Disusun Oleh :
Kelompok 6
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Kami sangat berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan 4
BAB II PEMBAHASAN
1. Tauhid Sebagai Cabang Islam…………………………………………………5
2. Manifestasi Tauhid dalam Kehidupan………………………………………...6
3. Paradigma Islam tentang Transformasi Nilai-Nilai Sosial……………………9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….12
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari tauhid sebagai cabang Islam?
2. Bagaimana manifestasi tauhid dalam kehidupan?
3. Bagaimana paradigma islam tentang transformasi nilai-nilai sosial?
1.3. TUJUAN
1. Memahami dan mempelajari tentang pengertian dari tauhid sebagai cabang
Islam
2. Memahami dan mempelajari tentang manifestasi tauhid dalam kehidupan
3. Memahami dan mempelajari paradigma islam tentang transformasi nilai-
nilai sosial.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
b. Tauhid dalam Uluhiyyah
Tauhid Ulluhiyah merupakan suatu penegasan bahwa tuhan adalah Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya. Beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak
disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Beriman terhadap ulluhiyah Allah merupakan
konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyah-Nya.Sebagaimana telah disebutkan
dalam Firman Allah surat Al Imran ayat 18 yang berbunyi :
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang - orang yang berilmu (juga
menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang
Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”.
6
Kalimah syahadah adalah doktrin yang bersifat fundamental dan menyeluruh
berupa kesaksian imani tentang keyakinan akan keesaan Allah yang bersifat mutlak
yng didalamnya terkandung keyakinan imani tentang Allah yang maha segala-galanya
dalam totalitas kedaulatan Tuhan atas kehidupan, jagad raya dan isinya. Tauhid
sebagai sentral dan dasar keyakinan dalam Islam ini menjadi sumber totalitas sikap
dan pandangan hidup umat dalam keseluruhan dimensi kehidupan. Pandangan Tauhid
yang bersifat menyeluruh ini selain melahirkan keyakinan akan ke-esan Allah (unity
of Good head) juga melahirkan konsepsi ketauhidan yang lainnya dalam wujud
keyakinan akan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity
of mankind), kesatuan pedoman hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup
(unity of tbe purpose of life) umat manusia. Sejalan dengan itu, ulama besar dan
mufassir al-Qur`an Thabathaba’i mengatakan “tauhid, bila diuraikan akan menjadi
keseluruhan Islam, dan bila Islam dirangkum akan diperoleh tauhid”. Tauhid bagaikan
khazanah yang disatukan. Pada permukaannya akan kelihatan prinsip akidah yang
sederhana, tapi apabila direntangkan ia akan meliputi seluruh alam. Artinya,
keseluruhan Islam adalah suatu tubuh yang terbentuk dari berbagai anggota dan
bagian, sedangkan jiwanya adalah tauhid. Ketika tauhid (sebagi ruh) terpisah dari
anggota dan bagian itu (dalam bentuk amaliyah dan sikap), maka yang akan terbentuk
hanyalah sebuah bangkai yang tak bernyawa atau mati.
b. Peranan tauhid bagi kemanusiaan
Tauhid, dengan serangkaian nilai yang dikandungnya, hari ini mendapatkan
tantangan yang cukup besar. Dimana konsep tauhid tidak cukup hanya dipahami
sebagai doktrin semata yang ternyata tidak mampu menjawab persoalan zaman hari
ini. Sebagai muslim, tidaklah cukup kalimat tauhid tersebut hanya dinyatakan dalam
bentuk ucapan (lisan) dan diyakini dalam hati, tetapi harus dilanjutkan dalam bentuk
perbuatan. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, berarti semua ibadah murni (mahdhah)
seperti shalat, puasa, haji, dan seterusnya memiliki dimensi sosial. Kualitas ibadah
seseorang sangat tergantung pada sejauh mana ibadah tersebut mempengaruhi
perilaku sosialnya.Tauhid membentuk manusia dapat menempatkan manusia lain
pada posisi kemanusiaanya. Manusia tidak dihargai lebih rendah dari kemanusiaanya
sehingga diposisikan bagai binatang, atau lebih tinggi bagai tuhan. Ketika itu, maka
berbagai kerusuhan berjubah agama yang selalu muncul silih berganti di berbagai
belahan bumi ini tak perlu terjadi. Seperti contoh, sejarah perang salib yang
merupakan potret pertentangan panjang antar pemeluk Islam-Kristen. Dalam wilayah
7
kepentingan hidup umat manusia, konsepsi tauhid sesungguhnya mempunyai banyak
dimensi aktual, salah satunya adalah dimensi pemerdekaan atau pembebasan dari
segala macam perbudakan, (tahrirun nas min ‘ibadatil ‘ibad ila ‘ibadatillah.).
Diharuskannya manusia bertauhid dan dilarangnya menyekutukan Allah yang disebut
syirik, bukanlah untuk kepentingan status-quo Tuhan yang memang maha merdeka
dari interes-interes semacam itu, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan
demikian terjadi proses emansipasi teologis yang sejalan dengan fitrah kekhalifahan
manusia di muka bumi. Manusia bukanlah sekadar abdi Allah, tetapi juga khalifah
Allah di muka bumi ini. Karenanya, manusia harus dibebaskan dari penjara-penjara
thaghut dalam segala macam konsepsi dan perwujudannya, yang membuat manusia
menjadi tidak berdaya sebagai khalifah-Nya. Sehingga dengan keyakinan tauhid itu,
manusia menjadi tidak akan terjebak pada kecongkakan karena di atas kelebihan
dirinya dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya masih ada kekuasaan Allah
Yang Maha segala-galanya. Selain itu, manusia diberi kesadaran yang tinggi akan
kekhalifahan dirinya untuk memakmurkan bumi ini yang tidak dapat ditunaikan oleh
makhluk Tuhan lainnya sehingga dirinya haruslah bebas atau merdeka dari berbagai
penjara kehidupan yang dilambangkan thaghut. Dengan ketundukan kepada Allah
sebagai wujud sikap bertauhid dan bebasnya manusia dari penjara thaghut maka hal
itu berarti bahwa manusia sungguh menjadi makhluk merdeka di muka bumi, sebuah
kemerdekaan yang bertanggungjawab selaku khalifahNya. Karenanya, secara rasional
dapat dijelaskan bahwa keyakinan kepada Allah yang Maha esa sebagaimana doktrin
tauhid mematoknya demikian, selain memperbesar ketundukan manusia dalam
beribadah selaku hamba-Nya, sekaligus memperbesar dan mengarahkan potensi
kemampuan manusia selaku khalifah-Nya di atas jagad raya ini. Dengan demikian,
selain pada aras individual, tauhid memiliki dimensi aktualisasi bermakna
pembebasan atau pemerdekaan pada aras kehidupan kolektif dan sistem sosial.
c. Tauhid dalam menjawab permasalahan pluralitas
Kini, secara kebetulan umat Islam di Indonesia adalah penduduk terbesar,
karenanya implementasi sikap hidup tauhid sangatlah dituntut dari setiap muslim
dalam menyehatkan sistem dan memberdayakan rakyat di berbagai aspek kehidupan
baik di bidang politik, ekonomi, budaya, dan aspek-aspek kehidupan penting lainnya.
Lebih-lebih ketika para muslim itu memiliki posisi dan otoritas formal yang penting
serta menentukan kepentingan atau hajat hidup orang banyak. Umat Islam secara
kolektif dan orang-orang Islam secara individual dituntut untuk menjadi teladan yang
8
terbaik dalam mempraktekkan kehidupan dan membentuk bangunan sosial yang
bagus, sebagai pancaran sikap hidup tauhid. Inilah yang dikehendaki dalam wacana
dan perspektif tauhid sosial. Dalam aktualisasi konkretnya, tuntutan untuk
mengaktualisasikan tauhid dalam kehidupan sosial sebagaimana komitmen dari tauhid
sosial, tentu saja tidaklah bersifat sederhana dan bahkan terbilang merupakan
tantangan berat karena akan bersinggungan dengan beragam kepentingan yang
melekat dalam diri manusia selaku aktor sosial dan pada struktur atau sistem sosial.
Tidak jarang terjadi kecenderungan, secara formal seseorang itu bertauhid dalam
artian tidak menjadi musyrik, tetapi dalam kehidupan sosialnya mempraktekkan hal-
hal yang bertentangan dengan esensi dan makna tauhid. Kecenderungan ini terjadi,
sebab besar kemungkinan bahwa apa yang dinamakan thaghut sebagai perlambang
tuhan selain Allah, ketika bersarang dalam diri manusia mungkin lebih bersifat satu
wajah yang bernama hawa nafsu atau pikiran-pikiran sesat yang bersifat individual,
tetapi ketika masuk ke dalam struktur sosial akan banyak sekali wajah dan
perwujudannya dalam bentuk jahiliyah sistem sebagai akumulasi dari pertemuan
seribu satu hawa nafsu dan pikiran-pikiran sesat yang bersifat kolektif. Karenanya
sebagai perwujudan atau aktualisasi bertauhid, boleh jadi ada orang salih secara
individual, tetapi tidak salih secara sosial. Sebab pengalaman empirik menunjukkan,
menciptakan sistem sosial yang salih bukan pekerjaan gampang. Hal yang paling
buruk ialah, banyak orang yang secara individual tidak salih hidup di tengah sistem
sosial yang munkar.
9
yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dalam
pengertian ini, paradigma Al-qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya.
Konstuksi pengetahuan itu dibangun oleh Al-Qur’an pertama-tama dengan tujuan
agar kita memiliki hikmah yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan
dengan nilai-nilai normatif Al-Qur’an, baik pada level moral maupun sosial. Tetapi
rupanya, konstruksi pengetahuan itu juga memungkinkan kita merumuskan desain
besar mengenai sistem islam, termasuk dalam hal sistem ilmu pengetahuannya. Kita
sebagai orang muslim yang beriman kepada Allah dan iman kepada kitab-kitabnya
selain mengenal Al-Qur’an, kita harus tahu bagaimana cara memahami Al-Qur’annya
dengan baik. Salah satu pendekatan yang bisa memperkenalkan dalam rangka
mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Qur’an yaitu pendekatan
sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan Al-
Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yang berisi tentang konsep-
konsep, bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal.
10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tauhid merupakan inti pokok agama islam sebagai pengakuan umat islam
terhadap pencipta yang mutlak dan tidak ada yang patut disembah kecuali Allah
SWT. Sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah dan sabda Nabi Muhammad
SAW “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman(syirik), mereka itulah oarng yang mendapat keamanan. Mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An-nam:82)
Dan Rasulullah bersabda:“Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, seandainya
enkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh jagad, lantas engkau
menemuiku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan suatu apa pun, maka Aku
akan memberimu ampunan sepenuh jagad itu pula,” (HR.Tirmidzi 3540)
Selain itu juga kita harus bisa bersosialisasi dengan semua masyarakat sehingga dari
kita memiliki ketauhidan kepada sang kholiq pada diri kita kita juga bisa menjalin
hubungan yang baik dengan masyarakat sehingga bisa meningkatkan nilai-nilai islam
dalam membangun masyarakat berperadaban.
3.2. Saran
Dapat mengambil hikmah betapa pentingnya tauhid didalam kehidupan kita
sebagai umat islam untuk tercapainya hablum minaallah wa hablu minanas. Untuk itu,
kita sebagai generasi penerus perjuangan Islam harus berusaha sekuat tenaga untuk
mengimplementasikan konsep tauhid dalam semua segi kehidupan kita. Pada akhirnya
11
kita berharap dan berdo'a kepada Allah SWT supaya mengembalikan kejayaan ummat
ini dengan konsep tauhid yang kita amalkan
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, E. (2012). Transformasi Sosial dan Nilai Agama. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, 14(1), 112-121.
12