Anda di halaman 1dari 23

MENGANALISIS AQIDAH ISLAM dan

KEDUDUKANNYA dalam KERANGKA DASAR


AJARAN ISLAM

DISUSUN OLEH:

Nabilah Zatadini (18510134004)

Puspita Anggraeni (18510134032)

JURUSAN DIPLOMA 3 TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah AWT yang telah memberikan kemudahan bagi kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan dari Allah SWT maka kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti. Penulis
mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan karunia-Nya, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah Menganalisis Akidah Islam dan
Kedudukannya dalam Kehidupan Sehari-hari.

Penulis tentu saja menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan yang terdapat di dalamnya. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, supaya makalah ini menjadi
lebih baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam terbentuknya makalah ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kurang dan lebihnya mohon


dimaafkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 02 Oktober 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Depan ..................................................................................... i

Kata Pengantar ...................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................

A. Latar Belakang ................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan Makalah .............................................................................. 2
D. Manfaat Makalah ............................................................................ 2

Bab II: Pembahasan...............................................................................

A. Pengertian Akidah ........................................................................... 3


B. Pembagian Akidah .......................................................................... 3
C. Ruang Lingkup Akidah ................................................................... 6
D. Pelaksanaan Rukun Iman ................................................................ 6

BAB III PENUTUP...............................................................................

A. Kesimpulan ..................................................................................... 18
B. Saran................................................................................................ 19

Daftar pustaka ....................................................................................... 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Aqidah Islam berpangkal pada keyakinan “Tauhid” yaitu keyakinan
tentang wujud Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya,
baik dalam zat, sifat-sifat maupun perbuatannya. Akhlak mulia berawal dari
aqidah, jika aqidahnya sudah baik maka dengan sendirinya akhlak mulia akan
terbentuk. Iman yang teguh pasti tidak ada keraguan dalam hatinya dan tidak
tercampuri oleh kebimbangan.
Beriman kepada Allah pasti akan melaksanakan segala perintahnya dan
menjauhi larangannya. Beriman kepada Allah juga harus beriman kepada
Malaikat, Nabi, kitab, hari akhir, qada dan qadar Allah. Aqidah memiliki
peranan penting dalam mendidik siswa, ruang lingkup aqidah yang dapat
membentuk akhlak mulia akan mengantarkan manusia Indonesia sebagai
manusia yang mumpuni dalam segala aspek kehidupan.
Ruang lingkup dari aqidah yaitu: Ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan
sam’iyyat. Dari ruang lingkup aqidah yang dijadikan rujukankan terbentuknya
manusia berakhlakul karimah, berarti manusia dapat menghindari akhlak
tercela sebagai manifestasi dari ajaran-ajaran aqidah Islam.
Pembentukan perilaku keagamaan berawal dari keluarga dan perlu
dilakukan sejak dini, keluarga sebagai tempat belajar pertama anak. Antara
aqidah akhlak dan perilaku keagamaan akan berdampak pada berbagai
hal, tergantung pada ke arah mana aqidah akhlak itu mendasari aktifitas
seseorang.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kedudukan aqidah akhlak
sebagai landasan berbagai aktifitas seseorang, menentukan baik dan
buruknya. Oleh karena itu, pembentukan perilaku keagamaan yang baik
menjadi penting artinya, yang dilakukan mulai sejak usia dini hingga orang

1
dewasa. Sehingga antara sekolah dan keluarga harus dapat bekerja sama
dalam menjalankan pendidikan aqidah akhlak, agar tidak mengalami
kesulitan atau kendala dalam membentuk perilaku keagamaan anak.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis uraikan, maka dapat
dirumuskan permasalahan yaitu: bagaimana kedudukan Akidah Islam dalam
kerangka dasar Agama Islam?
C. Tujuan laporan
Berangkat dari rumusan masalah maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah mengetahui kedudukan akidah Islam dalam kerangka dasar
agama Islam.
D. Manfaat laporan
Dari makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan tentang kedudukan
Akidah Islam dalam kerangka dasar agama Islam.
2. Makalah ini dapat membuka wawasan pembaca tentang Akidah Islam.
3. Mengetahui fungsi akidah islam dalam kerangka dasar agama Islam.
4. Isi dari makalah ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Akidah
Akidah dalam istilah Islam yang berarti iman. Semua sistem kepercayaan atau
keyakinan bisa dianggap sebagai salah satu akidah. Pondasi akidah Islam
didasarkan pada hadits Jibril, yang memuat definisi Islam, rukun Islam, rukun
Iman, ihsan dan peristiwa hari akhir.
Dalam bahasa Arab akidah berasal dari kataal-‘aqdu yang berarti ikatan, at-
tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang
artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah yang berarti
mengikat dengan kuat.
Sedangkan menurut istilah dan terminologi, akidah adalah iman yang teguh dan
pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, Akidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada
Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepadaNya,
beriman kepada para malaikatNya, rasul-rasulNya,kitab-kitabNya, hari Akhir,
takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang
prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada
apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari salafush shalih, serta seluruh berita-
berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah
ditetapkan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ salaf as-
shalih.

B. Pembagian Akidah
Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan
umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman,
yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran
dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah

3
termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam
salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:
1. Tauhid Al-Uluhiyyah, (al-Fatihah ayat 4 dan an-Nas ayat 3) mengesakan
Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya
semata.
2. Tauhid Ar-Rububiyyah, (al-Fatihah ayat 2, dan an-Nas ayat 1) Allah dalam
perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang
mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
3. Tauhid Al-Asma’ was-Sifat, mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya,
artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah,
dalam dzat, asma maupun sifat.

Iman kepada qadar adalah termasuk tauhidar-rububiyah. Oleh karena itu Imam
Ahmad berkata: “Qadar adalah kekuasaan Allah”. Karena, tak syak
lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di
samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun
yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada
seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang
telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi
atau berdasarkan nash yang benar.

Tauhid itu ada tiga macam, tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid
Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud
dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah, maka hal ini sudah masuk ke dalam
kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah
pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam
Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah dan tidak boleh kita beribadah
melainkan hanya kepada Allah semata.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah


adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang

4
bersumber dari ajaran Islam yang wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai
sumber keyakinan yang mengikat.

Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab, yaitu [‫]خلق‬
jamaknya [‫ ]أخالق‬yang artinya tingkah laku, perangai tabi’at, watak, moral atau
budi pekerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat diartikan budi
pekerti, kelakuan. Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada
diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan.
Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka disebut
akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau akhlak mahmudah. Akan tetapi
apabila tindakan spontan itu berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut
akhlak tercela atau akhlakul madzmumah.

Dasar aqidah akhlak adalah ajaran Islam itu sendiri yang merupakan sumber-
sumber hukum dalam Islam yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. Al Qur’an dan Al
Hadits adalah pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria atau ukuran
baik buruknya suatu perbuatan manusia. Dasar aqidah akhlak yang pertama dan
utama adalah Al Qur’an dan. Ketika ditanya tentang aqidah akhlak Nabi
Muhammad SAW, Siti Aisyah berkata.” Dasar aqidah akhlak Nabi Muhammad
SAW adalah Al Qur’an.”

Islam mengajarkan agar umatnya melakukan perbuatan baik dan menjauhi


perbuatan buruk. Ukuran baik dan buruk tersebut dikatakan dalam Al Qur’an.
Karena Al Qur’an merupakan firman Allah, maka kebenarannya harus diyakini
oleh setiap muslim.

Dalam Surat Al-Maidah ayat 15-16 disebutkan yang artinya “Sesungguhnya


telah datang kepadamu rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-
Kitab yang kamu sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahayadari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah

5
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan izinNya, dan menunjuki meraka ke jalan yang lurus.”

Dasar aqidah akhlak yang kedua bagi seorang muslim adalah AlHadits atau
Sunnah Rasul. Untuk memahami Al Qur’an lebih terinci, umat Islam
diperintahkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW, karena perilaku
Rasulullah adalah contoh nyata yang dapat dilihat dan dimengerti oleh setiap umat
Islam (orang muslim).

C. Ruang Lingkup Akidah


Ruang lingkup akidah memiliki 4 pembahasan, yaitu:
1. Ilahiyat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan masalah ketuhanan
utamanya pembahasan tentang Allah.
2. Nubuwwat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan utusan-utusan Allah,
yaitu para nabi dan para rasul Allah.
3. Ruhaniyat, yaitu pembahasan yang berkenaan dengan makhluk gaib, seperti
Jin, Malaikat, dan Iblis.
4. Sam’iyyat, yaitu pembahasan yang bekenaan dengan alam ghaib, seperti alam
kubur, akhirat, surge, neraka, dan lain-lain.

D. Pelaksanaan Rukun Iman yang Enam dalam Kehidupan Sehari-hari


1. Pengertian Iman
Menurut bahasa adalah mempercayai atau membenarkan. Diambil dari
bahasa arab. Iman berasal dari kata aamana-yu’minu yang berarti tasdiq
mempercayai atau membenarkan. Dan menurut istilah Iman ialah
“Membenarkan dengan hati diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan
amal perbuatan.”
Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya
iman itu beliau menjawab demikian “Qaulun wa amalun wa niyyatun wa
sunnatun.” Artinya Ucapan yg disertai dengan perbuatan diiringi dengan
ketulusan niat dan dilandasi dengan Sunnah. Kata beliau selanjutnya “Sebab

6
iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalaha kufur apabila
hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat adalah nifaq sedang
apabila hanya ucapan perbuatan dan ketulusan niat tanpa dilandasi dengan
sunnah adalah bid’ah.
Menurut hasan hanafi para teolog muslim dalam membicarakan tentang
iman , ada empat istilah kunci yang biasanya dipakai yaitu:
 Marifah bi al-aql (dengan menggunakan akal)
 Amal (Pernuatan baik dan patuh)
 Iqrar (Pengakuan secara lisan)
 Tashdiq (Membenarkan dalam hati)

Iman jika hanya diucapkan oleh mulut saja dan belum dilakukan dengan
perbuatan belumlah dikatakan orang yang beriman ,sesuai dengan isi
kandungan alqur’an Qs al-baqarah ,2:8-9, yang artinya:

“Dan diantara manusia itu ada yang mengatakan dirinya beriman ‘’kami
beriman lepada Allah dan pada hari akhirat ‘’sedang yang sebenarnya mereka
bukanlah orang-orang yang beriman, tetapi mereka menipu diri mereka
sendiri dan mereka tidak sadar”.

Iman dalam arti hanya perbuatannya saja yang beriman, tetapi ucapan
dan hatinyatidak beriman., dapat dilihat dari QS. An- Nisa, 4: 142. Artinya :

“Sesungguhnya orang-orang munafik (beriman palsu) itu hendak menipu


mereka.Apabila mereka berdiri mengerjakan sembahyang, mereka berdiri
dengam malas , mereka ria (mengambil muka) kepada manusia dan tiada
mengingat Allah melainkan sedikit sekali”

Iman dalam arti yang ketiga adalah Tashdiqun Bi Al-Qalb Wa Amalun


Bi Al-Jawatih, artinya keadaan dimana pengakuan dengan lisan itu diiringi
dengan pembenaran hati, dan mengerjakan apa yang diimankannya dengan
perbuatan anggota badan. Dapat dilihat dalam QS. Al- Hadid, 57:19. Artinya.

7
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu
adalah orang- orang yang Shiddiqien”.

Berdasarkan informasi ayat-ayat tersebut dapat diketahui bahwa di


dalam al-Qur’an kata iman digunakan untuk tiga arti yaitu iman yang hanya
sebatas pada ucapan, iman sebatas pada perbuatan, dan iman yang mencakup
ucapan. Perbuatan dan keyakinan dalam hati.

2. Dasar Akidah
 Iman kepada Allah:
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macamnya
tauhid yang tiga serta beri’tiqad dan beramal dengannya, yaitu: Tauhid
Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, Tauhid Asma’ Dan Sifat.
Adapun tauhid Rububiyah adalah mentauhidkan segala apa yang
dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala
sesuatu.
Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan
hamba yang dengan itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah,
apabila memang hal itu disyariatkan oleh-Nya seperti berdo’a, takut,
berharap, cinta, penyembelihan, nadzar, istighatsah ( minta bantuan),
minta perlindungan, shalat, puasa, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala
apa saja yang disyariatkan dan diperintahkan Allah dengan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi,
wali, maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid Al Asma’ Wash- shifat adalah menetapkan
apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas Dirinya baik itu
berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan
mensucikannya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut
telah disucikan oleh Alloh dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa

8
melakukan tamtsil (perumpamaan), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tahrif
(penyelewengan ), ta’thil ( penafian), dan tanpa takwil.
 Iman kepada para Malaikat Allah
Yakni membenarkan adanya para malaikat, dan bahwasanya mereka itu
adalah makhluk dari sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya.
Allah menciptakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya
dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini.
 Iman kepada Kitab- kitab Allah
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala
kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta
mengimani bahwasanya yang menurunkan Kitab-kitab itu adalah Allah
sebagai petunjuk bagi seluruh manusia.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah mengimani bahwa Al Qur’an itu adalah
kalam (firman) Allah, dan dia bukanlah makhluk baik huruf maupun
artinya. Berbeda dengan pendapat golongan Jahmiah dan Mu’tazilah,
mereka mengatakan bahwa Al-Qur,an adalah makhluk baik huruf maupun
maknanya.
Berbeda pula dengan pendapat Asy’ariyah dan yang menyerupai
mereka, yang mengatakan bahwa kalam ( firman Allah ) hanyalah artinya
saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah
Wal Jamaah kedua pendapat tersrbut adalah bathil.
 Iman kepada para Rasul.
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama
mereka maupun yang tidak, dari yang pertama sampai yang terakhir, dan
penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad SAW. Artinya
pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada nabi kita
secara terperinci, serta mengimani bahwasanya bahwa beliau adalah
penutup para nabi dan para rasul dan tidak ada nabi sesudahnya.
Maka barang siapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian
berarti dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah

9
tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus
berbeda dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang berlebih-lebihan terhadap
para rasul mereka, sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para
rasul itu seperti memperlakukannya terhadap tuhan (Allah).
 Iman kepada hari kiamat:
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari
hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya, baik tentang adzab dan
nikmat qubur, hari kebangkitan dari qubur, hari berkumpulnya manusia di
padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangkannya segala amal
perbuatan, dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau
tangan kiri, tentang jembatan ( shirath ), serta surga atau neraka, di samping
itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan shaleh, dan meninggalkan
amalan sayyiaat ( jahat ) serta bertaubat dari padanya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik
dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan orang-orang
Nashrani tidak mengimani hal ini dengan keimanan yang benar sesuai
dengan tuntunan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir.
 Imam kepada Qadha dan Qadar yang baik maupun yang buruk.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah
terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam mahfudz;
dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir,
iman, taat, maksiat, itu telah dikehendaki, ditentukan, dan diciptakan-Nya,
dan bahwasanya Allah itu mencintai ketaatan dan membenci kamaksiatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak, dan
kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang menghantar
mereka pada ketaatan atau kemaksiatan, akan tetapi semua itu mengikuti
kemauan dan kehendak Allah.
Berbeda dengan pendapat golongan jabariah yang mengatakan bahwa
manusia terpaksa dengan pekerjan-pekerjaannya, tidak memiliki pilihan
atau kemampuan, sebaliknya golongan qadariyah mengatakan bahwasanya

10
hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah
yang menciptakan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak itu terlepas
dari kemauan dan kehendak Allah.
3. Prinsip beriman
 Prinsip pertama :
Iman itu perkataan, perbutan, dan keyakinan yang bisa bertambah
dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan, maka iman itu
bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan. sebab yang
demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu
hanya sekedar ma’rifah (pengetahuan) dan meyakini tanpa ikrar dan amal
sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang
menolak kebenaran.
 Prinsip kedua :
Tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin kecuali apabila dia
melakukan perbuatan yang membatalkan keIslamannya. Adapun perbuatan
dosa besar selain kemusyrikan dan tidak ada dalil yang menghukumi
pelakunya sebagai kafir, misalnya meninggalkan shalat karena malas,
maka pelaku (dosa tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi di hukumi
fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila ia mati sedang dia belum
bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Ia berkehendak Ia
akan mengampuninya dan jika Ia berkehendak Ia akan mengazdabnya,
namun sipelaku tidak kekal di neraka. Dan madzhab Ahlus Sunnah Wal
Jamaah dalam masalah ini di antara tengah-tengah khawarij yang
mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan
termasuk syirik, dan murjiah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai
mukmin sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti
suatu dosa maksiat dengan adanya iman, sebagaimana tak berarti suatu
perbuatan taat dengan adanya kekafiran.
 Prinsip ketiga :

11
Wajibnya taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak
memerintahkan untuk berbuat maksiat, apa bila mereka memerintahkan
berbuat maksiat di kala itulah kita dilarang untuk mentaatinya namun tetap
wajib taat dalam kebenaran lainnya. Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah
memandang bahwa maksiat kepada seorang amir yang muslim itu
merupakan maksiat kepada Rasulullah SAW. Demikian pula Ahlus Sunnah
Wal Jamaah memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para
amir dan menasehati serta mendoakan mereka untuk kebaikan dan
keistiqomahan.
 Prinsip keempat:
Haramnya keluar untuk memberontak terhadap pimpinan kaum
muslimin apabila melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal
tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah
Rasulullah tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan
maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas.
Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari
kepemimpinam para imam pemimpin yang melakukan dosa besar
walaupun belum termasuk amalan kufur, dan mereka memandang amalan
tersebut sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Sedang pada kenyataannya
Mu’tazilah seperti ini merupakan kemungkaran yang besar karena
menuntut adanya bahaya bahaya yang besar baik berupa kericuan,
keributan, dan kerawanan dari pihak musuh.
 Prinsip kelima :
Bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasullullah.
Berlainan dengan sikap dengan orang-orang ahlul bid’ah baik dari
kalangan Rafidhah maupun khawarij yang mencela dan meremehkan
keutamaan para sahabat. Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah
setelah Rasulullah adalah Abu Bakar, kemudian, Umar bin Khatab,
‘Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib RA. Barang siapa yang mencela
salah satu khalifah di antara mereka, maka dia lebih sesat dari pada keledai

12
karena bertentangan dengan nash dan ijma’ atas kekhalifahan mereka dalan
urutan seperti ini.
 Prinsip keenam:
Mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasulullah SAW dalan
sabdanya : “ Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku “
Sedang yang termasuk ahli bait ( keluarga ) beliau adalah istri-istrinya
sebagai ibu kaum mu’minin. Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-
saudara dekat Nabi dan yang dimaksudkan di sini khususnya adalah yang
shaleh di antara mereka. Sedang saudara-saudara dekat yang tidak shaleh,
seperti pamannya, Abu Lahab, maka mereka tidak memiliki hak. Mereka
sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa
keshalehan dalam beragama ( Islam ) tidak ada manfaat dari Allah
sedikitpun baginya.
Dan saudara-saudara Rasulullah yang shaleh tersebut mempunyai hak
atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak
boleh berlebih-lebihan dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah
kepada mereka. Adapun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil,
 Prinsip ketujuh :
Membenarkan adanya karomah para wali, yaitu apa-apa yang Allah
perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka berupa hal-hal yang
luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut
telah ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut
di antaranya mu’tazilah dan Jahmiah, yang pada hakekatnya mereka
mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui
bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam
masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-
apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah, baik berupa jampi-jampi,
pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta.

13
Perbedaan karomah dan kejadian yang luar biasa lainnya itu jelas.
Karomah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para
hamba-Nya yang shaleh, sedang sihir adalah keluarbiasaan yang biasa
diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan
maksud untuk menyesatkan manusia dan mengaruk harta-harta mereka.
Karomah bersumber pada kataatan, sedang sihir bersumber pada kekafiran
dan kemaksiatan.
 Prinsip kedelapan :
Bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab
Allah dan Sunnah Rasulullah SAW baik secara lahir maupun batin dan
mengikuti apa-apa yang di jalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin
maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-
Khulafaurrasyidin
Dan Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak mendahulukan perkataan
siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah SAW. Oleh karena
itu mereka di namakan Ahlul Kitab was Sunnah. Setelah mengambil dasar
Al Qur’an dan As Sunnah mereka mengambil apa-apa yang telah
disepakati ‘ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar ketiga yang selalu
dijadikan sandaran setelah dua dasar yang pertama; yakni Al Qur’an dan
As Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan
kepada Al Kitab dan As Sunnah.
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’suman seseorang selain
Rasulullah SAW dan mereka tidak berta’assub ( fanatik) pada suatu
pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al Kitab dan As
Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam
ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali mereka
yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan perbedaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak
boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan
hubungan di antara mereka, sebagaimana yang di lakukan oleh orang-orang

14
yang taassub ( fanatik ) dan ahli bid’ah. Sungguh mereka tetap mentolerer
perbedaan yang layak (wajar), bahkan mereka tetap saling mencinta,
berwali (berloyalitas ) satu sama yang lain; sebagian mereka tetap shalat di
belakang yang lain betapun ada perbedaan masalah far’I (cabang) di antara
mereka. Sedang ahli bid’ah memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi
sesat kepada setiap orang, yang menyimpang dari golongan mereka.

4. Beriman menurut pandangan Islam


Secara singkat, bagaimana seseorang beriman yang idealis diharapkan
bertingkah laku secara sosial dan relegius. Ini semua merupakan permasalahan
yang paling penting yang harus kita tanyakan mengenai iman, dan tidak hanya
secara umum tetapi juga dari sudut pandang kita yang spesifik, karena jawaban-
jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan isi sematik dari makna kata iman
(pecaya ) dan orang yang beriman dalam konteks Al-Qur’an. Ayat ini
mempunyai relevasi khusus, karena memuat sebuah definisi verbal yang
hampir sempurna mengenai orang beriman yang sesungguhnya , seperti firman
Allah dalam surat Al-Anfaal, ayat 2-4. Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang
menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat)
yang mulia”. (QS, Al-Anfaal, 2-4).
Definisi ini menggambarkan orang yang beriman dalam pengertian kata
yang benar sebagai orang yang benar-benar saleh, yang di dalam hatinya selalu
disebutkan asma Allah, dan ini cukup untuk membangkitkan rasa khidmat yang
mendalam, serta orang yang keseluruhan hidupnya ditentukan oleh dorongan

15
hatinya yang benar-benar mendalam. Seperti firman Allah dalam surat At-
Taubah ayat, 112. Artinya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang
memuji, yang melawat yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf
dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu” . (QS, At-Taubah, 112).
Keyakinan yang sungguh-sungguh akan menghasilkan motif yang paling
kuat yang mendorong manusia untuk berbuat baik, jika tidak demikian maka
keyakinan itu belum sungguh-sungguh. Sikap yang mendasar, seperti perasaan
berdosa dan khidmat dihadapan Allah, patuh terhadap perintah Allah, rasa
syukur terhadap nikmat Allah, semua unsur inilah yang memberikan ciri
keimanan Islam yang tertinggi, yang harus diwujudkan dalam perbuatan baik
(salihat ) yang telah diakui secara resmi.
Selanjutnya, mereka harus menemukan ekspresi hampir setiap tindakan
dalam hubungan antar manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan dasar
antara keyakinan dengan perbuatan baik ini, kemudian dalam teologi
menunjukkan makna penting yang tinggi ketika Murji’ h menganjurkan
pertanyaan itu dalam bentuk yang lebih keras dengan menegaskan bahwa
’keyakinan’ merupakan perbuatan yang sangat independent, apapun dosa yang
telah dilakukan seseorang tidak mempengaruhi diri seseorang sebagai ‘orang
beriman’yang sebenarnya jika hanya kenyakinan yang ada.
Orang beriman yang sebenar-benarnya adalah sebagai berikut: Sikap dasar
hilm, mencurahkan ibadah secara konstan, takut pada hari kiamat, memberikan
zakat sebagai amal saleh yang paling penting, tanpa dengan mengarah pada
sifat kedermawanan jahiliyah yang sifatnya hanya menurutkan kata hati dan
sombong, menjauhi perbuatan jahil yang dilarang dengan tegas oleh Allah,
seperti politisme, membunuh mahluk hidup tanpa alasan yang benar, berbuat
zina, menghindari sumpah palsu dan omong kosong, perasaan yang tajam
terhadap makna terdalam dari wahyu, dan ketentraman serta kebahagian hidup
di dunia ini, berdasarkan harapan akan hari kemudian.

16
Kemudian dengan menerapkan prinsip-prinsip beriman yang telah
dikemukakan diatas, maka keimanan akan teraplikasi dalam setiap sendi
kehidupan kita dan akan muncullah sifat-sifat yang agung sebagai pelengkap
aqidah yang di imani atau diyakininya. Di antara sifat-sifat yang agung itu
adalah :
 Mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar atas dasar ilmu
 Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetap menjaga tegaknya syi’ar Islam baik
dengan menegakkan shalat jum’at dan shalat berjamaah sebagai pembeda
pembeda terhadap kalangan ahli bid’ah dan orang-orang munafiq yang
tidak mendirikan shalat Jum’at maupun shalat jamaah.
 Memberikan nasehat bagi setiap muslim, bekerja sama dan tolong
menolong dalam kebajikan dan taqwa
 Mereka tegar balam menhadapi ujian-ujian dengan sabar ketika mendapat
cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan kenikmatan dan menerimanya
sesuai dengan ketentuan Allah.
 Bahwasanya mereka selalu berakhlak mulia dan beramal baik, berbuat baik
kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan
tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong,
dzalim.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Aqidah adalah ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang
mengambil keputusan, atau sebuah keyakinan. Keyakinan yang kokoh kepada
Allah SWT dimana tidak ada keraguan di dalam dirinya. Yakin bahwa Allah
itu Esa/ satu, dan tidak berbuat kafir atau menyekutukan Allah.
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai
fondasi. Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah
merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang
termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena
sifatnya keyakinan maka materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang
disampaikan oleh Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad
Saw.
Aqidah islam itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah, bukan
dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran itu hanya digunakan untuk
memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah tersebut yang mana
wajib untuk diyakini dan diamalkan.
Atas dasar ini, akidah mercerminkan sebuah unsur kekuatan yang
mampu menciptakan mu'jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan
besar di zaman permulaan Islam.
Keyakinan harus di dasari dengan mengesakan Allah, karena barang
siapa yang menyakin adanya Tuhan maka hendaknya harus yakin bahwa Allah
itu esa/satu. Seperti di tuangkan pada surat Al Ikhlas bermakna memurnikan ke
esaan Allah SWT, diterangkan bahwa kandungan Al-Qur’an ada tiga macam:
Tauhid, kisah-kisah dan hukum-hukum. Dan dalam surat ini terkandung sifat-
sifat Allah yang merupakan tauhid. Dinamakan surat Al-Ikhlash karena

18
didalamnya terkandung keikhlasan (tauhid) kepada Allah dan dikarenakan
membebaskan pembacanya dari syirik (menyekutukan Allah).
Maka kita sebagai mahluk Allah hendaklah untuk selalu menjaga akidah
kita, tetap kepada jalan yang benar, jalan Allah. Jangan pernah menyekutukan
Allah karena hal tersebut merupakan perbuatan musyrik yang tidak disukai oleh
Allah. Dalam kehidupan sehari-hari hendaklah kita untuk terus meyakini,
mengimani dan beribadah kepada Allah.

B. Saran
Demikian penulisan makalah ini, semoga bermanfaat bagi para
pembaca. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada
makalah ini, maka dari itu penulis memohon saran dari pembaca yang bersifat
membangun, agar ke depan penulis dapat menulis dengan lebih baik dan lebih
bermanfaat bagi para pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

https://serba-makalah.com/ruang-lingkup-aqidah-Islam/

https://IslamIslami.com/2016/03/28/aqidah-Islam-pengertian-dan-pembagiannya/

https://www.kompasiana.com/masto/552e33656ea834581d8b45d4/pengertian-dan-
ruang-lingkup-akidah

20

Anda mungkin juga menyukai