Anda di halaman 1dari 15

C.

ISLAM, HUKUM DAN POLITIK DALAM KONTEKS NEGARA


INDONESIA
Tatanan hidup yang terkandung dalam Al Qur’an sejatinya mengatur ketentuan-ketentuan perbuatan
manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial (Sukardja : 2012, 28). Begitu juga
dalam hadis-hadis Nabi Muhammad Saw juga mengandung nilai-nilai, norma-norma atau kaidah-kaidah yang
mengatur tingkah laku manusia (Sukardja : 2012, 28). Manusia menurut islam adalah hayawan natiq atau
makhluk berpikir. Produk dari pikiran adalah kreativitas yang salah satu produknya adalah penggalian dan
penyusunan aturan-aturan hukum. Sebagai makhluk beriman dan bertakwa, dalam rangka penggalian dan
penetapan hukum yang bersumber pada manusia dan lingkungannya, manusia perlu selalu memperhatikan
korelasi dan kesinambungan antara hukum tersebut dengan nilai-nilai islam. Al Qur’an sejatinya mengandung
seperangkat tata nilai etika dan hukum bernegara dan dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara. Bentuk dan sistem pemerintahan suatu negara memang diserahkan kepada manusia agar
lebih mudah dalam menetapkan dan mengaturnya (Sukardja, 2012, 28).
Seperangkat nilai dalam islam tersebut berupa prinsip-prinsip yang elastis dan dapat diterapkan di tengah
perbedaan kondisi dan situasi tempat, zaman, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan setiap umat
(bangsa) di berbagai penjuru dunia ini pastinya memiliki politik dan hukum-hukum spesifik yang sesuai
dengan adat, tatanan kehidupan, dan tingkat kemajuan bangsa tersebut (Abd al-Rahman Taj, dkk : 1993, 8).
Mendirikan negara sama halnya dengan mendirikan pemerintahan yang bertujuan ketaatan rakyatnya. Dalam
politik islam, hal ini yang kemudian menginisiasi munculnya gerakan modernis islam yang oleh sebagian pakar
disebut sebagai ad-din wa ad-daulah (agama dan negara). Tokoh yang sepakat dengan istilah tersebut adalah
Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Rida, Abu al-A’la al maududi yang menyatakan bahwa Islam
tidak mengenal kependetaan (rahbaniyyah) atau kelembagaan “gereja” menyeluruh (Syadzali : 1993, 2).
Terkait dengan hukum dalam suatu negara, islam mengajukan bahwa hukum itu tetap ada tanpa harus
seseorang hidup berdampingan. Dalam realitas politik, Indonesia secara konstitusional bukan negara Islam
melainkan negara pancasila, sehingga secara formal kelembagaan tidak memungkinkan bagi umat Islam untuk
mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip islam tentang hukum terutama dalam bentuknya yang resmi. Pancasila
adalah “religious nation state” yakni negara kebangsaan yang bukan negara agama (berdasarkan agama tertentu)
dan bukan negara sekuler (negara yang tak mengurusi agama sama sekali). Ada yang mengaitkan konsep ini
sebagai negara teo-demokrasi (Mahfud MD : 2010, 286). Pancasila merupakan dasar bagi agama-agama yang
dianut masyarakat Indonesia untuk tetap dijalankan dan hidup berdampingan satu sama lain. umat islam tidak perlu
lagi berdebat apakah mereka itu kafir, zalim, atau fasik atas ketidakmampuannya memberlakukan hukum Islam,
karena umat islam sudah terikat dan mengikatkan diri pada hukum nasional yang pemberlakuannya harus bersifat
prosedural oleh rakyat (legislatif), terutama untuk hukum-hukum publik yang sumbernya merupakan aspirasi dari
berbagai gagasan hukum masyarakat (hukum barat, hukum adat dan hukum islam).
Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk berpolitik, setidaknya alasan-alasan riilnya
adalah : pertama, secara sosial, manusia hidup di dalam organisasi yang bernama negara, dan
secara individu manusia tidak mungkin terlepas dari politik. Kedua, Islam sebagai agama Kaffah
atau sempurna berupa cakupan ajarannya untuk semua kehidupan, termasuk politik. Islam tidak
hanya mengajarkan ibadah mahdah (ritual), tetapi ia mengajarkan juga mu’amalah dalam arti
luas yang mencakup semua segi kehidupan yang semuanya harus berujung pada
pertanggungjawaban dalam kehidupan akhirat. Ketiga,Islam memerintahkan umatnya untuk
melakukan dakwah amar ma’rufnahi munkar sebagaimana nabi Muhammad diutus menjadi
rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).
D. NEGARA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1. Pengertian Negara
Istilah negara dalam praktek di Indonesia juga mempunyai konotasi yang sama dengan istilah
“negeri, negari, negara dan nagari”. Negara dalam bahasa Indonesia mengandung dua pengertian
pertama, organisasi di satu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
rakyat; kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di
bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat.
Sehingga berhak menentukan arah nasionalnya.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Negara Islam diartikan dalam dua pengertian:
• Negara Islam adalah negara yang mendasarkan pada ajaran atau nilai-nilai Islam yang bersumbar
dari al-Qur’an dan al-Hadist Nabi Muhammad SAW.
• Negara Islam adalah suatu organisasi yang berdaulat di dalam wilayah tertentu dan memilki
pemerintahan-an yang di taati oleh rakyat, di mana setiap prilaku politiknya didasarkan atas nilai-
nilai atau ajaran agama yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist Nabi Muhammad SAW.
Menurut para ahli fiqih (fuqaha) Negara Islam disebut “Darul Islam” Ia mengandung makna
yang di-kandung oleh kata “negara” dalam istilah modern. Darul Islam menurut ahli fiqih
merupakan sebuah nama bagi tempat yang berada di tangan kaum muslimim. Definisi ini
menonjolkan unsur kekuasaan dan unsur tempat di samping unsur tempat di samping unsur unsur
lainya seperti unsur penduduk, undang-undang dan ketaatan kaum muslimin terhadap hukum, Di
samping itu terdapat definisi lain yang mendifiniskan Negara Islam adalah suatu negara yang di
dalamnya terdapat syi’ar Islam dan kekuasaan kaum muslimin. Definisi ini menonjolkan unsur
peraturan negara dan unsur kekuasaan di sampi unsur lainya.
Secara teoritis negara Islam merupakan negara Allah dan kaum muslimin adalah partainya
(hizbullah). Para faqih Islam mensyaratkan tiga ciri Dari sebuah negara Islam, yaitu: 1) Adanya
kaum muslimin (ummah); 2) Adanya hukum Islam sebagai konstitusi dan 3) Adannya
kepemimpinan muslim (Khilafah). Oleh karena kekuasaan mutlak atau kedaulatan mutlak milik
Allah, Maka negara Islam dimaksudkan sebagai instrumen politik dalam membumikan ajaran
Islam.
2. Sistem Khilafah, Imamah dan Imarah sebagai institusi Politik Islam
• Periode awal Islam yaitu pada periode Nabi dan periode sahabat (khulafa al rasyidin), institusi
politik pada saat itu tidak dikenal dengan istilah daulah. Islam sebagai agama terakhir dan
mengakhiri semua agama yang akan bertahan sampai hari kiamat, dari itu mereka mengikat
dengan istilah “ummah”. Sementara penggunaan istilah daulah di bidang politik sebagai nama
bagi institusi politik dimulai ketika orang-orang ‘Abbasiyah dan para pendukungnya meraih
tampuk kekuasaan pada pertengahan abad kedelapan setelah sebelumnya kekuasaan politik di
tangan dinasti Umayyah.
• Dalam bahasa Arab yang sering digunakan untuk pengertian kekuasaan politik sebagaimana
kata daulah adalah kata khilafah, imamah dan imarah. Ketiga istilah tersebut dalam prakteknya
mempunyai karakteristik dan aksentuasi makna yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan
orang yang menggunakan istilah tersebut dalam praktek pemerintahannya.
Pertama kata “Khalifah”. Kata ini mengandung makna ganda. Di satu pihak khalifah dipahami
sebagai kepala negara dalam suatu pemerintahan atau kerajaan Islam yang pengertiannya sama dengan
sulthan. Di lain pihak kata ini juga sering dimaknai sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Yang dimaksud
dengan wakil Tuhan di muka bumi mengandung dua pengertian, pertama, pengertian khalifah yang
diwujudkan dalam jabatan sulthan atau kepala negara, kedua, fungsi manusia sendiri sebagai ciptaan
Tuhan yang paling sempurna. Kata Khalifah dalam bentuk tunggal dalam al-Qur’an terulang dua kali,
yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Secara linguistik terdapat dua bentuk plural
(jama’) dari kata khalifah yang digunakan al-Qur’an. Pertama, kata khala’if yang terulang sebanyak 4
kali pada surat al-An’am ayat 165, Yunus ayat 14 dan 73 dan surat al-Fathir ayat 39. Kedua, kata
khulafa’ yang terulang sebanyak 2 kali, yaitu pada surat al-A’raf ayat 69 dab surat al-Naml ayat 62.
Menurut para mufassir, perbedaan bentuk kata tersebut masing-masing mempunyai konteks makna
tersendiri. Sedangkan institusi politik sistem kekhalifahan disebut khilafah.
Sementara istilah “imam” berarti pemimpin yang berasal dari akar kata a-m-m yang berarti
berkehendak atau bermaksud. Sedangkan imamah berarti kekuasaan atau kekuatan yang ditaati atau
diikuti. Dalam al-Qur’an kata imam dan aimmah (jama’) disebutkan dalam beberapa surat, yaitu surat al-
Baqarah ayat 124, al-Anbiya 73, al-Taubah ayat 12 dan al-Qashas ayat 41. Fakhruddin ak-Razi
menafsirkan kata imam, yaitu setiap orang yang diikuti dan dijadikan teladan dalam urusan agama.
Sedangkan kata amir biasanya diartikan yang memerintah. Sebutan seorang amir berarti seorang
yang memerintah, seorang komandan militer dan seorang
E. RELASI ISLAM DAN NEGARA
Hubungan Islam dan negara menurut Nasaruddin Umar dalam Abd. Muin (1994, 5) terbagi atas
tiga pendapat. Pertama, pendapat bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang hanya
menyangkut hubungan manusia dan Tuhan, melainkan agama yang sempurna dan lengkap
dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan termasuk kehidupan politik.
• Kedua, pendapat bahwa Islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan
kenegaraan.
• Ketiga, adalah yang menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap
dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah Islam merupakan agama yang mengatur hal berkaitan peribadatan kepada Allah Swt,
tetapi juga mengatur hal bersifat muamalah yaitu hubungan antar manusia, termasuk di dalamnya berbicara tentang agama.
Islam membagi komponen-komponen suatu negara antara lain:
1. Balad (negeri atau tanah air)
• Kata balad dalam Al-Qur’an, dengan segala derivasinya terulang sebanyak sembilan belas kali (Baqi: 1981, 134). Sebagian
berkaitan dengan permohonan Nabi Ibrahim a.s. agar negeri yang ditempati menjadi negeri yang aman (QS. Al-Baqarah [2]:
126), dan juga pentingnya memiliki cita-cita mulia akan adanya negara yang baik di bawah ampunan Allah swt. (QS. Saba’
[34]: 15). Sebagian lain berkaitan dengan sumpah Allah Swt dengan balad negeri (QS. At-Tin [96]: 3), dan sebagian lagi
berbicara tentang orang-orang kafir yang berbuat zalim di suatu negeri (Fajr [89]: 8) dan lain sebagainya. Apapun konteks
penyebutan kata balad atau baldah dalam Al-Qur’an, yang jelas semuanya bermuara pada pengertian bahwa kata balad atau
baldah adalah daerah, tempat, kota, negeri, negara, kampung atau wilayah tertentu. Dalam konteks kehidupan bernegara,
jelas bahwa keberadaan wilayah atau tanah air menjadi suatu keniscayaan bagi tegaknya suatu bangsa dan negara.
2. Sya‘b (bangsa)
• Dalam al-Qur’an kata sya’b disebut sekali dalam bentuk plural, yakni syu’ub sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13.
Pada mulanya kata tersebut bermakna cabang dan rumpun, sebab bangsa sesungguhnya merupakan suatu rumpun kelompok
kabilah tertentu yang tinggal di wilayah tertentu. Suatu bangsa terbentuk biasanya karena ada unsur-unsur persamaan,
seperti asal-usul keturunan, sejara, suku, ras, cita-cita meraih masa depan. Hal ini sejalan dengan teori Ibnu Khaldun dalam
muqaddimahnya, bahwa asal-usul negara bangsa adalah adanya kebersamaan dalam kelompok. Menurut Ibnu khaldun hal
itu timbul secara alamiah dalam kehidupan manusia yang dikaitkan dengan adanya pertalian darah ataupun karena pertalian
klan
F. MASYARAKAT MADANI

• Pengertian Masyarakat Madani


Masyarakat madani sering diartikan sebagai terjemahan dari Civil Society
yang berarti masyarakat yang berperadaban. Masyarakat madani sangat
identik dengan masyarakat kota yang mempunyai perangai dinamis,  sibuk, 
berpikir logis,  berpola hidup praktis,  berwawasan luas,  dan mencari-cari
terobosan baru demi memperoleh kehidupan yang sejahtera.  Perangai tersebut
didukung dengan mental akhlak karimah ( budi pekerti yang mulia ) 
Ummatan Wahidah Ummatan Wasathan
Ummah berarti  kelompok manusia atau masyarakat,  sedangkan Ummatan wasathan  mengandung makna masyarakat ideal.
Wahidah adalah bentuk muannas dari kata Wahid yang secara
bahasa berarti satu. Ungkapan ini terulang  dalam Al-Quran
Istilah ini terdapat dalam Q.S al-Baqarah/2: 143. Dalam
sebanyak sembilan kali, diantaranya Q.S al-Baqarah/2: 213. ayat tersebut dijelaskan bahwa kualifikasi umat yang baik
Dalam ayat tersebut secara tegas dikatan bahwa manusia dari adalah ummatan wasathan yang bermakna dasar
dulu hingga kini merupakan satu umat.  Jadi, ummatan wahidah pertengahan atau moderat. Posisi pertengahan mennjadikan
adalah suatu umat yang bersatu berdasarkan iman kepada Allah anggota masyarakat tersebut tidak memihak ke kiri dan ke
SWT dan mengacu kepada nilai-nilai kebajikan.  Umat tersebut kanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil.
tidak terbatas kepada bangsa di mana mereka merupakan bagian

Term Al-Quran yang menunjuk


arti Masyarakat Ideal

Khairu Ummah
Khairu ummah berarti Umat terbaik atau umat unggul atau Baldatun Thayyibah
masyarakat ideal. Hanya sekali saja disebut dalam al-
Quran yakni Q.S Ali Imran/3: 10. Dalam ayat tersebut Istilah ini hanya terulang sekali dalam al-Quran yaitu dalam
dijelaskan bahwa kaum muslimin adalah umat terbaik yang Q.S Saba’’/34: 15. Dalam ayat tersebut diartikan dengan
mengemban tugas menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah negeri atau daerah yang baik.  kata baldatun berasal dari kata
dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT. Jadi, Balad,  secara bahasa biasa diterjemahkan dengan tempat
khairu ummah adalah bentuk ideal masyarakat islam yang kumpulan manusia hidup.  Baldatun Thayyibatun  berarti
identitasnya adalah integritas keimanan, komitmen mengacu pada tempat bukan pada kumpulan orang.
kontribusi positif kepada kemanusiaan secara universal,
dan loyalitas pada kebenaran. 
3. Ciri Khusus Masyarakat Ideal dalam Al-Quran
• Adanya Kemauan Untuk Hidup Lebih Baik

1
• Memiliki ilmu yang memadai. 

2
• Mempunyai moral yang tangguh.
• Kemampuan memilih dan strategi
3 perjuangan.
4
• Kemauan berjihad

5
• Mempunyai organisasi yang rapi dan kuat.
• Berlaku Jujur dan Adil dalam Masyarakat Pluralistik

• Hati yang bening dan tulus mencintai keadilan dan kejujuran


sebagai salah satu kebenaran yang diamanatkan Allah pada
1 kita.

• Melepaskan vested interest (kepentingan tertanam) yang  lain, 


kecuali hanya mencari keridhaan Allah semata.
2

• Harus ada keberanian untuk melepaskan semua tradisi yang


telah terbukti menyimpang dari kebenaran (nash-nashagama)
3
• Marhamah dan menabur kerahmatan

Egoistis masih terus mengepung diri manusia

Ajaran agama sekedar label untuk memperoleh pengakuan lingkungan


terhadap dirinya tetapi tidak mau mengamalkan ajarannya.

Acuh dengan nasihat orang bijak.

Enggan bergaul dengan orang saleh.

Merasa tidak butuh dengan orang lain.

Anda mungkin juga menyukai