Anda di halaman 1dari 17

PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM

PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM

1. Pengertian Aqidah

Aqidah secara bahasa berasal dari kata (  ‫ )عقد‬yang berarti ikatan. Secara
istilah adalah keyakinan hati atas sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat
digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan dapat pula
digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah aqidah
Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah
yang sesat atau menyimpang.

Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan


keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan
rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini
didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Shahabat Umar bin Khathab radiyallahu anha  yang dikenal dengan
‘Hadits Jibril’.

1. Kedudukan Aqidah dalam Islam

Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting.


Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran
Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang
dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu
bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai,
bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja,
bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.

Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama
(din) dan diterimanya suatu amal. Allah subahanahu wata`ala berfirman,

.‫ك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه أَ َحدًا‬ َ ً‫فَ َم ْن َكانَ يَرْ جُوا لِقَآ َء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َمال‬
ُ ‫صالِحًا َوالَيُ ْش ِر‬

Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan


Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak
menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S.
al-Kahfi: 110)

Allah subahanahu wata`ala juga berfirman,

ِ ‫ك َولَتَ ُكون ََّن ِّمنَ ْال َخ‬


. َ‫اس ِرين‬ َ ‫َولَقَ ْد أُو ِح َى إِلَ ْي‬
َ ُ‫ك َوإِلَى الَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِكَ لَئِ ْن أَ ْش َر ْكتَ لَيَحْ بَطَ َّن َع َمل‬

Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-


nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan,
maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan
termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)

Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan


Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah,
sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi wasalam
berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan
menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu
yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam
rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di
Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu
kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga
menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan
Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum
syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat,
yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi
kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau
keimanan dalam ajaran Islam.

SUMBER, METODE DAN CARA PENGAMBILAN AQIDAH


ISLAM

1. Sumber-sumber Aqidah Islam

Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran
yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-
Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada al-Quran
dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali
Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah
Allah sendiri, kecuali Rasulullah salallahu `alaihi wasalam.
1. Metode Memahami Aqidah Islam dari Sumber-sumbernya
Menurut Para Shahabat

Generasi para shahabat adalah generasi yang dinyatakan oleh Rasululah


sebagai generasi terbaik kaum muslimin. Kebaikan mereka terletak pada
pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas ajaran-ajaran Islam
secara benar dan kaffah. Hal ini tidak mengherankan, karena mereka
adalah generasi awal yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, dan
mereka mendapat pengajaran dan pendidikan langsung dari Rasulullah
salallahu `alaihi wasalam. Setelah generasi shahabat, kualifikasi atau
derajat kebaikan itu diikuti secara berurutan oleh generasi berikutnya
dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh generasi tabi’ut
tabi’in. Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai generasi
salaf. Rasulullah bersabda tentang mereka,

…‫اس قَرْ نِي ثُ َّم الَّ ِذ ْينَ يَلُوْ نَهُ ْم ثُ َّم الَّ ِذ ْينَ يَلُوْ نَهُ ْم‬
ِ َّ‫خَ ْي ُر الن‬

Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, lalu


generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya…” (H.R. Bukhari dan
Muslim)

Generasi salaf yang shalih (al-salaf al-shalih) mengambil pemahaman


aqidah dari al-Quran dan sunnah dengan metode mengimani atau
meyakini semua yang diinformasikan (ditunjukkan) oleh kedua sumber
tersebut. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam kedua sumber itu,
mereka meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan diri dengan
kedua sumber tersebut dalam menetapkan atau meniadakan suatu
pemahaman yang menjadi dasar aqidah atau keyakinan.

Dengan metode di atas, maka para shahabat, dan generasi berikutnya


yang mengikuti mereka dangan baik (ihsan), mereka beraqidah dengan
aqidah yang sama. Di kalangan mereka tidak terjadi perselisihan dalam
masalah aqidah. Kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan di kalangan
mereka hanyalah dalam masalah hukum yang bersifat cabang
(furu’iyyah) saja, bukan dalam masalah-masalah yang pokok
(ushuliyyah). Seperti ini pula keadaan yang terjadi di kalangan para
imam madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah (th. 699-767 M),
Imam Malik (tahun 712-797), Imam Syafi’i (tahun 767-820), dan Imam
Ahmad (tahun 780-855 M).

Karena itulah, maka mereka dipersaksikan oleh Rasulullah saw sebagai


golongan yang selamat, sebagaimana sabda beliau,

‫ َما أَنَا َعلَ ْي ِه َوأَصْ َحابِى‬: ‫ال‬


َ َ‫ق‬

Artinya: “Mereka (golongan yang selamat) adalah orang-orang yang


berada di atas suatu prinsip seperti halnya saya dan para shahabat
saya telah berjalan di atasnya.” (H.R. Tirmidzi)
AQIDAH ISLAM
Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :

Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth


(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan), at-tawatstsuq
(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat),
at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan).  Di antaranya
juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang
mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama
maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti
aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak
dari aqidah adalah aqa-id.
Aqidah islam itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah,
bukan dari akal atau pikiran manusia. Akal pikiran itu hanya digunakan
untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah
tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan.

Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)

Aqidah menurut istilah adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati
dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan
yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan
kebimbangan.

Pengertian aqidah menurut hasan al-Banna

"Aqa'id bentuk jamak rai aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa yang
tidak bercampur sedikit dengan keraguan-raguan".

Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:

"Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum


oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu
dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini keshahihan dan
keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran itu.

Untuk lebih memahami definisi diatas kita perlu mengemukakan


beberapa catatan tambahan sebagai berikut:

1. Ilmu terbagi dua:


Pertama ilmu dharuri yaitu Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak
memerlukan dalil. Misalnya apabila kita melihat tali di hadapan mata,
kita tidak memerlukan lagi dalil atau bukti bahwa benda itu ada.

Kedua adalah ilmu nazhari yaitu. Ilmu yang memerlukan dalil atau
pembuktian.
Misalnya ketiga sisi segitiga sama sisi mempunyai panjang yang sama,
memerlukan dalil bagi orang-orang yang belum mengetahui teori itu. Di
antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan
terkenal tidak memerlukan lagi dalil. Misalnya kalau sebuah roti
dipotong sepertiganya maka yang du pertiganya tentu lebih banyak dari
sepertiga, hal itu tentu sudah diketahui oleh umum bahkan anak kecil
sekalipun. Hal seperti ini disebut badihiyah. Jadi badihiyah adalah segala
sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pemuktian, tetapi karena sudah
sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak lagi perlu
pembuktian.

2. Setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran (bertuhan),


indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan
memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang
benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, musalnya, setiap manusia
memiliki fitrah bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa membuktikan
adanya Tuhan, tetapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya
siapa Tuhan yang sebenarnya.

3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan.


Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami
beberapa tahap.

Pertama: Syak. Yaitu sama kuat antara membenarkan sesuatu atau


menolaknya.
Kedua: Zhan. Salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada
dalil yang menguatkannya.

Ketiga: Ghalabatu al-Zhan: cenderung labih menguatkan salah satu


karena sudah meyakini dalil kebenarannya. Keyakinan yang sudah
sampai ke tingkat ilmu inilah yang disebut dengan aqidah.

4. Aqidah harus mendatangkan ketentraman jiwa. Artinya lahirnya


seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak
akan mendatangkan ketenangan jiwa, karena dia harus melaksanakan
sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya.

5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak


segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya
seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.
6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat
pemahaman terhadap dalil. Misalnya:

- Seseorang akan meyakini adanya negara Sudan bila dia mendapat


informasi tentang Negara tersebut dari seseorang yang dikenal tidak
pernah bohong.

- Keyakinan itu akan bertambah apabila dia mendapatkan informasi


yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak tertutup kemungkinan
dia akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubhat (dalil-
dalil yang menolak informasi tersebut).

- Bila dia menyaksikan foto Sudan, bertambahlah keyakinannya,


sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil.

- Apabila dia pergi menyaksikan sendiri negeri tersebut keyakinanya


semakin bertambah, dan segala keraguannya akan hilang, bahkan dia
tidak mungkin ragu lagi, serta tidak akan mengubah pendiriannya
sekalipun semua orang menolaknya.

- Apabila dia jalan-jalan di negeri Sudan tersebut dan memperhatikan


situasi kondisinya bertambahlah pengalaman dan pengetahuanya tentang
negeri yang diyakininya itu. [4]

Dalam pengertian lain aqidah berarti pemikiran menyeluruh tentang


alam, manusia, dan kehidupan, dan tentang apa-apa yang ada sebelum
dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dengan apa
yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia.
Pemikiran menyeluruh inilah yang dapat menguraikan ‘uqdah al-kubra’
(permasalahan besar) pada diri manusia, yang muncul dari pertanyaan-
pertanyaan; siapa yang menciptakan alam semesta dari ketiadaannya?
Untuk apa semua itu diciptakan? Dan ke mana semua itu akan kembali
(berakhir)? [5]

B. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah

Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup pembahasan aqidah


adalah:

1. Ilahiyat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
Ilahi seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah, dan lain-lain

2. Nubuwat
Yaitu pembahasan tentang segala seuatu yang berhubungan dengan Nabi
dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Allah, mu'jizat,
dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat
Yaitu pembahsasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
alam metafisik seperti malaikat, Jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain
sebagainya.

4. Sam'iyyat
Yaitu pembahahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui
lewat sam'I (dalil naqli berupa Al-Quran dan Sunnah) seperti alam
barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan
lainnya.

C. Kemahaesaan Allah
Allah adalah esa; satu dalam dzat, sifat dan karya-nya.Keesaan Allah
merupakan gambaran kemahakuasaan-Nya yang tidak tertandingi oleh
apa dan siapapun, sebab selain Dia adalah ciptaan-Nya belaka. Tauhid
merupakan keyakinan akan keesaan Allah, yaitu keyakinan bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah.
Keyakinan akan keesaan Allah merupakan ciri utama dari agama Islam
yang berbeda dengan agama-agama lainnya di dunia.
Keesaan Allah dalam ajaran Islam berbeda dengan keyakinan
monoteistik pada agama Yahudi dan Nasrani. Tauhid merupakan
keyakinan akan keesaan Allah yang meniadakan segala unsur yang lain.
Satu bukanlah terdiri dari unsur-unsur atau bagian dari bilangan, tetapi
satu yang utuh. Keesaan Allah dalam keyakinan muslim bukan hanya
berupa pengetahuan dan pengakuan tetapi mendorong dalam membentuk
perilaku dan sikap tauhid yang diawali dengan persaksian melalui
syahadat. Syahadatain berbunyi:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah Rasulullah Pengakuan dan keyakinan bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah “
mengandung arti bahwa tidak ada bentuk apapun yang dipertuhankan
selain Allah. Artinya hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan bagi seorang
muslim. Tuhan diartikan sebagai segala sesuatu yang mendominasi diri,
atau yang membuat orang tergantung kepadanya.
Apabila ada seseorang memiliki sesuatu baik orang maupun barang atau
kedudukan, apabila dominan dan membuat orang itu tergantung
kepadanya, maka orang itu tidaklah bertauhid. Karena itu, persaksian
yang dinyatakan dalam syahadat itu tidak terbatas pada ucapan dua
kalimat syahadat (syahadatain), melainkan dibuktikan dalam berpikir,
bertindak, dan bersikap. Berpikir tauhid adalah berpikir utuh dan intgral,
ia akan memandang alam maupun manusia sebagai sesuatu sistem yang
integral. Dengan demikian ia akan mampu memberikan penilaian dan
bertindak secara adil. Sementara dalam hubungannya dengan sikap,
maka tauhid memiliki implikasi dalam bentuk sikap hidup yang tidak
tergantung pada siapapun selain pada Allah, karena itu ia akan hidup
berani, merdeka dan mandiri.

D. Kiamat, hukum alam, dan akhirat


Kiamat merupakan akhir perjalanan kehidupan alam raya dan pintu
masuk alam akhirat. Peristiwa kiamat adalah hari kehancuran dunia yang
di gambarkan Alquran Surat. Al Zalzalah (kegoncangan) sebagai saat
penghancuran total yang tidak ada satu makhluk pun yang tertinggal,
semua hancur, selain dalam surat Al Zalzalah, Allah juga memberikan
penjelasan tentang kiamat dalam surat Al Waqi’ah ayat 5-6, surat At
Takwir ayat 1,2,3,6, dan 11.
Di riwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata:
Bahwa Rasulullah bersabda: Sesungguhnya akan datang seorang
lelaki besar gemuk pada hari kiamat yang berat amalnya di sisi
Allah tidak seberat sayap seekor nyamuk sekalipun. Bacalah oleh
kalian: Maka Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan
mereka pada hari kiamat. (Shahih Muslim No.4991)

Datangnya hari kiamat tidak dijelaskan secara rinci baik dalam Alquran
maupun hadis, tetapi ciri-ciri akan datangnya kiamat diisyaratkan dalam
berbagai hadits
Diriwayakan oleh Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah bersabda: Allah Taala menggenggam bumi pada hari
kiamat dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian
berfirman: Akulah raja! Manakah raja-raja bumi? (Shahih Muslim
No.4994)

manakala manusia tidak lagi berpegang kepada nilai-nilai ilahiyah yang


menjaga kemanusiaannya, tetapi telah menjadikan nafsu sebagai
tuhannya. Apabila diperhatikan isyarat-isyarat tentang datangnya
kiamat, maka dapat dipastikan bahwa kiamat berhubungan dengan
keserakahan manusia dan ditinggalkannya nilai-nilai agama.
Karena itu, jika dikaitkan dengan hukum alam (sunnatullah), maka
kiamat pasti akan datang karena sebagai akibat semakin jauhnya
manusia dari nilai-nilai kebaikan yang menjadi tugas
hidupnya sebagai khalifatullah fil ardhi dan meletakkan dirinya sebagai
penguasa yang tanpa batas. Dalam Al Quran hari kiamat memiliki tiga
puluh empat (34) sebutan, diantaranya ;
1. Yaumul Qiyamah (hari kiamat)
2. Yaumul Hasroh (hari penjelasan sebab sudah tidak ada lagi
kesempatan bagi umat manusia untuk beriman dan beramal saleh guna
menembus dosa-dosanya)
3. Yaumul Hisab (hari perhitungan segala amal perbuatan baik dan
buruk manusia)
4. Yaumul Zilzalah (hari kegemparan, sebab bumi ketika itu mengalami
kegoncangan yang
sangat dahsyat)
5. Yaumul Waqi’ah (hari kejatuhan sebab segala makhluk Allah swt
benar-benar terhenti)
6. Yaumul Roojifah (hari gempa besar)
7. Yaumul Haaqqoh (hari kebenaran sebab semua janji Allah dalam Al
Quran tentang adanya kehidupan di alam akhirat mulai terbukti)
8. Yaumul Thoommah (hari kesulitan sebab setiap manusia tidak dapat
menyelamatkan
diri mereka sendiri)
9. Yaumul Talaaq (hari pertemuan, sebab orangorang yang beriman dan
beramal saleh akan dipertemukan dengan Tuhannya)
10. Yaumul Ghosyiyah (hari pingsan karena kehidupan segala makhluk
Allah swt benarbenar terhenti)
11. Dan sebagainya sampai 34 nama.

E. Peranan malaikat, dan makhluk ghaib lainnya serta pengaruhnya


terhadap manusia
Di samping manusia dan makhluk lainnya yang bersifat fisik, Allah
menciptakan makhluk yang bersifat ghaib, yaitu jin, malaikat, dan setan.
Jin adalah makhluk yang bersifat ghaib; tidak tampak secara kasat mata
dan menghuni dunianya sendiri yang bersifat ghaib pula. Jin memiliki
tugas yang sama dengan manusia, yaitu beribadah kepada Allah, karena
itu kebaikan dan keburukan pun terjadi di dunia jin. Jadi di dalam dunia
jin terdapat jin yang baik dan yang jahat. Di samping jin, terdapat pula
setan yang lebih ditampilkan dalam bentuk kekuatan halus yang
membisikkan keburukan kepada manusia dan jin. Sedangkan makhluk
lainnya adalah malaikat yang lebih menggambarkan kekuatan baik. Baik
setan maupun jin tidak diperoleh
gambaran secara pasti di kalangan para hali tafsir, jadi bisa dalam
bentuk makhluk yang bersifat halus dan ghaib atau mungkin saja berupa
kekuatan yang membisikkan yang buruk
dan baik. Yang pasti bahwa kedua makhluk tersebut berpengaruh kepada
manusia dalam bentuk bisikan untuk berbuat baik dan buruk ke dalam
hati manusia yang dilakukan oleh jin dan manusia

Anda mungkin juga menyukai