Anda di halaman 1dari 7

Syahadat Dan Bai’at

(Penjelasan Singkat Bagi Mereka Yang Tersesat)

oleh : Saif Muhammad Al-Amrin

Pendahuluan

Segala Puji Bagi Allah Yang Telah memberikan kita 4 nikmat Besar, yaitu Nikmat Iman, Nikmat
Islam, Nikmat Sehat dan Nikmat Akal. Shalwat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Tauladan kita sepanjang masa Nabi Besar Muhammad SAW, kepada para keluarganya,
Shahabat-shahabat beliau, hingga kepada umatnya yang senantiasa mengikuti langkah pejuangan
beliau hinnga hari akhir. Waba’du

Pembahasan masalah Syahadat dan Bai’at adalah pembahasan yang sangat lajim kita dengar.
Syahadat berkaitan dengan keislaman kita sedangkan bai’at berkaitan dengan kepemimpinan
kaum muslimin.

Marak ditengah-tengah kita beberapa kelompok yang menyerukan kepada syahadat dan bai’at.
Mereka beralasan bahwa umat islam saat ini belum bersyahadat sehingga belum syah
keisalamannya, juga tidak berbai’at sehingga mereka terlepas dari jamaah islam.

Kelompok-kelompok ini kemudian merekrut anak-anak muda dari kalangan pelajar dan
mahasiswa yang rendah tingkat pemahaman agamanya.

Syahadat dan Bai’at memang Masyru’ (disyariatkan) dalam Islam. Akan tetapi Islam telah
mengatur bagaimana syahadat dan bagaimana bai’at. Syahadat dan bai’at merupakan dua hal
yang berbeda. Tidak bias disamakan satu sama lain. Oleh karenanya saya merasa terpanggil
untuk menjelaskan kedua hal ini dengan proporsi yang benar. Saya memohon kekuatan dan
petunjuk kepada Allah semoga Allah member saya kemudahan dalam menyelesaikan tulisan ini.

Saya ucapkan terimakasih kepada Syaikh DR. Mahmud Al-Khalidi atas bukunya yang sangat
bermanfaat. Juga kepada Syaikh Ali Hasan Bin Ali Abdul Hamid atas penjelasannya tentang
Bai’at Syar’ie. Semoga Allah merahmati kalian berdua.Amiin

 
Definisi Syahadat dan Bai’at

a.       Syahadat : Syahadat berasal dari kata syahada – yasyhadu – syuhudan – syahidan, artinya
menyaksikan. Menurut istilah, syahadat artinya penyaksian kesadaran manusia, bahwa di alam
raya ini tidak ada ilah melainkan Allah swt (Abd. Marjie, 2003:125). DR. Shalih (1998)
membedakan antara definisi syahadat la ilaha illallah dan syahadat muhammadan Rasulullah.
Menurutnya definisi syahadat la ilaha illallah ialah beritikad dan berikrar bahwasannya tidak ada
yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah swt, mentaati hal tersebut dan
mengamalkannya. La ilaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapapun orangnya.
Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah. Sedangkan makna syahadat
muhammadan Rasulullah yaitu meyakini secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah
dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan
konsekuensinya; mentaati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan
tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

b.      Bai’at : Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya transaksi jual beli, atau
berjabat tangan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan
kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu
perkara). (Lihat Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174). Sedangkan “Bai’at”
Secara Istilah (Terminologi) adalah “Berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbaiat
memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah
dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu
mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka
atau terpaksa.

Setelah kita melihat definisi Syahadat dan bai’at maka kita akan menemukan perbedaan yang
sangat mencolok yaitu bahwa Syahadat itu berbunyi asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadar rasulullah, sedangkan bai’at itu berbunyi ubayi’ukum ‘alas sam’i wath-
tha’ah fi tha’atillai wa rasulihi. Artinya Syahadat adalah pengakuan kita kepada Allah sebagai
Tuhan yang tiada Tuhan selain Allah, serta Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sedangkan
Bai’at adalah janji seseorang untuk tunduk dan patuh kepada seorang pemimpin.

Untuk Siapakah Syahadat Dan Bai’at itu???

a. Syahadat itu adalah ikrar tentang masalah tuhan dan kenabian, di mana seorang muslim
menyatakan tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah, sekaligus ikrar bahwa
Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sedangkan ba’iat adalah ikrar untuk mengangkat
seseorang menjadi pemimpin dan pernyataan siap untuk mentaatinya.
Sehingga jelaslah bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Syahadat itu
sebagai ikrar dari seorang non muslim untuk masuk Islam, sedangkan bai’at itu adalah sumpah
atau pengangkatan seseorang untuk dijadikan pemimpin.

Kemudian bila ada pertanyaan “apakah kita yang lahir dari keluarga yang kedua orang tuanya
muslim harus bersyahadat’?. Untuk menjawab hal ini ada sebuah hadist yang dikeluarkan oleh
Imam Bukhari Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,
“setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang
tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi sebagaimana seekor
hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung?” kemudian
Abu Hurairah membacakan ayat-ayat suci ini: (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan
manusia menurut fitrah itu. (Hukum-hukum) ciptaan Allah tidak dapat diubah. Itulah
agama yang benar. Tapi sebagian besar manusia tidak mengetahui (QS Ar Rum [30]:30).

Hadist diatas memberikan penjelasan yang sangat jelas bagi kita bahwa setiap anak terlahir
dalam keadaan fitrah (yaitu mentauhidkan Allah). Jika kemudian dia tumbuh dalam keluarga
Islam maka ia memang menjadi muslim dan akan tetap menjadi muslim apabila dia tidak
melakukan hal-hal yang dapat membatalkan dan menggugurkan keislamannya. Namun Apabila
dia kemudian melakukan hal yang membatalkan keislaman secara substansial dia bukan lagi
seorang muslim meskipun ia menyandang gelar atau dikenal sebagai muslim.

Penjelasan ini masih menyisakan satu pertanyaan “Bagaimana dengan Definisi Iman; Diyaikini
dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan??. Semakin jelas
sebenarnya bahwa dalam definisi iman tersebut tidak ada kalimat harus bersyahadat. Bahkan
Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi menyebutkan bahwa diucapkan dengan
Lisan adalah rukan tambahan bukan rukun yang asli. Sehingga pelafalan iman sebagaimana
dalam definisi Iman diatas adalah sebuah keutamaan bagi mereka yang mampu melafalkannya
karena yang diinginkan dari keimanan adalah penerimaan dengan sepenuh hati apa-apa yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Muhammad SAW sebagaimana firman Allah “Maka demi
Rabbmu, mereka tidak beriman sampai menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai
pemutus perkara pada semua perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka
tidak mendapati di dalam diri-diri mereka adanya perasaan berat untuk menerima keputusanmu
dan mereka berserah dengan sepenuh penyerahan diri.” (QS.An-Nisa`: 65). Juga sabda
Rasulullah SAW “Iman mempunyai 73 sampai 79 cabang, yang paling utama -dalam sebagian
riwayat: Yang paling tinggi- adalah ucapan ‘laa ilaha illallah’, yang paling rendahnya adalah
menyingkirkan duri dari jalanan dan malu adalah salah satu dari cabang-cabang keimanan.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dari hadist ini disebutkan mengucapkan La ila
ha illallah adalah setinggi-tingginya keimanan. Artinya mengucapkannya adalah sebuah
keutamaan. Selain dari itu umat Islam pasti senantiasa melafalkan syahadat pada setiap kali dia
shalat.

 
Bersyahadat bukanlah pernikahan atau shalat, karenanya bersyahadat tidak memerlukan rukun,
syarat atau saksi, juga tidak memerlukan tempat khusus. Kenapa??karena memang syahadat itu
hanya sebuah pelafalan kalimat tauhid, yang bisa di ucapkan dimana saja dan kapan saja. Ini bisa
dilihat dari riwayat tentang keislaman raja Najasy yang baru diketahui Rasul setelah raja Najasy
tersebut meninggal. Rasul memperoleh keterangan bahwa raja Najasy telah masuk

Islam dari berita yang disampaikan oleh malaikat Jibril.

b. Bai’at adalah akad, ini sangat berbeda dengan syahadat yang hanya persaksian atau
pengakuan tenyang ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad SAW. Karena bai’at adalah
akad, maka dia memerlukan syarat dan rukun sebagaimana kebanyakan akad-akad yang lain.
Rukun Bai’at adalah: 1. Muslim. 2. Berakal. 3. Baligh. 4. Ridha dan Ikhtiayar (berdasarkan
pilihan sendiri).

Ba’iat hanya ditunjukkan kepad kepala Negara (dalam hal ini adalah Khalifah). Sehingga tidak
dianggap bai’at seseorang yang menyerahkan loyalitasnya kepada ketua jamaah atau kelompok
tertentu.  Sebagaimana  Hadist riwayat Abu Hurairah ra. Dari Rasulullah saw. beliau bersabda
“Dahulu Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mangkat, maka akan
digantikan dengan nabi lain. Dan sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku dan akan
muncul para khalifah yang banyak. Mereka bertanya: Lalu apakah yang engkau perintahkan
kepada kami? Nabi saw. menjawab: Setialah dengan baiah khalifah pertama dan seterusnya
serta berikanlah kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menuntut tanggung
jawab mereka terhadap kepemimpinan mereka.”(HR. Muslim no. 3429)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa melepaskan tangan dari
ketaatan, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen).
Dan barang siapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, dia mati dengan keadaan
kematian jahiliyah”[HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133. Ibnu Abi ‘Ashim
dalam as-Sunnah, no. 91, dan lainnya; dari 'Abdullah bin 'Uma]

Maksud baiat dalam hadits ini ialah baiat taat kepada imam yang disepakati oleh kaum muslimin.
Imam yang memiliki kekuasan, menegakkan syariat Islam, hudud, mengumumkan perang
maupun damai, dan lain-lainnya berkaitan dengan kewajiban dan hak seorang imam. Demikian
jenis baiat yang dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih. Hukum baiat ini adalah
wajib, jika memang ada imam kaum muslimin sebagaimana di atas. Melepaskan baiat
merupakan dosa besar, sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan ulama dalam masalah
ini.

Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”, dijelaskan oleh para ulama
sebagai berikut.
 

1. An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di atas sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang
mereka dalam keadaan kacau, tidak memiliki imam”[ Syarah Muslim, 12/238]

2. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Orang-orang jahiliyah tidak membaiat imam, dan tidak
masuk ke dalam ketaatan imam. Maka barang siapa di antara kaum muslimin yang tidak masuk
ke dalam ketaatan kepada imam, dia telah menyerupai orang-orang jahiliyah dalam masalah
itu. Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, berarti dia mati seperti keadaan mereka, dalam
keadaan melakukan dosa besar”[ Al-Mufhim, 4/59]

3. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan sifat kematian jahiliyah,
ialah seperti matinya orang-orang jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki
imam yang ditaati, karena orang-orang jahiliyah dahulu tidak mengenal hal itu. Dan yang
dimaksudkan, dia mati bukan dalam keadaan kafir, tetapi dia mati dalam keadaan maksiat. Dan
dimungkinkan, bahwa permisalan itu seperti lahiriyahnya; yang maknanya dia mati seperti
orang jahiliyah, walaupun dia bukan orang jahiliyah. Atau bahwa kalimat itu disampaikan
sebagai peringatan dan untuk menjauhkan, sedangkan secara lahiriyah bukanlah yang
dimaksudkan”.[ Fathul-Bâri, 13/9, syarah hadits no. 7054]

Uraian diatas menegaskan bahwa yang berhak menerima bai’at adalah Imam (kepala Negara/
Khalifah). Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Imam Ahmad ketika ditanya tentang bai’at ini
dia berkata: ” Bai’at ini adalah bai’at untuk Imam“. Bai’at tidak diberikan kecuali kepada
waliyul amr-nya (penguasa) kaum muslimin yaitu khalifah yang memimpin, menjaga dan
melindungi kaum muslimin.

Baiat taat ini tidak boleh diberikan kepada pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok dakwah.
Karena baiat taat yang dilakukan Salafush-Shalih hanyalah diberikan kepada penguasa kaum
muslimin. Dengan demikian, orang-orang yang digelari imam, syaikh, amir, ustadz, atau
semacamnya yang muncul dari kalangan ketua-ketua thariqah, yayasan, jamaah, ataupun lainnya,
sedangkan mereka tidak memiliki wilayah dan kekuasaan sedikitpun, maka mereka sama sekali
tidak berhak dibaiat. Baiat kepada mereka merupakan bid’ah dan memecah-belah umat.

Siapapun yang mengkaji hadis Nabi s.a.w. akan menemukan bahawa baiah terhadap khalifah ada
dua jenis: (1) Baiat In‘iqad, yakni baiah yang menunjukkan orang yang dibaiah sebagai khalifah,
pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti; (2) Baiat Taat, iaitu baiah kaum Muslim
terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiah Taat bukanlah untuk
mengangkat khalifah, kerana khalifah sudah ada.

Kesimpulan

Syahadat adalah Ikrar keislaman seseorang ketika dia ingin memasuki agama Islam. Sedangkan
bagi yang sudah terlahri dari keluarga muslim, maka tidak ada kewajiban untuk melaksankan
syahadat. Yang ada adalah mendalami,memahami dan mengamalkan apa yang menjadi
konsekwensi dari Keislamannya. Orang yang membatalakan keislamannya adalah kafir.
Pembatalan keislaman dikarenakan 2 hal: (1) tidak mengimani Allah dan rasulnya. (2).
Mengingkari seluruh atau sebagian hukum Islam.

Bai’at adalah janji setia kepada Khalifah. Bukan kepada ketua jamaah atau kelompok tertentu.

Para shahabat Nabi SAW dahulu awalnya pun masih kafir. Lalu mereka masuk Islam dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak awal mula turunnya wahyu, sudah banyak shahabat
yang masuk Islam. Hingga menjelang hijrah ke Madinah baru ada bai’at. Ini menunjukkan
bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Di dalam sirah nabawiyah,
keduanya dipisahkan oleh jarak waktu hampir 10 tahun. Dan para shahabat nabi SAW yang
masuk Islam di awal mula turun wahyu tetap dianggap muslim, meski mereka tidak ikut
berba’ait.

Perlu diketahui bahwa bai’at di dalam sirah nabawiyah ada beberapa kali. Yang awal pertama
terjadi adalah bai’at Aqabah I dan bai’at Aqabah II. Dua-duanya hanya untuk para anshar dari
Yatsrib . Adapun para shahabat yang lainnya tidak ikut berbai’at. Kalau dikatakan bahwa yang
tidak bai’at itu kafir, seharusnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali itu kafir, lantaran tidak ikut
bai’at.

Jadi pemahaman yang menyatakan belum menjadi muslim orang yang belum berbai’at jelas
sekali salahnya, bahkan bertentangan dengan realita sejarah di masa Nabi SAW, juga
bertentangan dengan manhaj salafushalih, serta bertentangan dengan ilmu aqidah dan syariah.
Tidaklah ada orang yang mau dicocok hidungnya dengan doktrin sesat seperti ini kecuali orang-
orang yang lemah iman, kurang ilmu dan jahil terhadap agamanya sendiri.

Dengan selesainya uraian ini. saya berharap kepada Allah semoga tulisan ini bisa memberikan
gambaran yang utuh bagi yang membacanya sehingga tidak tersesat kepada faham-faham aneh.
Allahu Muwafiq Illa Aqwamit-thariq

Anda mungkin juga menyukai