Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN FILSAFAT MENURUT

MUHAMMAD IQBAL DAN MULLA SADRA

MAKALAH

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Mata
Pelajaran Filsafat Islam

Disusun oleh:

1. Sarifatun Nikmah (1917202166)


2. Riska Ayu Setiani (1917202172)
3. Ikhtiar Nurul Imam S (1917202193)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2020
BAB I
PENDUHULAN
A. Latar Belakang
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan
sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Sebelum abad
kesebelas terdapat empat aliran filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama lain
dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal
abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla
Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-
Hikmah al-Muta’aliyah. Salah satu yang penting dan menarik dari Shadra adalah
pandangannya tentang gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah) yang berbicara
tentang terjadinya perubahan tingkat wujud semesta.
Selain itu adalah lahirnya filsafat Islam dinamis rumusan Muhammad
Iqbal. Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan
kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga dapat menjembatani antara pemikiran-
pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama. Konsep dasar dari fisafat Iqbal
yang menjadi penopang keseluruhan pemikirannya adalah hakikat ego.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi dari Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal ?
2. Bagaimana filsafat islam menurut pemikiran Mulla Sandra dan Muhammad
Iqbal ?
3. Apa saja karya karya Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal ?
C. Tujuan
1. Memahami biografi tokoh pemikir filsafat Islam yaitu Mulla Sadra dan
Muhammad Iqbal.
2. Mengetahui pemikiran filsafat Islam yang dikembangkan oleh Mulla Sadra
dan Muhammad Iqbal.
3. Mengetahui karya-karya yang dihasilkan oleh filosof Mulla Sadra dan
Muhammad Iqbal.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsuf Muslim Muhammad Iqbal
a. Biografi dan Karya Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal berasal dari golongan menengah di Punjab dan lahir di Sialkot,
Pakistan. Ayahnya bernama Noor Muhammad, seorang Muslim yang sangat disiplin
dalam kehidupan sufi. Dan kakeknya bernama Muhammad Rafiq, seorang sufi
terkenal. Pada masa kanak-kanak, dai belajar pada ayahnya kemudian ia dimasukkan
ayahnya ke Scotch Mission College di Sialkot agar mendapatkan bimbingan dari
Maulawi Mir Hasan, teman ayahnya yang ahli bahasa Arab dan Persia.
Untuk meneruskan studinya, dia pergi ke Lahore. Disana beliau memperoleh
gelar sarjana M.A. dan dikota itu pula Iqbal berkenaan dengan Thomas Arnold,
seorang orientalis yang memberikannya dorongan untuk melanjutkan studi filsafatnya
di Universitas Cambridge. Dua tahun kemudian, ia pindah ke Jerman dan disanalah ia
memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang tasawuf.
Muhammad Iqbal adalah seorang filsuf dan penyair. Syairnya menjadi hebat
karena syairnya. Pemikiran Muhammad Iqbal sangat berpengaruh dalam menentukan
arah perjuangan umat Islam India menjadi suatu bangsa yang lepas dari bayangan-
bayangan India, yakni Pakistan.emeskipun dia seorang penyair dan filsuf,
pemikirannya mengenai kemajuan dan kemunduran umat Islam sangat berpengaruh
pada gerakan pembaharuan Islam.
Adapun karya-karya Muhammad Iqbal yang diperkirakan ada sekitar 21 karya
monumental yang ditinggalkan oleh Muhammad Iqbal, salah satu karyanya yang
terkenal adalah Bal-I Jibril (Sayap Jibril) yang dibuat pada tahun 1935. Karya
Muhammad Iqbal lainnya, antara lain sebagai berikut:
1. Ilm al-Iqtishad (1903), buku pertama yang memuat tentang risalah ekonomi
sebagai anjuran dari Thomas Arnold.

2
2. The Development of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of
Muslim Philosophy (1908), disertai Iqbal untuk meraih gelar doctor di
Munich, yaitu Jerman.
3. Asrar-I Khudi (Rahasia Pribadi) (1915), memuat filsafat agama berbentuk
puisi dalam bahasa Farsi.
4. Rumuz-I Bekhudi, tulisan filosofis dengan tema utama hubungan
antarindividu, masyarakat, dan umat manusia. Buku ini termasuk ke dalam
jilid puisi Farsi, seperti Asrar-I Khudi. Dan masih terdapat karya yang
lainnya.
b. Filsafat dan Pemikiran Muhammad Iqbal
1. Filsafat Ego
Konsep dasar dari fisafat Iqbal yang menjadi penopang keseluruhan
pemikirannya adalah hakikat ego. Filsafat Iqbal pada intinya adalah filsafat
manusia yang berbicara tentang diri, yaitu ego. Karena bagi Iqbal, manusia adalah
kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari daya-daya yang membentuk beragam
susunan. Daya-daya tersebut adalah ego. Iqbal menyebut ego dengan khudi.
Aktivitas ego menurut Iqbal pada dasarnya bukan semata-mata berpikir seperti
yang dikemukakan oleh Descrates, seorang filsuf Barat yang mengemukakan
tentang ego. Namun, berupa aktivitas kehendak, seperti tindakan, harapan dan
keinganan, tindakan-tindakan tersebut spontan terefleksikan dalam tubuh.
Dengan kata lain, tubuh adalah tempat penumpukan tindakan-tindakan dan
kebiasaan ego. Ego adalah sesuatu yang dinamis, ia mengorganisasi dirinya
berdasarkan waktu dan bentuk, serta mendisiplinkan pengalaman sendiri. Setiap
denyut pikiran, baik masa lampau atau sekarang, adalah satu jalinan yang tak
terpisahkan dari suatu ego yang mengetahui dan memeras ingatannya. Watak
esensial ego pada Islam adalah memimpin kedudukan dari perintah Ilahi.
Berdasarkan hal tersebut, realitas eksistensial manusia terletak dalam sikap
keterpemimpinan egonya dari Ilahi melalui pertimbangan, kehendak, tujuan-
tujuan dan apresiasinya. Oleh karena itu, semakin jauh jarak seseorang dari

3
Tuhan, maka berkuranglah kekuatan egonya. Bagi Iqbal, agama lebih sekedar
etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi
sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia. Etika dan
pengendalian diri menurut Iqbal, hanyalah tahap awal dari keseluruhan
perkembangan ego manusia yang selalu mendambakan kesempurnaan.
Iqbal juga menekankan bahwa kekekalan ego bukanlah suatu keadaan,
melainkan proses. Maksud hal tersebut adalah untuk menyeimbangkan dua
kecenderungan yang berbeda dari bangsa Timur dan Barat. Iqbal berusaha untuk
mengombinasikan apa yang dipelajarinya di Timur dan Barat, serta warisan
intelektual Islam untuk menghasilkan reinterpretasi pemahaman Isalm.
Bangsa Timur menyebut ego sebagai bayangan atau ilusi, sedangkan Iqbal
mengatakan bahwa Barat berada dalam proses pencarian sesuai dengan
karakteristik masing-masing. Dalam konteks ini, Iqbal terlebih dahulu menyerang
tiga pemikiran tentang Panteisme yang memandang ego manusia sebagai
noneksistensi, sedangkan eksistensi sebenarnya adalah ego absolut atau Tuhan. Ia
menolak pandangan Panteisme dan berpendapat bahwa ego manusia adalah nyata.
Aliran lain yang menolak adanya ego adalah empirisme, terutama yang
dikemukakan oleh David Hume yang memandang konsep ego sebagai proses
pengalaman-pengalamn yang datang silih berganti adalah sekedar penamaan
(nominalisme), sedangkan yang nyata adalah pengalaman-pengalamn yang datang
silih berganti dan dapat dipisahkan secara atomis.
Iqbal menolak pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa orang tidak bisa
menyangkal terdaptnya pusat yang menyatukan pengalaman-pengalaman yang
datang silih berganti. Iqbal juga menolak rasionalisme Cartesian yang melihat ego
sebagai konsep yang diperoleh melalui penalran dubium methodicum. Bahkan,
Iqbal juga menolak pendapat Kant yang mengatakan bahwa ego yang terpusat,
bebas dan kekal hanya dapat dijadikan bagi postulat bagi kepentingan moral.
Akan tetapi, bagi Iqbal, keberadaan ego yang unified, bebas, dan kekal bisa

4
diketahui secara pasti dan tidak sekedar pengandaian logis. Keberadaan ego atau
diri yang terpusat, bebas, immortal bisa diketahui secara langsung lewat intuisi.
2. Konsep Penciptaan
Untuk mengupas teori penciptaan Iqbal, berikut ini disajikan sebuah kutipan
syair karya Muhammad Iqbal yang menjelaskan mengeani teori penciptaan alam
semesta, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
“Semua bentuk kejadian berasal dari khudi (pribadi atau didalam bahasa Farsi
dan Urdu diartikan sebagai Tuhan). Semua yang ada pada realitas merupakan
rahasia-rahasia khudi. Ketika alam dan pikiran murni diciptakan dalam
“kesadaran” khudi, maka alam-alam yang tercipta akan terhubung kepada khudi.
Dari khudi akan mewujudkan keluasan dunia yang berkemauan (kreativitas),
kemudian akan mewujud bentuk-bentuk yang berkembang dan saling bersentuhan
atau bergesekan, dari bentuk-bentuk (kembang mawar) yang saling bergesekan
akan membuat tenaga yang bersifat mandiri, untuk suatu bentuk (kembang
mawar), akan mengambil suatu tempat atau ruang (taman mawar) yang diiringi
dengan waktu (mencari sebuah lagu). Dari sini akan membentuk “sebuah langit”,
dan dari langit tersebut akan membentuk banyak langit yang terus menerus
menyempurna (meneympernakan keindahan Rohani).
Dari kegiatan lagit yang terus menyempernukana “membentuk” materi-materi
(Kejutan Shirin “membenarkan” Farhad). Dari materi yang memiliki daya ini,
akan menarik (mengimbau) materi-materi lain yang memiliki daya (Harum wangi
kembang jeruk”mengimbau”harum muskus). Kegiatan dari tarik-menarik (nyala
api) antara materi-materi, akan membuat materi (sang agas) tersebut terlempar
dan mengalami keterseleksian (Nasib sang agas melontar diri dalam nyala api,
derita sang agas dibenarkan oleh cinta). Dari materi yang telah megalami
keterseleksian inilah, khudi sebgai daya kreatif (pensil khudi) membentuk
realitas-realitas kekinian agar dapat mewujudkan realitas-realitas yang akan
datang (Pensil khudi melukis ratusan kekinian. Agar diwujudkannya fajar hari
esok yang akan datang).

5
Ketika kegiatan tarik-menarik antara materi-materi (nyala api) bersentuhan
dengan potensi-potensi teciptanya manusia (Ratusan Ibrahim), makan seiring
dengan itulah manusia kan terwujud (Nyala apinya membakar ratusan Ibrahim,
Agar kemilau lampu seorang Muhammad). Pada diri manusialah dapat diketahui
subjek, objek, cara sebab, dan musabab atau pengetahuan, yang semua bertujuan
untuk amal. Dalam proses penciptaan alam, khudi berperan sebagai “perancang”
dalam keteraturan alam.
3. Moral
Filsafat Iqbal adalah filsafat yang meletakkan kepercayaan kepada manusia
yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai
kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai
kemampuan untuk memperindah dunia. Hal itu dimungkinkan karena manusia
merupakan wujud penampakan diri dari Aku Yang Akbar.
Dalam syair-syairnya, Iqbal mendorong umat Islam supaya bergerak dan tidak
tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedangkan hukum hidup adalah
menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat Islam supaya bangun dan
mencipatakan dunia baru. Untuk keperluan ini, umat Islam harus menguasai ilmu
dan teknologi agar mereka belajar dan mengadopsi ilmu dari Barat tanpa harus
mengulangi kesalahan Barat yang memuja kekuatan materi sehingga
menyebabkan lenyapnya aspek-aspek etika dan spiritual.
B. Filsuf Mulla Shadra
a. Biografi filsuf Muslim Shadra
Sadr al-Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibnu Yahya al-Qawami al-Shirazi, yang
dikenal dengan Mulla Shadra atau Sadr al-Muta’allihin dilahirkan di Shiraz, Iran,
sekitar 1571 M. ia berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah Ibrahim bin
Yahya Al-Qawami Al-Shirazi, pernah menjabat sebagai Gubernur Fars dan memiliki
kekuasaan yang istimewa di kota Shiraz.
Karena berasal dari keluarga terpandang, Mulla Shadra selalu mendapatkan
perhatian dan pendidikan yang terbaik. Apalagi seabad sebelumnya, Shirza

6
merupakan pusat ilmu, baik filsafat maupul ilmu tradisional lainnya. Kondisi ini
membuat Mulla Shadra cepat menguasai beragam ilmu, baik bahasa Arab maupun
Persia, Al-Qur’an, hadis, serta bidang ilmu lainnya. Meski demikian, hal itu tidak
membuat Mulla Shadra merasa puas. Oleh karena itu, untuk memuaskan rasa
dahagnya akan ilmu, ia mendapatkan bimbingan dari dua orang guru, yakni Syekh
Bahauddin al-Amili (Syekh Baha’i), seorang teolog, sufi, ahli hukum, filsuf juga
penyair; serta Sayid Muhammad Baqir (Mir Damad), yang menguasai ilmu-ilmu
intelektual.
b. Pemikiran dan Filsafat Mulla Shadra
Kontribusi Mulla Shadra dalam pergumulan filsafat Islam dibuktikan dengan
hadirnya sebuah karya montumental, Al-Hikmah Muta’aliyyah. Untuk menjelaskan
karya tersebut, Shadra melewati proses perjalanan intelektual-spiritual yang panjang.
Proses tersebut patut diungkap sebagai bahan pembelajaran yang sarat dengan nilai-
nilai dan kekuatan filsafat Shadra.
1. Filsafat Mulla Shadra
Secara global, Mulla Shadra membagi filsafat menjadu lima permasalahan.
Adapun pemabgiannya yaitu sebagai berikut:
a) Filsafat Pengetahuan atau Epistemologi
Mulla Shadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau
pengetahuan, yaitu jalan wahyu, jalan ta’aqqul (inteleksi) atau al-burhan
(pembuktian), serta jalan musyahadah dan mukasyafah, yaitu jalan penyaksian
kalbu dan penyingkapan rasa hati yang dapat dicapi melalui penyucian diri dan
penyucian kalbu.
Bagi Shadra, filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian utama. Pertama,
bersifat teoretis, mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana
adanya. Perwujudannya tercermin dalam dunia akali, termasuk jiwa, sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Kedua, bersifat praktis, mengacu
pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa.
Perwujudannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.

7
b) Filsafat Ketuhanan (Metafisika)
Fisafat kedua Mulla Shadra berkenaan dengan metafisika atau ontology yang
membahas proses panjang sesuatu sampai pada tingkat kesatuan maujud. Hal itu
dimulai dengan pemahaman yang utuh dari apa itu eksistensi dan esensi. Mula
Shadra telah memberikan finalisasi konsep tersebut. Realitas sejarah
menunjukkan hampir semua filsuf menjadikan eksistensi dan esensi tentang
ketuhanan sebagai objek pertama pembahasannya.
c) Esensi dan Eksistensi
Term wujud alam bangunan tasawuf klasik erat kaitannya dengan ekstase.
Ekstase spiritual datang ke dalam hati secara tak terduga-duga. Mereka yang
mengalaminya tak lagi menyaksikan dirinya sendiri dan orang lain. Keinginan
yang sangay tinggi datang melaluo energi spiritual yang terhambat dahsyat yang
turun kepada seorang hamba, menyelimuti indra-indra dan menyebabkan reaksi-
reaksi fisik yang hebat. Keinginan yang sangat tinggi menguasai tubuh, pikiran,
dan hati.
d) Gerakan Substansial (Al-Harakah Al-Jauhariyyah)
Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansi (al-harakah al-
jauhariyyah) merupakan para filsuf sebelumnya, di mana mereka berpendapat
bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden: kuantitas (kammiyat),
kualitas (kaffiyat), posisi (wad’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi
tidak berubah, tetapi hanya empat kategori aksiden yang berubah, jika substansi
berubah, kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita
mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.
e) Filsafat Jiwa
Mulla Shadra, sebagaimana Aristoteles, mendefinisikan jiwa sebagai
entelenchy badan. Risalah jiwa tidak bersifat abadi, dalam arti bermula, jiwa itu
dapat dipisahkan dan bebas dari materi. Untuk mengatakan bahwa itu terpisah dan
bebas dari materi, hanyalah dengan meyakini adanya praeksistensi jiwa. Pada saat
yang bersamaan, Mulla Shadra menolak pandangan Ibnu Sina yang menyatakan

8
bahwa jiwa adalah sebuah konsep relasional dan bukan merupakan suatu yang
bersifat substantive. Bila jiwa sejak lahit berada di dalam materi, kejiwaan tidak
dapat diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi
bebas. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menyatukan jiwa dengan badan.
2. Pemikiran Mulla Shadra tentang Al-Hikmah Al-Muta’aliyah
a) Konsep al Hikmah al-Mut’aliyah
Ungkapan hikmah muta'aliyah terdiri dari dua istilah al-hikmah (teosofi) dan
al-muta'aliyah (tinggi atau transenden). Adapun secara epistemologis hikmah
muta'aliyah berarti kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu
institusi intelektual, pembuktian rasional dan syariat (dzawq atau isyraq),
pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), san syariat. Dengan demikian hikmah
muta'aliyah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan rohaniah atau
intuisi intelektual yang disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan
argumentasi argumentasi rasional.
Shadra membahas secara panjang mengenai definisi hikmah. Menurutnya,
hikmah tidak hanya menekankan sikap teoretis, tetapi juga pelepasan diri dari
hawa nafsu dan penyucian jiwa dari kotoran-kotoran yang bersifat material.
Penyebutan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat shadra, pertama kali
diperkenalkan oleh Abdul Razaq Lahiji (wafat 1661 M) salah seorang murid yang
juga merupakan menantu Shadra. Shadra sendiri menyatakan secara eksplisit
bahwa aliran filsafat nya adalah al-hikmah al-muta'aliyah.
Bagi mulla sadra, penggunaan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat
sadra terpengaruh oleh dua hal. Pertama, karena judul buku sastra. al-hikmah al-
muta'aliyah menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran
dan pandangan dunia yang didalamnya terdapat doktrin-doktrin metafisika
Sandra. Kedua, adanya ajaran moral dari Shadra sendiri. Shadra merujuk al-
hikmah al-muta’aliyah tidak hanya menjadi judul bukunya, melainkan ada ajaran
moral di dalamnya. Untuk mengetahui konsep dan pemaknaan Shadra tentang al-

9
hikmah al-muta’alaiyah, harus melihat definisi Shadra mengenai hikmah atau
falsafah.
Dari definisi dapat disimpulkan bahwa himah dapat digunakan sebagai sarana
untuk menuju Tuhan. Tentunya, tidak hanya hikmah yang dapt menjadi sarana
mendekat pada Sang Khalik. Sebagai sebuah kontruksi, pemikiran al-hikmah al-
muta’aliyah tentu saja tidak hanya dihasilkan dari kontruksi pemikiran pribadi
Shadra, tetapi bersumber juga pada karya-karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak
dapat digeneralisasi bahwa pemikiran Shadra hanya gabungan dari berbagai karya
terdahulu.
b) Metode dan karakteristik tentang Al hikmah Al muta'aliyah
Penyelidikan yang menyeluruh dan mendalam terhadap kebenaran-kebenaran
agama melalui intuisi intelektual dan harmonisasinya telah memberikan mulla
sadra sebagai fondasi. Fondasi yang didapatkan berupa persoalan dan
kemungkinan baru untuk memperluas pembahasan-pembahasan filosofis. Dari
sinilah kemudian dia menciptakan persoalan-persoalan baru, menemukan
pandangan-pandangan baru dan mendalam, yang tidak pernah bisa ditemukan
melalui pemikiran semata. Itulah sebabnya mengapa dalam al-hikmah al-
muta'aliyah semangat filsafat diperbaharui kembali dan jumlah pembahasan
ditambahkan kepadanya. Diantara pembahasan yang menarik dalam Al hikmah Al
muta'ali yah adalah tentang empat perjalanan manusia bila ingin memperoleh
kebenaran dari Tuhan.
Empat perjalanan tersebut adalah perjalanan dari dunia ciptaan (Al khalq),
dunia kasat mata, menuju kepada dunia pencipta, lalu kebenaran sejati (Al Haqq).
Perjalanan ini ditempuh dengan cara melakukan “observasi empirik” terhadap
fenomena natural. Melalui observasi terhadap dunia natura yang serba beragam,
akal sampai kepada sesuatu yang mempersatukan keberagaman tersebut. Sebut
saja, ini adalah empirisme rohaniah ala Mulla Shadra. Dengan kata lain, pada
perjalanan pertama ini, orang melihat dirinya dari sisi dunia fisik dan diri
jasmaniahnya sambil berusaha menggapai peleburan diri pada Tuhan.

10
 Perjalanan dalam kebenaran yang sejati (al-haqq) melalui pengetahuan
yang sejati (al-haqq). Inilah fase transendensi, yaitu tahap melampaui
keragaman alam natural, dan tenggelam dalam ketunggalan mutlak yang
tak mengenai keberbagaian aksidental (‘aradl). Dapat dikatakan juga
bahwa pada perjalanan kedua ini, seseorang dapat mencapai tingkat
keselarasan dengan nama dan sifat yang suci, atau dalam bahasa sederhana
disebut wali. Pada kondisi ini, dia melihat, mendengar, dan berbuat
melalui Tuhan.
 Perjalanan dari Yang Maha Sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalui
pengetahuan sejati yang diperoleh pada tahap kedua di atas. Ini adalah
empirisme kedua yang sudah mengalami transformasi radikal. Hal ini
karena kergama dilihat bukan sebagai keragaman pada dirinya sendiri,
tetapi sebagai manifestasi dari Ketunggalan Mutlak. Bisa jadi pada
perjalanana ketiga ini puncak peleburan diri yang disebut fana.
c) Sumber-sumber filsafat Mulla Shadra
 Tradisi peripatetik Ibnu Sina
Ibnu Sina yang diberi gelar al-Syaikh al-Rais yang berarti guru kepala,
hendak menjelaskan bahwa ia merupakan lantai atau fondasi yang
mendasari semua pembahasan filsafat Islam. Tulisan-tulisan metafisika
Ibnu Sina sudah dikomentari secara ekstensif dan kreatif beberapa abad
sebelum Shadra membentuk puncak teoritis dari sebuah tradisi filosofis
Aristotelian Islami. Shadra mencari dukungan dari pernyataan-pernyataan
bagi ajarannya sendiri yang khas seperti mengenai realitas wujud dan
kelemahan esensi, di samping mengkritik, memodifikasi, dan terkadang
membelanya dari kritik kritik Al shuwardi, Al thusi, dan lain-lainnya.
 Tradisi iluminasionis Al shurawardi
Seorang filsuf yang syahid pada usia 38 tahun dan berpengaruh
langsung terhadap Sadhra, yang mana ia sendiri telah menyerah kita

11
pentingnya Al-Suhrawardi, yakni Hikmah Al-Isyraq. Pengaruh ini dalam
kenyataannya dapat dipahami sebagai suatu penyempurnaan dan perluasan
dari masa muda serta upaya upaya perintis, perubahan-perubahan penting
dalam pendekatan Shadra sendiri. Pandangan positif Al-Suhrawardi yang
diterima oleh Shadra adalah pandangan yang menyatakan bahwa esensi
logis itu bukanlah realitas. Hal ini karena definisi logis tidak menciptakan
pembedaan yang tajam dan realitas, pandangan lain adalah tentang
realitas. Dengan demikian, cahaya tunggal yang barangkali hanya dapat
dijelaskan oleh pembedaan-pembedaan “lebih dan kurang” atau “lebih
sempurna dan kurang sempurna.” Kegelapan benar-benar negatif, yang
nyata ialah “tingkatan” cahaya yang tersusun secara berjenjang dari cahay
mtulak (Tuhan) turun kepada apa yang disebutnya “cahaya-cahaya
aksidental.”Adapun pokok penentangan Shadra kepada Al-Suhrawardi
adalah konsepnya tentang wujud “gagasan atau hasil sekunder yang
dipikirkan” Sebaliknya, sadra menegaskan wujud adalah realitas satu-
satunya. Yang menjelaskan hanya wujud lah yang dapat menjadi lebih
atau kurang, sedangkan esensi bukanlah realitas sebenarnya melainkan
hanya ada dalam pikiran.
 Ibnu arabi dan sufisme
Ibnu Arabi digelari al-Syaikh al-Akbar yang berarti guru terbesar dan
dikenal sebagai pengembangan tradisi tasawuf falsafi. Pengaruh Ibnu
Arabi bagi Mulla Shadra dapat dilihat pada tiga unsur penting yaitu
nonwujud esensi, realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologis-
psikologis alam citra ('alam al-mitsal). Mengenai yang pertama, ungkapan
Ibnu al-Arabi terkenal “esensi tidak bernada wujud” dikutip oleh Shadra
beberapa kali untuk mendukung ajarannya bahwa wujud adalah realitas
satu-satunya dan bukan esensi. Selain itu, tentang “alam citra” Ajaran ini
digunakan untuk membuktikan kebangkitan jasmani. Menurutnya persepsi

12
mereka melalui indra di dalam dunia ini lebih lemah ketimbang-karena
kita terikat dengan dunia material-apa yang akan dipersepsi jiwa dalam
akhirat kelas yang riil.
 Selain itu Wahyu adalah aspek penting yang dijadikan sumber filsafat
Mulla Shadra, baik itu al-Qur’an (tafsir) atau hadis nabi. Ada lagi sumber
yang lain yaitu kalamnya Imam Syiah, ulama ‘Sunni, dan lain sebagainya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu yang penting dan menarik dari Sadra adalah pandangannya tentang
gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah) yang berbicara tentang terjadinya
perubahan tingkat wujud semesta. Berbeda dengan pandangan filosof sebelumnya
yang menganggap spesies sebagai sesuatu yang tetap, dalam pandangan Sadra justru
terjadi perubahan terus-menerus sehingga sebuah batu dimungkinkan menjadi
tanaman, tenaman menjadi hewan dan seterusnya yang sekarang dikenal sebagai teori
evolusionisme. Akan tetapi, berbeda dengan evolusionisme materialistik, gerak
evolosioner Sadra tidak menunjuk pada perubahan-perubahan material bersifat acak
yang terseleksi alam sebagaimana dalam teori Darwin (1809–1882 M), tetapi
merupakan perubahan substantif menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena
tarikan Wujud Tertinggi, Sang Pencipta.
Disamping simpulan dari pemikiran filsafat Islam Mulla Sadra, juga mengenai M.
Iqbal yang merupakan seorang puitis dan filosof Islam yang ahli dibidang politik,
beliau tidak setuju dengan sikap yang lamban dan sangat menginginkan sikap
dinamisa. Dia beranggapan bahwa umat islam bersikap sangat lamban dengan sikap
tasawuf yang dimiliki orang Islam sendiri . Dalam pemikirannya tentang manusia

13
iqbal berpendapat bahwa manusia memiliki dasar dua yaitu intelek dan intuisi,
dimana kedua dasar tersebut membawa kita mencapai suatu pendidikan yang baik.
Filsafatnya mengenai Tuhan juga merupakan filsafat dinamis yang perlu dipelajari.
Sehingga manusia menjadi kreatif dan religius dalam membangun suatu peradaban
islam yang maju seperti abad keemasan yang dirampas oleh orang-orang zindik dan
munafik. Menurut M. Iqbal pendidikan yang baik adalah saat mengutamakan intuisi
dari pada intelektual untuk menciptakan manusia yang maju dan berada.

Daftar Pustaka

Soleh, Khudori. 2016. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.

Sulaiman, Asep. 2016. Mengenal Filsafat Islam. Bandung: Yrama Widya.

14

Anda mungkin juga menyukai