Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

AQIDAH

“ TAUHID DAN IMPLEMENTASINYA DALAM KEHIDUPAN”

DOSEN PEMBIMBING :

DISUSUN OLEH :

Nurmalia Rahmadita

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PERBANKAN SYARIAH

2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya dan tidak lupa pula sholawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Besar
kita Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang seperti saat ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Aqidah
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Tauhid dan implementasinya
dalam kehidupan sehari-hari” kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah
ini, sehingga kami senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik pembaca demi
penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
2.1 Pengertian Tauhid..............................................................................................................................5
2.2 Konsep Ajaran Tauhid........................................................................................................................5
2.3 Tauhid dalam Dimensi Metodologi....................................................................................................7
2.4 Dimensi Isi Tauhid............................................................................................................................11
2.5 Perilaku Tauhid dalam Kehidupan sehari-hari.................................................................................14
BAB III........................................................................................................................................................17
PENUTUP...................................................................................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama yang memiliki aturan, yakni dengan beriman kepada rukun
islam dan rukun iman, dari kedua rukun tersebut dapat dijadikan sebagai pondasi kokohnya
agama islam. Ketika bicara dengan keimanan maka erat kaitannya dengan masalah keyakinan.

Di dalam islam, tauhid merupakan ajaran pokok yang harus dipahami dan diamalkan oleh
semua pemeluknya. Lebih dari itu, tauhid harus tercermin dalam kehidupan sehari hari. Tanpa
penghayatan dan pengalaman, tauhid hanyalah perbincangan omong kosong yang tidak ada
dampaknya bagi diri kita, apalagi di hadapan Allah SWT.

Namun bila kita melihat realita, keimanan dan ikrar hanyalah sebatas ungkapan yang tak
banyak artinya. oleh karena itu, implementasi tauhid di dalam kehidupan sangat perlu untuk
dipahami dan dipelajari lebih dalam, karena itulah bukti nyata keimanan serta keyakinan seorang
hamba meski disempurnakan lagi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Tauhid ?
2. Jenis jenis Tauhid itu apa saja ?
3. Apakah aplikasi Tauhid dalam kehidupan sehari-hari ?

1.3 Tujuan
1. Untuk melengkapi nilai mata kuliah Aqidah
2. Untuk meningkatkan ilmu pengetahuan tentang ilmu Tauhid
3. Untuk mengetahui lebih jelas apa itu konsep Tauhid dalam Islam dan praktik tauhid
dalam kehidupan sehari-hari
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tauhid
Tauhid (Arab :‫ )توحيد‬dilihat dari segi Etimologis yaitu berarti ”Keesaan Allah”,
mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah; mengesakan Allah atau mengiktikadkan bahwa
Allah SWT itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tauhid diambil kata : Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya mengesakan. Satu
suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad yang berarti esa. Dalam ajaran
Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah kalimat La Illaha
Illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. Sebagaimana yang difirmankan Allah
SWT sendiri didalam surat Al-baqarah:163 yang artinya :

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

2.2 Konsep Ajaran Tauhid


Dapat kita lihat ayat-ayat Allah yang sedikit banyak menyinggung ajaran tauhid ini. Di
antaranya adalah :

“Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia”. (TQS.
Al Ikhlas: 1-4 )

"Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia; (demikianpula) para malaikat dan orang-
orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa,
Maha Bijaksana." (TQS. Ali Imran: 18)

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak
binasa. Maka maha suci Allah yang mempunyai arasy dari apa yang mereka sifatkan.” (TQS. Al
Anbiya’: 22 )

Dari sini dapat kita lihat bahwa beriman kepada Allah SWT terwujud dalam empat
perkara: Beriman kepada Wujud Allah, Beriman kepada Rububiyah Allah, Beriman kepada
Uluhiyah Allah , Beriman kepada Asma’ dan sifat Allah. Dari keempat perkara tersebut hanya
tiga perkara yang diuraikan dalam makalah ini yaitu :

1. Tauhid Rububiyah
Mengenai tauhid rububiyah ini firman Allah mengatakan :

"Allah yang Meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian
Dia bersemayam di atas Arasy. Dia Menundukkan matahari dan Bulan; masing-masing
beredar menurut waktu yang telah ditentukan. Dia Mengatur urusan (makhluk-Nya), dan
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan
Tuhanmu". (QS. Ar-Ra'd: 2)

Rububiyah adalah kata yang dinisbatkan kepada salah satu nama Allah SWT, yaitu
‘Rabb’. Nama ini mempunyai beberapa arti, antara lain: al-Murabbi (pemelihara), al-
Nashir (penolong), al-Malik (pemilik), al-Mushlih (yang memperbaiki), al-Sayyid (tuan)
dan al-Wali (wali). Dan dalam terminologi syariat Islam, istilah Tauhid Rububiyah
berarti :

“Percaya bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Pencipta, Pemilik, pengendali alam raya
yang dengan takdir-Nya Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam
dengan sunnah-sunnah-Nya.” (DR. Ibrahim bin Muhammad, hal. 141-142)

2. Tauhid Asma’ Dan Sifat


Firman Allah :

“Dan Allah memiliki Asma’ul Husna (Nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.” (TQS. al-A’raf: 180)
Pengertian dari Tauhid Asma’ dan Sifat adalah mempercayai bahwa hanya Allah
yang memiliki segala sifat kesempurnaan dan terlepas dari sifat tercela atau dari segala
kekurangan. (Ensiklopedi Islam, jild. V, hal. 92) Atau menetapkan asma’ dan sifat Allah
berdasarkan apa yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya di dalam Al Qur’an maupun
sunnah Rasul-Nya. (DR. Abdul Aziz, hal. 24).
3. Tauhid Uluhiyah

Merupakan salah satu cabang Tauhid dari tiga macam Tauhid yang ada, yaitu
mempercayai bahwa hanya kepada Allah-lah manusia harus bertuhan, beribadah,
memohon pertolongan, tunduk, patuh, dan merendah serta tidak kepada yang lain. Makna
Uluhiyah adalah mengakui bahwa hanya Allah lah Tuhan yang berhak disembah, tidak
ada sekutu bagiNya. (DR. Abdul Aziz bin M. Alu Abdullatief, hal. 13).Tauhid Uluhiyah
merupakan ujung ruh Al Qur’an, yang karenanya para Rasul diutus, yang karenanya ada
pahala dan siksa, dan karenanya keikhlasan beragama kepada Allah terealisasi. (Ibnu
Taimiyah, Menghindari pertentangan Wahyu dan Akal, hal. 30). Ayat al Qur'an yang
menerangkan tentang Tauhid jenis ini adalah:

"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak
menyembah setan, Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu. Dan hendaklah
kamu menyembah-Ku, inilah jalan yang lurus." (TQS. Yasin: 60 - 61.

2.3 Tauhid dalam Dimensi Metodologi


1. Dimensi Metologis

Dimensi metodologis meliputi tiga prinsip; yaitu Kesatuan, Rasionalisme, dan Toleransi.
ketiganya ini menentukan bentuk peradaban Islam.

Kesatuan, Tak ada peradaban tanpa kesatuan. Jika unsur peradaban tidak bersatu,
berjalin, dan selaras satu dengan lainnya, maka unsur itu bukan membentuk peradaban,
melainkan himpunan campur-aduk. Prinsip menyatukan berbagai unsur dan memasukkan
unsur itu di dalam kerangkanya sangat penting. Prinsip seperti ini akan mengubah
campuran hubungan unsur-unsur satu dengan lainnya menjadi bangunan rapi dimana
tingkat prioritas atau derajat kepentingan dapat dirasakan.

Peradaban Islam menempatkan unsur-unsur dalam bangunan rapi dan mengatur


eksistensi serta hubungannya berdasarkan pola yang seragam. Unsur-unsur itu sendiri ada
yang asli dan ada yang berasal dari luar. Tidak ada peradaban yang tidak mengambil
unsur dari luar. Yang penting adalah bahwa peradaban mencerna unsur itu, yaitu
mempola kembali bentuk dan hubungannya sehingga menyatu ke dalam sistemnya
sendiri. “Membentuk” unsur itu dengan bentuknya sendiri sebenarnya mengubahnya
menjadi realitas baru sehingga unsur itu tak lagi eksis sebagai unsur itu sendiri, namun
sebagai komponen integral peradaban baru.

Ini bukanlah argumen menentang peradaban bila peradaban itu semata-mata hanya
menambah unsur-unsur asing. Atau bila peradaban melakukannya dengan cara terpotong-
potong, tanpa pembentukan ulang, penambahan, atau integrasi. Persisny, unsur-unsur ini
semata-mata ada bersama (co-exist) dengan peradaban. Secara organis, unsur-unsur itu
bukan bagian dari peradaban itu. Namun jika peradaban ini telah berhasil mengubah
mereka dan mengintegrasikannya ke dalam sistemnya, maka proses integrasi menjadi
indeks vitalitas, dinamisme dan kreativitasnya.

Dalam setiap peradaban integral, dan tentu saja dalam Islam, unsur-unsur
pembentuknya, baik unsur material, struktural atau relasional, semuanya diikat oleh satu
prinsip utama. Dalam peradaban Islam, prinsip utama ini adalah tauhid. Inilah tongkat
pengukur utama orang Islam, pembimbing dan pencarinya dalam berhadapan dengan
agama dan peradaban lain, dengan fakta atau situasi baru. Yang sejalan dengan prinsip ini
diterima dan diintegrasikan. Yang tidak sejalan ditolak atau dikutuk.

Tauhid atau doktrin keesaan, transenden, dan doktrin keutamaan Tuhan,


mengandung arti bahwa hanya Dia yang patut disembah dan dilayani. Orang yang taat
akan hidup berdasarkan prinsip ini. Dia akan berupaya menyelaraskan perbuatannya
dengan pola ini, melaksanakan maksud Ilahiah. Karena itu, kehidupannya harus
menunjukkan kesatuan pikiran dan kehendaknya, tujuan utama pengabdiannya.
Kehidupannya tak akan merupakan serangkaian peristiwa yang disatukan dengan kacau
balau. Tetapi, kehidupannya akan dihubungkan dengan satu prinsip utama, diikat oleh
kerangka tunggal yang menyatukan mereka menjadi kesatuan tunggal. Dengan demikian,
kehidupannya memiliki gaya tunggal, bentuk yang integral – singkatnya Islam.

Rasional membentuk intisari peradaban Islam. Rasionalisme terdiri atas tiga


aturan atau hukum : pertama, menolak semua yang tidak berkaitan dengan realitas;
kedua, menafikan hal-hal yang sangat bertentangan; ketiga, terbuka terhadap bukti baru
atau berlawanan. Hukum pertama melindungi seorang muslim dari membuat pernyataan
yang tidak terujji, tidak jelas terhadap ilmu pengetahuan.Pernyataan yang kabur, menurut
Al-Qur’an, merupakan contoh zhann (pengetahuan yang menipu) dan dilarang oleh
Tuhan, sekalipun tujuannya dapat diabaikan. Seorang muslim dapat didefinisikan sebagai
orang yang pernyataannya hanyalah kebenaran. Hukum kedua melindunginya dari
kontradiksi di satu pihak, dan paradoks di pihak lain.

Rasionalisme bukan berarti pengutamaan akal atas wahyu tetapi penolakan


terhadap kontradiksi puncak antara keduanya. Rasionalisme mempelajari tesis-tesis yang
bertentangan berulang-ulang, dengan anggapan bahwa pasti ada segi pemikiran yang
terlewat yang jika dipertimbangkan akan mengungkapkan hubungan yang bertentangan.
Rasionalisme juga menggiring pembaca wahyu- bukan wahyu itu sendiri – kepada
bacaan lain. Bila dia menangkap makna yang tak jelas yang kemudian dipikirkannya
kembali, maka akan menghapus kontradiksi yang tampak.

Perujukan pada akal atau pemahaman demikian akan memiliki pengaruh


penyelarasan bukan wahyu itu sendiri – wahyu tak dapat dimanipulasi manusia – tetapi
penafsiran atau pemahamann insani seorang muslim akan wahyu. Ini menjadikan
pemahamannya akan wahyu sejalan dengan bukti kumulatif yang disingkapkan akal.
Penerimaan terhadap sesuatu yang bertentangan atau paradoks sebagai suatu kebenaran
hanya menarik orang-orang berpandangan picik. Muslim yang cerdas adalah seorang
rasionalis karena dia menegaskan kesatuan dua sumber kebenaran yaitu wahyu dan akal.

Hukum ketiga, keterbukaan terhadap bukti baru atau yang bertentangan,


melindungi seorang muslim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang
menyebabkan stagnasi. Hukum ketiga ini mencontohkan dia kepada kerendahan hati
intelektual. Memaksanya menambahkan pada penegasan dan penyangkalannya ungkapan
“Allahu a’lam” (Allah yang lebih tahu). Karena dia yakin bahwa kebenaran lebih besar
daripada yang dapat dikuasainya.

Sebagai penegasan akan keesaan mutlak Tuhan, tauhid merupakan penegasan


keesaan kebenaran. Karena Tuhan, dalam Islam adalah kebenaran. Keesaan-Nya
merupakan keesaan sumber-sumber kebenaran. Tuhan adalah Pencipta alam dari mana
manusia mendapat pengetahuannya. Tujuan pengetahuan adalah pola-pola alam yang
merupakan karya Tuhan. Jelas Tuhan mengetahui semuanya karena Dialah penciptanya;
dan Dialah sumber wahyu. Dia memberi manusia pengetahuan-Nya; dan pengetahuan-
Nya mutlak dan universal. Tuhan tidak menipu, tidak dengki, tidak menyesatkan. Dia
juga tidak mengubah keputusan-Nya seperti yang dilakukan manusia ketika membetulkan
pengetahuan-Nya, kehendaknya, atau keputusannya. Tuhan adalah sempurna dan maha
tahu. Dia tak pernah salah. Kalau pernah, Dia tidak akan menjadi Tuhan trasenden agama
Islam.

Toleransi, Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap


yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Dengan demikian toleransi relevan dengan
epistemologi. Ia juga relevan dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang
dikehendaki sampai ketaklayakannya tersingkap. Yang pertama disebut sa’ah; yang
kedua yusr. Keduanya melindungi seorang muslim dari menutup diri terhadap dunia dari
konservatisme. Keduanya mendesaknya untuk menegaskan dan mengatakannya terhadap
kehidupan, terhadap pengalaman baru. Keduanya mendorongnya untuk menyampaikan
data baru dengan pikirannya yang tajam, usaha konstruktifnya. Dan dengan demikian
memperkaya pengalaman dan kehidupannya, dan selalau memajukan budaya dan
peradabannya.

Sebagai prinsip metodologis di dalam intisari peradaban Islam, toleransi adalah


keyakinan bahwa Tuhan tidak membiarkan umat-Nya tanpa mengutus rasul dari mereka
sendiri. Rasul yang akan mengajarkan bahwa tak ada Tuhan kecuali Allah, dan bahwa
mereka patut menyembah dan mengabdi kepada-Nya, untuk memperingatkan mereka
bahaya kejahatan dan penyebabnya. Dalam hubungan ini, toleransi adalah kepastian
bahwa semua manusia dikaruniai sensus communis, yang membuat manusia dapat
mengetahui agama yang benar, mengetahui kehendak dan perintah Tuhannya. Toleransi
adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua
faktor yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktunya yang berbeda, prasangka,
keinginan, dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama berdiri al-din al-hanif,
agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum akulturasi membuat
manusia menganut agama ini atau itu. Toleransi menuntut seorang Muslim untuk
mempelajari sejarah agama-agama. Tujuannya untuk menemukan di dalam setiap agama
karunia awal Tuhan, yang diajarkan oleh rasul-rasul yang diutus-Nya di segenap tempat
dan waktu.

Dalam agama-dan hampir tak ada yang lebih penting dalam hubungan manusia-
toleransi mengubah konfrontasi dan saling kutuk antar agama menjadi kerjasama
penelitian ilmiah tentang asal-usul dan perkembangan agama. Tujuannya memisahkan
penambahan historis dari wahyu awal yang diterima. Dalam etika, semua bidang penting
berikutnya, yusr; mengebalkan seorang Muslim dari kecenderungan menolak kehidupan.
Yusr membuatnya memiliki optimisme yang diperlukan untuk menjaga kesehatan,
keseimbangan, dan kebersamaan, meski kehidupan manusia ditimpa berbagai tragedy dan
penderitaan. Tuhan menjamin makhluk-Nya bahwa “dengan kesulitan, Kami menetapkan
kemudahan [yusr]”. Dan karena Dia memerintahkan mereka untuk menguji setiap
pernyataan dan memastikannya sebelum menilai, maka kaum ushuli (ahli fiqih)
melakukan eksperimentasi sebelum menilai kebaikan atau keburukannya, yang tidak
bertentangan dengan perintah Ilahiah yang pasti.

Sa’ah dan yusr langsung berasal dari tauhid sebagai prinsip metafisika etika.
Tuhan, yang menciptakan manusia agar manusia dapat membuktikan dirinya berguna,
telah membuatnya bebas dan mampu bertindak positif di dunia. Menurut Islam,
melaksanakan hal itu adalah maksud eksistensi manusia di bumi.

2.4 Dimensi Isi Tauhid


Tauhid mempunyai beberapa dimensi isi tauhid yaitu :

1. Tauhid sebagai prinsip pertama metafisika

Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah berarti berpendapat bahwa Dialah Pencipta
yang mewujudkan segalanya. Dialah sebab utama setiap kejadian, dan tujuan akhir segala
yang ada, bahwa Dialah Yang Pertama dan Terakhir. Bersaksi dengan kebebasan dan
keyakinan, secara sadar memahami isinya, berarti menyadari bahwa segala di sekitar kita,
baik benda atau kejadian, semua yang terjadi di bidang alam, sosial, atau psikis, adalah
tindakan Tuhan, pelaksanaan dari satu atau lebih tujuan-Nya. Begitu tercipta, realisasi seperti
itu menjadi hakikat kedua manusia, yang tak dapat dipisahkan darinya selama terjaga.
Sehingga manusia akan hidup di bawah bayang-bayangnya. Dan dimana manusia
mengetahui perintah dan tindakan Tuhan dalam setiap objek dan peristiwa, maka dia
mengikuti inisiatif Tuhan karena ini semua perintah Tuhan. Mengamati inisiatif Tuhan dalam
alam ebrarti melaksanakan ilmu alam. Karena inisiatif Ilahiah dalam alam tak lain daripada
hukum-hukum yang tak berubah yang diaugerahkan Tuahn kepada alam. Mengamati inisiatif
Ilahiah dalam diri seseorang atau dalam masyarakat berarti mempelajari ilmu kemanusiaan
dan ilmu-ilmu sosial. Dan jika seluruh alam semesta sendiri benar-benar menyingkapkan atau
memenuhi hukum alam in, yang adalah perintahdan kehendak Tuhan, maka alam semesta,
menurut orang Muslim merupakan teater hidup yang digerakkan oleh perintah Tuhan. Teater
itu sendiri, dan segala isinya, dapat dijelaskan dengan istilah-istilah ini. Keesaan Tuhan
berarti bahwa Dialah Sebab segalanya.

2. Tauhid sebagai prinsip pertama etika

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan Maha Esa menciptakan manusia dalam bentuk terbaik,
untuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Ini berarti bahwa seluruh keberadaan manusia
di muka bumi bertujuan mematuhi Tuhan, menjalankan perintah-Nya. Tauhid juga
menegaskan bahwa tujuan ini termasuk kekhalifahan manusia di muka bumi. Karena,
menurut Al-Qur’an, Tuhan telah memberikan amanat-Nya kepada manusia, amanat yang tak
mampu dipikul langit dan bumi, dan yang mereka hindari dengan ketakutan.

Amanat tuhan adalah pelaksanaan bagian etika dari kehendak Tuhan. Hakikatnya
menuntut bahwa amanat itu diwujudkan dalam kebebasan dan manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mampu melakukannya. Dimanapun kehendak Tuhan diwujudkan sesuai
kebutuhan hukum alam, perwujudannya bukan moral, tetapi mendasar (elemental) atau
bermanfaat (utilitarian). Hanya manusia yang mampu mewujudkannya dengan kemungkinan
melakukan atau tidak melakukannya sama sekali, atau melakukan sebaliknya atau sebagian.
Kemerdekaan manusia untuk mematuhi perintah Tuhanlah yang menjadikan pelaksanaan
perintah moral. Tauhid menegaskan bahwa Tuhan, yang pemurah dan bertujuan, tidak
menciptakanmanusia secara main-main, atau sia-sia. Dia menganugerahkan manusia dengan
panca indera, akal dan pemahaman, menjadikannya sempurna – dan meniupkan ke dalamnya
ruh-Nya- untuk mempersiapkannya menunaikan tugas besar ini.
3. Tauhid sebagai prinsip pertama aksiologi

Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan umat manusia agar manusia dapat
membuktikan diri bernilai secara moral melalui perbuatannya. Sebagai Hakim agung dan
akhir, Dia memperingatkan bahwa semua perbuatan manusia akan diperhitungkan ; bahwa
perbuatan baik mereka akan diberi pahala, dan perbuatan buruk mereka akan diberi
hukuman. Tauhid selanjutnya menegaskan bahwa Tuhan menempatkan manusia di muka
bumi agar manusia mendiaminya. Agar manusia dapat bekerja di atas bumi, memakan buah-
buahnya, menikmati kebaikan dan keindahannya, dan memakmurkan bumi dan dirinya.
Inilah penegasan dunia : menerima dunia karena dunia tidak berdosa dan baik, diciptakan
oleh Tuhan dan diatur oleh-Nya untuk dimanfaatkan manusia. Segala yang ada di dunia ini,
termasuk matahari dan bulan, tunduk kepada manusia. Semua ciptaan merupakan teater bagi
manusia untuk melakukan perbuatan etikanya sehingga mewujudkan bagian yang lebih tinggi
dari kehendak Ilahi. Manusia bertanggung jawab untuk memuaskan naluri dan kebutuhannya,
dan setiap orang bertanggung jawab satu sama lain. Manusia berkewajiban mengembangkan
sumber daya manusia ke tingkat yang tertinggi yang mungkin, sehingga semua karunia alam
dapat sepenuhnya dimanfaatkan. Dia berkewajiban mengubah bumi menjadi kebun buah
yang produktif dan taman indah. Dalam proses ini dia dapat mengeksplorasi matahari dan
bulan jika perlu. Tentu saja manusia harus menemukan dan mempelajari pola-pola alam, jiwa
manusia, masyarakat. Dia harus mengindustrikan dan mengembangkan dunia agar dunia
menjadi taman dimana Firman Allah diagungkan.

4. Tauhid Sebagai Prinsip Pertama Masyarakat

Tauhid menegaskan bahwa “umatmu ini umat yang satu, yang Tuhannya adalah Allah.
Karena itu sembah dan mengabdilah pada-Nya” Tauhid berarti bahwa orang orang-orang
beriman adalah bersaudara , yang anggotanya saling mencintai dalam Tuhan, mereka saling
menasihati untuk berlaku adil dan sabar. Mereka semua berpegang pada tali Allah, dan tidak
berpisah satu sama lain, mereka saling berurusan, menganjurkan kebaikan dan melarang
kejahatan; mereka menaati Allah dan Nabi-Nya.

5. Tauhid Sebagai Prinsip Pertama Estetika


Tauhid berarti menyingkirkan Tuhan dari segenap bidang alam. Segala yang diciptakan
adalah makhluk, nontrasenden, tunduk kepada hukum ruang dan waktu. Semuanya ini tak
mungkin Tuhan dalam arti apapun, khususnya arti ontologis yang dinafikan tauhid, sebagai
intisari monoteisme. Tuhan sama sekali bukan ciptaan, sama sekali bukan alam, dan karena
itu Tuhan transenden. Dialah satu-satunya wujud yang trasenden. Tauhid selanjutnya
menegaskan bahwa tak ada yang menyerupai-Nya, sehingga tidak ada ciptaan yang
menyerupai atau melambangkan Tuhan, tak ada yang dapat mewakili-Nya. Jelas secara
definisi Dia tak tergambarkan. Tuhan adalah Dia yang tak ada lembaga estetis apapun yang
mungkin.

2.5 Perilaku Tauhid dalam Kehidupan sehari-hari

1. Tidak mempersekutukan Allah SWT

Mempersekutukan artinya tidak menyembah Tuhan selain Allah SWT. Perbuatan


mempersekutukan tersebut dinamakan syirik, dan orang yang melakukannya dinamakan
musyrik. Syirik merupakan dosa besar di samping dosa-dosa besar yang lainnya, seperti
durhaka pada orangtua, takabur, dan lain sebagainnya. Syirik merupakan dosa besar, bahkan
derajatnya terletak di atas dosa-dosa besar yang lain. Karena itu syirik merupakan hal yang
paling berbahaya dan paling dikutuk oleh Allah, bahkan syirik merupakan dosa yang tidak
diampuni.

“Sesungguhya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan
Dia mengampuni dosa yang selain dari itu bagi siapa yang dikehendakinya. Barangsiapa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”.
(An-nisa’ 116).[3]

2. Cinta kepada Allah


“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhya Aku Maha Pengampun
Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya siksa-Ku adalah siksa yang amat pedih” (Al-
Hijr 49-50).

Adapun keharusan untuk mencintai Allah disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Agama islam memang mengajarkan hendaknya semua manusia mencintai Allah
dan Rasul Allah.
b. Mencintai Allah di sini maknanya ialah, melaksanakan segala yang menjadi
kelaziman cinta(kepada Allah), yaitu mentaati dan mendahulukan perintah Allah,
menjauhi larangan Allah.
c. Allah Maha Pengasih Maha Penyayang sehingga kita wajib mengasihi dan
mencintai Allah sepenuh hati.[4]
Imam Ghazali menerangkan, bahwa tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah ialah:
a. Orang yang selalu ingat akan mati, sebab kematian adalah perjumpaan dengan
sang kekasih yaitu Allah.
b. Orang yang sukarela ingin berkurban untuk Allah dan ingin mendekatkan diri
kepada Allah.
c. Orang yang selalu ingat kepada Allah, dan ingat kepada Allah membawa
kesegaran bagi jiwanya.
d. Orang yang mencintai firman-firman Allah yaitu Al-Qur’an dan cinta kepada
Rasul Allah yaitu Muhammad SAW.
e. Orang yang merasa ringan dan senang hati beribadah kepada Allah SWT.
f. Orang yang akan cinta pula kepada orang-orang yang berbakti kepada Allah dan
benci kepada kaum kafir dan munafik.
3. Ridho dan ikhlas terhadap qada da qadar Allah
Kepercayaan kepada qada dan qadar ini mengajarkan, bahwa segala sesuatu yang terjadi
di alam, termasuk yang menimpa diri manusia sendiri, tidaklah terlepas dari takdir atau
ketentuan Allah. Semua yang ada pada diri manusia telah ditentukan(ditakdirkan) oleh Allah,
dan manusia tinggal menerima apa adanya.

“Siapa tidak ridha aka Qada-Ku da Qadar-Ku, baiklah ia mencari Tuhan selain Aku”
(Riwayat Thabrani).

Makna ridha dan ikhlas terhadap takdir Allah ialah, hendaklah kita bersyukur terhadap
takdir yang diberikan oleh Allah SWT[6]. Orang mukmin yang sabar dan tabah meghadapi
penderitaan akan memperoleh beberapa keuntungan:
a. Akan menerima pahala yang tiada terkira banyaknya, bahkan memperoleh pahala
sebagai orang yang mati syahid.
b. Dihapus dosa-dosanya oleh Allah.
c. Akan memperoleh kebahagiaan hidup abadi di akhirat, yaitu masuk surga.[7]
4. Bertaubat kepada Allah
Taubat adalah kembali taat kepada Allah setelah sebelimnya durhaka kepada
Allah. Taubat adalah kembali taat kepada Allah setelah sebelumnya durhaka kepada
Allah SWT. Siapa yang menyesal atas sesuatu dosa yang telah dikerjakan, hal tersebut
sudah dinamakan bertaubat, walaupun perlu disempurnakan lagi. Agama Islam
mengajarkan, bahwa dosa dapat dihilangkan dengan dua jalan yang harus dikerjakan
semuanya, yaitu:
a. Dengan bertaubat kepada Allah, yaitu berusaha secara khusus menghilangkan
sesuatu dosa.
b. Dengan beribadah kepada Allah seperti shalat, puasa, dan amal-amal baik lainnya.
Taubat hendaknya dilakukan dengan mengerjakan rukun-rukun taubat yang terdiri dari:
a. Berhenti dari maksiat
b. Menyesal atas dosa-dosa yang telah dikerjakan.
c. Berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi berbuat dosa.
d. Dalam hal dosa kepada orang lain, hendaknya ditambah dengan menyelesaikan
persoalan dengan orang lai yang bersangkutan.[10]
5. Bersyukur kepada Allah

Syukur ialah mempergunakan segala sesuatu pemberian dari Allah pada


fungsinya masing-masing, sesuai dengan yang sudah ditentukan Allah.[11] Adapun
selanjutnya, syukur itu melengkapi juga pengertia-pengertian sebagai berikut:

a. Merasa gembira atas sesuatu pemberian orang lain yang kita terima.
b. Menyatakan kegembiraan itu dengan ucapan dan perbuatan.
c. Memelihara pemberian dengan baik-baik dan mempergunakan sesuai dengan yang
di kehendaki oleh si pemberi.
d. Membalas pemberian Allah dengan mempergunakan karunia Allah menurut yang
diridhai Allah, dan membalas pemberian manusia dengan pemberian pula, sekurang-
kurangnya dengan doa.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Tauhid berarti mengesakan Allah SWT. Adapun cara mengesakan Allah dengan cara
melawan kepercayaan-kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku yang tidak sesuai
dengan Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.

2. Perilaku Tauhid dalam Kehidupan Sehari-hari, antara lain:

a. Tidak mempersekutukan Allah

b. Cinta kepada Allah

c. Ridho dan ikhlas terhadap qada dan qadar Allah

d. Bertaubat kepada Allah

e. Bersyukur kepada Allah

B. Saran

Dalam menyusun makalah ini, penulis menyadari masih ada kekurangan baik materi
maupun penulisan. Jadi penulis menyarankan agar pembaca makalah ini membaca referensi dari
buku-buku lain untuk melengkapi atau menambah pengetahuan di bidang aqidah akhlak. Saran
dari semua pihak akan kami kumpulkan untuk memberi semangat dan acuan dalam penulisan
makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, Shalih. 2001. Kitab Tauhid I . Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

(http://id.islamiclopedia.org/wiki/Kitab_Tauhid-Tauhid)

(http://blog.re.or.id/tauhid-dan-korelasinya-dalam-menghapus-dosa.htm)

(http://halaqah.net/v10/index.php?action=printpage;topic=9800.0)

Tatapangarsa, Humaid. 1980. Akhlaq Yang Mulia. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Wahhab, Muhammad bin Abdul. 2003. Tegakkan Tauhid Tumbangkan Syirik. Yogyakarta:
MITRA PUSTAKA.

Anda mungkin juga menyukai