Anda di halaman 1dari 5

1.

Pengertian Tauhid

Kata “tauhid” di dalam bahasa Arab berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan, yang
artinya menjadikan (sesuatu) satu-satunya. Kata tersebut berasal dari kata wahidun yang berarti satu
atau tunggal. Adapun menurut istilah adalah menyendirikan atau mengesakan Allah dalam
beribadah. Adapun pengertian secara lebih luas lagi adalah menyendirikan atau mengesakan Allah
dalam hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, baik dalam rububuiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya,
maupun nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tidak ada sekutu bagi Allah dalam semua hal tersebut.

Istilah tauhid sendiri tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan hadis, tetapi dari
ayat-yat Al-Qur’an dan hadis Nabi menyerukan pada pengakuan keesaan Allah maka muncullah
istilah tauhid ini. Tidak diketaui pula siapa yang mempopulerkan istilah ini. Imam bukhari dalam kitab
sahihnya mencantumkan salah satu bab berjudul ‘kitab at-Tauhid’. Hal ini berarti kata tauhid telah
dikenal sebelum atau pada masa Imam Bukhari (194 - 256 H).

2. Pengertian Ilmu tauhid

Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan keesaan Allah dan hal-hal yang terkait dengannya.
Ilmu ini berkaitan dengan pembahasan tentang penetapan akidah yang diambil dari dalil-dalil yang
diyakini, yaitu Al-Qur’an dan hadist serta dalil naqli.[1] Para ulama memiliki istilah yang beragam
tentang ilmu ini berikut adalah beberapa nama yang digunakan oleh para ulama untuk menyebut
ilmu tauhid.

a. Ilmu Aqa’id. Dinamakan Aqa’id karena ilmu ini membicarakan tentang akidah atau kepercayaan.

b. Ilmu Kalam. Disebut demikian karena persoalan akidah yang dulu sering dipersilisihkan oleh para
ulama adalah masalah kalamullah, apakah ia bersifat qodhim atau baru.

c. Ilmu sifat. Disebut demikian karena ilmu ini mempelajari sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh
setiap muslim.

d. Ilmu Ushuluddin. Dinamakan demikian karena ia membicarakan persoalan-persoalan pokok (usul)


dalam agama, yaitu soal keimanan.

e. Ilmu ma’rifat. Disebut demikian karena ilmu ini berkaitan dengan Allah dan rasul-Nya.

f. Fikih Akbar. Imam Abu Hanifah menamai pembahasan tentang akidah dengan sebutan fikih akbar.
Abu Hanifah menamai istilah tersebut karena pada masanya semua kegiatan intelektual agama
disebut dengan fikih.

3. Kedudukan Tauhid.

Prinsip tauhid tidak bisa dipisahkan dari ajaran islam karena tauhid adalah inti ajaran islam,
bahkan islam sendiri. Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat
(pegangan) yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain
tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah
bahwa kami adalah orang muslim.” (QS. ali-Imron/3: 64)

Ayat ini menerangkan bahwa orang yang menjadikan tauhid sebagai agamanya adalah orang
yang berhak menyandang gelar sebagai seorang muslim, bukan orang yang menolaknya karena
menolak tauhid sama saja menolak Islam sebagai agamanya.[2]

Tauhid juga merupakan misi utama dari dakwah para nabi dan rasul yang diutus oleh Allah.

Mengenai inti dakwah Nabi Nuh a.s., Allah berfirman:

Artinya: “Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata). “Sungguh, aku ini
adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku
benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.” (QS. Hud/11: 25-26)

Mengenai inti dakwah Nabi Ibrahim a.s., Allah berfirman:

Artinya: “Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Sembahlah Allah dan
bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-
Ankabut/29; 16)

Dari berbagai ayat diatas jelaslah bahwa tauhid merupakan inti dari risalah Islam dalam
kehidupan manusia. Tidak hanya untuk umat Nabi Muhammad, tetapi juga untuk seluruh umat
manusia.
5. Pembagian tauhid

Berdasarkan pengkajian tentang dalil-dalil yang menjelaskan tentang keesaan Allah SWT. Maka para ulama
menyimpulkan adanya pembagian tauhid. Secara umum, para ulama membagi tauhid ke dalam tiga
bagian, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid al-asma’ wa as sifat.

1. Tauhid Rububiyyah

Rububiyyah berasal dari perkataan rabb. Kata ini mempunyai beberapa arti seperti pemimpin,
pemilik, penguasa dan pemelihara. Adapun yang dimaksud tauhid rububiyyah adalah meyakini Allah
SWT dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah serta menyatakan dengan tegas
bahwa Allah adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan
mengubah keadaan mereka.

Allah-lah yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan hidup serta mengendalikan segala
urusan. Dia yang memberikan manfaat dan masfadat (kerusakan), menganugerahkan kemuliaan dan
kehinaan.[3]

Artinya : Wahai manusia, Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan
(hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan
tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahuinya. (Q.S. al-Baqarah : 21-22).
2. Tauhdi Uluhiyyah

Istilah ulihiyyah berasal dari kata ilah yang berarti Tuhan yang patutu di sembah. Yang dimaksud
dengan tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah dalam penyembahan dan peribadatan. Segala
bentuk penyembahan dan peribadatan, baik yang zahir maupun batin, tidak boleh ditujukan kepada
selain Allah, termasuk berdo’a, cinta, takut dan tawakal. Tauhid uluhiyyah ditegaskan dalam Al-
Qur’an dalam firman Allah :

Artinya : Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang pasti disembah) selain Allah dan mohonlah
ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah
mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu . (Q.S. Muhammad : 19)

Jadi, seorang yang bertauhid uluhyyah hanya menyerahkan semua ibdahnya kepada Allah
semata, tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliah, selain beribadah kepada Allah,
mereka juga memohon, berdo’a dan beristighasah kepada selain Allah. Inilah yang diperangi
Rasululullah SAW karena ajaran para nabi dan Rasul utusan Allah adalah tauhid.

3. Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat

Tauhid al-Asma’ wa as-Sifat adalah mengesakan Allah SWT. Dalam penetapan nama dan sifat
Allah, yaitu sesuai dengan yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam al-Qur’an dan hadits.[4] Cara
bertauhid al-Asma’ wa as-Sifat ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah
tetapkan bagi diri-Nya serta menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diri-Nya, tanpa tahrif,
ta’til, takyif dan tasbyih Allah SWT berfirman :

Artinya : Dan Allah memiliki asmaul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-
Nya dengan menyebut nama asmaul husna tersebut. . . . (Q.S. Al-A’rof : 180)

a. Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari
makana zahir menjadi makna yang batil.

Contoh : menafsirkan gadab (murah) dengan iradatul intiqam (keinginan untuk balas
dendam), rahmah (kasih sayang) dengan iradatul in’am (keinginan untuk memberi nikmat), al-
yadu (tangan) dengan an-ni’mah (nikmat), dan kata istiwa’ yang artinya bersemayam dipalingkan
menjadi menguasai.

b. Ta’til adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat Allah. Sebagian orang menolak bahwa Allah
berada di atas langit dan berkata bahwa Allah di mana-mana.

c. Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah, padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan
makhluk-Nya sehigga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujud-Nya. Misalnya
sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah atau bentuk wajah Allah.

d. Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, padahal Allah telah
berfirman :
Artinya : (Dia) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jjenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu
berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang
Maha Mendengar dan Melihat. (Q.S. Asy-Syuro : 11)

Selain pembagian tauhid di atas, ada juga pembagian tauhid lain yang dikemukakan oleh para
ulama, di antarannya pembagian tauhid menjadi empat macam, yaitu:

1. Tauhid Dzat (keesaan dzat) artinya bahwa Dzat Allah itu satu, tidak tersamai dan tidak ada
tandingannya. Semua eksistensi lain adalah makhluk ciptaan-Nya. Semua eksistensi selain Allah,
posisi dan derajat kesempurnaannya jauh di bawah Allah.

2. Tauhid Sifati (keesaan sifat) yaitu sifat-sifat Allah seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha
Berkuasa dan yang lainnya bukanlah realitas-realitas yang terpisah dari Zat Allah, melainkan identik
dengan Zat Allah dan merupakan manifestasi dari Zat Allah.

3. Tauhid Af’ali yaitu semua perbuatan termasuk perbuatan manusia, ada dan terjadi karena kehendak
Allah.

4. Tauhid Ibadi (keesaan ibadah) yaitu selain Allah, tidak ada yang berhak dan patut disembah serta
diibadahi. Menyembah atau beribadah kepada selain Allah adalah perbuatan syirik (menyekutukan
Allah) dan di luar batas tauhid Islam.

Tauhid zati dan ibadi merupakan bagian dari aqidah utama umat Islam. Artinya jika seseorang
kurang atau tidak mengimani kedua prinsip ini, ia telah keluar dari Islam. Tidak ada satu orang
muslim pun yang menentang prinsip ini.

[1] Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutholib. Paham Ilmu Kalam. (Surakarta: PT Tiga Serangkai
Mandiri, 2014) hlm. 43

[2] Ibid, hlm. 44.


[3] Abdul Mutholib, Nok Aenul Latifah. Paham Ilmu Kalam (Surakarta : PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2014) hlm. 47

[4] Ibid, hlm. 49

[5] Muhammad Qurthub. Koreksi Atas Pemahaman Lailaha Illalloh. (Jakarta Timur : Al-Kautsar, 1987) hlm. 26

[6] Jurnal Al-Atsariyah Vol. 01/Th01/2006

[7] Al-Kadiri, Choirul Anam.2010.8 Langkah Mencapai Ma’rifatullah.Jakarta:Sinar Grafika Offset.


Hal.1
[8] Ibid, Hlm.77

Anda mungkin juga menyukai