Anda di halaman 1dari 3

Nama : Nurmalia Rahmadita

Nim : 2007025037

Kelas : 3B Perbankan Syariah

Fikh Muamalat

1. Bagaimana hukum pinjaman online menurut pandangan Islam

Di dalam ajaran agama islam mengatur tentang utang piutang atau pinjaman. Pinjaman
Online akan dianggap sah menurut syariat Islam apabila terpenuhi rukun dan syaratnya.
Adapun yang menjadi syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam utang-piutang adalah
sebagai berikut:

- Sighat atau ijab dan kabul


- Akad dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi yang memberi utang dan
pengutang. Adapun syarat-syarat bagi pengutang adalah baligh, berakal sehat dan
dapat membedakan antara baik dan buruk.
- Harta yang diutangkan dengan syarat harta sebagai berikut:
- Harta yang diutangkan berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta yang
satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan
perbedaan nilai.
- Harta yang diutangkan berupa benda yang berwujud.
- Harta yang diutangkan jelas, dapat diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan bahwasannya penyelenggara pinjaman


online syariah diperbolehkan mengenakan biaya (ujrah/rusun) berdasarkan prinsip ijarah
atas penyediaan sistem dan sarana prasarana layanan pembiayaan berbasis teknologi
informasi. Jika informasi pembiayaan atau jasa yang ditawarkan melalui media elektronik
atau diungkapkan dalam dokumen elektronik berbeda dengan kenyataannya, maka pihak
yang dirugikan memiliki hak untuk tidak melanjutkan transaksi. Namun demikian, perlu
diingat bahwa dalam syariat Islam juga mengajarkan bahwasannya apabila kita mampu
untuk tidak meminjam, maka hendaknya kita tidak perlu untuk melakukan pinjaman
tersebut, kecuali karena dalam keadaan yang sangat mendesak yang mengharuskan sekali
untuk melakukan pinjaman. Dan apabila kita dalam keadaan terdesak tersebut, maka
pinjaman tersebut harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan diwajibkan untuk
melunasinya apabila telah habis waktu dari akad di awal antara kedua belah pihak.

2. Bagaimana hukum menunda pembayaran hutang bagi yang mampu

Menunda bayar utang merupakan bentuk tindakan menzalimi orang lain. Dalam hal ini,
Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya:

‫ظ ْهى‬ ّ َُِ‫ط ُم ْانغ‬


ُ ِ‫ي‬ ْ ‫َي‬

“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah


kezaliman,” (HR Bukhari).

Menurut para ulama ahli hadits, makna riwayat di atas mengarah pada ketentuan
haramnya menunda utang tatkala seseorang sudah cukup secara finansial dan mampu
untuk membayar. Berbeda ketika seseorang dalam keadaan tidak memiliki uang yang
cukup, maka ia tidak tergolong dalam cakupan hadits di atas. Dalam hal ini, Syekh
Badruddin al-„Aini menjelaskan:

‫ألٌ انًعُى أَه يحشو عهى انغُي انقادس أٌ يًطم بانذيٍ بعذ استحقاقه بخالف انعاجض‬

“Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan
penundaan membayar utang setelah tetapnya utang tersebut, berbeda halnya dengan
orang yang belum mampu (membayar),” (Syekh Badruddin al-„Aini, „Umdah al-Qari
Syarah Shahih al-Bukhori, juz 18, hal. 325)

Hukum yang sama juga berlaku bagi orang yang sudah memiliki uang yang cukup untuk
membayar utangnya, tapi memiliki kendala (udzur) untuk menyerahkan uang tersebut,
seperti karena uangnya tidak berada di tempat, atau halangan lain yang tak
memungkinkan ia membayar segera. Dalam kodisi demikian, ia tidak berdosa tapi tetap
berkewajiban membayar utangnya tatkala sudah mampu untuk menyerahkan uangnya.
Seperti yang dijelaskan dalam kitab Syarah an-Nawawi ala Muslim:

‫فًطم انغُى ظهى وحشاو ويطم غيش انغُى نيس بظهى وال حشاو نًفهىو انحذيث وألَه يعزوس ونى كاٌ غُيا ونكُه نيس‬
ٌ‫يتًكُا يٍ األداء نغيبة انًال أو نغيش رنك جاص نه انتأخيش إنى االيكا‬

“Menunda membayar utang bagi orang yang mampu adalah perbuatan zalim dan
merupakan tindakan yang diharamkan. Sedangkan menundanya orang yang tidak mampu
tidaklah dianggap zalim dan bukan perbuatan haram, berdasarkan mafhum dari hadits.
Sebab ia dalam keadaan uzur (untuk membayar). Jika seseorang dalam keadaan tercukupi
(untuk membayar utang), tapi ia tidak mampu untuk membayarnya karena hartanya tidak
berada di tempat atau karena faktor yang lain, maka boleh baginya untuk mengakhirkan
membayar utang sampai ia mampu membayarnya,” (Syekh Yahya bin Syaraf an-
Nawawi, Syarah an-Nawawi ala Muslim, juz 10, hal. 227).

Ketentuan di atas juga berlaku dalam permasalahan ketika seseorang telah memiliki uang
yang cukup untuk membayar utang dan mampu untuk menyerahkan uangnya pada orang
yang memberinya utang, tapi masa waktu utangnya belum jatuh tempo. Maka dalam
keadaan demikian, ia diperkenankan untuk mengakhirkan pembayaran utangnya sampai
batas waktu pembayaran yang telah disepakati. Sebab dalam hal ini orang yang memberi
utang telah rela jika pembayarannya tidak langsung dibayar tatkala ia mampu, selama
tidak melewati batas pembayaran yang telah ditentukan.

3. Bagaimana hukum memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang
yang tidak mampu membayar hutang

Memberikan ancaman fisik atau membuka rahasia (aib) seseorang yang tidak mampu
membayar hutang adalah haram. Adapun memberikan penundaan atau keringanan dalam
pembayaran hutang bagi yang mengalami kesulitan, merupakan perbuatan yang
dianjurkan (mustahab).

4. Bagaimana hukum pinjaman online yang belum mendapat ijin dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) dan tidak sesuai dengan prinsip syariah

Jika Pinjaman Online belum mendapat izin dari OJK dan tidak sesuai dengan prinsip
syariah maka sangat dilarang. Karena Ojk menerapkan setiap peraturan harus sesuai
dengan syarat dan ketentuan dari OJK, bisa saja dikenakan proses hukum terhadap pinjol
ilegal. Berdasarkan ketentuan prinsip syariah adalah ketentuan berdasarkan fatwa
dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia terkait pinjol yang ditawarkan kepada yang menggunakan ada baiknya tidak
bisa sembarangan karena adanya keseharusan untuk menaati hukum nasional dan hukum
islam.

Anda mungkin juga menyukai