NIM : 21.132.010.051
1. LAFADZ SAHADATAIN
هللاِ َرسُوْ ُل ُم َح َّمدًا أَ َّن َوأَ ْشهَ ُد هللاُ إِاَّل إِلَهَ اَل أَ ْن أَ ْشهَ ُد
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah"
Artinya:
"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah"
2. URGENSI SAHADAT
Sebagaimana difahami oleh setiap Muslim, syahadatain mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam agama Islam. Syahadat merupakan rukun Islam pertama yang mesti
dilalui siapapun ketiak ia ingin memeluk agama Islam ini. Berikut ini adalah urgensi-
urgensi syahadatain.
Secara umum, Islam terdiri atas akidah dan syariat. Sisi lain Islam terdiri dari ibadah,
akhlak, dan muamalah yang merupakan implementasi dan penjabaran dari syahadat
tauhid dan syahadat rasul. Karena itu, ia sangat menentukan baik dan tidaknya aspek-
asapek lain dalam diri dan masyarakat. Jika syahadatainnya lurus dan benar menurut
pandangan Allah dan Rasul-Nya, maka ibadah, akhlak dan muamalahnya pun menjadi
baik.
Sebaliknya, jika ia buruk, maka buruk pula aspek-aspek kehidupan lainnya. Misalnya
dalam hal ibadah, maka inti ibadah itu adalah menuju kepada Allah bukan selain Dia.
Ibadah yang ikhlas akan membuahkan ridha dan pahala berlipat dari Allah. Namun, jika
ibadahnya bukan karena Allah, yang terjadi adalah kerugian dunia akhirat.
Ibadah juga tentu saja bukan sekedar menggugurkan kewajiban. Cara ibadah itu juga
harus dilakukan sesuai petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh
menambah-nambah ibadah atau menguranginya.
Dengan syahadatain itu terjadilah perubahan maha dahsyat yang mendasar dalam seluruh
aspek kehidupan generasi terbaik itu. Kaum yang tadinya kecil dan terisolasi, bahkan
terbelakang itu lalu menjelma menjadi umat terbaik sepanjang masa yang pernah
dilahirkan untuk umat manusia. Kaum itu dibawanya hijrah dari jahiliyah kepada Islam,
dari kegelapan menuju cahaya terang benerang, dari kemunafikan kepada keikhlasan, dari
keterbelakangan, kemiskinan menuju kemajuan dan kesejahteraan.
Inilah asas perubahan itu, bisa dilihat selama perjalanan dakwahnya. Selama 13 tahun,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam fokus membangun akidah dan akhlak yang tidak lain
adalah syahadatain itu sendiri. Tahun-tahun pertama hijrah ke Madinah, pembangunan
fisik dimulai dengan masjid sebagai sentra kegiatan dan inspirasi dari seluruh aktivitas
yang akan dilakukan setelah itu, yaitu menghamba kepada Allah dan menebarkan rahmat
(kebaikan) kepada seluruh alam.
Statemen mereka diabadikan Al Qur’an dalam kisah-kisah para nabi yang tersebar di
berbagai surat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus pada setiap umat itu seorang rasul, agar beribadahlah kalian kepada Allah dan
jauhilah taghut.” (Qs. An Nahl: 36).
Bicara tentang fadhilah syahadatain, akan lebih baik jika kita merujuk kepada berita-
berita kenabian. Itulah yang lebih terjamin kebenarannya. Adapun sumber lainnya
merupakan pelengkap, dengan catatan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah
itu sendiri. Adapun fadhilah dan keutamaan yang terkandung di dalam syahadatain itu di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Memasukkan orang yang mengucapkannya ke dalam surga. Dalam sebuah hadis, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan la ilaha illallah,
maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi dari Az Zuhri ra).
Dalam hadis lain dijelaskan, “Barangsiapa yang mati sedang ia mengetahui bahwa tidak
ada tuhan selain Allah, maka ia masuk surga.” (HR. Muslim dari Utsman ra).
2. Dengan syahadat, akan mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat. Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda ketika berdialog dengan Abu Jahal dan para pembesar kafir
Quraisy. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Satu kalimat saja yang mereka berikan
kepadaku, dengannya mereka akan menguasai bangsa Arab dan dengannya pula bangsa
Ajam akan tunduk kepadanya, yaitu kalimat la ilaha illallah.”
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menuntun kita untuk menjadi orang yang benar-benar
memahami urgensi (pentingnya) syahadatain/dua kalimat syahadat yang merupakan inti
ajaran Islam ini sehingga kita bisa istiqamah dalam syahadat dan kelak mati husnul
khatimah dengan syahadat itu pula, wallahua’lam. Makna Syahadat “Laa ilaaha illallah”
Yaitu beri’tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima
ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, menta’ati hal terse-but dan mengamalkannya.
La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapa pun orangnya. Illallah
adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.
Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang hak
selain Allah”. Khabar “Laa ” harus ditaqdirkan “bi haqqi” (yang hak), tidak boleh
ditaqdirkan dengan “maujud ” (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab
tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah
tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini Tentu kebatilan yang nyata.
3. Kalimat “Laa ilaaha illallah” telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil,
antara lain:
“Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya
setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.
“Tidak ada pencipta selain Allah” . Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan
tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mengakui tauhid rububiyah saja,
dan itu belum cukup
“Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah”. Ini juga sebagian dari makna kalimat ”
“. Tapi bukan itu yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup
Semua tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-
tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar
menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti), tidak ada sesembahan yang hak selain
Allah) seperti tersebut di atas.
An-Nafyu atau peniadaan: “Laa ilaha” membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan
mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
Al-Itsbat (penetapan): “illallah” menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Makna dua rukun ini banyak disebut dalam ayat Al-Qur’an, seperti firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beri-man kepada
Allah, makasesungguhnya ia telah berpegang kepa-da buhul tali yang amat kuat …” [Al-
Baqarah: 256]
Firman Allah, “siapa yang ingkar kepada thaghut” itu adalah makna dari “Laa ilaha”
rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah, “dan beriman kepada Allah” adalah makna
dari rukun kedua, “illallah”. Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi
Ibrahim alaihis salam :
“Artinya : Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku
menyembah) Tuhan yang menjadikanku …”. [Az-Zukhruf: 26-27]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , “Sesungguhnya aku berlepas diri” ini adalah makna
nafyu (peniadaan) dalam rukun pertama. Sedangkan perkataan, “Tetapi (aku
menyembah) Tuhan yang menjadikanku”, adalah makna itsbat (penetapan) pada rukun
kedua.
Syahadat ini juga mempunyai dua rukun, yaitu kalimat “‘abduhu wa rasuluh ” hamba dan
utusanNya). Dua rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan)
pada hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah hamba dan rasulNya.
Beliau adalah makhluk yang paling sempurna dalam dua sifat yang mulia ini, di sini
artinya hamba yang menyembah. Maksudnya, beliau adalah manusia yang diciptakan dari
bahan yang sama dengan bahan ciptaan manusia lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang
berlaku atas orang lain.
” [Al-Kahfi : 110]
Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang
diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya:
menta’ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak
menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan. Memahami Konsekuensi La
Ilaha Illallah.
5. MEMAHAMI KONSEKONSI LAA ILLAHA ILLALLAH
Setiap ucapan ada konsekuensinya, apa lagi yang diucapkan adalah persaksian, karena itu
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم ْاآل ِخ ِر فَليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَصْ ُمت
a yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik
jika“Barangsiap tidak bisa maka hendaklah ia diam” (HR. Bukhar nomor 6018 Muslim
nomor 47)
Sebab setiap ucapan ada konsekuensi yang terkait ucapan kita katakan. Allah subhanahu
wata’ala berfirman,
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat
pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf: 18)
Yakni kalangan malaikat Allah yang mencatat amalan-amalan hamba. Allah akan
memberikan ganjaran setiap ucapan baik dan ancaman adzab bagi ucapan yang buruk.
Itu ucapan, apalagi ini persaksian yang tentu konsekuensinya lebih berat, terlebih lagi
yang dipersaksiakan adalah Allah subhanahu wata’ala. Ketika seseorang mempersaksikan
sesuatu lantas tidak menentapkan dan melaksanakan konsekuensinya, maka itu termasuk
syahadat atau persaksian palsu dan menipu. Inilah sebab orang musyrik jaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapkannya, sebab mereka memahami
konsekuensi dari ucapan syahadat La Ilaha Illallah ini.
Meninggalkan seluruhnya dari sesembahan selain Allah, sebab seluruh yang selain Allah
adalah alam atau makhluk, dan makhluk tidak berhak untuk diibadahi. Makhluk tidak
punya sifat-sifat ketuhanan. Apapun itu benda mati atau benda hidup adan semua perkara
yang Allah ciptakan tidak bisa diibadahi. Ini ditunjukkan oleh persaksian kita bahwa
tidak ada yang berhak diibadahi dalam kalimat La Ilaha ( َ) اَل إِلَه. Maknanya adalah bahwa
segala sesuatu harus kita nafikan (tiadakan) dalam ibadah kita.
Dalam bahasa Arab kalimat ( ) اَلdisebut La Nafiya Lil Jinsi yakni huruf lam yang
berfungsi untuk menafikan atau meniadakan segala jenis yang kata yang ada setelahnya.
Perhatikan kata setelah huruf ( ) اَل, maka anda akan melihat kata ( َ ) إِلَهyang maksudnya
semua sesembahan. Jadi maknanya menghilangkan seluruh yang diibadahi. Sehingga
“La” ( ) اَلdisini fungsinya menafikan seluruh sesembahan, bahkan lafdzul jalalah Allah
hilang karena kalimat “La” ini. Maka dari itu dibutuhkan kata istitsna ( ) إاَّلyang
berfungsi mengecualikan. Sebab ketika kita mengucapkan La Ilaha saja tanpa Illallah itu
betul-betul tidak ada tuhan, bahkan Allah pun tidak ada, sebab ini bentuk menafikan
seluruhnya termasuk Allah, sehingga muncul kata istitsna ( ) إاَّلyang berfungsi
mengecualikan.
Tidak ada satupun serikat bagi allah, tidak ada pendamping bagi Allah, sehingga jika ada
orang yang meminta kepada sesuatu selain Allah semisal meminta keselamatan kepada
gunung, pohon, mayat atau kuburan, maka orang itu tidak menjalankan konsekuensi La
Ilaha Illallah. Allah tidak punya syerikat dan tidak butuh kepada siapapun untuk
membantuNya. Berbeda dengan makhluk dan manusia yang butuh terhadap orang lain.
Mereka adalah makhluk sosial, sedangkan Allah absolut tidak butuh kepada selain
siapapun dari makhlukNya.
Dalam kalimat La Ilaha Illallah ada Itsbat (penetapan) sesembahan hanya bagi Allah. Ini
nampak setelah kalimat La Ilaha ( َ ) اَل إلَهada kalimat Illallah ( ُ ) إاَّل هللاyang memiliki
makna penetapan. Artinya menetapkan sesembahan hanya bagi Allah setelah ditiadakan
semua sesembahan dalam kalimat La Ilaha ( َ ) اَل إِلَ }هyang artinya tidak ada satupun
sesembahan yang berhak diibadahi.
Dengan dua perkara ini yaitu meniadakan sesembahan selain Allah dan kedua
menetapkan ibadah hanya bagi Allah terwujudlah Tauhid. Tauhid secara bahasa
bermakna menjadikan sesuatu menjadi satu. Menurut istilah bermakna menjadikan Allah
satu-satunya yang diibadahi. Sehingga jika seseorang hanya meniadakan maka ia belum
mewujudkan tauhid. Demikian pula jika ia hanya menetapkan, maka ia juga belum
mewujudkan tauhid. Karena tauhid hanya terwujud ketika seseorang melakukan dua
perkara sekaligus, yaitu meniadakan dan menetapkan.
Jadi seorang yang ingin mentauhidkan Allah dia harus mengucapkan La Ilaha Illallah
secara lengkap. Bukan hanya mengucapkan La Ilaha saja atau Allah saja sebagaimana
kita saksikan di tengah kaum muslimin ada orang yang berdzikir hanya menyebut Allah,
Allah, Allah, Allah dan tidak menyebut kalimat tauhid secara lengkap.
“Ketahuilah Laa ilaaha illallah, sesungguhnya tidak ada yang berhak diibadahi melainkan
Allah…” (QS. Muhammad: 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َ أَ ْف
ُض ُل ال ِّذ ْك ِر اَل إلَهَ إاَّل هللا
Dzikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah (HR. Tirmidzi nomor 3383, Ibnu
Majah nomor 3800 dan dihasankan oleh Syeikh al Baniy)
يا رب كل عبادك يقولون ه}}ذا قال ال إله إال هللا قل يا موسى قال موسى يا رب علمني شيئا أذكرك وأدعوك به قال
لو أن السموات السبع وعامرهن – غيري – واألرضين السبع في كفة وال إله إال هللا في كفـة م}}الت بهـن قال موسى
ال إله إال ال
1. Membenarkan segala apa yang Nabi Muhammad kabarkan, tanpa ada keraguan sama
sekali.
2. Menjalankan setiap yang di perintahkan oleh Allah dan Nabi Muhammad, tanpa
menolaknya sama sekali.
3. Meninggalkan setiap perkara yang dilarang oleh Allah dan Nabi Muhammad, tanpa
menentangnya sama sekali.
5. Tidak membuat bid'ah dalam agama yang tidak diajarkan baik kaitannya dengan
akidah (keyakinan), perkataan, dan perbuatan oleh Nabi Muhammad.
6. Tidak meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam punya kemampuan rububiyah
atau punya kemampuan seperti yang Allah lakukan, yaitu mencipta, memberi rezeki dan
mengabulkan doa. Nabi Muhammad SAW hanyalah 'abdun wa Rasul atau hamba dan
utusan Allah. Namun Beliau adalah utusan Allah yang tidak boleh dilecehkan.
Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa
yang ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut.
“Artinya :… Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang
mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). [Az-Zukhruf : 86]
Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan
hatinya apa yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkannya, tetapi tidak
mengerti apa maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.
Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan
bahwa tiada ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira
dengan (balasan) Surga.” [HR. Al-Bukhari]
Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.
Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyem-bah Allah semata dan
meninggalkan ibadah kepada selainNya.
Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan menta’ati, maka ia termasuk orang-
orang yang difirmankan Allah:
“Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha
illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan
diri. dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-
sembahan kami karena seorang penyair gila?” [Ash-Shafat: 35-36]
Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha
illallah, tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan
demikian berarti mereka belum me-nerima makna laa ilaaha illallah.
Syarat Keempat: Inqiyaad (Tunduk dan Patuh dengan kandungan Makna Syahadat).
“Artinya : Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang
yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
kokoh.” [Luqman : 22
Al-‘Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah
yanqadu (patuh, pasrah).
Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkan-nya. Manakala lisannya
mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
“Artinya : Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepa-da Allah dan
Hari kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya
menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu
ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka
berdusta.” [Al-Baqarah: 8-10]
Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak
mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya’ atau sum’ah. Dalam hadits ‘Itban,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa
ilaaha illalah karena menginginkan ridha Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahli syirik
mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi
kandungan laa ilaaha illallah.