Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

MADLULUSY SYAHADATAIN, SYURUTH QOBULISY


SYAHADATAIN, DAN NAWAQIDHUSY SYAHADATAIN

DOSEN PENGAMPU
Dr.H. Alfan Syafi’I, Lc. M.Pd.I

DISUSUN OLEH:
Achmad Nurjanah
Aditya Rahman
Muhammad Ilyas Albifachri

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH HUSNUL KHOTIMAH
Desa Maniskidul Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan 45554 Jawa Barat
Telp. 0232-8617988 Fax. 0232-613809 HP: 0852 9592 5199 Website:
www.stishusnulkhotimah.ac.id
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Aalamiin,Segala puji bagi Allah SWT yang telah


memberikan segala limpahan nikmat dan karunianya untuk kita semua, karena
berkat rahmat dan karunianya kita semua masih bisa beraktifitas seperti biasa,
khususnya kami sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW karena beliaulah kita semua masih bisa merasakan nikmat
iman, nikmat islam dan nikmat lainnya.

Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung kami dalam hal penyusunan makalah ini. Kami mohon maaf atas
segala kesalahan dan kekhilafan kami.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Islam dan Ilmu Pengetahuan (Manhaj) yang diampu oleh Dr.H. Alfan Syafi’I,
Lc. M.Pd.I. dan makalah ini akan berisi pemaparan materi dengan judul
‘’Madlulusy Syahadatain, Syuruth Qobulusy Syahadatain, Dan Nawaqidhusy
Syahadatain’’

Kuningan, 21 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

JUDUL……………………………………………………………………………………….
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….
A.Latar Belakang Masalah ………………………………………………………..............
B.Rumusan Masalah ………………………………………………………………..
CTujuan Pembahasan ………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN
A. Madlulusy Syahadatain (I’lan,Qosam, Dan ‘Ahd)
B. Syuruth Qobulisy Syahadatain (ilmu,yakin,ikhlas,jujur,cinta,menerima,dan tunduk)
C. Nawaqidhusy Syahadatain (syirik, membangkang dan kemunafikan)

BAB III PENUTUP

A.Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dua kalimat syahadat merupakan kunci utama seseorang untuk masuk


kedalam agama Islam.Seseorang yang sudah mengucapkan dua kalimat
syahadat mestinya mengerti akan makna yang terkandung didalam kalimat
tersebut,Tauhid yang murni dapat mewujudkan orang untuk masuk surga.

Ironisnya banyak orang muslim yang meruntuhkan akidah nya dengan


melakukan hal-hal yang dapat meruntuhkan akidah seperti berbohong,syirik,
syirik, suka menyepelekan ketentuan Allah, bersumpah dengan nama melainkan
Allah, ataupun dengan ujaran-ujaran yang cenderung kepada syirik. Melainkan
itu berketentuan dengan kecuali ketentuan Allah saja terkandung kegiatan yang
dapat merobohkan akidah. Kalimat syahadat ialah kekuasaan yang dibagikan
Allah Swt. agar menguatkan orang yang beriman.Firman Allah Swt.

”Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang


teguh itu, dalam kehidupan didunia dan akhirat; dan Allah menyesatkan orang-
orang yang zalim dan memperbuat apa yang dia kehendaki “.

Berdasarkan hal ini, masing-masing orang yang mau masuk Islam


mensyaratkan untuk mengatakan dua kalimat syahadat. Oleh sebab itu orang
yang mengatakan. LAAILAAHAILLAALLAAH Artinya :”Tiada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah, Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Setiap
orang Islam wajib mengatakan kalimat syahadat sedikitnya satu kali seumur
hidup. Dilihat dari sudut ketetapan Islam, dua kalimat sahadat ini ialah
persaksian atau perjanjian, tidak ada Tuhan selain Allah. Sesudah perjanjian
kepada Allah tersebut, bahwa selama hayat dikandung badan ia mesti menuruti
kyakinan Allah Swt. yang saat ini terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah yang saat ini terletak dalam kitab hadis dan riwayat hidup beliau.4
Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang dibawa Rasulullah, yaitu al-
Qur’an. Kecuali mempercayai mereka serta mesti melaksanakannya dengan
mengikuti peraturannya dan menjauhi larangan nya serta beribadah kepada
Allah Swt. yang bertara dengan syari’at, umat islam serta mesti mempercayai
bahwa Nabi Muhammad Saw. Memperoleh wahyu dan pengajaran langsung
dari Allah Swt. Melainkan itu beliau serta terpelihara dari dosa (maksum) maka
dari itu begitu sebagaimana ada kesalahan sedikit langsung ditegur Allah Swt.
Dua kalimat tersebut yakni kalimat yang sangat agung, dan kunci surga.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara masyarakat agar memahami makna syahadatain?


2. Bagaimana cara masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran-
pelanggaran akidah?
3. Bagaimana cara mengokohkon ketauhidan masyarakat?

C.Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pemahaman masyarakat tentang syahadat
2. Mengetahui pemahaman masyarakat tentang hal-hal yang dapat merusaak
akidah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Madlulusy Syahadatain (I’lan,Qosam, Dan ‘Ahd)

Pertama, kata asy-syahadah dengan makna al-i’lan / al-


iqrar (pernyataan), diantaranya disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali
Imran, 3 : 18,

‫َش ِهَد ُهَّللا َأَّنُه َال ِإَلَه ِإَّال ُهَو َو اْلَم َالِئَك ُة َو ُأوُلو اْلِع ْلِم َقاِئًم ا ِباْلِقْس ِط َال ِإَلَه ِإَّال ُهَو اْلَع ِز يُز اْلَح ِكيُم‬
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).
Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dengan makna seperti ini, maka seseorang yang mengucapkan syahadat,
berarti ia telah menyatakan bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi
selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.

Kedua, kata asy-syahadah dengan makna al-qasamu/al-halfu (sumpah),


seperti disebutkan dalam firman Allah Ta’ala surat An-Nur ayat 6,

‫َو اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن َأْز َو اَج ُهْم َو َلْم َيُك ْن َلُهْم ُش َهَداُء ِإَّال َأْنُفُسُهْم َفَش َهاَد ُة َأَحِدِهْم َأْر َبُع َش َهاَداٍت ِباِهَّلل ِإَّنُه َلِم َن‬
‫الَّصاِدِقيَن‬
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Dengan makna seperti ini, maka seseorang yang mengucapkan syahadat,
berarti ia telah bersumpah, bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Ketiga, kata asy-syahadah dengan makna al-‘ahdu/al-wa’du/al-


mitsaq (perjanjian). Seperti disebutkan dalam firman Allah Ta’ala surat
Al-A’raf ayat 172,

‫َو ِإْذ َأَخ َذ َر ُّبَك ِم ْن َبِني آَد َم ِم ْن ُظُهوِر ِهْم ُذ ِّر َّيَتُهْم َو َأْش َهَد ُهْم َع َلى َأْنُفِس ِهْم َأَلْس ُت ِبَر ِّبُك ْم َقاُلوا َبَلى َش ِهْد َنا‬
‫َأْن َتُقوُلوا َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِإَّنا ُكَّنا َع ْن َهَذ ا َغاِفِليَن‬
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka
menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)’”

Kalimat “wa asyhadahum” pada ayat di atas artinya adalah “mengambil


kesaksian dari mereka” atau “mengambil perjanjian dari mereka”. Maka,
seorang yang mengucapkan syahadat, berarti ia telah berjanji kepada
Allah Ta’ala untuk mentauhidkan-Nya (tiada tuhan selain Allah),
demikian juga berjanji untuk mengakui dan mengikuti nabi Muhammad
sebagai utusan Allah.

Jadi, asy-syahadah maknanya adalah pernyataan, sumpah, dan janji


keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Di dalam ajaran Islam, awal kesempurnaan atau sahnya al-
iman (keimanan) adalah dengan iqrarun bil lisan (ikrar dengan
lisan), tashdiqun bil qalbi (membenarkannya di dalam hati) dan ‘amalun
bil arkan (mengamalkannya dengan anggota tubuh).

Berkenaan dengan hal ini, Al-Hasan al-Bashri berkata,

‫َلْيَس اِإْل ْيَم اُن ِبالَّتَح ِّلي َو اَل بِالَّتَم ِّني َو َلِكْن َم ا َو َقَر ِفي اْلَقْلِب َو َص َّدَقْتُه اَأْلْع َم اُل‬

“Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata,


namun iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan
dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-
Zuhd dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [1/80])
Oleh karena itu, setiap muslim harus memiliki kesadaran bahwa syahadat
ini adalah sebuah pernyataan, sumpah, dan janji keimanan kepada
Allah Ta’ala. Maka sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam, setelah menyatakan diri beriman kepada Allah Ta’ala, setiap
kita harus berupaya untuk beristiqamah dalam keimanan itu.

B. Syuruth Qobulisy Syahadatain


(ilmu,yakin,ikhlas,jujur,cinta,menerima,dan tunduk)

Syarat-syarat Diterimanya Dua Kalimat Syahadat.


Berikut ini syarat-syaratnya:
Pertama, (‫)العلم المنافي للجهل‬. Artinya, didasari dengan ilmu yang
menghilangkan kejahilan.
Syahadatain yang kita ucapkan harus didasari pengetahuan dan
pemahaman, yakni tidak ada peribadahan kepada selain Allah Ta’ala dan
menetapkan bahwa hanya Allah Ta’ala satu-satunya yang patut diibadahi
dengan sebenarnya. Syahadatain yang kita ucapkan harus menghilangkan
kejahilan terhadap makna ini.
Allah Ta’ala berfirman,
‫َفاْع َلْم َأَّنُه اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهَّللا َو اْسَتْغ ِفْر ِلَذْنِبَك َو ِلْلُم ْؤ ِمِنيَن َو اْلُم ْؤ ِم َناِت َو ُهَّللا َيْع َلُم ُم َتَقَّلَبُك ْم َو َم ْثَو اُك ْم‬
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq)
melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui
tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad, 47 :
19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َم ْن َم اَت َو ُهَو َيْع َلُم َأَّنُه َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َد َخ َل اْلَج َّنَة‬
“Barangsiapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk
surga.” (HR. Muslim)
Kedua, (‫)اليقين المنافي للشك‬. Ucapan syahadatain harus didasari dengan
keyakinan yang menghilangkan keraguan, dengan begitu ia tidak mudah
terombang-ambing oleh berbagai ujian dan cobaan yang menderanya.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِباِهَّلل َو َر ُسوِلِه ُثَّم َلْم َيْر َتاُبوا َو َج اَهُدوا ِبَأْم َو اِلِهْم َو َأْنُفِس ِهْم ِفي َس ِبيِل ِهَّللا‬
‫ُأوَلِئَك ُهُم الَّصاِد ُقوَن‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah,
mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat, 49: 15)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َأْش َهُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأِّنى َر ُسوُل ِهَّللا َال َيْلَقى َهَّللا ِبِهَم ا َع ْبٌد َغْيَر َشاٍّك ِفيِهَم ا ِإَّال َد َخ َل اْلَج َّنَة‬
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah
dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang
bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan membawa keduanya
(syahadatain) dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan
memasukkannya ke surga” (HR. Muslim No. 147)
Ketiga, (‫ )اإلخالص المنافي للشرك‬didasari dengan keikhlasan (kemurnian
iman) yang menghilangkan kesyirikan.
Keyakinan mengenai keesaan Allah itupun harus dilandasi keikhlasan
(kemurnian) di hati, bahwa hanya Allah lah yang ia jadikan sebagai Ilah,
tiada sekutu, tiada sesuatu apapun yang dapat menyamainya-Nya.
Keikhlasan seperti ini akan menghilangkan syirik kepada sesuatu apapun
juga. Allah Ta’ala berfirman,
‫َو َم ا ُأِم ُروا ِإاَّل ِلَيْعُبُدوا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن ُح َنَفاَء َو ُيِقيُم وا الَّص اَل َة َو ُيْؤ ُتوا الَّز َكاَة َو َذ ِلَك ِد يُن اْلَقِّيَم ِة‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah, 98 : 5)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ َخاِلًصا ِم ْن َقْلِبِه َأْو َنْفِس ِه‬، ‫َأْس َع ُد الَّناِس ِبَش َفاَع ِتى َيْو َم اْلِقَياَم ِة َم ْن َقاَل َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا‬
“Orang yang berbahagia karena mendapat syafa’atku pada hari kiamat
nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas
dalam hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari)
Keempat, (‫ )الصدق المنافي للكذب‬didasari dengan kejujuran yang
menghilangkan kedustaan.
Syahadatain itu juga harus dilandasi dengan kejujuran. Artinya, apa yang
diucapkan oleh lisan harus sesuai dengan apa yang terdapat di dalam hati.
Karena jika lisannya mengucapkan syahadatain, tapi hatinya meyakini
sesuatu yang lain atau bertentangan dengan syahadatain, maka ini
merupakan sifat munafik.
Allah Ta’ala berfirman,
‫َو ِم َن الَّناِس َم ْن َيُقوُل آَم َّنا ِباِهَّلل َو ِباْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر َو َم ا ُهْم ِبُم ْؤ ِمِنيَن ُيَخ اِد ُع وَن َهَّللا َو اَّلِذ يَن آَم ُنوا َو َم ا‬
‫َيْخ َد ُع وَن ِإاَّل َأْنُفَس ُهْم َو َم ا َيْش ُعُروَن‬
“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah
dan Hari kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-
orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang
yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang
mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 8-9)
Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik ditolak oleh
Allah Ta’ala karena tidak dilandasi kejujuran, sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya,
‫ِإَذ ا َج اَء َك اْلُم َناِفُقوَن َقاُلوا َنْش َهُد ِإَّنَك َلَر ُسوُل ِهَّللا َو ُهَّللا َيْع َلُم ِإَّنَك َلَر ُسوُلُه َو ُهَّللا َيْش َهُد ِإَّن اْلُم َناِفِقيَن‬
‫َلَك اِذ ُبوَن‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:
‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.’
Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-
Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik
itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun, 63: 1)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َم ا ِم ْن َأَح ٍد َيْش َهُد َأْن َال ِإَلَه ِإَّال ُهَّللا َو َأَّن ُمَح َّم ًدا َر ُسوُل ِهَّللا ِص ْد ًقا ِم ْن َقْلِبِه ِإَّال َح َّر َم ُه ُهَّللا َع َلى الَّناِر‬
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan
kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka
baginya.” (HR. Bukhari)
Kelima, (‫ )المحبة المنافية للبغض والكراهة‬didasari rasa cinta yang
menghilangkan kebencian dan rasa tidak suka.
Maknanya adalah bahwa syahadatain yang diucapkan harus benar-benar
lahir dari keterpautan hati kepada Allah Ta’ala. Dia berfirman,
‫ۗ َو ِم َن الَّناِس َم ْن َيَّتِخ ُذ ِم ْن ُدوِن ِهَّللا َأْنَداًدا ُيِح ُّبوَنُهْم َك ُحِّب ِهَّللاۖ َو اَّلِذ يَن آَم ُنوا َأَشُّد ُح ًّبا ِهَّلِل‬
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada
Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 165)
Keenam, (‫ )القبول المنافي للرد‬didasari dengan rasa penerimaan yang
menghilangkan penolakan.
Syahadatain yang diucapkan juga harus diiringi rasa penerimaan terhadap
segala makna yang terkandung di dalamnya. Jadi seorang muslim harus
menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan lisan tanpa menolaknya.
Allah menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak mau
menerima dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
firman-Nya,
‫ِإَّنُهْم َك اُنوا ِإَذ ا ِقيَل َلُهْم اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهَّللا َيْسَتْك ِبُروَن َو َيُقوُلوَن َأِئَّنا َلَتاِر ُك و آِلَهِتَنا ِلَش اِع ٍر َم ْج ُنوٍن‬
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘la
ilaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah)
mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah
sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami
karena seorang penyair gila?’” (QS. As Shaffat, 37: 35-36)
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,
« ‫ َفَك اَن ِم ْنَها َنِقَّيٌة َقِبَلِت‬، ‫َم َثُل َم ا َبَع َثِنى ُهَّللا ِبِه ِم َن اْلُهَدى َو اْلِع ْلِم َك َم َثِل اْلَغْيِث اْلَك ِثيِر َأَص اَب َأْر ًضا‬
، ‫ َفَنَفَع ُهَّللا ِبَها الَّناَس‬، ‫ َو َكاَنْت ِم ْنَها َأَج اِد ُب َأْمَس َك ِت اْلَم اَء‬، ‫ َفَأْنَبَتِت اْلَك َأل َو اْلُع ْش َب اْلَك ِثيَر‬، ‫اْلَم اَء‬
‫ َو َال ُتْنِبُت‬، ‫ ِإَّنَم ا ِهَى ِقيَع اٌن َال ُتْمِس ُك َم اًء‬، ‫ َو َأَص اَبْت ِم ْنَها َطاِئَفًة ُأْخ َر ى‬، ‫َفَش ِر ُبوا َو َس َقْو ا َو َز َر ُعوا‬
‫ َو َم َثُل َم ْن َلْم َيْر َفْع ِبَذ ِلَك‬، ‫ َفَعِلَم َو َع َّلَم‬، ‫ َفَذ ِلَك َم َثُل َم ْن َفِقَه ِفى ِد يِن ِهَّللا َو َنَفَع ُه َم ا َبَع َثِنى ُهَّللا ِبِه‬، ‫َك ًأل‬
‫ َو َلْم َيْقَبْل ُهَدى ِهَّللا اَّلِذ ى ُأْر ِس ْلُت ِبِه‬، ‫ » َر ْأًسا‬.
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah
seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang
subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga
ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun
dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia
(melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum
(pada hewan ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok
tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong,
tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput
(tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan
apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu
dia belajar dan mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalan
orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima
petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketujuh, (‫)اإلنقياد المنافي لإلمتناع والترك وعدم العمل‬
Syahadatain harus didasari dengan rasa kepatuhan (terhadap konsekuensi
syahadat) yang menghilangkan sikap penolakan, menjauh, dan tidak mau
beramal.
Syahadatain memiliki konsekuensi dalam segala aspek kehidupan
seorang muslim. Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah
patuh terhadap syari’at Allah Ta’ala serta tunduk dan berserah diri
kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ُأْل‬
‫َو َم ْن ُيْس ِلْم َو ْج َهُه ِإَلى ِهَّللا َو ُهَو ُم ْح ِس ٌن َفَقِد اْسَتْمَس َك ِباْلُعْر َو ِة اْلُو ْثَقى َو ِإَلى ِهَّللا َعاِقَبُة ا ُم وِر‬
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia
orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan
segala urusan.” (QS. Luqman, 31: 22)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َالُيْؤ ِم ُن َأَح ُد ُك ْم َح َّتى َيُك ْو َن َهَو اُه َتَبًعا ِلَم ا ِج ْئُت ِبِه‬
“Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk
mengikuti ajaranku.” (H.R. Thabrani).

C. Nawaqidhusy Syahadatain (syirik, membangkang dan kemunafikan)

PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas ‫حفظه هللا‬
Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya perkara-perkara yang dapat
membatalkan keislaman seseorang. Berikut ini akan kami sebutkan
sebagiannya:

1. Menyekutukan Allah (syirik).


Yaitu menjadikan sekutu atau menjadikannya sebagai perantara antara
dirinya dengan Allah. Misalnya berdo’a, memohon syafa’at, bertawakkal,
beristighatsah, bernadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain
Allah, seperti menyembelih untuk jin atau untuk penghuni kubur, dengan
keyakinan bahwa para sesembahan selain Allah itu dapat menolak bahaya
atau dapat mendatangkan manfaat.

Allah Ta’ala berfirman:

‫ِإَّن َهَّللا اَل َيْغ ِفُر َأن ُيْش َر َك ِبِه َو َيْغ ِفُر َم ا ُد وَن َٰذ ِلَك ِلَم ن َيَش اُء‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia


mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya…” [An-Nisaa’: 48]
Dan Allah Ta’ala berfirman:

‫ْأ‬
‫ِإَّنُه َم ن ُيْش ِر ْك ِباِهَّلل َفَقْد َح َّر َم ُهَّللا َع َلْيِه اْلَج َّنَة َو َم َو اُه الَّناُرۖ َو َم ا ِللَّظاِلِم يَن ِم ْن َأنَص اٍر‬

“… Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,


maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah
Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.”
[Al-Maa-idah: 72]

2. Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah, yaitu


dengan berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka.
Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’
(kesepakatan para ulama).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


‫ُقِل اْد ُعوا اَّلِذ يَن َز َع ْم ُتم ِّم ن ُدوِنِه َفاَل َيْمِلُك وَن َك ْش َف الُّض ِّر َعنُك ْم َو اَل َتْح ِو ياًل ُأوَٰل ِئَك اَّلِذ يَن َيْدُع وَن‬
‫َيْبَتُغ وَن ِإَلٰى َر ِّبِهُم اْلَو ِس يَلَة َأُّيُهْم َأْقَر ُب َو َيْر ُجوَن َر ْح َم َتُه َو َيَخاُفوَن َع َذ اَبُهۚ ِإَّن َع َذ اَب َر ِّبَك َك اَن‬
‫َم ْح ُذ وًرا‬
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sekutu) selain
Allah, maka tidaklah mereka memiliki kekuasaan untuk menghilangkan
bahaya darimu dan tidak pula dapat memindahkannya.’ Yang mereka
seru itu mencari sendiri jalan yang lebih dekat menuju Rabb-nya, dan
mereka mengharapkan rahmat serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya
adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” [Al-Israa’: 56-57]
[2]

3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran


mereka, atau membenarkan pendapat mereka.
Yaitu orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir -baik dari
Yahudi, Nasrani maupun Majusi-, orang-orang musyrik, atau orang-orang
mulhid (Atheis), atau selain itu dari berbagai macam kekufuran, atau ia
meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka,
maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ِإَّن الِّد يَن ِع نَد ِهَّللا اِإْل ْس اَل ُم‬

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”


[Ali ‘Imran: 19][3]

Termasuk juga seseorang yang memilih kepercayaan selain Islam, seperti


Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunis, Sekularisme, Masuni, Ba’ats atau
keyakinan (kepercayaan) lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.

Juga firman-Nya:
‫َو َم ن َيْبَتِغ َغْيَر اِإْل ْس اَل ِم ِد يًنا َفَلن ُيْقَبَل ِم ْنُه َو ُهَو ِفي اآْل ِخَر ِة ِم َن اْلَخاِس ِر يَن‬

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali


tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk
orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka, namun ia


menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mau mengkafirkan mereka,
atau meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat
mereka, sedangkan kekufuran mereka itu telah menentang Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:

‫ِإَّن اَّلِذ يَن َكَفُروا ِم ْن َأْهِل اْلِكَتاِب َو اْلُم ْش ِر ِكيَن ِفي َناِر َج َهَّنَم َخ اِلِد يَن ِفيَهاۚ ُأوَٰل ِئَك ُهْم َش ُّر اْلَبِر َّيِة‬

“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang


musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-Bayyinah: 6]

Yang dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani,


sedangkan kaum musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah
yang lain bersama Allah.[4]

4. Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna dari Sunnah Nabi


Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau orang meyakini bahwa
ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum
Thaghut daripada hukum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia
telah kafir.

Termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa


peraturan dan undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama)
daripada sya’riat Islam, atau orang meyakini bahwa hukum Islam tidak
relevan (sesuai) lagi untuk diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang
meyakini bahwa Islam sebagai sebab ketertinggalan ummat. Termasuk
juga orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum potong
tangan bagi pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang (sudah menikah
lalu) berzina sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang.

Juga orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh


Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah tetap, seperti zina, riba,
meminum khamr, dan berhukum dengan selain hukum Allah atau selain
itu, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.

Allah Ta’ala berfirman:

‫َأَفُح ْك َم اْلَج اِهِلَّيِة َيْبُغ وَن ۚ َو َم ْن َأْح َس ُن ِم َن ِهَّللا ُح ْك ًم ا ِّلَقْو ٍم ُيوِقُنوَن‬


Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum)
siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin?” [Al-Maa-idah: 50]

Allah Ta’ala berfirman:

‫َو َم ن َّلْم َيْح ُك م ِبَم ا َأنَز َل ُهَّللا َفُأوَٰل ِئَك ُهُم اْلَك اِفُروَن‬

“… Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan


Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [Al-Maa-idah: 44]

Allah Ta’ala berfirman:

‫َو َم ن َّلْم َيْح ُك م ِبَم ا َأنَز َل ُهَّللا َفُأوَٰل ِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن‬

“… Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan


Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah:
45]

Allah Ta’ala berfirman:

‫َو َم ن َّلْم َيْح ُك م ِبَم ا َأنَز َل ُهَّللا َفُأوَٰل ِئَك ُهُم اْلَفاِس ُقوَن‬

“… Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan


Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Maa-idah:
47]

5. Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia
telah kafir.
Yaitu orang yang marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang
dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun ia
melakukannya, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َو اَّلِذ يَن َكَفُروا َفَتْعًسا َّلُهْم َو َأَض َّل َأْع َم اَلُهْم َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهْم َك ِر ُهوا َم ا َأنَز َل ُهَّللا َفَأْح َبَط َأْع َم اَلُهْم‬

“Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah
menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di-turunkan Allah (Al-Qur-
an), lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.”
[Muhammad: 8-9]

Juga firman-Nya:

‫ِإَّن اَّلِذ يَن اْر َتُّد وا َع َلٰى َأْد َباِر ِهم ِّم ن َبْع ِد َم ا َتَبَّيَن َلُهُم اْلُهَدىۙ الَّش ْيَطاُن َس َّو َل َلُهْم َو َأْم َلٰى َلُهْم َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهْم‬
‫َقاُلوا ِلَّلِذ يَن َك ِر ُهوا َم ا َنَّز َل ُهَّللا َس ُنِط يُع ُك ْم ِفي َبْع ِض اَأْلْم ِر ۖ َو ُهَّللا َيْع َلُم ِإْس َر اَر ُهْم َفَكْيَف ِإَذ ا َتَو َّفْتُهُم‬
‫اْلَم اَل ِئَك ُة َيْض ِرُبوَن ُو ُجوَهُهْم َو َأْد َباَر ُهْم َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهُم اَّتَبُعوا َم ا َأْسَخ َط َهَّللا َو َك ِرُهوا ِرْض َو اَنُه َفَأْح َبَط‬
‫َأْع َم اَلُهْم‬

Baca Juga Ahlus Sunnah wal Jama’ah Menjaga Ukhuwwah


(Persaudaraan) Sesama Mukminin
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah
jelas petunjuk bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah
(berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian
itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata
kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah
(orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,’
sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan
mereka) apabila Malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya
memukul muka dan punggung mereka. Yang demikian itu karena
sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan
Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan)
keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.”
[Muhammad: 25-28]

6. Menghina Islam
Yaitu orang yang mengolok-olok (menghina) Allah dan Rasul-Nya, Al-
Qur-an, agama Islam, Malaikat atau para ulama karena ilmu yang mereka
miliki. Atau menghina salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam, seperti
shalat, zakat, puasa, haji, thawaf di Ka’bah, wukuf di ‘Arafah atau
menghina masjid, adzan, memelihara jenggot atau Sunnah-Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah pada
tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta terdapat
keberkahan padanya, maka dia telah kafir.

Allah Ta’ala berfirman:


‫َو َلِئن َس َأْلَتُهْم َلَيُقوُلَّن ِإَّنَم ا ُكَّنا َنُخ وُض َو َنْلَع ُب ۚ ُقْل َأِباِهَّلل َو آَياِتِه َو َر ُسوِلِه ُك نُتْم َتْسَتْهِز ُئوَن اَل َتْعَتِذ ُروا َقْد‬
‫َكَفْر ُتم َبْع َد ِإيَم اِنُك ْم ۚ ِإن َّنْعُف َعن َطاِئَفٍة ِّم نُك ْم ُنَع ِّذ ْب َطاِئَفًة ِبَأَّنُهْم َك اُنوا ُم ْج ِر ِم يَن‬

“… Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya


kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu
kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu
(lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang
lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
[At-Taubah: 65-66]

Dan firman Allah Ta’ala:

‫َو ِإَذ ا َر َأْيَت اَّلِذ يَن َيُخ وُضوَن ِفي آَياِتَنا َفَأْع ِر ْض َع ْنُهْم َح َّتٰى َيُخ وُضوا ِفي َحِد يٍث َغْيِر ِهۚ َو ِإَّم ا ُينِس َيَّنَك‬
‫الَّش ْيَطاُن َفاَل َتْقُع ْد َبْع َد الِّذْك َر ٰى َم َع اْلَقْو ِم الَّظاِلِم يَن‬

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat


Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan
pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim
itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’aam: 68]

7. Melakukan Sihir
Yaitu melakukan praktek-praktek sihir, termasuk di dalamnya ash-sharfu
dan al-‘athfu.
Ash-sharfu adalah perbuatan sihir yang dimaksudkan dengannya untuk
merubah keadaan seseorang dari apa yang dicintainya, seperti
memalingkan kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi
kebencian terhadapnya.

Adapun al-‘athfu adalah amalan sihir yang dimaksudkan untuk memacu


dan mendorong seseorang dari apa yang tidak dicintainya sehingga ia
mencintainya dengan cara-cara syaithan.

Allah Ta’ala berfirman:

‫َو َم ا ُيَع ِّلَم اِن ِم ْن َأَحٍد َح َّتٰى َيُقواَل ِإَّنَم ا َنْح ُن ِفْتَنٌة َفاَل َتْكُفْر‬

“…Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun


sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu),
sebab itu janganlah kamu kafir...’” [Al-Baqarah: 102]
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ِإَّن الُّر َقى َو الَّتَم اِئَم َو الِّتَو َلَة ِش ْر ٌك‬.

‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah (pelet) adalah perbuatan syirik.’”


[5]

8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka


dalam rangka memerangi kaum Muslimin

Allah Ta’ala berfirman:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَل َتَّتِخ ُذ وا اْلَيُهوَد َو الَّنَص اَر ٰى َأْو ِلَياَء ۘ َبْعُضُهْم َأْو ِلَياُء َبْع ٍضۚ َو َم ن َيَتَو َّلُهم ِّم نُك ْم َفِإَّنُه‬
‫ِم ْنُهْم ۗ ِإَّن َهَّللا اَل َيْهِد ي اْلَقْو َم الَّظاِلِم يَن‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-


orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin bagimu; sebagian mereka
adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51][6]

Juga firman Allah Ta’ala:

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَل َتَّتِخ ُذ وا اَّلِذ يَن اَّتَخ ُذ وا ِد يَنُك ْم ُهُز ًو ا َو َلِع ًبا ِّم َن اَّلِذ يَن ُأوُتوا اْلِكَتاَب ِم ن َقْبِلُك ْم‬
‫َو اْلُك َّفاَر َأْو ِلَياَء ۚ َو اَّتُقوا َهَّللا ِإن ُك نُتم ُّم ْؤ ِمِنيَن‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-


orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan
sebagai pemimpin, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab
sebelummu dan dari orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan
bertawakkallah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang
beriman.” [Al-Maa-idah: 57]

9. Meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi Muhammad


Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu orang yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian manusia
diberikan keleluasaan untuk keluar dari sya’riat (ajaran) Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Nabi Khidir dibolehkan
keluar dari sya’riat Nabi Musa Alaihissallam, maka ia telah kafir.

Karena seorang Nabi diutus secara khusus kepada kaumnya, maka tidak
wajib bagi seluruh menusia untuk mengikutinya. Adapun Nabi kita,
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia
secara kaffah (menyeluruh), maka tidak halal bagi manusia untuk
menyelisihi dan keluar dari syari’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman:

‫ُقْل َيا َأُّيَها الَّناُس ِإِّني َر ُسوُل ِهَّللا ِإَلْيُك ْم َجِم يًعا‬

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah


kepadamu semua...’” [Al-A’raaf: 158]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

‫َو َم ا َأْر َس ْلَناَك ِإاَّل َك اَّفًة ِّللَّناِس َبِش يًرا َو َنِذ يًرا َو َٰل ِكَّن َأْكَثَر الَّناِس اَل َيْع َلُم وَن‬

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia


seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Saba’: 28]

Juga firman-Nya:

‫َو َم ا َأْر َس ْلَناَك ِإاَّل َر ْح َم ًة ِّلْلَع اَلِم يَن‬

“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat


bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa’: 107]

Allah Ta’ala berfirman:

‫َأَفَغْيَر ِد يِن ِهَّللا َيْبُغ وَن َو َلُه َأْس َلَم َم ن ِفي الَّس َم اَو اِت َو اَأْلْر ِض َطْو ًعا َو َكْر ًها َو ِإَلْيِه ُيْر َج ُعوَن‬

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah,
padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah
mereka dikembalikan.” [Ali ‘Imran: 83]
Dan dalam hadits disebutkan:

‫ َلْو َأَّن ُم ْو َس ى َح ًّيا َلَم ا َو ِس َع ُه ِإَّال اِّتَباِعْي‬،‫َو ِهللا‬.

“Demi Allah, jika seandainya Musa q hidup di tengah-tengah kalian,


niscaya tidak ada keleluasaan baginya kecuali ia wajib mengikuti
syari’atku.”[7]

10. Berpaling dari agama Allah Ta’ala, ia tidak mempelajarinya dan tidak
beramal dengannya.
Yang dimaksud dari berpaling yang termasuk pembatal dari pembatal-
pembatal keislaman adalah berpaling dari mempelajari pokok agama
yang seseorang dapat dikatakan Muslim dengannya, meskipun ia jahil
(bodoh) terhadap perkara-perkara agama yang sifatnya terperinci. Karena
ilmu terhadap agama secara terperinci terkadang tidak ada yang sanggup
melaksanakannya kecuali para ulama dan para penuntut ilmu.
Firman Allah Ta’ala:

‫َو اَّلِذ يَن َكَفُروا َع َّم ا ُأنِذ ُروا ُم ْع ِرُضوَن‬

“… Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan


kepada mereka.” [Al-Ahqaaf: 3]

Firman Allah Ta’ala:

‫َو َم ْن َأْظَلُم ِمَّم ن ُذ ِّك َر ِبآَياِت َر ِّبِه ُثَّم َأْع َر َض َع ْنَهاۚ ِإَّنا ِم َن اْلُم ْج ِر ِم يَن ُم نَتِقُم وَن‬

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan
dengan ayat-ayat Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya.
Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang
yang berdosa.” [As-Sajdah: 22]

Firman Allah Ta’ala:

‫َو َم ْن َأْع َر َض َعن ِذ ْك ِر ي َفِإَّن َلُه َم ِع يَش ًة َض نًك ا َو َنْح ُش ُر ُه َيْو َم اْلِقَياَم ِة َأْع َم ٰى‬

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka


sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” [Thaahaa:
124]
Yang mulia ‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy
Syaikh ketika memulai Syarah Nawaaqidhil Islaam, beliau berkata:
“Setiap Muslim harus mengetahui bahwa membicarakan pembatal-
pembatal keislaman dan hal-hal yang menyebabkan kufur dan kesesatan
termasuk dari perkara-perkara yang besar dan penting yang harus dijalani
sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh berbicara tentang
takfir dengan mengikuti hawa nafsu dan syahwat, karena bahayanya yang
sangat besar. Sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh dikafirkan dan
dihukumi sebagai kafir kecuali sesudah ditegakkan dalil syar’i dari Al-
Qur-an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab jika
tidak demikian orang akan mudah mengkafirkan manusia, fulan dan
fulan, dan menghukuminya dengan kafir atau fasiq dengan mengikuti
hawa nafsu dan apa yang diinginkan oleh hatinya. Sesungguhnya yang
demikian termasuk perkara yang diharamkan.

Allah berfirman:

‫َفْض اًل ِّم َن ِهَّللا َو ِنْع َم ًةۚ َو ُهَّللا َع ِليٌم َحِكيٌم‬

“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” [Al-Hujuraat: 8]

Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, tidak boleh


melafazhkan ucapan atau menuduh seseorang dengan kafir atau fasiq
kecuali apa yang telah ada dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Sesungguhnya perkara takfir (menghukumi seseorang sebagai kafir) dan
tafsiq (menghukumi seseorang sebagai fasiq) telah banyak membuat
orang tergelincir dan mengikuti pemahaman yang sesat. Sesungguhnya
ada sebagian hamba Allah yang dengan mudahnya mengkafirkan kaum
Muslimin hanya dengan suatu perbuatan dosa yang mereka lakukan atau
kesalahan yang mereka terjatuh padanya, maka pemahaman takfir ini
telah membuat mereka sesat dan keluar dari jalan yang lurus.” [

Imam asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, hidup tahun


1173-1250 H) rahimahullah berkata: “Menghukumi seorang Muslim
keluar dari agama Islam dan masuk dalam kekufuran tidak layak
dilakukan oleh seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir, melainkan dengan bukti dan keterangan yang sangat jelas -lebih
jelas daripada terangnya sinar matahari di siang hari-. Karena
sesungguhnya telah ada hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari
beberapa Sahabat, bahwa apabila seseorang berkata kepada saudaranya:
‘Wahai kafir,’ maka (ucapan itu) akan kembali kepada salah seorang dari
keduanya. Dan pada lafazh lain dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih
Muslim dan selain keduanya disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil
seseorang dengan kekufuran, atau berkata musuh Allah padahal ia tidak
demikian maka akan kembali kepadanya.’

Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan


nasihat yang besar, agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir
mengkafirkan.” [9]

Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum


yang bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-
gesa dalam menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung
keluar dari Islam. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama
dengan ancaman secara umum. Wajib bagi kita untuk berpegang kepada
kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum kepada orang tertentu
bahwa ia kafir atau dia masuk Neraka, maka harus diketahui dalil yang
jelas atas orang tersebut, karena dalam menghukumi seseorang harus
terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak adanya penghalang.” [10]
Firman Allah Ta’ala:
“… Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan
kepada mereka.” [Al-Ahqaaf: 3]

Firman Allah Ta’ala:

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan
dengan ayat-ayat Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya
Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-
Sajdah: 22]

Firman Allah Ta’ala:


“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari Kiamat dalam keadaan buta.” [Thaahaa: 124]

Yang mulia ‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh
ketika memulai Syarah Nawaaqidhil Islaam, beliau berkata: “Setiap Muslim
harus mengetahui bahwa membicarakan pembatal-pembatal keislaman dan hal-
hal yang menyebabkan kufur dan kesesatan termasuk dari perkara-perkara yang
besar dan penting yang harus dijalani sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Tidak boleh berbicara tentang takfir dengan mengikuti hawa nafsu dan syahwat,
karena bahayanya yang sangat besar. Sesungguhnya seorang Muslim tidak
boleh dikafirkan dan dihukumi sebagai kafir kecuali sesudah ditegakkan dalil
syar’i dari Al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebab jika tidak demikian orang akan mudah mengkafirkan manusia, fulan dan
fulan, dan menghukuminya dengan kafir atau fasiq dengan mengikuti hawa
nafsu dan apa yang diinginkan oleh hatinya. Sesungguhnya yang demikian
termasuk perkara yang diharamkan.

Allah berfirman:
“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” [Al-Hujuraat: 8]

Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, tidak boleh melafazhkan
ucapan atau menuduh seseorang dengan kafir atau fasiq kecuali apa yang telah
ada dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sesungguhnya perkara takfir
(menghukumi seseorang sebagai kafir) dan tafsiq (menghukumi seseorang
sebagai fasiq) telah banyak membuat orang tergelincir dan mengikuti
pemahaman yang sesat. Sesungguhnya ada sebagian hamba Allah yang dengan
mudahnya mengkafirkan kaum Muslimin hanya dengan suatu perbuatan dosa
yang mereka lakukan atau kesalahan yang mereka terjatuh padanya, maka
pemahaman takfir ini telah membuat mereka sesat dan keluar dari jalan yang
lurus.” [8]

Imam asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, hidup tahun 1173-


1250 H) rahimahullah berkata: “Menghukumi seorang Muslim keluar dari
agama Islam dan masuk dalam kekufuran tidak layak dilakukan oleh seorang
Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, melainkan dengan bukti
dan keterangan yang sangat jelas -lebih jelas daripada terangnya sinar matahari
di siang hari-. Karena sesungguhnya telah ada hadits-hadits yang shahih yang
diriwayatkan dari beberapa Sahabat, bahwa apabila seseorang berkata kepada
saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka (ucapan itu) akan kembali kepada salah
seorang dari keduanya. Dan pada lafazh lain dalam Shahiihul Bukhari dan
Shahiih Muslim dan selain keduanya disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil
seseorang dengan kekufuran, atau berkata musuh Allah padahal ia tidak
demikian maka akan kembali kepadanya.’

Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat yang


besar, agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir mengkafirkan.” [9]

Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang


bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa dalam
menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari Islam.
Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum.
Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya.
Adapun hukum kepada orang tertentu bahwa ia kafir atau dia masuk Neraka,
maka harus diketahui dalil yang jelas atas orang tersebut, karena dalam
menghukumi seseorang harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak
adanya penghalang.” [10]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“… Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah Neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah:
72]
Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah, yaitu dengan
berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Syahadat merupakan sebuah kata yang bukan hanya kita


ucapkan dengan lisan tetapi juga diyakini degan tulus
didalam hati yakni tiada Tuhan melainkan Allah SWT dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT, dan juga mesti
diamalkan didalam kehidupan sehari-hari.
Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merusak
akidah seperti syirik, yang dimana perbuatan syirik adalah
perbuatan yang dapat merusak akidah bahkan perbuatan
syirik adalah perbuatan yang tidak akan dimaafkan oleh Allah
SWT kecuali ia bertaubat sebelum ajal
menjemputnya.Namun yang kita ketahui perbuatan syirik
merupakan perbuatan yang sudah menjadi hal biasa
dilakukan oleh masyarakat, dengan dalil kepercayaan nenek
moyang yang bahkan kepercayaan-kepercayaan tersebut
sengaja ataupun tidak sengaja diturunkan ke anak-anak
mereka, yang menjadikan kepercayaan nenek moyang
menjadi turun temurun.

Daftar Pustaka

[1]. Pembahasan ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil Imaam al-Mujaddid Syaikh Muhammad
bin ‘Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, cet. I, th.
1424 H; Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah lisy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
‘Abdirrahman bin Baaz v (I/130-132) dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’d asy-Syuwai’ir, cet.
I/ Darul Qasim, th. 1420 H; al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid (hal. 45-53) oleh Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin ‘Ali al-Yamani al-Washabi al-‘Abdali, cet. VII/ Maktabah al-
Irsyad Shan’a, th. 1422 H; dan at-Tanbiihatul Mukhtasharah Syarhil Waajibaat al-Mutahattimaat al-
Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah (hal. 63-82) oleh Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin
Ahmad al-Khurasyi, cet. I/ Daar ash-Shuma’i, th. 1417 H.
[2]. Lihat juga QS. Saba’: 22-23 dan az-Zumar: 3.
[3]. Lihat juga QS. Al-Baqarah: 217, al-Maa-idah: 54, Muhammad: 25-30,
[4]. Lihat QS. Al-Maa-idah: 17, al-Maa-dah: 54, al-Maa-idah: 72-73, an-Nisaa’: 140, al-Baqarah: 217,
Muhammad: 25-30,
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3883) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahiihul Jaami’ (no. 1632) dan Silsilah ash-Shohiihah (no. 331). Hadits ini juga diriwayatkan oleh
al-Hakim (IV/217), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir
(X/262), Ibnu Hibban (XIII/456) dan al-Baihaqi (IX/350).
[6]. Lihat QS. Ali ‘Imran: 100-101 dan QS. Mumtahanah: 13.
[7]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (VI/34, no. 1589) dan ia menyebutkan delapan
jalan dari hadits tersebut. Dan jalan ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiirnya pada ayat
81 dan 82 dari surat Ali ‘Imran.
[8]. Dinukil dari at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali
‘Abdul Hamid al-Halabi.
[9]. Sailul Jarraar al-Mutadaffiq ‘alaa Hadaa-iqil Az-haar (IV/578).
[10]. Majmuu’ Fataawaa (XII/498) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[11]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiy-yah fii
Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir
(hal. 42-44).

Anda mungkin juga menyukai