DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I
2023/202
BAB I
PENDAHULUAN
Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui, mengenal, 1
atau pengetahuan Ilahi.2 Orang yang mempunyai ma’rifat disebut ārif. 3 Menurut
terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara
rinci,4 atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung
atas Realitas Mutla Tuhan.5 Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah
satu maqām (tingkatan) atau ḥāl (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena
itu, dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada
Allah SWT (ma’rifatullāh) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran
tasawuf.6 Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang
bersifat eksoteris (ẓahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek
esoteris (baṭiniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini
berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan. 7 Sehingga tidak sembarang
orang bisa mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari
yang biasa didapati orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat
keraguan sedikitpun.8 Ma’rifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan
bertafakkur melalui penẓahiran (manifestasi) sifat keindahan dan kesempurnaan
Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala yang diciptakan Allah SWT di
alam raya ini.9. Al-Mabda’ berasal dari bahasa Arab Bada’a, Yabda’u,
Wamabda’an yang artinya “memulai”.
ِاَّن َرَّبُك ُم ُهّٰللا اَّل ِذ ْي َخ َل َق الَّس ٰم ٰو ِت َو اَاْلْر َض ِفْي ِس َّتِة َاَّي اٍم ُثَّم
اْس َتٰو ى َع َلى اْلَعْر ِۗش ُيْغ ِش ى اَّلْي َل الَّنَه اَر َيْطُلُب ٗه َح ِثْيًث ۙا َّو الَّش ْم َس
َو اْلَقَم َر َو الُّنُج ْو َم ُم َس َّخ ٰر ٍۢت ِب َاْمِر ٖٓهۙ َااَل َل ُه اْلَخ ْل ُق َو اَاْلْم ُۗر َتٰب َر َك ُهّٰللا
. َرُّب اْلٰع َلِم ْيَن
Artinya : “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan
bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan
urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.”(Q.S AL-
A’RAF : 54)
Artinya : “..........sesungguhnya aku adalah allah, tuhan semesta alam” (Q.S AL-
Qashash)
Ada yang memahami bahwa arti dan sebutan “Allah” ( )ﷲitu berasal dari kata
“Lahu” ( )ﮥ ﻠyang berarti “bagi-Nya” yang di dahului kata sandang “AL” ( )ﺍﹶﻞﹾ
sehingga menjadi “Allahu (= )ﷲartinya hanya bagiNyalah (tiada yang lain)
pemilik alam semesta ini beserta isinya. Pemahaman ini berdasarkan pada ayat
Al-Qur’an seperti terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 255 sebagai berikut:
ُهّٰللَا ٓاَل ِاٰل َه ِااَّل ُهَۚو َاْلَح ُّي اْلَقُّيْو ُم ۚە اَل َتْأُخ ُذ ٗه ِس َنٌة َّو اَل َنْو ٌۗم َلٗه َم ا ِفى
الَّسٰم ٰو ِت َو َم ا ِفى اَاْلْر ِۗض َم ْن َذ ا اَّلِذ ْي َيْش َفُع ِع ْنَد ٓٗه ِااَّل ِبِاْذ ِنٖۗه َيْع َلُم َم ا
َبْيَن َاْيِد ْيِهْم َو َم ا َخ ْلَفُهْۚم َو اَل ُيِح ْيُطْو َن ِبَش ْي ٍء ِّم ْن ِع ْلِم ٖٓه ِااَّل ِبَم ا َش ۤا َۚء
َو ِس َع ُك ْر ِس ُّيُه الَّسٰم ٰو ِت َو اَاْلْر َۚض َو اَل َئُـْو ُد ٗه ِح ْفُظُهَم ۚا َو ُهَو اْلَعِلُّي
. اْلَعِظ ْيُم
Artinya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus
menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi
syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka
dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun
tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit
dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha
tinggi, Maha besar.” (Q.S. Al-Baqarah : 255)
Tauhid Dzat adalah penegasan bahwa Allah itu Esa. Tidak ada yang serupa
dan sebanding dengannya. Segala sesuatu selain dia adalah makhluk yang lebih
rendah tingkat kesempurnaannya dibandingkan Dia. Bahkan, semua itu tak layak
diperbandingkan dengannya. Firman Allah, “Tidak ada sesuatu yang menyerupai-
Nya.” dan, “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya,” menjelaskan
jenis tauhid ini. Kepercayaan kepada Tuhan sebagai satu-satunya pencipta alam
semesta, merupakan prinsip fundamental dari agama monoteisme. Prinsip ini
dalam islam disebut dengan prinsip tauhid, yakni ajaran tentang keesaan Allah.
Oleh sebab itu menurut islam, agama yang benar adalah agama Monoteistik dan
nabi-nabi adalah Monoteis. Islam mengajarkan dengan jelas dan simple tentang
keesaan Allah dan mempersembahkan suatu konsepsi tentang Tuhan yang terjauh
dari kegemaran Antropomorpisme (penyerupaan Tuhan dengan manusia) dan
Mitologisme (ajaran tentang mitos/dewa kayangan). Pemberitaan Al-Qur’an
tentang Allah beranjak dari dasar pemahaman bahwa Allah itu benar ada dan dia
adalah Maha Esa. Ke Maha Esaan Allah itu adalah Ke Maha Esaan yang mutlak
dan absolute, tanpa sekutu dan tanpa konsep melahirkan dan dilahirkan. Allah
berfirman dalam surah Al-Ikhlas ayat 1-4:
Terjemahan : (Katakanlah (hai Muhammad) bahwa Allah itu esa. Allah tempat
meminta pertolongan. Tidak beranak dan tidak diperanakan. Dan tidak ada sekutu
seorang jua pun baginya).
Itulah akar tunggang dari akidah islam. Untuk penegasan itu penggal pertama
dari dua kalimah syahadat berbunyi : “Asyhadu alla ilaha illallah”, yang artinya :
Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah. Pernyataan ini berbentuk negasi dan
ringkas. Kadang-kadang suatu kebudayaan, tamaddun, atau sejarah terkandung
dalam suatu pernyataan saja. Dan hakikat ini benar bagi kalimah (penebutan) atau
syahadah (penyaksian) Islam. Dalam pendekatan klasik ajaran keesaan itu
dijabarkan ke dalam keesaan Dzat (tauhid al-Dzat), keesaan sifat (tauhid al-sifat),
dan keesaan perbuatan (tauhid al-a’fal). Keesaan dalam Dzat mengandung makna
bahawa Dzat Allah itu unik, tidak menerima takrib (susunan) yakni mustahil Dzat
Allah itu tersusun dari unsure-unsur, dalil aqli (argumentasi rasional) yang dapat
dikedepankan untuk menjelaskan bahwa Dzat Allah tidak tersusun dari unsur-
unsur adalah bahwa akan diketemukan tiga benturan pemikiran bila diatakan Dzat
Allah terdiri dari unsur-unsur.
Pertama, adanya tiap-tiap bagian dari susunan unsur-unsur itu akan mendahului
jumlah dari wujud yang dinyatakan sebagai Allah. Ini berarti adanya wujud Allah
sebagai wajib al-wujud didahului oleh wujud unsur-unsur tadi, sementara itu
unsur-unsur tadi bukanlah Dzat Allah. Oleh sebab itu Dzat Allah mestilah Esa.
Kedua, bila Dzat Allah terdiri dari bebrapa unsur, pastilah ia menghendaki adanya
Dzat Allah itu ada. Ini berarti yang lebih dahulu ada bukanlah Dzat Allah, tetapi
Dzat unsur-unsur itu. Ini jelas bertentangan dengan makna keesaan Dzat. Ketiga,
bila Dzat Allah terdiri dari unsur-unsur akan di perbincangkan secara terus
menerus dan berkelanjutan siapa dan mana diantara Dzat itu yang wajib al-wujud,
apakah wujud unsur-unsur ataukah wujud hasil bentukan unsur-unsur. Bila yang
wajib al-wujud itu adalah unsur-unsur tadi. Ini tidak sejalan dengan pengertian
tauhid Dzat.
Demikianlah pula kita dikatakan bentukan unsur-unsur itu yang wajib al-
wujud. Kedua pemikiran ini bertentangan dengan paham tauhid Dzat. Oleh sebab
itu, Allah benar-benar esa pada Dzatnya. Konsep seperti ini benar-benar ada
secara eksistensial. Hakikat yang telah dikonsepsikan oleh akal, bahwa Allah
sebgai Dzat yang tidak tersusun, haruslah eksis di luar akal. Tidak boleh terjadi,
apa yang ada di luar akal berbeda dengan apa yang dikonsepsikan akal. Ini berarti
konsepsi akal itu adalah konsepsi yang salah. Sebab, ini berarti tidak sesuainya
pernyataan akal dengan eksistensi yang sebenarnya.
Tauhid Asma’ ialah percaya dan meyakini dengan segala nama-nama Allah
SWT secara ijmal dan tafsil menurut apa yang telah dinyatakan di dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Di mana Allah Azzawajalla mempunyai nama-nama yang
mulia. Wajib kita beriktikad bahwa seluruh nama Allah SWT yang Maha Mulia
itu Qadim. Allah SWT menamakan dirinya itu dengan nama-nama yang baik
sejak azali lagi. Jumhur ulama telah menyatakan nama-nama Allah SWT adalah
tauqifiah, yaitu berpuncak dari pada Al-Qur’an dan AL-Hadist serta bukannya
hasil daripada ijtihad atau diberi nama oleh manusia.
Menurut para ulama, apabila nama-nama Allah SWT itu datang dari pada nash
Syarii, maka wajiblah kita beriman dengannya meskipun ia seolah-olahnya
memberi waham. Contohnya :
Keesaan dalam sifat (tauhid al-sifat) tidak ada sesuatu yang menyamai Allah
dalam sifat-sifatnya itu. Dalam akidah Islam Ahlu Sunnah Jamaah, terdapat 20
sifat yang wajib diketahui oleh seorang hamba secara terperinci. Kedua puluh sifat
itu adalah :
Bila dikatakan oleh Al-Qur’an bahwa Allah mendengar, Allah melihat, Allah
berkata dan berbagai sifat lainnya, maka dalam keyakinan tauhid sifat-sifat seperti
itu hanya Allah saja yang memilikinya, sifat-sifat yang tiada tara dan
bandingannya. Sebab Allah tidak memerlukan alat untuk mendengar, melihat dan
berkata-kata. Allah tidak memerlukan gelombang sinar untuk melihat dan tidak
memerlukan lidah untuk berkatakataWujud Allah sebagai wujud yang mutlak dan
absolute mempunyai sifat yang mutlak dan absolute pula. Maka sifat-sifat nya
kendari pun dalam kepercayaan tauhid harus diyakini bahwa sifat-sifat tersebut
berbeda dengan yang dimiliki makhluk. Penggambaran dalam kitab suci bahwa
Allah mempunyai sifat yang pengertiannya sama dengan sifat makhluk, haruslah
dipahami bahwa dia tidak sama dengan ciptaanya di dalam alam.
Tauhid af’al adalah percaya bahwa Allah sajalah yang berperan secara hakiki
di alam raya ini (tiada yang berperan di alam wujud kecuali Allah). Tauhid ini
tidak berarti mengingkari hukum kausalitas, tetapi meyakini bahwa peranan
sebab-sebab natural itu juga karena kehendak Allah. Allah-lah yang memberi
kemampuan membakar kepada api, kemampuan menyinari kepada matahari dan
kemampuan menghidupkan pada air. Keesaan dalam perbuatan (tauhid al-af’al)
mengandung makna bahwa perbuatan Allah itu adalah unik, tiada setara dengan
yang lain, dan tiada mampu makhluk menirunya. Perbuatan Allah itu sangat
agung dan penuh dengan kedahsyatan.
Hakikat alam yang penuh hikmah, harmonis dan baik, mencerminkan hakikat
Allah yang menciptakan segala sesuatu tanpa kesalahan dan cacat sedikitpun. Ia
atur perjalanan dan tanpa peredaran , alam dengan harmonis dan penuh
keseimbangan tanpa terjadi benturan dan kesalahan dalam peredaran itu. Inilah
yang dijelaskan oleh Allah dalam surah Fathir(35) ayat 43 :
اْس ِتْك َب اًر ا ِفى اَاْلْر ِض َو َم ْك َر الَّسِّي ِۗئ َو اَل َيِحْي ُق اْلَم ْك ُر الَّسِّيُئ ِااَّل
ِبَاْه ِلٖه ۗ َفَه ْل َي ْن ُظ ُرْو َن ِااَّل ُس َّن َت اَاْلَّو ِلْي َۚن َفَلْن َت ِجَد ِلُس َّن ِت ِهّٰللا َت ْب ِد ْي اًل ۚە
َو َلْن َت ِجَد ِلُس َّن ِت ِهّٰللا َت ْح ِو ْي اًل
Terjemahan : Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena
rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain
orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan
melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang
yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi
sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi
sunnah Allah itu. (Fatir 35:43)
Ayat diatas menegaskan bahwa sunnah Allah yang berlaku dalam kehidupan
sosial umat manusia dan juga dalam peredaran alam semesta tidak akan pernah
mendapatkan penggantian dan perubahan, sebagaimana tidak akan pernah
dikemuka penyimpangan dalam sunnatullah itu. Ini memperlihatkan kepastian
tauhid af’al Allah.
Banyak sekali ilmu dan pengetahuan tentang jiwa yang hanya merupakan
perasaan di lubuk jiwa manusia. Bagaimanapun tingginya tingkat kemajuan ilmu
pengetahuan, ia tidak dapat memberi tambahan pengetahuan melebihi apa yang
dicapai oleh fitrah manusia. Contoh dalam mini yaitu seorang bayi yang baru
lahir, misalnya, dengan fitrahnya akan menyusu kepada ibunya tanpa belajat
terlebih dahulu. Demikian pula, seorang ibu memberikan kasih sayang kepada
anaknya, baik ia mengetahui bahwa hal ini bahwa hal itu dapat menjadga anaknya
maupun ia tidak mengetahuinya.
Salah satu perasaan fitri manusia adalah pengakuan adanya al-Khaliq, pencipta
alam semesta, dan pengakuan butuhnya alam raya ini akan ilmu-Nya. Untuk
mengatur segala sesuatu. Ini merupakan perasaan setiap insan, semua merasakan
bahwa adanya Allah adalah suatu hal yang pasti. Dia memiliki kekuatan mengatur
segala sesuatu serta bersifat maha bijaksana. Hal ini banyak ditegaskan-Nya di
dalam Al-Qur’an, antara lain firman-Nya adalah
فأ قم وجهك للّد ين حنيفا فطرت هللا اّلتى فطر الّن اس عليها ال تبُٔـُٔـديل لخلق هللا ذلك الّد ين القّيم ولكّن أكثر
الّناس ال يعلمون
penulis menyadari bahwasannya makalah ini jauh dari kata sempurna maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar kedepannya
penulis bisa lebih baik lagi dalam menulis makalah. Penulis mengharapkan
dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan pembaca mengenai
Ma’rifah Al-Mabda’ dan bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari
hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ahamad Daudy, Allah dan Manusia, (Jakarta: CV. Rajawali1983), hlm. 90-91.
Aziz, Abdul bin Muhammad Abu Abd, Lathif, Pelajaran Tauhid, IAIN-SU,
Medan, 2005.
Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, (Kudus : STAIN Kudus, 2009), Hlm. 25-28.
Ghazalba, Sidi, ilmu, filsafat dan tentang manusia dan agama, Bulan, Bintang,
Jakarta, 1978.
Labib, Harmania, Mengenal Tuhan, (Surabaya: CV Karya Utama, 2007), hlm. 21.
Syekh Tosun Bayrak, Murtadha Muthahhari, “Energi Ibadah” Prof. Dr. M. Yunan
Yusuf, “Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam”, edisi pertama 2014.
Syekh Nasir Makarim Syirazi, “Tafsir Al-Amtsal”, edisi revisi Kamarul Shkri
Mohd The, “Pengantar Ilmu Tauhid”, terbitan pertama 2008.
https://ibnothman.com/quran/surat-fatir-dengan-terjemahan-dan-tafsir/5
http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3952/3/094411001_Bab2.pdf
https://id.scribd.com/document/431516173/Makalah-Tauhid-Ma-rifatul-Mabda