Anda di halaman 1dari 7

HIERARKI ILMU:

Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu


Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Quthb al-Din al-Syirazi
(Penulis: Osman Bakar)

RESENSI BUKU
Oleh:
Miftahuddin
Judul

: HIERARKI ILMU
Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu
Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Qutb al-Din

al-Syirazi
Judul Asli

: Classification of Knowledge in Islam:


A Study in Islamic Philosophies of Science

Penulis

: Osman Bakar

Penerjemah
Penerbit

: Purwanto

: Mizan-Khazanah Ilmu-Ilmu Islam

Tahun Terbit

: 1997

HIERARKI ILMU:
Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu
Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Quthb al-Din al-Syirazi
1

(Penulis: Osman Bakar)


Osman Bakar mengawali bukunya dengan menegaskan
keyakinannya akan adanya basis filosofis yang melatarbelakangi
model hirarki dan klasifikasi ilmu yang disusun oleh para tokoh
dan ilmuan utama muslim. Adanya keyakinan itulah yang
mendorong penulis menyusun buku ini yang berupaya
mengungkap basis filosofis dimaksud. Untuk tujuan tersebut,
Bakar membidik tiga intelektual utama muslim masa klasik yang
mewakili aliran pemikiran dan masa yang berbeda. Ketiga tokoh
itu adalah al-Farabi (870-950 M.) yang mewakili aliran masysyai
(prepatetik) dan hidup pada periode di mana studi-studi ilmu
filasafat mulai berkebang di dunia Islam seperti matematika dan
ilmu-ilmu kealaman lainnya. Tokoh kedua adalah al-Ghazali
(1058-1111 M.) yang merepresantasikan kelompok
mutakalliimin, fuqaha dan sufi dan ia hidup pada periode yang
ditandai dengan ketegangan antara filsafat dan kalam, dan
antara sunni dan Syii. Tokoh ketiga adalah Quthb al-Din al-Syirazi
(1236-1311 M.) tokoh yang gigih mengembangkan fisafat isyraqi
(iluminasionis), ia menjadi saksi sejarah kejatuhan Bagdad dan
keruntuhan pusat intelektual dan religious di tangan bangsa
Mongol.
Metodologi analisis Bakar dalam mengkaji hirarki dan
klasifikasi tokoh-tokoh tersebut berupaya menjelaskan
gambaran-gambaran utama yang membedakan masing-masing
klasifikasi dan memberikan gambaran sikap masing-masing
pemikir tersebut terhadap ilmu-ilmu filosofis dan religius. Khusus
untuk al-Farabi, Bakar menggunakan pendekatan psikologis,
logika, ontology dan etika.

A. Hierarki dan Klasifikasi Ilmu Menurut al-Farabi


Al-Farabi, sebagaimana digambarkan penulis, memiliki
gagasan tentang adanya kesatuan dan hirarki ilmu. Kesatuan
ilmu dimaksudkan untuk menunjuk adanya penerapan doktrin
tauhid (kesatuan prinsip ilahi) pada seluruh wilayah kecerdasan
(inteligensi) manusia dan aktivitasnya dalam berfikir dan
mengetahui. Seluruh ilmu-ilmu yang ada merupakan satu
kesatuan karena pada hakekatnya sumber utamanya adalah
satu, yaitu intelek ilahi. Sementara hirarki ilmu dimaksudkan
untuk menunjuk adanya tingkatan relaitas yang berbeda-beda
antara klasifikasi ilmu yang satu dengan yang lain. Fakta adanya
hirarki ini juga dibuktikan dengan adanya tingkatan-tingkatan
nilai ayat-ayat al-Quran meski seluruhnya wajib diimani sebagai
firman Allah.
Menyinggung dasar psikologis hierarki ilmu menurut alFarabi, penulis menggambarkan kemampuan jiwa manusia.
Menurut al-Farabi, proses pengindraan jiwa manusia berkembang
dalam lima tahapan, yaitu pertumbuhan, mengindra, bernafsu,
mengkhayal dan berfikir. Mengindra ini dilakukan melalui lima
indra eksternal. Mengindra adalah daya mengetahui yang
terendah karena keberadaannya adalah untuk dua kemampuan
di atasnya, yaitu kemampuan mengkhayal dan berfikir. Kemudian
daya mengkhayal, al-Farabi menyebut lima indra internal, yaitu
daya representasi (al-quwwah al-mushawwiroh), daya estimasi
(quwwah al-wahm), daya memori (al-quwwah al-hafidzah), daya
imajinasi rasional (al-quwwah al-mutafakkirah) dan daya
imajinasi sensitive (al-quwwah al-mutakhayyilah).
Daya berfikir adalah kemampuan jiwa untuk memperoleh
ilmu, seni (shinaat) dan kemampuan membedakan yang baik
dan yang buruk. Dijelaskan bahwa berfikir itu ada yang bersifat
teoritis dan ada yang bersifat praktis. Berfikir teoritis adalah
3

kemampuan berfikir untuk mengetahui eksistensi-eksistensi yang


tidak bisa diubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain.
Sementara berfikir praktis adalah kemampuan untuk
membedakan sesuatu dari satu kondisi ke kondisi yang lain.
Adanya dua sifat berfikir ini yang kemudian menjadi basis
pembagian ilmu menurut al-Farabi dalam dikotomi ilmu teoritis
dan ilmu praktis.
Pada basis metodologis hieraarki ilmu al-Farabi, dijelaskan
hubungan antara wahyu, intelek dan akal. Menurutnya, realitas
wahyu ilahi adalah kebenaran filosofis di mana intelek profetik
merupakan wahana ilahi. Secara umum hubungan antara wahyu,
intelek dan akal dapat disimpulan bahwa akal tidak bertentangan
dengan intelek atau wahyu jika digunakan dengan benar.
Tentang basis ontologis hierarki dan klasifikasi ilmu al-Farabi,
ditarik dari konsepnya tentang adanya hierarki wujud. Ada tiga
skema hierarki wujud yang dipaparkan dalam buku ini. Satu di
antara skema hierarki wujud tersebut adalah kerangka enam
tatanan prinsip (maratib al-mabadi) yaitu: 1) Sebab Pertama, 2)
Sebab Kedua, 3) intelek aktif, 4) jiwa, 5) bentuk, dan 6) materi.
Sementara mengurutkan ilmu secara hierarkis atas dasar etis
berarti menyusun peringkat menurut derajat kegunaan dan
manfaatnya. Dalam kaitan ini, maka konsep al-Farabi yang
dijadikan dasar adalah diskursus tentang kebajikan dan
klasifikasinya..Menurut al-Farabi, kebajikan puncak adalah
Kebaikan Mutlak, yaitu Tuhan, Sebab Pertama. Maka melihat
Tuhan di kehidupan nanti adalah kebahagiaan puncak yang
abadi. Atas dasar ini maka ilmu diklasifikasi dan diurut
berdasarkan manfaatnya mengantarkan manusia kepada tujuan
puncak tersebut.
Dengan sangat umum klasifikasi ilmu menurut al-Farabi
dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Ilmu bahasa yang
4

memiliki tujuh sub bagian, 2) Ilmu Logika yang dibagi ke dalam


delapan bagian, 3) Ilmu Matematis dan propaedetik yang
memiliki tujuh bagian, 4) Fisika, dengan delapan bagian, 5)
Metafisika, dengan tiga bagian, dan 6) Ilmu Politik, yurisprudensi
dan teologi dialektis, yang masing-masing memiliki dua bagian.
B. Hierarki dan Klasifikasi Ilmu Menurut al-Ghazali
Dalam mendeskripsikan klasifikasi ilmu menurut al-Ghazali,
penulis menguraikan tentang klasifikasi para pencari
pengetahuan menurut al-Ghazali yang dibagi menjadi kelompok
mutakallimun, talimiyah atau ismailiyah, filosof dan sufi.
Menurut al-Gahazali, kelompok mutakallimin adalah mereka yang
mengaku mempunyai spekulasi intelektual dan penalaran bebas
(ahl al-ray wa al-nazhar). Sementara kelompok al-talimiyah
dilukiskan oleh al-Ghazali sebagai orang-orang yang mengklaim
diri pemilik satu-satunya al-talim dan penerima hak istimewa
pengetahuan dari imam yang tanpa dosa. Sedangkan kelompok
sufi menurutnya, adalah orang-orang yang mengklaim bahwa
merekalah sajalah yang mampu merasakan kehadiran ilahi dan
mempunyai visi mistik (musyahadah) dan pencerahan
(mukasyafah).
Setelah menguraikan masing-masing klasifikasi itu, penulis
juga menguraikan kritik-kritik al-Ghazali terhadap masing-masing
kelompok tersebut dengan pendekatan metodologis masingmasing. Salah satu kritiknya terhadap mutakallimin, menurutnya
metodologi kalam terdiri dari kepercayaan (iman) dan rasionisasi
yang dicemari oleh silogisme palsu. Ia menyebut, iman sebagai
suatu derajat cahaya dan silogisme palsu sebagai hijab
kegelapan.

Berbagai kritik yang ditujukan kepada kelompok orang-orang


berpengetahuan tersebut membantu pemahaman terhadap
epistemologi al-Ghazali. Kritik internalnya terhadap kalam
ditujukan untuk memperbaiki metode-metode rasional ilmu
tersebut. Ia juga mendudukkan akal di bawah keimanan wahyu.
Al-Ghazali menegaskan suprioritas cara sufi dalam mengetahui
dibanding cara-cara lainnya. Meski demikian, sebagai seorang
sufi, ia juga mendudukkan akal di bawah intuisi mistis (kasyf)
dan zauq. Maka secara umum dapat disimpulkan bahwa alGhazali menegaskan superioritas ilmu-ilmu religius atas ilmuilmu intelektual.
Dalam mengklasifikasikan ilmu, al-Ghazali mendasarinya
dengan empat system klasifikasi, yaitu: 1) pembagian ilmu
berdasarkan teoritis dan praktis, 2) pembagian pengetahuan
menjadi pengetahuan hudhuri dan hushuli, 3) pembagian ilmu
menjadi religious dan intelektual, dan 4) pembagian ilmu menjadi
fardh ain dan fardh kifayah.
Dari keempat system klasifikasi tersebut, yang paling
menonjol adalah pembagian ilmu menjadi yang religius dan yang
intelektual, serta yang fardh ain dan fardh kifayah. Secara
umum ikhtisar klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1. Ilmu Religius, yang memiliki 2 cabang, yaitu: a) ilmu
tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul), b) ilmu tentang
cabang-cabang (furu). Masing-masing dari cabang ini
memiliki rincian-rincian tersendiri.
2. Ilmu Intelektual, yang mencakup 4 cabang, yaitu: a)
Matematika, b) Logika, c) Fisika, dan d) Metafisika. Masingmasing dari cakupan ini memiliki rincian-rincian tersendiri.
C. Hierarki dan Klasifikasi Ilmu Menurut Quthb al-Din alSyirazi

Selanjutnya dalam pemaparan klasifikasi ilmu menurut Quthb


al-Din al-Syirazi, Osman Bakar melihat basisnya adalah diskursus
tentang hikmah yang diidentifikasi sebagai ilmu filsafat. Quthb
al-Din mendefinisikan hikmah sebagai pengetahuan hal-hal
sebagaimana apa adanya. Ia menyebut dua karakteristik utama
hikmah yang membedakannya dengan bukan hikmah. Pertama,
tentang sifat universal hikmah dan ketidakterikatannya dengan
waktu. Kedua, berkenaan dengan esensiallitas hikmah.
Atas dasar hikmah tersebut, Quthb al-Din mengklasifikasikan
ilmu menjadi dua, yaitu: 1) ilmu-ilmu hikmah (filosofis) yang
dibagi menjadi ilmu teoretis (nadzari) dan ilmu praktis (amali),
dan 2) ilmu-ilmu ghair hikmah (non-filosofis) yang dibagi menjadi
ilmu religius (dini) dan ilmu non-religius (ghair dini). Masingmasing pembagian itu kemudian memiliki rincian-rincian masingmasing.
Dalam klasifikasinya, Quthb al-Din lebih menekankan ilmuilmu filosofis dibanding ilmu non-filosofis. Ia beralasan karena
ilmu filosofis itu merupakan ilmu yang sama bersifat universal,
sama untuk setiap masa, budaya dan peradaban karena
menjelaskan sifat-sifat dasar hal-hal yang merupakan aspekaspek kekal alam raya.
Betapapun ketiga model klasifikasi ilmu di atas memilki sisisisi perbedaan, namun ketiganya sepakat bahwa pengetahuan
tertinggi adalah pengetahuan mengenai Tuhan. Pengetahuanpengetahuan lainnya dicari adalah untuk target menuju
pengetahuan tentang Tuhan. Fakta inilah yang kemudian
menyatu dalam gagasan tentang kesatuan pengetahuan yang
disepakati oleh ketiga tokoh di atas.

Anda mungkin juga menyukai