Anda di halaman 1dari 16

MATERI ILMU TAUHID

Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya.
Kekhususan itu meliputi perkara Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa sifat. Tauhid sendiri
berasal dari Bahasa Arab “ wahhada-yuwahhidu-tauhiidan”, artinya mengesakan atau
menunggalkan dari sekian banyak yang ada. Adapun ilmu tauhid adalah ilmu yang
mempelajari mengenai kepercayaan tentang Tuhan dengan segala segi-seginya, yang berarti
termasuk didalamnya soal wujud-Nya, ke-Esaan-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Syeh M. Abduh
mengatakan bahwa, ilmu tauhid (ilmu kalam) adalah ilmu yang membicarakan wujud Tuhan,
sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak
mungkin ada pada-Nya; membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka,
sifat-sifat yang boleh dipertautkankepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat
pada mereka (Hanafi, 2003: 2).

Pada dasarnya manusia dari sejak lahir berada dalam fitrahnya yaitu, bertauhid. Namun
sesuai perkembangan lingkungan dan orang tuanyalah yang menentukan selanjutnya. Banyak
orang yang beriman namun tanpa didasari pengetahuan yang memadai. Mereka beribadah
namun ada saja yang masih menyimpang dari ketauhidannya. Apalagi mereka yang berada di
penjuru kampung yang masih banyak mempercayai pohon-pohon yang besar, batu-batuan
yang besar, dan lain sebagainya.

Berangkat dari uraian diatas kami berupaya untuk menjelaskan mengenai ilmu tauhid dan
perangkatnya.

Pengertian Tauhid dan Ilmu Tauhid

Tauhid merupakan masdar/kata benda dari kata yang berasal dari bahasa arab yaitu
“wahhada-yuwahhidu-tauhiidan” yang artinya menunggalkan sesuatu atau keesaan. Yang
dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu
Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil
dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah
itu esa. 

Menurut Syeh M, Abduh, ilmu tauhid (ilmu kalam) ialah ilmu yang membicarakan tentang
wujud Tuhan, sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh ada pada-Nya;
membicarakan tentang Rosul, untuk menetapkan keutusan mereka, sifat-sifat yang boleh
dipertautkan kepada mereka, dan sifat-sifat yang tidak mungkin terdapat pada mereka.
(Hanafi, 2003: 2).

Ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling
utama. Allah SWT berfirman:

ُ ‫فَا ْعلَ ْم َأنَّهُ اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا‬

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.”
(Q.S. Muhammad: 19)

Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara
yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari
kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari
mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.

Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau
buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih.
Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang
lain.           

ILMU TAUHID

Pengertian Tauhid penting dipahami bagi setiap umat Islam. Pengertian Tauhid adalah
konsep utama agama Islam yang spaling penting. Melalui Tauhid, seluruh ketaatan beragama
seorang Muslim bertumpu.

Pengertian Tauhid merupakan konsep kesatuan tak terpisahkan dalam Islam. Pengertian
Tauhid berkaitan dengan kepercayaan pada satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Dalam ilmu
pengetahuan, pengertia Tauhid serupa dengan teologi.

Asal kata

Tauhid berasal dari bahasa Arab yang merupakan Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang
berarti mengesakan Allah SWT. Secara bahasa, tauhid berarti menyatukan, menjadikan satu,
atau menyifati dengan kesatuan.
Menurut KBBI, pengertian Tauhid adalah keesaan Allah SWT. Ini merujuk pada kuatnya
kepercayaan bahwa Allah SWT hanya satu. Pengertian Tauhid berarti mengakui keesaan
Allah SWT.

Ilmu tauhid juga disebut sebagai ilmu ushul (dasar agama) atau ilmu aqidah. Artinya, ilmu ini
menjadi bekal pedoman bagi seluruh umat Islam dalam melakukan kewajibannya sebagai
umat beragama.

Pengertian Tauhid secara umum

Pengertian Tauhid adalah dasar agama Islam yang menjadikan Allah SWT adalah satu.
Tauhid adalah konsep yang menyatakan keesaan Allah SWT. Ilmu Tauhid adalah ilmu yang
mempelajari keesaan Allah, rasul, dan nabi-nabi dalam Islam. Pengertian Tauhid juga
dipahami sebagai sikap meyakini bahwa Allah Maha Suci yang tidak memiliki kekurangan
sedikit pun

Dalam Islam, keesaan Tuhan berarti Allah adalah satu dan tidak ada Tuhan selain Allah.
Pengertian Tauhid bisa dilihat dari kalimat Syahadat. Kalimat Syahadat berbunyi: "ašhadu
ʾan lā ʾilāha ʾillā -llāh, wa ʾašhadu ʾanna muḥammadan rasūlu -llāh"

Artinya Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Dari kalimat Syahadat ini menunjukkan bahwa Tauhid
adalah inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Dengan mengikrarkan kalimat pertama,
seorang muslim memantapkan diri untuk menjadikan hanya Allah sebagai tujuan, motivasi,
dan jalan hidup.

Pengertian Tauhid menurut Ahli

Syeikh Muhammad Abduh

Pengertian Tauhid menurut Syeikh Muhammad Abduh adalah ilmu yang membahas wujud
Allah, sifat-sifat yang wajib disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib
dilenyapkan dari-Nya. Ilmu Tauhid juga membahas tentang rasul-rasul-Nya, meyakinkan
kerasulan mereka, sifat-sifat yang boleh ditetapkan pada mereka dan apa yang terlarang
dinisbatkan kepada mereka.
Ibnu Khaldun

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu Tauhid berisi alasan-alasan dari akidah keimanan dengan dalil-
dalil aqliyah dan alasan-alasan yang merupakan penolakan terhadap golongan bidah yang
dalam bidan akidah telah menyimpang dari mazhab salaf dan Ahlus sunnah.

Husain Affandi al-Hisr

Pengertian Tauhid menurut Husain Affandi al-Hisr adalah ilmu yang membahas tentang hal-
hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan.

Jenis-jenis Tauhid

Tauhid Rububiyah

Pengertian Tauhid Rububiyah artinya mengimani bahwa Allah merupakan satu-satunya


Tuhan yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki,
memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh alam semesta.

Tauhid Uluhiyah

Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap


rububiyahNya. Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dari segala bentuk peribadahan
baik yang terlihat maupun batin atau tidak terlihat. Ini artinya, manusia mengimani bahwa
hanya Allah semata yang berhak disembah.

Tauhid Asma wa sifat

Tauhid Asma wa sifat artinya mengimani bahwa Allah memiliki nama dan sifat baik. Nama
dan sifat baik ini sesuai dengan keagungan-Nya yang telah ditentukan dalam Al Qur'an dan
Hadis. Sikap ini ditetapkan tanpa tahrîf (mengubah lafazh atau maknanya), ta’thîl
(meniadakan atau mengingkari keberadaan sifat-sifat Allah, baik mengingkari seluruhnya
atau sebagian), takyîf (menggambarkan “bagaimana” nya sifat-sifat tersebut), maupun tamtsîl
(menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya).

Ayat Al Qur'an tentang Tauhid


Surat Al-A'raf Ayat 54

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta
alam.” (Q.S. al-A’râf [7]: 54)

Surat al-Mu’minûn ayat 84-89

“Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian
mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kalian
tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang empunya langit yang tujuh dan yang empunya
‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka
mengapa kalian tidak bertaqwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi
dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’
Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka mengapa kalian masih tertipu?’”

Surat az-Zumar ayat 14-15

“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agamaku.’ Maka sembahlah oleh kalian (hai orang-orang musyrik) apa
yang kamu kehendaki selain Dia.” (Q.S. az-Zumar [39]: 14-15)

Surat Thâhâ ayat 8

“Dia-lah Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai
Asmâ-ul Husna (nama-nama yang terbaik).” (Q.S. Thâhâ [20]: 8)

Surat Maryam ayat 65

“(Dia-lah) Rabb langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah
Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada
seorang yang sama dengan Dia?” (Q.S. Maryam [19]: 65)
 Penamaan Ilmu Tauhid:

Ilmu Tauhid juga disebut;

1.      Ilmu ‘Aqa’id: ‘Aqdun artinya tali atau pengikat. ‘Aqa’id adalah bentuk jama’ dari
‘Aqdun. Disebut ‘Aqa’id, karena didalamnya mempelajari tentang keimanan yang mengikat
hati seseorang dengan Allah, baik meyakini wujud-Nya, ke-Esaan-Nya atau kekuasaan-Nya.

2.    Ilmu Kalam: kalam artinya pembicaraan. Disebut ilmu kalam, karena dalam ilmu ini
banyak membutuhkan diskusi, pembahasan, keterangan-keterangan dan hujjah (alasan) yang
lebih banyak dari ilmu lain.

3.   Ilmu Ushuluddin: Ushuluddin artinya pokok-pokok agama. Disebut Ilmu Ushuluddin,


karena didalamnya membahas prinsip-prinsip ajaran agama, sedang ilmu yang lainnya
disebut furu’ad-Din (cabang-cabang agama), yang harus berpijak diatas ushuluddin.

4.  Ilmu Ma’rifat: ma’rifat artinya pengetahuan. Disebut ilmu ma’rifat, karena didalamnya
mengandung bimbingan dan arahan kepada kepada umat manusia untuk mengenal khaliqnya.
(Zakaria, 2008:1)

 Sebab-sebab dinamakan ilmu kalam ialah karena:

1.    Persoalan yang terpenting diantara pembicaraan-pembicaran masa-masa pertama Islam


ialah Firman Tuhan (Kalam Allah), yaitu Qur’an apakah azali atau non-azali. Karena itu
keseluruhan isi Ilmu kalam dinamai dengan salah satu bagian yang terpenting.

2.     Dalam Ilmu Kalam ialah dalil-dalil akal pikiran di mana pengaruhnya tampak jelas pada
pembicaraan ulama-ulama kalam, sehingga mereka kelihatan sebagai ahli bicara. Dalil Naqli
(Qur’an dan Hadits) baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran persoalan dari segi
akal pikiran.

3.  Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat. Untuk


dibedakan dengan logika, maka pembuktian-pembuktian tersebut dinamai “Ilmu Kalam”.
(Hanafi, 2003: 5)
·                     Hakikat Tauhid

Seluruh manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan fitrahnya, yakni bertauhid. Sebagaimana
yang di terangkan dalam ayat Q. S. Ar-Rum: 30.

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam; sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan
pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan menusia tidak
mengetahui.” (Q.S. ar-Rum:30)

            Manusia pada dasarnya memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang
gaib, sebab itulah ia disebut makhluk religius, yaitu makhluk yang memiliki bawaaan
primordial (azali) untuk beragama dan percaya kepada Tuhan. Inilah fitrah manusia yang
secara otomatis memiliki potensi bertuhan sejak kelahirannya. Rasulullah saw. Bersabda:

Artinya: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua oangtua nyalah
yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R. Bukhari dan Muslim).

            Untaian kata-kata tauhid dalam Islam dinyatakan dalam kalimat “laa ilaaha ilallaah”,
Allah sebagai satu-satunya Tuhan.

·                     Implikas Tauhid

            Tauhid dalam Islam yang diekspresikan dengan kalimat “laa ilaaha ilallah”
merupakan titik tolak untuk membebaskan belenggu. Tauhid ini pula yang membebaskan
manusia dari belenggu manusia lainnya, dari penyembahan terhadap rasio dan mental, serta
dari sikap hidup materialistis.

Tauhid juga membebaskan manusia dari kependetaan dan hiruk pikuk dunia. Jadi, tauhid
mengandung pengertian bahwa manusia tidak membutuhkan apa-apa selain Allah, sehingga
seseorang yang beriman diberi kemulyaan dan kepuasan sebagai hamba yang bebas dan
benar-benar terhormat.

            Sudah jelaslah bahwa konsep tauhid “laa ilaaha ilallaah” mempunyai implikasi begitu
revolusioner berupa pembebasan. Ia meniadakan otoritas, apapun bentuknya, untuk
berhubungan dengan Allah swt. Sehingga manusia terbebas dari perbudakan mental dan
penyembahan sesama makhluk. Allah swt., sudah jelas dekat dengan siapapun. Firman Allah
swt.

Artinya : “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,


maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia
berdosa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku, agar mereka memperoleh
kebenaran. (Q.S. al-Baqarah: 186)

            Inilah diantara hakikat tauhid “laa ilaaha ilallaah”. Apabila setiap orang mempunyai
tauhid yang benar dan memahami tentang dirinya yang bebas dari belenggu apapun selain
Allah swt., maka seharusnya ia dapat bekerja dan berkarya lebih baik tanpa gangguan
pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang justru menghalangi etos kerja dan karya
bagi kehidupan manusia. (Ismail, 2008: 10-23)

2.2 Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid

Tauhid mempunyai beberapa pembahasan diantaranya ada 6 yakni:

1.                  Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya
tanpa sekutu apapun bentuknya.

2.                  Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-
sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat
yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-
bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.

3.                  Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul
sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.

4.                  Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan


mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.

5.                  Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi
orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).

6.                  Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-
Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Allah swt berfirman:

ُ ‫ ٌّل آ َمنَ بِاهّلل ِ َو َمآلِئ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر‬HHHHHHH‫ونَ ُك‬HHHHHHHُ‫ ِه ِمن َّربِّ ِه َوا ْل ُمْؤ ِمن‬HHHHHHH‫ ِز َل ِإلَ ْي‬HHHHHHH‫ا ُأن‬HHHHHHH‫و ُل بِ َم‬HHHHHHH‫س‬
“‫لِ ِه‬HHHHHHH‫س‬ ُ ‫آ َمنَ ال َّر‬
Artinya: “Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS: Al-Baqarah: 285)

Rasulullah saw. ditanya tentang iman, lalu beliau pun menjawab;    


َ ‫ ِر ِه َو‬HHHHHHH‫ َد ِر َخ ْي‬HHHHHHHَ‫ْؤ ِمنَ ِبالق‬HHHHHHHُ‫و ِم اآلخِ ِر َوت‬HHHHHHH
‫ ِّر ِه‬HHHHHHH‫ش‬ ْ ُ ‫ْؤ ِمنَ بِاهللِ َو َمالَِئ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر‬HHHHHHHُ‫أنْ ت‬.
َ‫لِ ِه َوالي‬HHHHHHH‫س‬
Artinya: “Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).

Tingkatan Tauhid

Baik tauhid maupun kemusyrikan ada tingkatan dan tahapannya masing-masing. Sebelum
kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut atau ahli tauhid
(muwahhid) yang sejati.

Adapun tingkatan tauhid adalah sebagai berikut.

a.Tauhid Zat Allah

Yang dimaksud dengan tauhid (keesaan) Zat Allah adalah, bahwa Allah Esa dalam Zat-Nya.
Kesan pertama tentang Allah pada kita adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud
yang tidak bergantung pada apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa Al-
Qur'an, Dia adalah Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan membutuhkan
pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah berfirman:

Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak
membutuhkan apa pun) lagi Maha Terpuji. (QS. Fâthir: 15)

Kaum filosof menggambarkan Allah sebagai eksis sendiri, atau sebagai wujud yang
eksistensinya wajib. Kesan kedua tentang Allah pada setiap orang adalah, bahwa Allah
adalah Pencipta. Dialah Pencipta dan sumber final dari segala yang ada. Segala sesuatu
adalah "dari-Nya". Dia bukan dari apa pun dan bukan dari siapa pun. Menurut bahasa filsafat,
Dia adalah "Sebab Pertama".

Inilah konsepsi pertama setiap orang tentang Allah. Setiap orang berpikir tentang Allah. Dan
ketika berpikir tentang Allah, dalam benaknya ada konsepsi ini. Kemudian dia melihat
apakah sebenarnya ada suatu kebenaran, kebenaran yang tidak bergantung pada kebenaran
lain, dan yang menjadi sumber dari segala kebenaran.

Arti dari Tauhid Zat Allah adalah bahwa kebenaran ini hanya satu, dan tak ada yang
menyerupai-Nya. Al-Qur'an memfirmankan:

Tak ada yang menyamai-Nya. (QS. asy-Syûrâ: 11)

Dan tak ada yang menyamai-Nya. (QS. al-Ikhlâsh: 4)

Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu menjadi bagian dari spesies, hanya berlaku pada
ciptaan atau makhluk saja. Misal, jika sesuatu itu bagian dari spesies manusia, maka dapat
dibayangkan bahwa sesuatu itu adalah anggota dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud
Yang Ada Sendiri, kita tidak dapat membayangkan seperti itu. Dia berada di luar semua
pikiran seperti itu. Karena kebenaran yang ada Sendiri itu satu, maka sumber dan tujuan alam
semesta hanya satu. Alam semesta bukanlah berasal dari berbagai sumber, juga tidak akan
kembali ke berbagai sumber. Alam semesta berasal dari satu sumber dan satu kebenaran.
Allah berfirman:

Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segalanya." (QS. ar-Ra'd: 16)

Segala sesuatu akan kembali ke sumber yang satu dan kebenaran yang satu. Kata Al-Qur'an,

Ingatlah bahwa kepada Allah lah kembali segala sesuatu. (QS. asy-Syûrâ: 53)

Dengan kata lain, alam semesta memiliki satu pusat, satu kutub dan satu orbit. Hubungan
antara Allah dan alam semesta adalah hubungan Pencipta dan makhluk, yaitu hubungan
sebab dan akibat, bukan jenis hubungan antara sinar dan lampu, atau antara kesadaran
manusia dan manusia.

Betul bahwa Allah tidak terpisah dari alam semesta. Dia bersama segala sesuatu. Al-Qur'an
memfirmankan:

Dia bersamamu di mana pun kamu berada. (QS. al-Hadîd: 4)

Namun demikian, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Dia bagi
alam semesta adalah seperti sinar bagi lampu atau seperti kesadaran bagi tubuh. Kalau
demikian halnya, maka Allah merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab dari alam
semesta, karena sinar adalah efek dari lampu. Begitu pula, ketidakterpisahan Allah dari alam
semesta tidaklah berarti bahwa Allah, alam semesta dan manusia memiliki orientasi yang
sama, dan semuanya eksis dengan kehendak dan semangat yang sama. Semua ini adalah sifat
makhluk yang adanya karena sesuatu yang lain. Allah bebas dari semua itu. Al-Qur'an
memfirmankan:

Mahasuci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. (QS. ash-
Shâffât: 180)

b. Tauhid dalam Sifat-sifat Allah

Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat dan Sifat-sifat Allah identik, dan
bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan
adanya apa pun yang seperti Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah menafikan
adanya pluralitas di dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang menunjukkan
kesempurnaan, keperkasaan dan ke-indahan, namun dalam Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang
benar-benar terpisah dari-Nya. Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan keterpisahan sifat-sifat
dari satu sama lain merupakan ciri khas keterbatasan eksistensi, dan tak mungkin terjadi pada
eksistensi yang tak terbatas. Pluralitas, perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak
mungkin terjadi pada Wujud Mutlak.

Seperti Tauhid zat Allah, tauhid sifat-sifat Allah merupakan doktrin Islam dan salah satu
gagasan manusiawi yang paling bernilai, yang semata-mata mengkristal dalam mazhab syiah.
Disini kami kutipkan sebuah kalimat dalam khotbah pertama “Nahj al-balaghah” yang
membenarkan sekaligus menjelaskan gagasan ini :

“segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato ahli bicara pun yang dapat memuji-Nya dengan
memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat di hitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang
paling perhatian sekalipun tak dapat menyembah dengan semestinya. Dia tak dapat di
mengerti sepenuhnya, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut sifat-sifat-Nya tak dibatasi
oleh pembatas apapun. Tak ada kata yang yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh.”

Seperti kita tahu, dalam kalimat di atas digarisbawahi ketidakterbatasan sifat-sifat Allah.
Dalam khotbah itu juga, setelah beberapa kalimat, Iman ali bin abi thalib as berkata:

“sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-


Nya, karena pihak yang dikaiti sifat menunjukan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat
yang dikaitkan kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menujukan bahwa sifat tersebut beda
dengan pihak tersebut. Barang siapa mengaitkan sifat kepada Allah berarti dia menyamakan-
Nya (dengan sesuatu), dan barang siapa menyamakan-Nya” (Lihat Nahj al-balaghah, khotbah
1, hal.137.ISP.1984)

Dalam kaliamat pertama ditegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat (yang sifat-sifat Nya tak
di batasi oleh batas-batas). Dalam kalimat kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki sifat-
sifat, namun diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat kepada Nya.

Redaksi kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak terbatas
seperti halnya ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik
dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang terbatas dan
terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Dengan demikian, Tauhid dalam Sifat-sifat
Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat Allah dan Sifat-sifat-Nya adalah satu.

c. Tauhid dalam Perbuatan Allah

Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam semesta dengan segenap
sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan perbuatan Allah saja, dan terwujud
karena kehendak-Nya. Di alam semesta ini tak satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu
bergantung pada-Nya. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah pemelihara alam semesta. Dalam
hal sebab-akibat, segala yang ada di alam semesta ini bergantung. Maka dari itu, Allah tidak
memiliki sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga tak memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap
perantara dan sebab ada dan bekerja berkat Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya
sajalah segala kekuatan maupun kemampuan untuk berbuat.

Manusia merupakan satu di antara makhluk yang ada, dan karena itu merupakan ciptaan
Allah. Seperti makhluk lainnya, manusia dapat melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak
seperti makhluk lainnya, manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama sekali
tidak mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu manusia tidak dapat
bertindak dan berpikir semaunya sendiri, "Dengan kuasa Allah aku berdiri dan duduk. "

Percaya bahwa makhluk, baik manusia maupun makhluk lainnya, dapat berbuat semaunya
sendiri, berarti percaya bahwa makhluk tersebut dan Allah sama-sama mandiri dalam
berbuat.
Karena mandiri dalam berbuat berarti mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut
bertentangan dengan keesaan Zat Allah (Tauhid dalam Zat), lantas apa yang harus dikatakan
mengenai keesaan perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan).

Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai
sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dan
kehinaan. Karma itu, agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (QS.
al-Isrâ': 111)

d. Tauhid dalam Ibadah

Tiga tingkatan Tauhid yang dipaparkan di atas sifatnya teoretis dan merupakan masalah
iman. Ketiganya harus diketahui dan diterima. Namun Tauhid dalam ibadah merupakan
masalah praktis, merupakan bentuk "menjadi". Tingkatan-tingkatan tauhid di atas melibatkan
pemikiran yang benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi benar. Tahap teoretis
tauhid, artinya adalah memiliki pandangan yang sempurna. Tahap praktisnya artinya adalah
berupaya mencapai kesempurnaan. Tauhid teoretis artinya adalah memahami keesaan Allah,
sedangkan tauhid praktis artinya adalah menjadi satu. Tauhid teoretis adalah tahap melihat,
sedangkan tauhid praktis adalah tahap berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang
tauhid praktis, perlu disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis. Masalahnya
adalah apakah mungkin mengetahui Allah sekaligus dengan keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-
sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan seperti itu
membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan berbagai tingkat dan tahap
tauhid, hanya tauhid praktis saja yang bermanfaat.

Sejauh menyangkut kemungkinan mendapat pengetahuan seperti itu, sudah kami bahas dalam
buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme". Apakah pengetahuan seperti itu
bermanfaat atau justru sebaliknya, itu tergantung pada konsepsi kita sendiri mengenai
manusia, kesejahteraan dan kebahagiaannya. Gelombang pemikiran materialistis di zaman
modern ini bahkan menyebabkan kaum yang beriman kepada Allah menganggap tak banyak
manfaatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah. Mereka
memandang masalah-masalah seperti itu sebagai semacam manuver mental dan pelarian dari
problem-problem praktis kehidupan. Namun seorang Muslim yang percaya bahwa realitas
manusia bukanlah realitas jasmaninya saja, namun realitas sejati manusia adalah realitas
spiritualnya dan bahwa hakikat roh manusiawi adalah hakikat pengetahuan dan kesuciannya,
tahu betul bahwa apa yang disebut sebagai tauhid teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar
dari tauhid praktis, merupakan kesempumaan psikologis yang paling tinggi tingkatannya.
Tauhid ini mengangkat manusia, membawa manusia menuju Kebenaran Ilahiah, dan
membuat manusia menjadi sempurna. Allah SWT berfirman:

Kepada-Nya naik kata-kata yang baik, dan amal saleh dinaikkan-Nya. (QS. Fâthir: 10)

Sisi manusiawi manusia ditentukan oleh pengetahuannya tentang Allah. Pengetahuan


manusia bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia itu sendiri. Semakin tahu manusia itu
tentang alam semesta, sistemnya dan asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi
manusia tersebut, yang lima puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa pengetahuan.
Dari sudut pandang Islam, khususnya ajaran Syiah, tak ada keraguan sedikit pun bahwa
tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang Allah, tak soal dengan efek
praktis dan sosialnya.

Sekarang kita bahas masalah tauhid praktis. Tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah
hanya menyembah atau beribadah kepada Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam
beribadah kepada Allah.

Kemudian akan kami jelaskan bahwa dari sudut pandang Islam, ibadah ada tingkatan-
tingkatannya. Tingkatannya yang sangat jelas adalah menunaikan ritus-ritus yang berkaitan
dengan penyucian dan pengagungan Allah. Kalau ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain
Allah, artinya adalah keluar total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang Islam,
ibadah bukan hanya tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk orientasi spiritual dan menerima
sesuatu sebagai ideal spiritual, maka hal itu tergolong ibadah. Al-Qur'an memfirmankan:

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.
(QS. al-Furqân: 43)

Kalau kita menaati seseorang yang telah dilarang Allah untuk ditaati, dan tunduk patuh
sepenuhnya kepadanya, berarti kita menyembah atau beribadah kepada orang itu.

 Al-Qur'an mengatakan,

Mereka menjadikan para rabbi dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (QS. at-
Taubah: 31)

Dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain
Allah. (QS. Âli 'Imrân: 64)
Dengan demikian tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah menerima Allah saja
sebagai yang layak untuk ditaati tanpa pamrih, memandang hanya Dia saja yang menjadi
ideal dan arah perilaku, dan menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak layak
ditaati tanpa pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid ibadah artinya adalah
tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup untuk-Nya saja, serta mati
untuk-Nya saja.

(Nabi Ibrahim berkata): "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang


mendptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan"... Katakanlah, "Sesungguhnya
sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah
orang yang pertama tunduk patuh kepada-Nya." (QS. al-An'am: 79, 162-163)

Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan Tauhid praktis atau Tauhid ibadah. Inilah yang
divisualisasikan oleh iman ini: "La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah). (Muthahhari,
Murtadha. 2002: 69-73)

Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu

Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran
lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu
sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu
paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang
lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para
rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya,
mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya
setelah ia mati?

Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting
dan paling utama.

Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan
muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia
berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu
kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt.
berfirman,
ُ ‫فَا ْعلَ ْم َأنَّهُ اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا‬

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.”
(Muhammad: 19)

Al-Quran adalah Kitab Tauhid Terbesar

Sesungguhnya pembahasan utama Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu
halaman pun yang tidak mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau
hari akhir, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi
alam semesta ini.

Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum
hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.

Karena itu tak heran masalah tauhid menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu,
sebagaimana masalah ini menjadi perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema
utama dakwah mereka. Umat Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama
Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran
akidah Islam agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.

Bagi seorang muslim, akidah adalah segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah
mereka yang benar -yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-
bukti dan dalil yang kuat– mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar
kaum muslimin.

Kelemahan akidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin
luasnya kerusakan itu, maka orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan
mereka. Menjajah negeri mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.

Sejarah membuktikan bahwa umat Islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid
sehingga mereka mulia dan memimpin dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika
umat Islam mengabaikannnya akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal
umat Islam telah memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air
umat Islam.

Anda mungkin juga menyukai