Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MAKALAH

Studi Akidah “wahdaniyah” : Telaah Pemikiran Muhammad Nafis bin Idris


bin Husein Al-Banjari dalam Kitab Addur An-nafis

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


STUDI AKIDAH AKHLAK

Disusun oleh:

EVA DIANA BR. SINULINGGA


Nim: 0331204022
M. ANWAR SADAT
Nim : 0331204057

Dosen Pembimbing

Dr. IRA SURYANI, M.Si

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCA SARJANA (S2) NON REGULER

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) SUMATERA UTARA

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Studi Akidah “Wahdaniyah” : Telaah
Pemikiran Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari dalam Kitab
Addur An-nafis .Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.Akhir kata kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Medan, 11 November 2020


Penulis,
Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 3
1.3 Tujuan Masalah ............................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................... 4

2.1 Biography Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein


Al-Banjari ........................................................................ 4
2.2 Profil Kitab Al-Dur al-Nafis ....................................... 8

2.3 Studi akidah “Wahdaniyah” dan hubungannya


dengan pokok pemikiran Muhammad Nafis
bin Idris bin Husein Al-Banjari dalam kitab
Al-Durr Al-Nafi…………………………………………12

BAB III PENUTUP……………………………………………………..19


3.1 Kesimpulan………………………………………………..19
3.2 Saran………………………………………………………20

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Sebagai hamba Allah yang baik, wajiblah bagi kita umat islam
untuk memiliki akidah yang kuat. Untuk memiliki akidah yang kuat sebagai
hamba Allah maka yang harus di lakukan kita sebagai hamba adalah dengan
mempelajari apa itu akidah dan mengerti pentingnya akidah dalam kehidupan
seorang muslim.
Akidah sendiri secara etimologi berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-
‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, dan perjanjian yang kokoh dan kuat.
Setelah terbentuk menjadi ‘aqidatan (Aqidah) berarti kepercayaan atau
keyakinan, maka intinya akidah adalah keyakinan yang tersimpul dan
tertambat kokoh di dalam hati.
Begitulah kira kira urgensi dan pentingnya akidah di dalam diri
seorang muslim, apabila akidah yang tertanam dihatinya sudah salah maka
akan salah pulalah setiap perbuatan yang dilakukannya atau tidak sesuai
dengan syariat dan tuntunan agama. Jadi jelas disini diperlukannya kualitas
akidah dalam kehidupan, yakni yang meliputi keimanan yang teguh dan
pelaksanaan amal yang sholeh, mencakup rukun islam dan rukun iman,
sehingga bisa mencapai surga yang tertinggi.
Keimananan islam itu adalah mengimani bahwa Allah lah satu-
satunya dan tiada tuhan selain Allah, tidak ada yang kekal selain Allah dalam
artian semua makhluk selain Allah adalah bersifat fana, atau akan binasa dan
tidak kekal. Berbicara mengenai akidah bukanlah suatu yang asing dikalangan
masyarakat, bahkan dari zaman terdahulu juga sudah membahas dan
mendalami ilmu akidah dan Akhlak Taasawuf ini, terdapat ribuan karya ulama
nusantara yang menanti dan perlu difahami untuk lebih menambah keyakinan
kita tentang keesan Allah.

1
2

Terlepas dari itu ajaran dan gagasan ulama di nusantara juga perlu
di kembangkan dan diimplementasikan. Salah satu karya ulama terkenal yang
sampai saat ini masih perlu kita fahami dan kita telaah adalah karya ulama
dari Kalimantan selatan yang pernah mengembangkan ajaran tasawuf serta
menulis berupa kitab yang berisi ajaran tasawuf adalah Syekh Muhammad
Nafis Al-Banjari, kitab hasil karyanya tersebut sangat mahsyur sampai saat
sekarang bernama al-dur al-nafis, merupakan kitab yang di tulis dengan
bahasa melayu dan menggunakan tulisan arab, dari karyanya ada beberapa
pokok pemikiran yang bisa kita ambil untuk memperkuat keimanan kita
tentang keesaan Allah SWT.
Inti sari ajaran Islam itu berasas pada tauhid yang terangkum
dalam kalimat “Lâ Ilâha illallâh” (tiada tuhan selain Allah). Muhammad Nafis
memaknai kalimat itu, bahwa semua yang terjadi di alam ini pada
hakikatnya pelakunya hanyalah Allah. Apabila mengingkari pandangan ini,
maka termasuk ke dalam kategori syirik khâfi atau syirik batin. Dari sini
tampaknya Muhammad Nafis berusaha menegaskan bahwa pengertian
tauhid secara hakiki itu adalah menyakini bahwa pelaku mutlak di alam ini
hanyalah Allah SWT. Sehingga, apabila seorang hamba mendaku bahwa ia
berbuat sesuatu, maka ia terlah masuk ke dalam kategori syirik, dan berdosa
besar yang tidak akan diampuni Allah. Pandangan ini sesuai dengan
pandangan al-Ghazali, bahwa tauhid adalah meyakini tiada yang berbuat di
dunia ini kecuali hanya Allah dan semua yang ada di alam ini adalah
perbuatan dan ciptaan-Nya. Dia adalah Pemberi hidup dan Pemberi mati.
Apabila seseorang tidak berkeyakinan demikian, ia disebut syirik.
Ulama tasawuf berpandangan bahwa tujuan hidup seorang
hamba adalah mengenal Allah secara hakiki atau makrifatullah. Oleh
karena itu, ilmu makrifat tidak boleh dipisahkan dengan ilmu tauhid.
Seseorang yang akan mencapai makrifat secara benar, pasti harus bertauhid
secara benar. Artinya, terdapat kaitan erat antara ilmu tauhid dan ilmu
makrifat. Ilmu tauhid untuk mengesakan Allah secara hakiki dengan mata
hati, sedangkan ilmu makrifat untuk mengenal Allah secara hakiki.
3

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah
:
1. Bagaimana perjalanan riwayat hidup dan biography dari Muhammad Nafis
bin Idris bin Husein Al-banjari ?
2. Bagaimana profil kitab Al-dur Al-Nafis ?
3. Bagimana studi akidah “Wahdaniyah” dan hubungannya dengan pokok
pemikiran dari Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari ?

1.3 TUJUAN MASALAH


Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat kita ketahui tujuan dari
penulisan makalah adalah :
1. Untuk mengetahui perjalanan riwayat hidup dan biography dari
Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari
2. Untuk mengetahui profil kitab Al-dur Al-Nafis
3. Untuk mengetahui studi akidah “Wahdaniyah” dan hubungannya dengan
pokok pemikiran dari Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biography Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari
Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, demikian nama
lengkapnya. Tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara
pasti, namun dalam buku Seri Manakib Syekh Muhmmad Nafis Al-Banjari di
tuliskan kelahiran Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari sekitar
tahun 1148 H/1735 M. dilahirkan di salah satu desa Martapura yang terletak di
Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Dari kalangan keluarga
bangsawan atau kesultananbanjar yang bersambung hingga sultan suriansyah
(1527 M-1548 M).1
Pada waktu Muhammad Nafis menulis kitab Al-Durr al-
Nafis (1200 H/1785 M), dia kurang lebih berusia 50 tahun, maka dapat
diperkirakan dia lahir pada tahun 1150 H/1735 M.2
Dalam beberapa riwayat lain disebutkan, Muhammad Nafis
sezaman dengan Muhammad Arsyad (1710-1812 M). jika riwayat ini
benar, maka Muhammad Nafis ini mengalami pada masa pemerintahan
Tahlilullah raja Banjar ke XIV (1707-1745 M), dan Sultan Tamjidillah
raja Banjar ke XV (1745 – 1778 M), serta Sul- tan Tahmidillah raja
Banjar ke XVI (1778-1808 M).3
Muhammad Nafis pernah tinggal di Mekkah, yaitu pada saat
ia menulis kitabnya “Al-Durr al-Nafis”. Tidak diperoleh keterangan,
kapan ia pergi ke Mekkah, berapa lama ia belajar di sana, dan kapan
dia kembali ke Banjarmasin.4
Muhammad Nafis adalah seorang penganut bidang fikih
mazhab syafi’i, menganut aliran Asy’ariyah dalam bidang akidah, dan

1
Abdurrahman, Mengenal Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, kitab al-Dur al-Nafis dan
Ajaran Tasawufnya, (Banjarmasin : Kelompok Studi Islam Banjarmasin,1990), h. 2.
2
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta,
Srigunting, 2001), h. 23.
3
Akhmad Khairudin, et.al., Perkembangan Pemikiran Tasawuf di Kalimantan Selatan
(Slamen, Yogyakarta : Aswaja Presindo, Cet. 1, 2014), h. 47.
4
Ibid, h. 47

4
5

bidang tasawuf, ia adalah penganut Junaid al Bagdadi, dari sini


dietahui dia adalah penganut aliran Sunni.5
Begitu pula, Muhammad Nafis menganut berbagai tarikat,
yaitu tarikat Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qadir al- Jailani,
tarikat Shatariyah yang didirikan oleh Abdullah al-Sattari, tarikat
Naqsyabandiyah yang didirikan oleh Baha’uddin al- Naqsyabandi,
tarikat Khalwatiyah yang disebut juga dengan tarikat Anfasiyah, dan
tarikat Sammaniyah yang didirikan Syekh Muhammad Ibnu Abdul
Karim Samman al-Madani.6
Pada waktu Syekh Muhammad Nafis al-Banjari berada di Makkah,
tepatnya pada tahun 1200 H., atas permintaan beberapa orang sahabatnya,
beliau menulis kitab yang diberi judul al-Dur al-Nafȋs. Kitab tersebut ditulis
dengan bahasa Melayu huruf Arab, dengan maksud supaya dapat
dimanfaatkan oleh mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik.
Barangkali yang dimaksudkan oleh Syekh Muhammad Nafis al-
Banjari dengan mereka yang belum mengerti bahasa Arab dengan baik itu
adalah mereka yang berasal dari negara-negara yang menggunakan bahasa
Melayu, termasuk negara Indonesia, dan sedang menuntut ilmu di Makkah
ketika itu.7
Snouck Hurgronje menulis dalam bukunya, bahwa satu-satunya
lembaga yang berfungsi sebagai perguruan tinggi di Makkah adalah Masjid al-
Haram. Di sanalah para ulama besar memberikan kuliah setiap selesai
melaksanakan salat lima waktu, masing-masing ulama besar menghadap
sejumlah murid yang berkelompok membentuk satu lingkaran. Bahasa
pengantar di dalam menyampaikan pelajaran menggunakan bahasa Arab,
sehingga mereka yang datang dari negara-negara yang tidak berbahasa Arab,
terutama mereka yang datang dari negara-negara berbahasa Melayu,
kebanyakannya harus terlebih dahulu di bawah bimbingan para guru yang
mengajar dalam bahasa mereka masing-masing di luar Masjid al-Haram.

5
Ibid, h. 48
6
Ibid, h. 48
7
Ahmadi Isa, Ajaran.....h. 25.
6

Hal inilah yang memotivasi Muhammad Nafis Al-banjari menulis


kitabnya dalam bahasa melayu tetapi menngunakan bahasa arab, untuk
mempermudah sahabat-sahabatnya yang bukan asli orang arab agar dapat
juga belajar ilmu tasawuf.
Beberapa nama yang diyakini sebagai guru-guru Nafis antara lain
Abdullah Hijazi as-Syarkawi al-Azhari (1150 H/ 1737 M-1227 H/1812 M),
Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani (1132 H-2 Dzulhijjah
1189 H), Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi, Shiddiq bin Umar Khan,
Muhammad al-Jawhari al-Mishri (1132 H/1720 M-1186 H/1172 M), Yusuf
Abu Dzarrah al- Mishri, Abdullah bin Ibrahim al-Mirghani (wafat 1207
H/1792 M), dan Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-
Makki (1110 H-1194 H.8

Setelah beberapa lama menetap dan belajar di Makkah dan


Madinah, Muhammad Nafis pulang ke kampung halamannya di Martapura.
Tidak ada informasi yang pasti mengenai kapan Muhammad Nafis pulang ke
kampung halamannya, yang diketahui secara pasti hanyalah ia menulis
kitabnya al-Dur al-Nafȋs pada tahun 1200 H. Pada saat itu dia berada di
Makkah.
Di Kalimantan Selatan dia sering melakukan aktivitas dakwah
berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, terutama daerah-daerah
terpencil yang mempunyai kedudukan strategis dalam upaya penyebaran Islam.
Oleh karena itu, ia terkenal sebagai seorang guru pengembara yang memainkan
peran penting dalam perkembangan penyebaran agama Islam di wilayah
Kesultanan Banjar. Sebagai hasil dari dakwahnya itu, wilayah Kelua (sekarang
termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabalong) di abad ke-19 telah menjadi
pusat penyebaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan. Sebagai seorang
ulama besar, ia mendapat gelar kehormatan.9

Berdasarkan keterangan di atas, ada beberapa informasi yang kita bisa

8
Rodiah, Insan Kamil dalam Pemikiran Muhammad Nafis Al-Banjari dan Abdush –
Shamad Al Falimbani dalam Kitab Ad-dur an-Nafis dan Siyar As-Salikin (Studi Perbandingan),
vol. 3 No 2, Banjarmasin 2015, h. 100.
9
Muhammad Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005, h. 308
7

dapatkan tentang Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, yaitu :


1. Syekh Muhammad Nafis al-Banjari adalah seorang yang mempunyai
sifat suka merendahkan diri di hadapan manusia, beliau mengaku dirinya
berdosa, mengharap ampunan dari Allah, pengakuan seperti ini bukan
dalam arti sebenarnya, karena beliau seorang sufi sebentar saja
terabaikan dari mengingat Allah, beliau merasa diri bersalah atau
melakukan dosa. Dari pengakuan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
juga tersirat makna beliau orang yang berusaha menghindarkan dirinya
dari sifat takabur, riya’, ‘ujub, dan sum’ah.
2. Beliau bernama Muhammad Nafis, orang tuanya bernama Idris dan kakek
beliau bernama al-Husein.
3. Syekh Muhammad Nafis dilahirkan di Banjar, berasal dari suku Banjar,
Kalimantan Selatan.
4. Beliau pernah tinggal sekaligus berguru di Makkah. Pada waktu menulis
kitabnya yang berjudul al-Dur al-Nafȋs ditulis pada tahun 1200 H.
mengenai kapan beliau pergi ke Makkah, tidak diperoleh secara pasti
keterangan, berapa lama beliau belajar di sana, dan kapan beliau kembali
ke kampung halamannya.
5. Syekh Muhammad Nafis al-Banjari pada masalah fiqih mengikuti
mazhab Syafi’i, mazhab yang di bawa oleh Imam Syafi’i.
6. Untuk masalah ilmu tauhid Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
menganut faham Asy’ari atau disebut juga Aliran Ahlusunnah wan
Jama’ah yang dinisbatkan kepada pendirinya Abȗ Hasan ‘Ali bin Isma’ȋl
lahir di Bashrah tahun 260 H. Dan wafat di Bagdad tahun 324 H. Beliau
memiliki hubungan keturunan dengan Abȗ Mȗsa al-Asy’ari seorang
sahabat Nabi Muhammad Saw.
7. Dalam bidang ilmu Tasawuf Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
mengikuti paham Syekh al-Junaydȋ al-Baghdâdȋ. Nama lengkapnya
adalah ‘Abdul Qâsim al-Junaydȋ bin Muhammad az-Zajjâj, wafat tahun
297 H.
8. Syekh Muhammad Nafis al-Banjari menganut berbagai tarekat, yaitu
tarekat Qadiriyah, tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qâdir al-
8

Jailânȋ, tarekat Satariyah, tarekat yang mengikuti aliran Abdullah al-


Sattârȋ, tarekat Naqsabandiyah, tarekat yang didirikan oleh Syekh
Muhammad al-Awausȋ al-Naqsyabandī wafat pada tahun 719 H., tarekat
Khalwâtiyah, tarekat ini didirikan di Khurasan, Iran oleh Syekh
Zahȋruddȋn, tarekat Sammaniyah ialah tarekat yang mengikuti aliran
Syekh Muhammad bin Abdul Karīm Sammân al-Madanȋ.

2.2 Profil Kitab Al-Dur al-Nafis

Satu-satunya karya tulis Syekh Muhammad Nafis al-Banjari yang


sampai kepada kita sekarang ini adalah al-Dur al-Nafȋs judul lengkap yang
diberikan:

‫الدر النفيس ىف بيان واحدة األفعال و األمساء و الصفات ذات التقديس‬

al-Dur al-Nafȋs fȋ Bayân Wahîdati af’âl wa Asmâ’ wa al-Sifât wa al-Dzât al-


Taqdȋs

Berdasarkan kitab al-Durr al-Nafis yang ada pada tangan penulis,


yaitu kitab terjemahannya ”Permata yang Indah” karya K.H. Haderanie,
terbitan CV. Amin, Surabaya, maka dapat dikemukakan sebagai berikut :
Kitab al-Durr al-Nafis disusun oleh pengarangnya Muhammad
Nafis dalam bahasa al-Jawi (Melayu) dengan maksud agar memudahkan
orang-orang Indonesia yang kurang memahami bahasa Arab dengan baik
untuk mempelajarinya, Sistematika pembahasan kitab ini sebagaimana
disebutkan oleh penulisnya pada halaman 3: "dan aku aturkal akan dia atas
satu mukaddimah dal ampat fasal dan satu khatimah dan aku sebutkan di
dalamnya beberapa masalah yang tinggi-tinggi yang diambil daripada
beberapa kitab ahli al-tashawuf, Lebih jelasnya dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1. Bagian Pertama; Mukaddimah, yang menguraikan tentang hal-hal yang
bisa mengagalkan dan merusakkan seseorang salik untuk sampai kepada
9

Allah.10
2. Bagian Kedua; merupakan uraian yang terdiri dari empet fasal, yaitu:
fasal (l) tauhid al-af’al, fasal (2) tauhid al-asma, fasal (3) tauhid al-
shifat, fasal (4) tauhid al-zat.11
3. Bagian Ketiga: merupakan uraian khatimah (penutup), yang berbeda dari
kebanyakan cara penulisan buku. Sebab di bagian penutup ini beliau
bukan menyimpulkan atau merangkum uraian sebelumnya, tetapi
menambah uraian mengenai topik baru dan ternyata lebih pelik ditambah
dengan mengutip pendapat para sufi filosofis.12
Dilihat dari segi literatur yang digunakan dan cara
penyajiannya, maka penyusunan kitab ini, disamping menggunakan ilmu
yang diperoleh melalui pelajaran lisan gurunya juga menggunakan literatur
tertulis sebagai rujukan, antara lain sebagaimana yang disebutkannya dalam
kitab itu, yaitu:
a. Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuli, Syarh Dalail al-Khairat
b. Abdullah ibn Hijazi al-Syarqawi al-Mishri, Syarh al-Wirid al-Syahrin.
c. Abdul al-Wahab al-Sya'rani, al-Jawahir wa al-Durar.
d. Muhyiddin Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, dan Fushush al-Hikam.
e. Abdul al-Ghani al-Nablusi, Syarh al-Jawahir al-Fushush fi Hall Kalimat
al-Fushush.
f. Ibn 'Athaillah al-Iskandari, Al-Hikam.
g. Ibn Ruslan, Syarh al-Hikam.
h. Ibn Ubbad, Syarh al-Hikam.
i. Abdul al-Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil.
j. Siddiq ibn Umar, Syarh Qasidah 'Ainiyah.
k. Sayyid Mustafa ibn al-Qamar ai-Din al-Bakr, Wird Syahrin.
l. Muhammad ibn Abdul al-Karim al-Samman. Al-Manhat al-
Muhammadiyah, dan Igasat al-Lahfan.
m. Abdul Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, dan Minhaj al-Abidin.

10
Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjarie, Permata yang indah (Ad-Durrun Nafis), Terj.
Haderanie, (Surabaya : Nur Ilmu, t.th), h. 20.
11
Ibid, h. 21
12
Ibid, h. 144
10

n. Muhammad ibn Abdul al-Karim. Unwan al-Juluwwah fi Sya’n al-


Halwah.
o. Abdullah ibn Ibrahim al-Marghani, Mukhlis Mukhtasar
Tuhfah al-Mursalah.
p. Abdul al-Qasim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah.
Kemudian kalau diperhatikan cara penyajiannya penulis kitab ini
memegang prinsip obyektivitas ilmiah karena setiap ide dasar yang
dikemukakan disertai rujukan yang jelas. Sehingga tidak ada kesan kalau
beliau hanya menulis pengalaman pribadi sebagai seorang sufi, tetapi yang
nampak adalah berupa pemikiran dari beliau dan para sufi yang telah
mendahuluinya dalam mengemukakan masalah yang serupa. Oleh karena
itu kitab tersebut dapat dikategorikan sebagai Buku Daras bagi murid-
muridnya yang mendalami ilmu ketuhanan.13
Pengaruh ajaran tasawuf Muhammad Nafis cukup luas dikalangan
masyarakat. Melalui karya tulisnya al-Dur al-Nafȋs, ajaran tasawufnya
dikenal oleh kaum muslimin diberbagai negara Asia Tenggara yang
berbahasa Melayu.
Di antara penulisan tentang tasawuf di tanah air kita, ada yang
terpengaruh oleh ajaran tasawuf yang ditulis oleh Muhammad Nafis, yaitu
Abdurrahman Siddiq Safat Tambilahan Indragiri. Dia adalah salah seorang
keturunan (cucu) Muhammad Arsyad. Ia telah menyusun risalah yang
berjudul Risâlah Amal Ma’rifat, pada tahun 1332 H. Ajaran tasawuf yang
terkandung di dalamnya adalah ikhtisar dari kitab al-Dur al- Nafȋs. Bahkan
bahasa, dan susunan kalimatnya pun hampir bersamaan dengan apa yang
tersurat di dalam kitab al-Dur al-Nafȋs

K. H. Muhammad Djanawi mengatakan bahwa ajaran tasawuf


kitab al-Dur al- Nafȋs sangat berpengaruh di kalangan masyarakat, sehingga
apabila orang sudah sudah mempelajari ajaran tasawuf di dalam kitab ini,
orang itu merasa bangga. Ia juga berpendapat bahwa sebagai akibat dari
mempelajari ajaran tasawuf yang ada di dalam kitab tersebut orang kadang-

13
Mubin, “Telaah Kritis Terhadap Kitab Al-Durr Al-Nafis Karya Syekh Ulama
Muhammad Nafis Al-Banjari”, vol. 9 No 1, Banjarmasin 2010, h. 25.
11

kadang:

1. Bisa meninggalkan usaha kehidupan duniawi, karena ada kepercayaan di


dalam dirinya bahwa rizki sudah ditentukan sebelumnya oleh Allah.

2. Bisa pula menyebabkan orang yang mempelajarinya meninggalkan


ibadah, karena ia merasa hatinya belum terbuka memperbuatnya.

3. Bisa tidak menyesali kesalahan yang diperbuatnya, karena ia berpendapat


bahwa kufur dan maksiat itu baik saja menurut pandangan hakikat,
karena semuanya berasal dari Allah.

4. Bisa membuat seseorang berani berbuat maksiat, karena ia berpendapat


bahwa maksiat itu akan dinilai oleh Allah berdosa, apabila orang yang
memperbuatnya itu menyadari melakukannya.

5. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa semua benda itu Tuhan,


karena adanya kepercayaan pada dirinya terhadap adam al-kaun (tidak
adanya alam semesta).

6. Bisa membuat seseorang mengatakan bahwa Nur Muhammad itu mesra


menyatu dengan tubuh manusia.14

Pengaruh ajaran tasawuf Muhammad Nafis ini tampak pula pada


ajaran tasawuf yang tersurat di dalamnya risalah Kasyf al-Asrar, karangan
Syekh Muhammad Saleh bin ‘Abdullah al-Minangkabawi yang ditulis oleh
pengarangnya pada tahun 1344 H.

Menurut penulis, setiap insan yang cinta akan kebenaran sebaiknya


tidak tergesa-gesa membenarkan suatu ajaran, demikian juga sebaliknya,
hendaknya kita tidak tergesa-gesa menyalahkan suatu ajaran sebelum kita
meneliti dengan seksama tentang bagaimana ajaran itu sebenarnya. Jika

14
K.H. Muhammad Djanawi, Beberapa Ajran Kitab Tasawuf Wihdatul Wujud yang
Tidak Sejalan Dengan Ajaran Tasawuf Ahlus Sunnah, Banjarmasin, Antasari, 1986, h. 5
12

terdapat seseorang atau sejumlah orang yang melakukan sesuatu yang


bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam yang
sebenarnya, dan mereka mengakui karena mempelajari sesuatu ajaran di
salah satu kitab, maka kesalahan yang seperti itu bisa saja merupakan
kesalahan mereka yang mempelajari, belum tentu karena kesalahan ajaran di
dalam kitab tersebut. Hal ini mungkin saja terjadi karena orang yang
mempelajari kitab tersebut kurang paham terhadap ajaran yang dipelajarinya.
Maka dari itu untuk mengetahui dan mempelajari lebih dalam hendaklah
disertai dengan ilmu dan bantuan dari para guru atau orang lebih faham akan
permasalahan tersebut.

2.3 Studi akidah “Wahdaniyah” dan hubungannya dengan pokok


pemikiran Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari dalam
kitab Al-Durr Al-Nafis

Berbicara mengenai sifat Wahdaniyah tentunya tidak terlepas dari


pembahasan sifat dua puluh yang wajib ada pada Allah SWT, Wahdaniyah
merupakan salah satu sifat yang memiliki arti esa atau tunggal, sifat
mustahilnya adalah Ta’addud, artinya berbilang atau lebih dari satu.15.
Dalam kitab karangan Muhammad Nafis bin Idris bin husein Al-
banjari menjelakan pengertian tentang pengertian sifat wahdaniyah yaitu
bahwa Allah itu tunggal tidak ada sekutu baginya, yang maha ada itu pastilah
Esa, kalau dia lebih dari satu berarti ada saingan dan pasti aka nada
kongkurensi, Hal ini tidak bisa terjadi.16
Jelas dari pengertian diatas bahwasannya Allah bersifat esa, tunggal
dan tidak ada yang kekal di muka bumi ini kecuali Allah, maka dari itu dapat
disimpulkan bahwa sifat wahdaniyah ini adalah salah satu pegangan kita
untuk meyakinkan diri bahwasannya Allah satu-satunya yang tidak bersifat
fana di muka bumi ini, dan wajib tertanam di benak setiap muslim untuk

15
Andriyani, dan Margono Mitrohardjono “Meningkatkan kemampuan mengenal sifat-
sifat allah melalui pembelajaran Al-Asma’Al- Husna dengan Metode 2-2”, Vol 3 No.1, Jakarta
2018, h. 40.
16
Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjarie, Permata…..h. 101.
13

mengimanai dan meyakini dengan keimanan yang kuat bahwa Allah lah
tempat makhluknya berpulang, sifat wahdaniyah ini selaras dengan pokok
pemikiran Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari dalam kitabnya
yang berjudul Kitab Al-Durr Al-Nafis yang didalamnya membahas keesaan
Allah atau Tauhid yang dalam hal ini di bahas secara khusus dalam 4 pokok
Tauhid, yaitu Tauhidul Af’al,Tauhidul-Asma Tauhidus-Shifat, Tauhidudz
Dzat.

Berikut akan di bahas lebih rinci mengenai pokok pemikiran dari


Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari :

1. Tauhidul-Af’al (Tentang ke-esa-an Perbuatan)


Handaklah kita ketahui bahwa segala apapun juga yang terjadi di
dalam alam ini pada hakekatnya adalah Af’al (perbuatan) Allah SWT.
Yang terjadi di dalam alam ini dapat digolongkan pada dua golongan :
a. Baik pada bentuk (rupa) da nisi (hakekatnya) seperti iman dan taat.
b. Jelek pada bentuk (rupa)namun baik pada pengertian isi (hakekat)
seperti kufur dan maksiat. Dikatakan ini jelek pada bentuk karena
adanya ketentuan hokum atau syara yang mengatakan demikian.
Dikatakan baik pada pengertian isi (hakekat) karna hal ini adalah suatu
ketentuan dan perbuatan daripada Allah yang Maha baik.17
Untuk lebih jelasnya atau sebagai contoh misalnya si A bekerja
untuk mencari makan atau memberi makan anak-anaknya maka si A
tergolong dalam pengertian “yang lain dari pada Allah”dan dapat juga
dianggap “ikut serta dalam proses” memberi makan anaknya. Fungsi si A
dalam keterlibatannya ini hanya majaz (bayangan) saja,bukan dalam
hakiki, karena menurut pengertian hakiki yang memberi makan dan
minum pada hakekatnya adalah Allah, sebagaimana tersebut dalam Al-
qur’an surah As-Syu’ara ayat 79 :

َ ‫َوٱلَّ ِذيِه َُوِيُطِع ُمن‬


ِ )٧٩(ِِ‫يِويَسقين‬
Artinya : Dan yang memberi makan dan minum kepada ku

17
Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjarie, Permata…..h. 22.
14

Maka jelaslah segala macam perbuatan (sikap atau laku) apakah


perbuatan diri sendiri ataupun perbuatan yang terjadi diluar dirinya, adalah
termasuk ketetapan dan ketentuan Allah, secara jelas tertera dalam Al-
Qur’an dalam surat Ash Shoffat ayat 96

ِِ )٩٦(ِ َ‫ِو َماِت َع َملُون‬


َ ‫ٱَّللُِ َخلَقَ ُكم‬
َّ ‫َو‬

Artinya : Padahal Allah –lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuatan itu.
memandang bahwa perbuatan hakiki hanya perbuatan Allah,
sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang sirna di dalam
perbuatan Allah yang hakiki, bagaikan sirnanya cahaya lampu di
dalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari tentang perbuatan ini sama dengan
pendapat Ibnu Arabi menyatakan manusia itu sudah dirancang oleh
Tuhan sedemikian rupa, sehingga ia pada hakikatnya
melaksanakan perbuatan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk ia
lakukan.18

Pada peringkat ini, seseorang sudah mampu memfanakan


perbuatannya di dalam perbuatan Allah yang Maha Hebat.
Dengan dicapainya peringkat tauhid al-af’al ini, sufi akan
memperoleh hasil/buah dari perjuangannya dalam upaya
mendekati tujuan yang didambakan.

2. Tauhidul-Asma (Tentang ke-Esa-an Nama Allah SWT)


segala sesuatu yang ada di alam raya ini mempunyai nama. Namun
semua nama yang ada pada hakikatnya bersumber pada Allah Swt. Setiap
benda yang ada di alam ini mempunyai nama dan setiap yang mempunyai
nama pasti mempunyai wujud, dalam hakikat yang wujud hanyalah Allah.
Karena segala sesuatu yang wujud selain Allah adalah khayal (imajinasi)
atau wahm (ilusi) belaka.19
Misalnya, kita melihat seseorang yang bernama si A ini adalah

18
Akhmad Khairudin, et.al., Perkembangan…..h.
19
Ibid, h. 50
15

suatu nama dari seseorang, seseorang ini disebut Ujud Musama. Si Ujud
Musama tadi andaikata kita bandingkan dengan ujud Allah tentu tidak akan
sebanding. Atau dengan perkataan lain, si Ujud Musama tadi, sama sekali
tidak ada artinya, kalau dibandingkan dengan ujud Allah. Allah Maha
Kuasa, Maha Perkasa, Maha Pintar, Maha hebat, dan sebagainya, tetapi
seseorang atau sesuatu itu, amat lemah amat tidak berdaya, penuh dengan
serba kekurangan dan lain-lain.20
Maka dapat kita ambil kesimpulan dari contoh diatas adalah bahwa
segala sesuatu yang ada di dalam alam raya ini memiliki nama dan ujud
akan tetapi tidak akan sebanding bila disandingkan dengan ujud Allah,
tidak sempurna dan memiliki banyak kekurangan yang tidak ada pada
Allah SWT.
adalah orang yang mampu berpandangan bahwa wujud yang

hakiki hanya wujud Allah, sebagai konsekuensi logisnya, maka


hakikatnya namapun hanya nama Allah, karena semua nama di alam
semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Cara pandang pada
peringkat tauhid al-asma ini adalah emmandang semua nama yang

banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah.
Dan diri Allah adalah menifestasi dari seluruh nama makhluk ini.

3. Tauhidus-shifat (Tentang ke-Esa-an Sifat-sifat Allah SWT)


yakni fana (hilanya) seluruh sifat yang ada pada makhluk, termasuk
dirinya sendiri, di dalam sifat Allah. Sifat-sifat seperti berkuasa,
berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, dan berbicara
adalah sifat-sifat Allah Swt. semata. Sifat-sifat itu yang dimimiliki
makhluk hanya semu. Pada tahapan ini seorang salik sudah mencapat taraf
baqa’ fȋ sifât Allâh, yang menimbulkan perasaan bahwa pendengarannya
adalah pendengaran Allah, penglihatannya adalah penglihatan Allah, dan
seterusnya. Dengan demikian seluruh sifat Tuhan ber-tajallȋ (menjelma)
dalam sifat-sifat makhluk.

20
Ibid, h. 50.
16

Dalam hal ini, mengesakan sifat Allah dengan cara


memfanakan sifat makhluk di dalam sifat Allah, karena sifat- sifat
makhluk hanyalah perwujudan dari sifat-sifat Allah. Apabila
pandangan sufi seperti itu, maka dia akan merasakan sifat-sifatnya
fana di dalam sifat Allah. Terasa olehnya bahwa pendengaran,
penglihatan, dan pengetahuannya adalah pendengaran,
Penglihatan, dan pengetahuan Allah.Pada peringkat ini dia benar-
benar sudah sirna di dalam sifat Allah, dan akhirnya tinggal bersama
sifat-sifat Allah.21

4. Tauhidudz Dzat (ke-Esa-an Dzat)


Tuhidudz Dzat adalah meupakan tingkatan tertinggi atau titik
puncak pengetahuan makhluk tentang Allah SWT. Atau tujuan terakhir
dari perjalanan menuju Allah, pelabuhan dan Bandar terakhir dalam
perjalanan.
Pada tingkatan inilah akan dapat dirasakan suatu kelezatan yang
tidak dapat digambarkan oleh kata-kata dan suara, oleh huruf dan angka.
Tidak ada yang mampu untuk melebihi tingkatan ini meskipun para
Nabi-Nabi yang diutus (Mursal), sekalipun malaikat muqarrabien. Tiada
satupun makhluk ini yang dapat mencapai tingkatan Kunhi Zat (Keadaan
Zat), sebagiamana yang difirmankan oleh Allah :
ِ )ِ ١٠٣(ِ ِِِ‫ير‬ ُ ‫ِوه َُوِٱللَّط‬
ُ ‫يفِٱلخَب‬ َ َٰ ‫ِوه َُوِيُدركُ ِٱۡلَب‬
َ ‫ص َۖ َر‬ َ َٰ ‫ََّّلِتُدر ُكهُِٱۡلَب‬
َ ‫ص ُر‬
Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan dialah yang maha halus, maha teliti.

Syekh ‘Abdul Wahab Sya’roni q.s dalam rangka memberikan


penjelasan arti tentang ucapan guru beliau, Syekh Sayyid’ Ali
Alkhawwash r.a beliau berkata

“Tidak ada seorangpun diantara makhluk ini yang dapat


menggambarkan dalam hatinya serta menemukan Kunhi Zat Allah
SWT, Karena Allah itu bukan sesuatu “’ain” yang bisa
diperkirakan oleh akal atau yang bisa dipandang oleh pandangan

21
Akhmad Khairudin, et.al., Perkembangan…..h. 55
17

hati dan mata kepala, bahkan dia sebenarnya bukan sesuatu ‘ain
yang dapat dikenali atau yang pernah dikenal”.

Dengan demikian, apabila sudah dipahami hendaklah menyembah-


Nya dengan persembahan atau ibadah yang benar. Dalam artian pada titik
ini adalah mengesakan Allah pada zat. Pada peringkat ini para sufi
memandang bahwa tidak ada yang ada, kecuali wujud Allah. Wujud

selain Allah adalah dugaan, apabila dibandingkan dengan wujud

Allah.Selain wujud Allah sirna di bawah wujud Allah.Mengenai

tauhid al-zat ini, dia sependapat dengan Ibnu Arabi.22

Pada peringkat ini para sufi memandang bahwa tidak ada yang
ada, kecuali wujud Allah. Wujud selain Allah adalah dugaan,

apabila dibandingkan dengan wujud Allah.Selain wujud Allah

sirna di bawah wujud Allah.

Walau pandangan fana ini sesuai dengan Ibnu ‘Arabi dan al-
Ghazali, tetapi Muhammad Nafis mengakui bahwa beliau mengikuti
pandangan al-Junaid al-Baghdadi. Menurut al-Junaid pandangan fana
itu khusus dianut oleh kaum sufi. Seorang yang fana, akan merasa
hidupnya berada di tangan Allah, segala perbuatan dan keinginan
hatinya itu telah di kendalikan oleh Allah. Pada tahap ini, hamba telah
sampai pada tingkatan fanâ’ fî Allâh, artinya hamba merasakan hilang
wujud dirinya karena perasaannya tenggelam di dalam lautan keesaan
Allah.
Setelah hamba mencapai fanâ’ fî Allâh, selanjutnya ia akan menuju
tingkat baqâ` bi Allâh. Pada tahap ini, yang tersisa pada diri seorang
hamba hanyalah sifat-sifat yang terpuji, setelah sebelumnya sifat-sifat
buruk yang ada di dirinya telah sirna/ fana. Di sini seorang hamba
bersama Allah dan berada dalam genggaman-Nya.23

22
Ibid, h. 56
23
Maimunah Zarkasyi “Dakwah Tauhid Muhammad Nafis Al-banjari(1150
H/1735)”,Vol.15 No. 1, Banjarmasin 2019, h. 145
18

Artinya, hamba merasakan bahwa ia berada pada posisi dan


pemahaman bahwa ia dijadikan oleh Allah (min Allâh), segalanya
berasal dari Allah (min Allâh), dan segala sesuatu yang ada ini
berwujud karena Allah (bi Allâh). Sampai di sini, Allah telah
berkehendak memperkenalkan diri- Nya kepada hamba tersebut, yang
disebut hamba murâd. Sebaliknya, ia tidak lagi menjadi hamba murîd,
yang berkehendak terhadap Allah. Tingkat baqâ` bi Allâh ini menurut
al-Banjari adalah tingkatan tauhid tertinggi, yaitu tauhid bagi golongan
hamba yang mempunyai tingkatan spiritual yang paripurna. Di sinilah
seorang hamba mencapai makrifatullah, yaitu dapat mengenal Allah
secara hakiki. Mereka disebut dengan ârif bi Allâh, yang dalam istilah
Imam al-Ghazali disebut golongan muqarrabûn dan shiddîqûn. Perlu
diingat, menurut al-Banjari, meskipun di tingkat ini hamba “mengenal
Allah secara hakiki”, namun ia tidak akan dapat mencapai kunhi
(keadaan) zat Allah yang sebenarnya. Itu karena Allah tidak dapat
diserupakan dengan sesuatu apapun (laysa kamitslih syaiun).

ِ
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, demikian nama
lengkapnya, ia adalah seorang ulama terkenal dengan kitabnya yang
mahsyur berjudul kitan Al-dur Al-Nafis, merupakan ulama dari Kalimantan
selatan yang belajar ke Mekkah untuk memperdalam ilmu ketauhidan atau
ilmu tasawuf.
Dalam kitab karangnnya membahas pentingnya seorang muslim
faham akan ketauhidan atau ke Esa an Allah, bahwa Allah adalah tunggal
dan tidak ada yang menyerupai Nya, dan hanya Allah lah yang kekal di
dunia ini, selain itu semua makhluk bersifat sementara dan fana (akan
binasa).
Ada 4 pokok pemikiran dalam Kitab Al-durr al-Nafis yang
dijelaskan oleh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari,
diantaranya adalah :
1. Tawẖȋd al-Af’âl, pada tingkatan ini cara mengesakan perbuatan Tuhan
yaitu dengan berkeyakinan segala yang terjadi di seluruh alam ini baik
itu kejadian yang baik ataupun kejadian yang buruk adalah tindakan atau
perbuatan Allah. Perbuatan pada bagian ini dijelaskan dengan berbagai
arti sesuai dengan berbagai arti sesuai dengan bermazhab yang ada. Pada
pengesaan perbuatan diajarkan bahwa pengesaan perbuatan tidak
menghilangkan atau menggugurkan syari’at.
2. Tawẖȋd al-Asmâ’, segala sesuatu yang ada di alam raya ini mempunyai
nama. Namun semua nama yang ada pada hakikatnya bersumber pada
Allah Swt. Setiap benda yang ada di alam ini mempunyai nama dan setiap
yang mempunyai nama pasti mempunyai wujud, dalam hakikat yang
wujud hanyalah Allah. Karena segala sesuatu yang wujud selain Allah
adalah khayal (imajinasi) atau wahm (ilusi) belaka.
3. Tawẖȋd al-Sifât, yakni fana (hilanya) seluruh sifat yang ada pada
makhluk, termasuk dirinya sendiri, di dalam sifat Allah. Sifat-sifat
seperti berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat,

19
20

dan berbicara adalah sifat-sifat Allah Swt. semata. Sifat-sifat itu yang
dimimiliki makhluk hanya semu. Pada tahapan ini seorang salik sudah
mencapat taraf baqa’ fȋ sifât Allâh, yang menimbulkan perasaan bahwa
pendengarannya adalah pendengaran Allah, penglihatannya adalah
penglihatan Allah, dan seterusnya. Dengan demikian seluruh sifat Tuhan
ber-tajallȋ (menjelma) dalam sifat-sifat makhluk.

4. Tawẖȋd al-Dzât, tahapan ini adalah tahapan terakhir atau tujuan akhir dari
setiap usaha seorang sufi. Sufi yang mencapai peringkat ini akan melihat
bahwa tidak ada yang maujud (benar-benar ada) kecuali wujud Allah
Swt. wujud yang selain wujud Allah adalah fanâ (lenyap) di dalam
wujud Allah Swt.

3.2 SARAN
Ilmu ketauhidan atau ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang perlu dan
harus selalu dipelajari oleh setiap muslim, oleh sebab itu Perlu
adanya pembahasan lebih lanjut akan makalah tentang Studi Akidah
“wahdaniyah” : Telaah Pemikiran Muhammad Nafis bin Idris bin
Husein Al-Banjari dalam Kitab Addur An-nafis, semoga dapat membantu
untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca, penulis ucapkan terimaksi
untuk semua pihak yang sudah mendukung, tidak ada manusia yang tidak
luput dari kesalahan, maka kritik dan saran yang mendukung sangan
diharapkan bagi penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mengenal Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, kitab al-Dur al-


Nafis dan Ajaran Tasawufnya, Banjarmasin : Kelompok Studi Islam
Banjarmasin. 1990.
Andriyani, dan Margono Mitrohardjono, 2018 “Meningkatkan kemampuan
mengenal sifat-sifat allah melalui pembelajaran Al-Asma’Al- Husna dengan
Metode 2-2”, Vol 3 No.1, Jakarta : Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Djanawi,Muhammad. Beberapa Ajran Kitab Tasawuf Wihdatul Wujud yang Tidak


Sejalan Dengan Ajaran Tasawuf Ahlus Sunnah, Banjarmasin : Antasari. 1986.

Isa,Ahmadi. Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, Jakarta :


Srigunting. 2001.
Khairudin, Akhmad. et.al., Perkembangan Pemikiran Tasawuf di Kalimantan
Selatan Slamen, Yogyakarta : Aswaja Presindo, Cet. 1, 2014.
Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjarie, Permata yang indah (Ad-Durrun Nafis),
Terj. Haderanie, Surabaya : Nur Ilmu, t.th.
Mubin, 2010 “Telaah Kritis Terhadap Kitab Al-Durr Al-Nafis Karya Syekh
Ulama Muhammad Nafis Al-Banjari”, vol. 9 No 1, Banjarmasin : t.tp.
Rodiah. 2015. “ Insan Kamil dalam Pemikiran Muhammad Nafis Al-Banjari dan
Abdush –Shamad Al Falimbani dalam Kitab Ad-dur an-Nafis dan Siyar As-
Salikin (Studi Perbandingan)”, vol. 3 No 2, Banjarmasin : IAIN Antasari
Banjarmasin.
Solihin, Muhammad. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2005.
Zarkasyi, Maimunah. 2019 “Dakwah Tauhid Muhammad Nafis Al-banjari(1150
H/1735)”,Vol.15 No. 1, Banjarmasin : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Indonesia (STIE) Banjarmasin

21

Anda mungkin juga menyukai