Muslim. Akan tetapi, apa yang dikemukan di atas (bahkan mungkin lebih dari itu)
bukanlah rekaan dan mengada-ada.
Inilah ancaman serius bagi generasi sekarang dan generasi mendatang, yang
oleh Ziauddin Sardar (1987: 86) digambarkan sebagai imperialisme epistemologis.
Dalam ungkapannya:“Epistemologi peradaban Barat kini telah menjadi suatu cara
pemikiran dan pencarian yang dominan dengan mengesampingkan cara-cara
pengetahuan alternatif lainnya. Jadi, semua masyarakat Muslim, dan bahkan
sesungguhnya seluruh planet ini,dibentuk dengan citra manusia Barat.”Perangkap
epistemoogi peradaban (termasuk di dalamnya sains dan teknologi) Barat demikian
kuatnya yang, tampaknya, tidak memungkinkan bagi siapapun untukmenghindar
darinya.
Bagi umat Muslim, sungguhpun belum mampu menciptakan epistemologi
alternatif sebagai tandingan, dalam kapasitas kemampuan masing-masing umat harus
kembali kepada al-Qur’anseraya mencermati pesan-pesan ilahiyah yang terkandung
dalam fenomena alam semesta.Harus diyakini sepenuhnya bahwa semua yang
diciptakan oleh Allah memiliki kerangka tujuan ilahiyah.

12
Berpijak pada ajaran Tauhid –di mana Allah adalah Pencipta alam semesta, segala
sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya –seyogyanya setiap langkah yang
diambil ditujukan untuk memperoleh keridlaan-Nya dan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya.

Penyelidikan untuk menyingkap rahasia alam semesta tanpa terkecuali terkait


dengan kerangka tujuan ini.Al-Qur’an tidak menghendaki penyelidikan terhadap alam
semesta hanya untuk pemuasan keinginan (science for science), seperti yang berlaku
di Barat. Menurut al-Qur’an, sains hanyalah alat untuk mencapai tujuan akhir.
Pemahaman seseorang terhadap alam harus mampu membawa kesadarannya
kepada Allah Yang Maha Sempurna dan Maha Tak Terbatas. Dalam perspektif inilah
al-Qur’an menampakkan dimensi spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim a.s.di dalam surat
al-An’am: 76-79.

Keyakinan Tauhid yang kokoh akan membuka cakrawala peneliti kepada


pandangan alam yang lebih komprehensif. Ia tidak lagi melihat alam secara parsial dan
sebagai bagian yang terpisah dari dirinya, melainkan kesalinghubungan dalam
kesatuan di balik keragaman. Inilah yang diisyaratkan al-Qur’an bahwa setiap benda
yang diciptakan oleh Allah berada dalam satu kerangka tujuan, sehingga benda
terkecilpun memiliki nilai.Ajaran Tauhid juga dapat membimbing manusia kepada
kesadaran adanya realitas supranatural di luar realitas eksternal yang dapat diindera.
Oleh sebab itu, ada banyak hal yang tidak bisa diraih lewat indera dan dengan
demikian tumbuh suatu kesadaran bahwa pada hakekatnya pengetahuan manusia itu
sangat terbatas.

hubungan antara sains dan agama itu dinyatakan sebagai hubungan


terintegrasi. Integrasi ini bisa digambarkan dalam dua bentuk yakni teologi natural
(natural theology)yangmemandang bahwa temuan-temuan ilmiah itu merupakan
sarana mencapai Tuhan, danteologi alam (theology of nature)yang menganggap
bahwa pertemuandengan Tuhan harus senantiasa di-up gradesesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan(Barbour, 2005).

13
Sejak pertama kali diturunkan, al-Quran telah mengisyaratkan pentingnya ilmu
pengetahuan dan menjadikan proses pencariannya sebagai ibadah. Di samping itu, al-
Quran juga menegaskan bahwa satu-satunya sumber ilmu pengetahuan adalah Allah
SWT. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi ilmu dalam
pandangan al-Quran. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Quran, yang secara tegas
maupun samar, yang memberi petunjuk bahwa agama dan sains merupakan dua sisi
yang berbeda. Dengan demikian, dalam pandangan al-Quran, sains dan agama
merupakan dua hal yang terintegrasi.

Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses mengamati, menemukan,


memahami, dan menghayati sunnatullah, yang berupa fenomena alamiah maupun
sosial, kemudian mengaplikasikan pemahaman tersebut bagi kemaslahatan hidup
manusia dan lingkungannya serta menjadikan kesadaran adanya Allah dengan sifat-
sifat-Nya Yang Maha Sempurna sebagai tujuan hakiki dari kegiatan pembelajaran.

Tujuan ini akan membimbing peserta belajar kepada kesadaran adanya realitas
supranatural di luar realitas eksternal yang dapat ia indera Oleh sebab itu, prinsip-
prinsip dasar kegiatan ilmiah yang digariskan al-Quran,(istikhlaf, keseimbangan,
taskhir,dan keterkaitan antara makhluk dengan Khalik) harus dijadikan titik tolak dalam
mempelajari subyek apapun.Pada tataran praktis, proses pembelajaran di lembaga-
lembaga pendidikan formal, dari jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi, masih
menghadapi perosalan serius yang bermuara pada dikotomi pandidikan.

Ada beberapa persoalan yang signifikansi dampak dari dikotomi pendidikan ini,
yaitu: 1) munculnya ambivalensi orientasi pendidikan yang berdampak pada
munculnya split personalitydalam diri peserta didik; 2) kesenjangan antara sistem
pendidikan dengan ajaran Islam berimplikasi pada out putpendidikan yangjauh dari
cita-cita pendidikan Islam. Untuk meretas persoalan dikotomi tersebut, maka perlu
dilakukan upaya integrasi dalam pendidikan, sebagaimana yang telah di lakukan
sekelompok ahli pendidikan atau cendekiawan Muslim yang peduli pada persoalan
tesebut. Ada tiga tahapan upaya kerja integrasi yang telah di kembangkan yaitu: 1)
integrasi kurikulum, 2) integrasi pembelajaran,

14
3) integrasi ilmu (Islamisasi ilmu). Integrasi kurikulum mencakup pengintegrasian nilai-
nilai ilahiyah dalam keseluruhan materi pelajaran, mulai dari perumusan standar
kompetensi sampai dengan evaluasi pembelajaran. Integrasi pembelajaran yang
dimaksud adalah menanamkan motivasi dan pandangan al-Quran tentang
sainskepada peserta didik di saat proses pembelajran berlangsung.

Dua langkah awal (integrasi kurikulum dan integrasi pembelajaran) merupakan


langkah strategis ke arah integrasi ilmu.Kalaupun upaya integrasi di atas belum bisa
dilakukan, setidaknya, pembelajaran sains(kealamanmaupun sosial) harus mampu
menghantarkan peserta didik kepada kesadaran yang permanen tentang keberadaan
Allah.

Sementara pembelajaran agama harus mampu memotivasi peserta didik untuk


melakukan kegiatan ilmiah secara terus-menerus. Inilah yang sesungguhnya yang
menjadi inti pandangan al-Quran tentang sains.F.PenutupIslam pernah menjadi ahli
dan penemu di berbagai bidang sains dan teknologi pada masa klasik, namun
sekarang kemajuan sains dan teknologi dalam berapa dasawarsa abad XX telah
menempatkan negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim dalam posisi
pinggiran. Langkah awal yang harus ditempuh adalah membongkar kembali
pemahaman umat Islam terhadap agama yang dianutnya. Misalnya, beberapa
terminologi keagamaan seperti jihad, ilmu, taqwa, amal shalih, dan ihsan perlu
ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar terminologi ibadah dalam arti
sempit.

Terminologi jihad yang sementara ini dipahami dalam konteks ‘perang’


melawan orang kafir dengan harapan pahala dan mati syahid, harus diperluas dalam
konteks jihad menuntut ilmu.Persepsi umat Islam tentang ilmu dan persepsi-persepsi
lain yang terkait dengan ilmu, seperti sekolah agama dan ulama, harus diluruskan.
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu agama (ilmu naqli) dan ilmu non agama (ilmu aqli).
Persepsi yang membuat dikotomi itu telah menjauhkan umat Islam dari kemajuan sains
dan teknologi. Sains yang maknanya adalah ilmu dianggap begitu asing dalam
pemikiran sebagian besar umat Islam masa kini.

15
Akibatnya, karena kata ulama (yang memiliki akar kata yang sama dengan
ilmu) dipersepsi sebatas orang yang berilmu di bidang pengetahuan agama,tidak
mengherankan apabila tokoh-tokoh sains Muslim tidak dikenali sebagaimana tokoh-
tokoh ulama (agama).Demikian pula dengan terminologi amal shalih dan ihsan amat
perlu diterjemahkan dalam konteks yang meliputi karya sains dan teknologi, bukan
kebajikan dalam arti sempit. Umpamanya, seseorang yang mencipta teori baru di
bidang sains dan teknologi yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan harus
dihargai sebagai orang yang berbuat shalih
.Pengembangan pemahaman umat Islam terhadap agamanya itu mudah-
mudahan dapat memotivasi untuk menekuni sains dan teknologi dengan landasan
nilai-nilai al-Qur’an.

16
BAB III. GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS

Begitu terlintas ungkapan “generasi terbaik”, tentunya mengherankan kita


semua, apakah benar ada dalam perjalanan sejarah umat manusia suatu generasi
yang mempunyai beragam kesempurnaan dalam pencapaiannya, sehingga mampu
membangun opini sebagai generasi terbaik.Seandainya generasi terbaik itu ada, tentu
ini merupakan hal sangat menakjubkan, karena pada dasarnya, sosok yang memiliki
nilai lebih dengan segala kesempurnaannya ditujukan hanya kepada para
Nabi.Namun, ada ungkapan yang mengindikasikan infomasi mengenai generasi Islam
terbaik itu, sebagaimana tercermin dalam 3 hadis berikut,

ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َث ُل أُ َّمتِي َم َث ُل ْال َم َط ِر اَل ي ُْد َرى أَوَّ لُ ُه َخ ْي ٌر أَ ْم آ ِخ ُره‬ ٍ ‫َعنْ أَ َن‬
َ ِ ‫س َقا َل َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬

Riwayat dari Anas r.a., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan umatku
seperti perumpamaan hujan, tidak diketahui apakah yang terbaik itu ada pada
permulaan atau pada akhirnya.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

‫ِيه ْم‬
ِ ‫تف‬ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل َخ ْي ُر َه ِذ ِه اأْل ُ َّم ِة ْال َقرْ نُ الَّذِي ُبع ِْث‬
َ ِ ‫ْن أَنَّ َرسُو َل هَّللا‬
ٍ ‫ُصي‬
َ ‫ْن ح‬ َ ‫َعنْ عِ ْم َر‬
ِ ‫ان ب‬

Riwayat dari Imran Ibn Hushain bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik umat
ini adalah generasi yang aku di utus pada mereka.” (H.R. Ahmad)

َ ‫ِين َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬


‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬ َ ‫اس َقرْ نِي ُث َّم الَّذ‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل َخ ْي ُر ال َّن‬
َ ِّ‫َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه َعنْ ال َّن ِبي‬

Riwayat dari Abdullah r.a. dari Nabi SAW, bersabda: “ sebaik-baik manusia adalah
orang-orang yang hidup pada zaman ku (generasiku), kemudia orang-orang setelah
mereka ,kemudia orang-orang setelah mereka. (H.R Bukhari Muslim)

Ibnu Qutaibah dalam karyanya Ta’wil Mukhtalifal al-Hadis, memberikan


tanggapan terkait persoalan ini. Menurutnya , ketika Nabi menetapkan bahwa yang
terbaik adalah generasi pada masanya,itu mengindikasikan bahwa para sahabat
merupakan umat islam pertama yang didik langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Disamping mereka juga merasakan penderitaan bersama Nabi, berjihad,membantu
memelihara Al-Quran dan lainnya.

17
Dimana hal tersebut tidak didapati oleh generasi setelahnya. Namun Nabi SAW juga
tidak mengabaikan bahwa diakhir zaman nanti ada generasi yang memiliki kontribusi
yang sebanding dengan kontribusi yang dilakukan para sahabat Nabi.

Pandangan diatas kemudian dikembangkan oleh para pemikir islam, seperti


Muhammad Abduh, Syahrur,Abu Rayyah dan Harun Nasution. Menurut mereka
generasi terbaik tidak mesti dispesifikkan kepada generasi Nabi ( para sahabat) dan
umat islam akhir zaman. Seua generasi dapat menjadi generasi terbaik dengan
catatan mereka patuh dan taat kepada aturan-aturan islam.Allah swt. sudah
mengisyaratkan dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13,

‫هللا أَ ْت َقا ُك ْم‬


ِ َ‫إِنَّ أَ ْك َر َم ُك ْم عِ ْند‬

Yang terbaik di sisi-Nya adalah dia yang paling bertakwa.Dan orang-orang yang
bertakwa, tidak hanya ada di masa Nabi dan akhir zaman. Namun juga ada di masa
setelahnya, pun di masa kita.

Nadirsyah Hosen dalam Website pribadinya, nadirhosen.net mengatakan


bahwa potongan hadis-hadis yang membicarakan generasi terbaik (hadis kedua dan
ketiga) di atas, memiliki teks lengkap, yaitu “ keudian akan datang setelah masa kalian,
suatakaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi,dan ereka berkhianat
sehingga tidak bisa dipercaya, mereka memberi peringatan tanpa di minta memberikan
fatwa dan ciri dari mereka itu berbadan gemuk”

Menurut Nadir, keterangan ini memberikan kita pemahaman bahwa 3 generasi


awal dikatakan terbaik itu bukan seata-mata soal keimanan mereka, tetapi juga soal
penegakan hukum dan moral. Generasi selanjutnya menjadi redup sinarnya karena
mereka telah memainkan kesaksian,nazar,dan fatwa sehingga mereka bergelimang
harta duniawi yang dicirikan dengan tubuh mereka yang gemuk sebagai simbol
kemakmuran.

Namun ,ada pula orang-orang di masa Nabi yang dinilai munafiq dan banyak
melakukan kesalahan,seperti saling membunuh,mabuk-mabukan dan berzina. Begitu
pula di akhir zaman.

18
Di gambarkan banyak umat manusia yang terkecoh kehidupan dunia yang megah
sehingga mengabaikan nilai-nilai agama.Berdasarkan hal ini, selayaknya generasi
terbaik itu harus ditinjau dari segi individunya. Oleh karena itu, maka setiap generasi
bisa mendapatkan predikat generasi terbaik, termasuk kita hari ini.

Misalnya di abad ke-2, ada beberapa Imam Mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik
Ibn Anas dan al-Syafi’i, atau di abad ke-3 H, lahir beberapa pakar hadis, seperti
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad dan lainnya. Mereka semua layak disebut
sebagai generasi terbaik.Bahkan, apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di
Uigur, India, Afrika dan lainnya yang sedang mengalami penindasan dan penderitaan,
namun tetap berpegang teguh dengan agama Islam, mereka juga layak disebut
sebagai generasi terbaik.Oleh karena itu, tak mengherankan jika Muhammad Syahrur
dalam karyanya al-Sunnah al-Rasuliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah mengatakan,
“Andaikan kita terus menerus merasa rendah dan selalu beranggapan bahwa yang
terbaik hanya ada di masa Nabi (para sahabat),maka hal itu akan membuat kita
berhenti untuk berpikir, takut untuk berijtihad, dan lebih memilih menyerahkan dan
mengait-ngaitkan problematika hari ini kepada mereka, padahal mereka sendiri tidak
merasakan apa yang tengah kita rasakan.”

Dari sini, semoga kita termotivasi untuk berlomba-lomba menjadi sosok terbaik dan
menghiasi figur generasi terbaik pada masa kini.

19
BAB IV. PENGERTIAN SALAF (REFERENSI HADITS)

Definisi Salaf ( ُ‫ )ال َّسلَف‬Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( ُ‫ ) اَل َّسلَف‬artinya yang
terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti para
pendahulu. Jika dikatakan (‫ ) َسلَفُ الرَّ ج ُِل‬salaf seseorang, maksudnya kedua orang tua
yang telah mendahuluinya. Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi
pertama dan terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi/masa)
pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

: ‫اس َقرْ نِيْ ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم ُث َّم الَّ ِذي َْن َيلُ ْو َن ُه ْم‬
ِ ‫خ ْي ُر ال َّن‬.
َ

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian
yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).”

Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat ini
yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih mereka untuk menemani
Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan menegak-kan agama-Nya…”Syaikh
Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul Islamiyyah bainas
Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf tidak cukup dengan hanya dibatasi
waktu saja, bahkan harus sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut
pemahaman Salafush Shalih (tentang ‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.).
Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai
‘aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi
meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa
pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi
meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara bid’ah,


akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena menisbatkan diri
kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut
Tabi’in. Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka
mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in.

20
Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan
berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut Salafi, karena
dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau golongan seperti yang difahami
oleh sebagian orang, tetapi merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah,
beribadah, berhukum, berakhlak dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap
Muslim.

Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan


‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya perselisihan dan
perpecahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata:


“Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan
menisbatkan dirinya kepada Salaf,bahkan wajib menerima yang demikian itu karena
manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.”

Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: Mereka
yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena
kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. As-Sunnah menurut bahasa
(etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk. Sedangkan menurut
ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad
(keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib
diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795


H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh
kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya
yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah
As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak
menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek
tersebut.

21
Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-
Auza’i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”Disebut al-
Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam
urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang
kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa
yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari


ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti
dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran. Imam Abu
Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk
berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan
mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang
menyalahinya banyak.

Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu
yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa
melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah
mereka.” Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:

َ ْ‫اع ُة َما َوافَقَ ْال َح َّق َوإِنْ ُك ْنتَ َوح‬


‫دَك‬ َ ‫اَ ْل َج َم‬.

“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”


Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter
mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara
yang baru dan bid’ah dalam agama. Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’
(mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti
Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan
Ahlul Ittiba’.

Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah


(golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang
selamat), Ghurabaa’ (orang asing). Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:

ِ ‫هللا الَ َيضُرُّ ُه ْم َمنْ َخ َذلَ ُه ْم َوالَ َمنْ َخالَ َف ُه ْم َح َّتى َيأْ ِت َي ُه ْم أَ ْم ُر‬
َ ِ‫هللا َو ُه ْم َعلَى َذل‬
‫ك‬ ِ ‫الَ َت َزا ُل مِنْ أ ُ َّمتِيْ أُم ٌَّة َقا ِئ َم ٌة ِبأَمْ ِر‬.

22
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah
Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan
orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka tetap
di atas yang demikian itu.” Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

ُ ‫ َف‬،ً‫ َو َس َيع ُْو ُد َك َما َب َدأَ غَ ريْبا‬،ً‫ َبدَ أَ ْاإلسْ الَ ُم َغريْبا‬.
‫ط ْو َبى ل ِْل ُغ َر َبا ِء‬ ِ ِ ِ

“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka
beruntunglah bagi al-Ghurabaa’ (orang-orang asing).”

Sedangkan makna al-Ghurabaa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh


‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu ketika suatu hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari al-Ghurabaa’, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫اس س ُْو ٍء َك ِثي ٍْر َمنْ َيعْ صِ ي ِْه ْم أَ ْك َث ُر ِممَّنْ يُطِ ْي ُع ُه ْم‬ ُ َ ٌ‫أ ُ َناس‬. “
ِ ‫صالِح ُْو َن فِيْ أ َن‬

Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek,
orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang mentaati mereka.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-


Ghurabaa’:

ِ ‫اَلَّ ِذي َْن يُصْ لِح ُْو َن عِ ْندَ َف َسا ِد ال َّن‬.


‫اس‬
“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya
manusia.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan: …‫الَّ ِذي َْن يُصْ لِح ُْو َن َما أَ ْف َسدَ ال َّناسُ مِنْ َبعْ دِي مِنْ ُس َّنتِي‬.
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.” Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah
dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus
Sunnah, ath-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu
hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu merupakan
tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan
dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti: ‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul
Madini, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari,

23
Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, ]21[‫رحمهم هللا‬. Imam asy-Syafi’i (wafat th. 204 H)
rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku
melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan
Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga
pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”

Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan


mengenai Ahlus Sunnah “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul haqq,
sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu
adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang yang mengikuti manhaj
mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian ashhaabul hadits dan yang mengikuti
mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang
awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.”

- Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada
kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah
Azza wa Jalla:

َ ‫َّت وُ جُو ُه ُه ْم أَ َك َفرْ ُت ْم َبعْ َد إِي َما ِن ُك ْم َف ُذوقُوا ْال َع َذ‬


َ ‫اب ِب َما ُك ْن ُت ْم َت ْكفُر‬
‫ُون‬ َ ‫َي ْو َم َت ْبيَضُّ وُ جُوهٌ َو َتسْ َو ُّد وُ جُوهٌ ۚ َفأَمَّا الَّذ‬
ْ ‫ِين اسْ َود‬

“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang
hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka
dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab
disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran: 106] “Adapun orang yang putih wajahnya
mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya
mereka adalah Ahlul Bid’ah dan sesat.” Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh
kebanyakan ulama Salaf ‫رحمهم هللا‬,

di antaranya:

1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku
dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah
satu anggota tubuhku.”

24
2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan
kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka
adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [28] (wafat th. 187 H) berkata: “…Berkata
Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”

4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata
dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan : “…Maka sesungguhnya apabila engkau
bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman,
bertambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau
berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang
demikian…”

5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata
dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul ‘ilmi, ash-haabul atsar
dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, dari semenjak zaman para Sahabat
Radhiyallahu anhumg hingga pada masa sekarang ini…”

6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “…


Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan
melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama
dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat
bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup


th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur
(al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “…Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.” Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus
Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama
sesudahnya.

25
Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul
Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah
agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka
dengan Ahlul Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya. Dan ini juga sebagai
bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali
dipakai oleh golongan Asy’ariyyah, padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-
4 Hijriyyah.

Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah,


karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:

1. Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan Ahlus Sunnah


menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-
Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah, tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya.

2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam, sedangkan


ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana penjelasan Imam asy-
Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.

3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang sifat-sifat Allah,


mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi) mereka.

26
BAB V. ISLAM, AJARAN TENTANG BERBAGI SERTA KEADILAN PENEGAKAN
HUKUM

a. Berbagi

islam menganjurkan kita untuk selalu berbagi.Salah satu pahala berbagi adalah
dibuat gembira oleh Allah SWT pada hari kiamat. Nabi SAW berpesan, “Barangsiapa
yang menjumpai saudaranya yang Muslim dengan (memberi) sesuatu yang disukainya
agar dia gembira, maka Allah akan membuatnya gembira pada hari kiamat.” (HR.
Thabrani). Gembira pada hari kiamat adalah dambaan setiap orang.

Selain itu, berbagi juga akan mendapat pahala besar. Allah SWT tegaskan,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan yang menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar.” (QS. al-Hadid/57: 7).

Dalam pandangan pengarang Tafsir Jalalain, salah seorang sahabat Nabi SAW
yang akan mendapatkan pahala yang besar itu adalah Utsman bin Affan. Dalam
sejarah beliau dikenang sebagai seorang pengusaha yang kaya raya namun hidup
zuhud. Beliaulah yang membeli Sumur Rum milik orang Yahudi di Madinah pada saat
kaum Muslim mengalami kesulitan air.

Di dalam hadits Nabi SAW disebutkan bahwa orang yang berbagi akan didoakan
oleh malaikat, “Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba melewati paginya
kecuali akan turun (datang) dua malaikat kepadanya lalu salah satunya berdoa, ‘Ya
Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya.”  Doa malaikat
tidak ditolak oleh Allah SWT.

Namun sebaliknya orang yang tidak mau berbagi akan disumpah-serapahi oleh
malaikat, seperti Nabi SAW beritahu dalam lanjutan hadits ini, “Sedangkan yang
satunya lagi berdoa, ‘Ya Allah berikanlah kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang
menahan hartanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud dengan menahan
harta di sini adalah bakhil.

27
Tentang materi yang dibagi kepada orang lain adalah yang paling dicintai. Allah
SWT berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran/3:
97).Terkait ayat ini, ada suatu cerita yang bersumber dari Anas. Ia berkata, “Abu
Thalhah adalah seorang sahabat Anshar yang terkaya di Madinah karena pohon
kurma yang dimilikinya.

Sedangkan harta yang paling disukainya adalah kebun Bairuha yang terletak di
dekat masjid. Rasulullah SAW sering masuk ke kebun itu dan minum air bersih yang
ada di dalamnya. Anas melanjutkan, “Ketika turun ayat, ‘Kamu sekali-sekali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai’, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ‘Ya
Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak akan sampai
kepada kebajikan (yang sempurna) …’”Padahal harta yang paling aku cintai adalah
kebun Bairuha dan kebun itu (kini) adalah sedekah  (dari aku) karena Allah. Aku
mengharap  kebaikan dan pahala dari Allah. Maka dari itu pergunakanlah wahai
Rasulullah sesuai petunjuk Allah kepadamu. Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagus, itulah
harta (yang mendatangkan) untung.’

Nabi SAW bersabda lagi, ‘Bagus itulah harta (yang mendatangkan) untung. Aku
telah mendengar apa yang kamu katakan, dan aku berharap kamu membagikannya
kepada semua kerabatmu.’  Abu Thalhah berkata, ‘Ya Rasulullah, aku akan
melaksanakan petunjukmu’. Lalu Abu Thalhah membagi kebun itu kepada kerabat dan
anak pamannya.” (HR  Bukhari dan Muslim).

Ajaran Islam untuk berbagi ini tercantum dalam QS Ali Imran ayat 92.

۟ ُ‫ُّون ۚ َو َما ُتنفِق‬


‫وا مِن َشىْ ٍء َفإِنَّ ٱهَّلل َ ِبهِۦ َعلِي ٌم‬ ۟ ُ‫وا ْٱل ِبرَّ َح َّت ٰى ُتنفِق‬
َ ‫وا ِممَّا ُت ِحب‬ ۟ ُ‫لَن َت َنال‬

Artinya:
"Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah
Maha Mengetahui."
28
b. keadilan Penegakan Hukum

Penegakan HukumTerdapat beberapa faktor yang dapat mendukung tegaknya


hukum di suatu Negara antara lain: Kaidah hukum, Penegak hukum, Fasilitas dan
Kesadaran hukum warga Negara. Dalam pelaksanaannya masih tergantung pada
sistem politik Negara yang bersangkutan. Jika sistem politik Negara itu otoriter maka
sangat tergantung penguasa bagaimana kaidah hukum, penegak hukum dan fasilitas
yang ada. Adapun warga Negara ikut saja kehendak penguasa (lihat synopsis).Pada
sistem politik demokratis juga tidak semulus yang kita bayangkan. Meski warga Negara
berdaulat, jika sistem pemerintahannya masih berat pada eksekutif (Executive heavy)
dan birokrasi pemerintahan belum direformasi, birokratnya masih “kegemukan” dan
bermental mumpung,maka penegakanhukum masih mengalami kepincangan dan
kelambanan (kasus “hotel bintang” di Lapas).

Belum lagi kaidah hukum dalam hal perundang-undangan yang simpang siur
penerapannya (kasus Prita). Agar suatu kaidah hukum berfungsi maka bila kaidah itu
berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah
mati (dode regel), kalau secara sosiologis (teori kekuasaan), maka kaidah tersebut
menjadi aturan pemaksa (dwang maat regel).Jika berlaku secara filosofi,maka
kemungkinannya hanya hukum yang dicita-citakan yaitu ius constituendum.Kaidah
hukum atau peraturan itu sendiri, apakah cukup sistematis, cukup sinkron, secara
kualitatif dan kuantitatif apakah sudah cukup mengatur bidang kehidupan tertentu.

Dalam hal penegakan hukum mungkin sekali para petugas itu menghadapi
masalah seperti sejauh mana dia terikat oleh peraturan yang ada, sebatas mana
petugas diperkenankan memberi kebijaksanaanKemudian teladan macam apa yang
diberikan petugas kepada masyarakat. Selainselalu timbul masalah jika peraturannya
baik tetapi petugasnya malah kurang baik. Demikian pula jika peraturannya buruk,
makakualitas petugas baik.Fasilitas merupakan sarana dalam proses penegakan
hukum. Jika sarana tidak cukup memadai,maka penegakanhukum pun jauh dari
optimal. Mengenai warga negara atau warga masyarakat dalam hal ini tentang derajat
kepatuhan kepada peraturan. Indikator berfungsinya hukum adalah kepatuhan warga.
Jika derajat kepatuhan rendah, hal itu lebih disebabkan oleh keteladanan dari petugas
hukum.

29
Pengertian keadilan dapat ditinjau dari dua segi yakni keadilan hukum dan
keadilan sosial. Adapun keadilan mengandung asas kesamaan hukum artinya setiap
orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Dengan kata lain hukum harus
diterapkan secara adil. Keadilan hukum ternyata sangat erat kaitannya dengan
implementasi hukum ditengah masyarakat. Untuk mencapai penerapan dan
pelaksanaan hukum secara adil diperlukan kesadaran hukum bagi para penegak
hukum. Dengan demikian guna mencapai keadilan hukum itu,maka faktor manusia
sangat penting.

Keadilan hukum sangat didambakan dan diinginkan oleh siapa saja.Jika dalam
suatu negara ada yang cenderung bertindak tidak adil secara hukum, termasuk
hakim,maka pemerintah harus bertindak mencegahnya. Pemerintah harus
menegakkan keadilan hukum, bukan malah berlaku zalim terhadap rakyatnya.
Keadilan sosial terdapat dalam kehidupan masyarakat, terdapat saling tolong-
menolong sesamanya dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri saling ketergantungan
satu dengan yang lain dalam kehidupan sosial (interdependensi).Keadilan sosial itu
diwujudkan dalam bentuk upah yang seimbang, untuk mencegah diskriminasi ekonomi.
Keadilan sosial adalah persamaan kemanusiaan, suatu penyesuaian semua nilai, nilai-
nilai yang termasuk dalam pengertian keadilan. Kepemilikan atas harta seharusnya
idak bersifat mutlak. Perlu dilakukan pemerataan, distribusi kekayaananggota
masyarakat. Bagaimana pemilik harta seharusnya menggunakan hartanya.
Penimbunan atau konsentrasi kekayaan,sehingga tidak dimanfaatkan dalam sirkulasi
dan distribusi akan merugikan kepentingan umum. Sebaiknya harta kekayaan itu
digunakan sebaik mungkin dan memberikan manfaat bagi pemiliknya maupun bagi
masyarakat.

- Hukum dan Keadilan Dalam Islam

Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002) adalah suatu


penegasan, ada undang-undang yang disebut Sunnatullah yang nyata-nyata berlaku
dalam kehidupan manusia pada umumnya.Perikehidupan manusia hanya dapat
berkembang maju dalam berjama’ah (Society).Man is born as a social being. Hidup
perorangan dan hidup bermasyarakat berjalin,

30
yang satu bergantung pada yang lain. Kita mahluk sosial harusberhadapan dengan
berbagai macam persoalan hidup, dari persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, berantara negara, berantar agama dan sebagainya, semuanya
problematika hidup duniawi yang bidangnya amat luas.

Maka risalah Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah yang memberi


ketentuan-ketentuan pokok guna memecahkan persoalan-persoalan.Kestabilan Hidup
bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan lanjut M. NatsirTiap-tiap sesuatu yang
melukai rasa keadilan terhadap sebagian masyarakat,maka bisa merusak kestabilan
secara keseluruhan. Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan bangsa
diawali dengan kedaulatan hukum yang ditegakkan. Semua anggota masyarakat
berkedudukan sama dihadapan hukum.

Tidak mungkin hukum dan keadilan dapat tegak berdiri keadilan dapat tegak
berdiri kokoh apabila konsep persamaan itu diabaikan. Implementasi keadilan hukum
dimasyarakat dewasa ini banyak ditemui sandungan yang menyolok atas pandangan
lebih terhadap orang yang punya kedudukan tinggi, yang punya kekayaan melimpah,
sehingga rakyat banyak telah menyimpan imej bertahun-tahun bahwa dinegeri ini
keadilan itu dapat dibeli.

kesamaan itu dijabarkan Rachman di bukunya Political Science and


Government dalam Ramly Hutabarat di bukunya Hukum dan Demokrasi (1999) yaitu:

a.Manusia secara alamiah dilahirkan sama (Natural Equality)

b.Setiap masyarakat memiliki kesamaan hak sipil

c.Semua warga negara memiliki hak yang sama mendapatkan lapangan pekerjaan

d.Semua warga Negara sama kedudukannya dalam politik

QS.4:135.”Wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu orang yang tegak


menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapakmu atau kerabatmu”.

31
DAFTAR PUSTAKA

1.     Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari


Insan, 1989), h. 16-21, 54-56.

2.   Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001), h. 28-39.

3.     Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.

4.     Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah,
1981), h. 9-11.

5.    Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit


Pustaka, 1983), h. 39-101.

6.     Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h.
67-77.

7.        Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,


1996), h. 55-152.

8. , Andi PenegakanHukum Lingkungan, Sinar Grafika, 2005.Natsir,M


Demokrasi dibawah Hukum, Media Dakwah, Jakarta Cet.III 2002.

9. Natsir,M Demokrasi dibawah Hukum, Media Dakwah, Jakarta Cet.III 2002.

10. Hutabarat, Ramly Hukum dan Demokrasi menurut M.Natsir, Biro Riset DDII
Jakarta, 1999.

11. Soekamto, Soeryono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi PenegakanHukum,


Radja Gravindo Persada, Jakarta 1993

12 https://bincangsyariah.com/kalam/siapa-generasi-islam-terbaik-itu/

13. https://almanhaj.or.id/3428-definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-
jamaah.html

32

Anda mungkin juga menyukai