Disusun oleh:
Dosen Pembimbing
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Studi Akidah “Wahdaniyah” : Telaah
Pemikiran Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari dalam Kitab
Addur An-nafis .Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.Akhir kata kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 3
1.3 Tujuan Masalah ............................................................... 3
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai hamba Allah yang baik, wajiblah bagi kita umat islam
untuk memiliki akidah yang kuat. Untuk memiliki akidah yang kuat sebagai
hamba Allah maka yang harus di lakukan kita sebagai hamba adalah dengan
mempelajari apa itu akidah dan mengerti pentingnya akidah dalam kehidupan
seorang muslim.
Akidah sendiri secara etimologi berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-
‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, dan perjanjian yang kokoh dan kuat.
Setelah terbentuk menjadi ‘aqidatan (Aqidah) berarti kepercayaan atau
keyakinan, maka intinya akidah adalah keyakinan yang tersimpul dan
tertambat kokoh di dalam hati.
Begitulah kira kira urgensi dan pentingnya akidah di dalam diri
seorang muslim, apabila akidah yang tertanam dihatinya sudah salah maka
akan salah pulalah setiap perbuatan yang dilakukannya atau tidak sesuai
dengan syariat dan tuntunan agama. Jadi jelas disini diperlukannya kualitas
akidah dalam kehidupan, yakni yang meliputi keimanan yang teguh dan
pelaksanaan amal yang sholeh, mencakup rukun islam dan rukun iman,
sehingga bisa mencapai surga yang tertinggi.
Keimananan islam itu adalah mengimani bahwa Allah lah satu-
satunya dan tiada tuhan selain Allah, tidak ada yang kekal selain Allah dalam
artian semua makhluk selain Allah adalah bersifat fana, atau akan binasa dan
tidak kekal. Berbicara mengenai akidah bukanlah suatu yang asing dikalangan
masyarakat, bahkan dari zaman terdahulu juga sudah membahas dan
mendalami ilmu akidah dan Akhlak Taasawuf ini, terdapat ribuan karya ulama
nusantara yang menanti dan perlu difahami untuk lebih menambah keyakinan
kita tentang keesan Allah.
1
2
Terlepas dari itu ajaran dan gagasan ulama di nusantara juga perlu
di kembangkan dan diimplementasikan. Salah satu karya ulama terkenal yang
sampai saat ini masih perlu kita fahami dan kita telaah adalah karya ulama
dari Kalimantan selatan yang pernah mengembangkan ajaran tasawuf serta
menulis berupa kitab yang berisi ajaran tasawuf adalah Syekh Muhammad
Nafis Al-Banjari, kitab hasil karyanya tersebut sangat mahsyur sampai saat
sekarang bernama al-dur al-nafis, merupakan kitab yang di tulis dengan
bahasa melayu dan menggunakan tulisan arab, dari karyanya ada beberapa
pokok pemikiran yang bisa kita ambil untuk memperkuat keimanan kita
tentang keesaan Allah SWT.
Inti sari ajaran Islam itu berasas pada tauhid yang terangkum
dalam kalimat “Lâ Ilâha illallâh” (tiada tuhan selain Allah). Muhammad Nafis
memaknai kalimat itu, bahwa semua yang terjadi di alam ini pada
hakikatnya pelakunya hanyalah Allah. Apabila mengingkari pandangan ini,
maka termasuk ke dalam kategori syirik khâfi atau syirik batin. Dari sini
tampaknya Muhammad Nafis berusaha menegaskan bahwa pengertian
tauhid secara hakiki itu adalah menyakini bahwa pelaku mutlak di alam ini
hanyalah Allah SWT. Sehingga, apabila seorang hamba mendaku bahwa ia
berbuat sesuatu, maka ia terlah masuk ke dalam kategori syirik, dan berdosa
besar yang tidak akan diampuni Allah. Pandangan ini sesuai dengan
pandangan al-Ghazali, bahwa tauhid adalah meyakini tiada yang berbuat di
dunia ini kecuali hanya Allah dan semua yang ada di alam ini adalah
perbuatan dan ciptaan-Nya. Dia adalah Pemberi hidup dan Pemberi mati.
Apabila seseorang tidak berkeyakinan demikian, ia disebut syirik.
Ulama tasawuf berpandangan bahwa tujuan hidup seorang
hamba adalah mengenal Allah secara hakiki atau makrifatullah. Oleh
karena itu, ilmu makrifat tidak boleh dipisahkan dengan ilmu tauhid.
Seseorang yang akan mencapai makrifat secara benar, pasti harus bertauhid
secara benar. Artinya, terdapat kaitan erat antara ilmu tauhid dan ilmu
makrifat. Ilmu tauhid untuk mengesakan Allah secara hakiki dengan mata
hati, sedangkan ilmu makrifat untuk mengenal Allah secara hakiki.
3
2.1 Biography Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari
Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, demikian nama
lengkapnya. Tanggal kelahirannya sampai sekarang belum diketahui secara
pasti, namun dalam buku Seri Manakib Syekh Muhmmad Nafis Al-Banjari di
tuliskan kelahiran Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari sekitar
tahun 1148 H/1735 M. dilahirkan di salah satu desa Martapura yang terletak di
Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Dari kalangan keluarga
bangsawan atau kesultananbanjar yang bersambung hingga sultan suriansyah
(1527 M-1548 M).1
Pada waktu Muhammad Nafis menulis kitab Al-Durr al-
Nafis (1200 H/1785 M), dia kurang lebih berusia 50 tahun, maka dapat
diperkirakan dia lahir pada tahun 1150 H/1735 M.2
Dalam beberapa riwayat lain disebutkan, Muhammad Nafis
sezaman dengan Muhammad Arsyad (1710-1812 M). jika riwayat ini
benar, maka Muhammad Nafis ini mengalami pada masa pemerintahan
Tahlilullah raja Banjar ke XIV (1707-1745 M), dan Sultan Tamjidillah
raja Banjar ke XV (1745 – 1778 M), serta Sul- tan Tahmidillah raja
Banjar ke XVI (1778-1808 M).3
Muhammad Nafis pernah tinggal di Mekkah, yaitu pada saat
ia menulis kitabnya “Al-Durr al-Nafis”. Tidak diperoleh keterangan,
kapan ia pergi ke Mekkah, berapa lama ia belajar di sana, dan kapan
dia kembali ke Banjarmasin.4
Muhammad Nafis adalah seorang penganut bidang fikih
mazhab syafi’i, menganut aliran Asy’ariyah dalam bidang akidah, dan
1
Abdurrahman, Mengenal Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, kitab al-Dur al-Nafis dan
Ajaran Tasawufnya, (Banjarmasin : Kelompok Studi Islam Banjarmasin,1990), h. 2.
2
Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta,
Srigunting, 2001), h. 23.
3
Akhmad Khairudin, et.al., Perkembangan Pemikiran Tasawuf di Kalimantan Selatan
(Slamen, Yogyakarta : Aswaja Presindo, Cet. 1, 2014), h. 47.
4
Ibid, h. 47
4
5
5
Ibid, h. 48
6
Ibid, h. 48
7
Ahmadi Isa, Ajaran.....h. 25.
6
8
Rodiah, Insan Kamil dalam Pemikiran Muhammad Nafis Al-Banjari dan Abdush –
Shamad Al Falimbani dalam Kitab Ad-dur an-Nafis dan Siyar As-Salikin (Studi Perbandingan),
vol. 3 No 2, Banjarmasin 2015, h. 100.
9
Muhammad Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2005, h. 308
7
Allah.10
2. Bagian Kedua; merupakan uraian yang terdiri dari empet fasal, yaitu:
fasal (l) tauhid al-af’al, fasal (2) tauhid al-asma, fasal (3) tauhid al-
shifat, fasal (4) tauhid al-zat.11
3. Bagian Ketiga: merupakan uraian khatimah (penutup), yang berbeda dari
kebanyakan cara penulisan buku. Sebab di bagian penutup ini beliau
bukan menyimpulkan atau merangkum uraian sebelumnya, tetapi
menambah uraian mengenai topik baru dan ternyata lebih pelik ditambah
dengan mengutip pendapat para sufi filosofis.12
Dilihat dari segi literatur yang digunakan dan cara
penyajiannya, maka penyusunan kitab ini, disamping menggunakan ilmu
yang diperoleh melalui pelajaran lisan gurunya juga menggunakan literatur
tertulis sebagai rujukan, antara lain sebagaimana yang disebutkannya dalam
kitab itu, yaitu:
a. Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuli, Syarh Dalail al-Khairat
b. Abdullah ibn Hijazi al-Syarqawi al-Mishri, Syarh al-Wirid al-Syahrin.
c. Abdul al-Wahab al-Sya'rani, al-Jawahir wa al-Durar.
d. Muhyiddin Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, dan Fushush al-Hikam.
e. Abdul al-Ghani al-Nablusi, Syarh al-Jawahir al-Fushush fi Hall Kalimat
al-Fushush.
f. Ibn 'Athaillah al-Iskandari, Al-Hikam.
g. Ibn Ruslan, Syarh al-Hikam.
h. Ibn Ubbad, Syarh al-Hikam.
i. Abdul al-Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil.
j. Siddiq ibn Umar, Syarh Qasidah 'Ainiyah.
k. Sayyid Mustafa ibn al-Qamar ai-Din al-Bakr, Wird Syahrin.
l. Muhammad ibn Abdul al-Karim al-Samman. Al-Manhat al-
Muhammadiyah, dan Igasat al-Lahfan.
m. Abdul Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, dan Minhaj al-Abidin.
10
Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjarie, Permata yang indah (Ad-Durrun Nafis), Terj.
Haderanie, (Surabaya : Nur Ilmu, t.th), h. 20.
11
Ibid, h. 21
12
Ibid, h. 144
10
13
Mubin, “Telaah Kritis Terhadap Kitab Al-Durr Al-Nafis Karya Syekh Ulama
Muhammad Nafis Al-Banjari”, vol. 9 No 1, Banjarmasin 2010, h. 25.
11
kadang:
14
K.H. Muhammad Djanawi, Beberapa Ajran Kitab Tasawuf Wihdatul Wujud yang
Tidak Sejalan Dengan Ajaran Tasawuf Ahlus Sunnah, Banjarmasin, Antasari, 1986, h. 5
12
15
Andriyani, dan Margono Mitrohardjono “Meningkatkan kemampuan mengenal sifat-
sifat allah melalui pembelajaran Al-Asma’Al- Husna dengan Metode 2-2”, Vol 3 No.1, Jakarta
2018, h. 40.
16
Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjarie, Permata…..h. 101.
13
mengimanai dan meyakini dengan keimanan yang kuat bahwa Allah lah
tempat makhluknya berpulang, sifat wahdaniyah ini selaras dengan pokok
pemikiran Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari dalam kitabnya
yang berjudul Kitab Al-Durr Al-Nafis yang didalamnya membahas keesaan
Allah atau Tauhid yang dalam hal ini di bahas secara khusus dalam 4 pokok
Tauhid, yaitu Tauhidul Af’al,Tauhidul-Asma Tauhidus-Shifat, Tauhidudz
Dzat.
17
Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjarie, Permata…..h. 22.
14
Artinya : Padahal Allah –lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuatan itu.
memandang bahwa perbuatan hakiki hanya perbuatan Allah,
sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang sirna di dalam
perbuatan Allah yang hakiki, bagaikan sirnanya cahaya lampu di
dalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Syekh
Muhammad Nafis al-Banjari tentang perbuatan ini sama dengan
pendapat Ibnu Arabi menyatakan manusia itu sudah dirancang oleh
Tuhan sedemikian rupa, sehingga ia pada hakikatnya
melaksanakan perbuatan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk ia
lakukan.18
18
Akhmad Khairudin, et.al., Perkembangan…..h.
19
Ibid, h. 50
15
suatu nama dari seseorang, seseorang ini disebut Ujud Musama. Si Ujud
Musama tadi andaikata kita bandingkan dengan ujud Allah tentu tidak akan
sebanding. Atau dengan perkataan lain, si Ujud Musama tadi, sama sekali
tidak ada artinya, kalau dibandingkan dengan ujud Allah. Allah Maha
Kuasa, Maha Perkasa, Maha Pintar, Maha hebat, dan sebagainya, tetapi
seseorang atau sesuatu itu, amat lemah amat tidak berdaya, penuh dengan
serba kekurangan dan lain-lain.20
Maka dapat kita ambil kesimpulan dari contoh diatas adalah bahwa
segala sesuatu yang ada di dalam alam raya ini memiliki nama dan ujud
akan tetapi tidak akan sebanding bila disandingkan dengan ujud Allah,
tidak sempurna dan memiliki banyak kekurangan yang tidak ada pada
Allah SWT.
adalah orang yang mampu berpandangan bahwa wujud yang
banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah.
Dan diri Allah adalah menifestasi dari seluruh nama makhluk ini.
20
Ibid, h. 50.
16
21
Akhmad Khairudin, et.al., Perkembangan…..h. 55
17
hati dan mata kepala, bahkan dia sebenarnya bukan sesuatu ‘ain
yang dapat dikenali atau yang pernah dikenal”.
Pada peringkat ini para sufi memandang bahwa tidak ada yang
ada, kecuali wujud Allah. Wujud selain Allah adalah dugaan,
Walau pandangan fana ini sesuai dengan Ibnu ‘Arabi dan al-
Ghazali, tetapi Muhammad Nafis mengakui bahwa beliau mengikuti
pandangan al-Junaid al-Baghdadi. Menurut al-Junaid pandangan fana
itu khusus dianut oleh kaum sufi. Seorang yang fana, akan merasa
hidupnya berada di tangan Allah, segala perbuatan dan keinginan
hatinya itu telah di kendalikan oleh Allah. Pada tahap ini, hamba telah
sampai pada tingkatan fanâ’ fî Allâh, artinya hamba merasakan hilang
wujud dirinya karena perasaannya tenggelam di dalam lautan keesaan
Allah.
Setelah hamba mencapai fanâ’ fî Allâh, selanjutnya ia akan menuju
tingkat baqâ` bi Allâh. Pada tahap ini, yang tersisa pada diri seorang
hamba hanyalah sifat-sifat yang terpuji, setelah sebelumnya sifat-sifat
buruk yang ada di dirinya telah sirna/ fana. Di sini seorang hamba
bersama Allah dan berada dalam genggaman-Nya.23
22
Ibid, h. 56
23
Maimunah Zarkasyi “Dakwah Tauhid Muhammad Nafis Al-banjari(1150
H/1735)”,Vol.15 No. 1, Banjarmasin 2019, h. 145
18
ِ
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, demikian nama
lengkapnya, ia adalah seorang ulama terkenal dengan kitabnya yang
mahsyur berjudul kitan Al-dur Al-Nafis, merupakan ulama dari Kalimantan
selatan yang belajar ke Mekkah untuk memperdalam ilmu ketauhidan atau
ilmu tasawuf.
Dalam kitab karangnnya membahas pentingnya seorang muslim
faham akan ketauhidan atau ke Esa an Allah, bahwa Allah adalah tunggal
dan tidak ada yang menyerupai Nya, dan hanya Allah lah yang kekal di
dunia ini, selain itu semua makhluk bersifat sementara dan fana (akan
binasa).
Ada 4 pokok pemikiran dalam Kitab Al-durr al-Nafis yang
dijelaskan oleh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari,
diantaranya adalah :
1. Tawẖȋd al-Af’âl, pada tingkatan ini cara mengesakan perbuatan Tuhan
yaitu dengan berkeyakinan segala yang terjadi di seluruh alam ini baik
itu kejadian yang baik ataupun kejadian yang buruk adalah tindakan atau
perbuatan Allah. Perbuatan pada bagian ini dijelaskan dengan berbagai
arti sesuai dengan berbagai arti sesuai dengan bermazhab yang ada. Pada
pengesaan perbuatan diajarkan bahwa pengesaan perbuatan tidak
menghilangkan atau menggugurkan syari’at.
2. Tawẖȋd al-Asmâ’, segala sesuatu yang ada di alam raya ini mempunyai
nama. Namun semua nama yang ada pada hakikatnya bersumber pada
Allah Swt. Setiap benda yang ada di alam ini mempunyai nama dan setiap
yang mempunyai nama pasti mempunyai wujud, dalam hakikat yang
wujud hanyalah Allah. Karena segala sesuatu yang wujud selain Allah
adalah khayal (imajinasi) atau wahm (ilusi) belaka.
3. Tawẖȋd al-Sifât, yakni fana (hilanya) seluruh sifat yang ada pada
makhluk, termasuk dirinya sendiri, di dalam sifat Allah. Sifat-sifat
seperti berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat,
19
20
dan berbicara adalah sifat-sifat Allah Swt. semata. Sifat-sifat itu yang
dimimiliki makhluk hanya semu. Pada tahapan ini seorang salik sudah
mencapat taraf baqa’ fȋ sifât Allâh, yang menimbulkan perasaan bahwa
pendengarannya adalah pendengaran Allah, penglihatannya adalah
penglihatan Allah, dan seterusnya. Dengan demikian seluruh sifat Tuhan
ber-tajallȋ (menjelma) dalam sifat-sifat makhluk.
4. Tawẖȋd al-Dzât, tahapan ini adalah tahapan terakhir atau tujuan akhir dari
setiap usaha seorang sufi. Sufi yang mencapai peringkat ini akan melihat
bahwa tidak ada yang maujud (benar-benar ada) kecuali wujud Allah
Swt. wujud yang selain wujud Allah adalah fanâ (lenyap) di dalam
wujud Allah Swt.
3.2 SARAN
Ilmu ketauhidan atau ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang perlu dan
harus selalu dipelajari oleh setiap muslim, oleh sebab itu Perlu
adanya pembahasan lebih lanjut akan makalah tentang Studi Akidah
“wahdaniyah” : Telaah Pemikiran Muhammad Nafis bin Idris bin
Husein Al-Banjari dalam Kitab Addur An-nafis, semoga dapat membantu
untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca, penulis ucapkan terimaksi
untuk semua pihak yang sudah mendukung, tidak ada manusia yang tidak
luput dari kesalahan, maka kritik dan saran yang mendukung sangan
diharapkan bagi penulis.
DAFTAR PUSTAKA
21