0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
17 tayangan14 halaman
Makalah ini membahas instrumen kebijakan fiskal dan utang negara dalam konteks ekonomi Islam dan kapitalis. Dalam ekonomi kapitalis, instrumen utama meliputi APBN dan APBD yang mengatur anggaran penerimaan dan pengeluaran negara dan daerah. Sedangkan dalam ekonomi Islam instrumen utama meliputi zakat, kharaj, jizyah, dan ushur yang wajib, serta infak, sedekah, dan wakaf yang sukarela. Makalah ini jug
Makalah ini membahas instrumen kebijakan fiskal dan utang negara dalam konteks ekonomi Islam dan kapitalis. Dalam ekonomi kapitalis, instrumen utama meliputi APBN dan APBD yang mengatur anggaran penerimaan dan pengeluaran negara dan daerah. Sedangkan dalam ekonomi Islam instrumen utama meliputi zakat, kharaj, jizyah, dan ushur yang wajib, serta infak, sedekah, dan wakaf yang sukarela. Makalah ini jug
Makalah ini membahas instrumen kebijakan fiskal dan utang negara dalam konteks ekonomi Islam dan kapitalis. Dalam ekonomi kapitalis, instrumen utama meliputi APBN dan APBD yang mengatur anggaran penerimaan dan pengeluaran negara dan daerah. Sedangkan dalam ekonomi Islam instrumen utama meliputi zakat, kharaj, jizyah, dan ushur yang wajib, serta infak, sedekah, dan wakaf yang sukarela. Makalah ini jug
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan
Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Islam
Disusun Oleh: 1. Mahrus Alwi (1917202159) 2. Ika Kurniawati (1917202165) 3. Ani Astuti (1917202183) 4. Ikhtiar Nurul Imam S (1917202193)
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO 2020 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan pembangunan ekonomi, yang biasanya diukur dengan pertambahan pendapatan nasional, terdapat beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan. Salah satu instrument kebijakan tersebut adalah kebijakan fiskal yang berhubungan erat dengan masalah anggaran penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan pemerintah. Penerimaan dan pengeluaran negara berkaitan dengan masalah keuangan negara, sedangkan penerimaan dan pengeluaran daerah berakitan dengan masalah keuangan daerah. Seperti halnya keunagan negara yang identik dengan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), keuangan daerah identik dengan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dalam sistem ekonomi Islam, dominasi kebijakan fiskal pemerintah di sektor riil ekonomi begitu jelas terlihat. Hal ini juga tergambar bagaimana instrumen fiskal Islam begitu mendominasi perubahan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik, seperti zakat, jizyah, ushur, infaq-shodaqoh-waqaf, ghanimah dan lain-lain. Dalam perekonomian Konvensional, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Diluar kedua sumber utama penerimaan tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), dan pencetakan uang dan hadiah (hibah). B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dan ekonomi Kapitalis? 2. Apakah yang menjadi sumber penerimaan dan pengeluaran negara? 3. Apakah yang dimaksud utang negara? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dan kapitalis. 2. Untuk mengetahui sumber penerimaan dan pengeluaran negara. 3. Untuk mengetahui mengenai utang negara. BAB II PEMBAHASAN
A. Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Konteks Ekonomi Kapitalis
Dalam usaha meningkatkan pembangunan ekonomi, yang biasanya diukur dengan pertambahan pendapatan nasional, terdapat beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan. Salah satu instrument kebijakan tersebut adalah kebijakan fiskal yang berhubungan erat dengan masalah anggaran penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan pemerintah. Penerimaan dan pengeluaran negara berkaitan dengan masalah keuangan negara, sedangkan penerimaan dan pengeluaran daerah berakitan dengan masalah keuangan daerah. Seperti halnya keunagan negara yang identik dengan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), keuangan daerah identik dengan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). a. APBN (Anggaran Pendapatan Belanjan Negara) APBN adalah kebijakan fiskal dalam konteks pembangunan Indonesia yaitu sebagai daftar sistematis yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun yang dinyatakan dalam rupiah. Anggaran mengandung sisi penerimaan dan sisi pengeluaran dengan skala yang lebih besar dan jenis kegiatan yang rumit. Adapun tujuan dari APBN adalah sebagai pedoman pendapatan dan belanja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan negara serta untuk menghindari pengeluaran yang tidak diperlukan. Fungsi APBN diantaranya yaitu: Fungsi Alokasi, APBN digunakan untuk membangun sarana prasarana publik, seperti jembatan, jalan raya dan lain-lain. Fungsi Distribusi, Pemerintah dapat mendistribusikan pendapatan secara adil dan merata. Contohnya: subsidi BBM, subsidi BOS. Fungsi Stabilisasi, Pemerintah dapat menstabilkan keadaan perekonomian untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Fungsi Otorisasi, APBN menjadi dasar pelaksanan pendapatan dan belanja. Fungsi Perencanaan, menjadi pedoman perencanaan kegiatan untuk 1 tahun. Fungsi Pengawasan, APBN menjadi pedoman untuk memebrikan penilaian kegiaatn pelaksanaan pemerintahan sudah sesuai dengan yang direncanakan. b. APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) adalah instrumen kebijakan fiskal utama bagi pemerintah daerah tentang rencana keuangan tahunan yang dimiliki oleh daerah, yang terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja dam pembiayaan. APBD memuat prioritas-priotitas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai melalui belanja daerah sesuai sumber daya yang tersedia, baik melalui pendapatan asli daerah (PAD) ataupun skema transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat. Jenis-jenis belanja daerah terdiri dari Belanaja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, belanja sosial dan hibah, belanja transfer dan belanja lainnya. Pengalokasian dana APBD untuk belanja infrastruktur fisik semakin sulit diharapkan. Porsi belanja modal terhadap belanja total APBD daerah pada umumnya tidak lebih 30%. B. Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Konteks Ekonomi Islam Pada instrument kebijakan fiskal dalam konteks ekonomi Islam, mekanisme zakat memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal, yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-sedekah dan instrumen sejenis lainnya mendorong permintaan agregat, karena fungsinya yang membantu umat untuk mencapai taraf hidup di atasi tingkat minimum. Dan aktivitas ekonomi produktif ini bermakna sumber daya ekonomi berputar pada tingkat yang maksimal. Dalam sistem ekonomi Islam, dominasi kebijakan fiskal pemerintah di sektor riil ekonomi begitu jelas terlihat. Hal ini juga tergambar bagaimana instrumen fiskal Islam begitu mendominasi perubahan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik. Apalagi pilar utama dan pertama Al-Qur’an dengan perekonomian Islam menyebut mekanisme zakat menjadi syarat perekonomian riil. Ada beberapa instrumen fiskal yang menajdi alat bagi negara untuk menjalankan perekonomian menuju kesejahteraan spiritual dan material, baik yang disyariatkan secara syariah maupun yang dilakukan sesuai wewenang negara, seperti zakat, kharaj, jizyah dan ushur yang bersifat wajib (obligatory) dan infak, sedekah, hibah, wakaf yang bersifat sukarela (Volutary) sedangkan ganimah merupakah sebuah hasil yang bergantung pada kemenangan dari sebuah peperangan yang dilakukan oleh negara. a. Zakat, instrumen fiskal yang menjadi syarat secara syariah adalah meknaisme zakat. Asumsi awal dari bahasan ini adalah zakat menjadi sistem yang wajib (obligatory zakat system), bukan sistem yang sukrela (voluntary zakat system). Konsekuensi dari sistem ini adalah wujudnya institusi negara yang bernama baitulmal (Treasury House). Fungsi pertama dari negara Islam adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup minimal. Jika dikaji lebih jauh instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus berjalan pada tingkat minimum, akibat penjaminan konsumsi kebutuhan dasar oleh negara melalui Baitul Mal menggunakan akumulasi dana zakat. b. Kharaj, merupakan pajak khusus yang diberlakukan negara atas tanah produktif yang dimiliki rakyat. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak negara dalam penentuannya. Dan negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian yang ada. c. Jizyah (poll tax), merupakan pajak yang hanya diperuntukan bagi warga negara bukan Muslim yang mampu. Berdasarkan banyak literatur klasik ekonomi Islam, pajak jenis ini dikenakan pada warga nonmuslim laki-laki. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang uzur, cacat dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari negara, yaitu untuk memnuhi kebutuhan minimal rakyatnya. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya pada penduduk Muslim saja. d. Ushur, merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke negara Islam (Impor). Menurut Umar bin Khathab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor negara Islam kepada negara yang sama juga dikenakan pajak ini. e. Infak-sedekah-wakaf, merupakan pemberian sukarela dari rakyat demi kepentingan umat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Pada kondisi keimanan rakyat yang begitu baik, maka dapat saja (besar kemungkinannya) penerimaan negara yang berasal dari variable suka rela ini akan lebih besar dibangdingkan dengan variabel wajib, sepanjang factor- faktor produksi digunakan pada tingkatan yang maksimal. f. Ganimah, merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan perang. Penggunaan uang yang berasal dari ganimah ini, ada ketentuannya dalam Al-Qur’an. Distribusi ganimah dapat per limanya diberikan kepada prajurit yang bertempur (mujahidin), sementara per limanya adalah khums, yaitu sesuai dengan Al-Qur’an dalam surat al-Anfaal (8). g. Fa’i, yaitu harta kekayaan negara musuh yang telah dikalahkan (didapat bukan melalui perang), yang kemudian dimiliki dan dikelola negara Islam. h. Pajak khusus (nawaib) adalah pajak ini penentuan pemungutannya (keberadaannya) tergantung kondisi perekonomian negara (sifatnya sementara) dan menjadi hak prerogative. i. Lain-lain, penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti warisan yang dimiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah, atau hadiah dari negara Islam, hima dan bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia. C. Sumber Penerimaan Pengeluaran Negara Dalam perekonomian Konvensional, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Diluar kedua sumber utama penerimaan tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-dengan dan perampasan yang dijalankan pemerintah, pencetakan uang dan hadiah (hibah). Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal. Islam telah menentukkan sektor-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, Fa’I, jizyah, kharaj, shadaqoh, dan lain-lain. Jika diklasifikasikan pendapatan tersebut maka ada yang bersifat rutin seperti: zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqoh serta pajak jika diperlukan da nada yang bersifat temporer seperti: ghanimah, fa’I dan harta yang tidak ada pewarisnya. Secara umum ada kaidah-kaidah syari’ah yang membatasi kebijakan tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan pemerintah Islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak). 1. Kaidah syari’ah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan pajak Ajaran Islam dengan rinci telah menentukkan, syarat kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan besar tarifnya. Amak dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tarif yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang dengan nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern. 2. Kaidah-kaidah syari’ah yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal dari aset pemerintah. Menurut kaidah syari’ah pendapatan dari aset pemerintah dibagi dalam dua kategori yaitu: (a) Pendapatan dari aset pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi asset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. (b) Pendapatan dari aset yang masyarakat ikut memanfaatkannya adalah berdasarkan dengan kaidah syari’ah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam dan yang semisalnya. Kaidah ini dalam kontek pemerintah modern adalah sarana-saran umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 3. Kaidah syariah yang berkaitan dengan kebijakan pajak Dalam konteks ekonomi modern pajak merupakan satu-satunya sektor pendapatan terpenting terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut dialokasikan kepada public goods dan mempunyai tujuan sebagai alat redistribusi, penstabilan, dan pendorongan pertumbuhan ekonomi. Pungutan pajak diperbolehkan dalam Islam maka kaidahnya harus berdasar dengan kaidah adalah dan kaidah dharurah yaitu pungutan tersebut hanya bagi orang yang mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sector pendapatan lainnya. D. Sumber Pengeluaran Negara Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh landasan-landasan syariah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadits dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Diantara kaidah (Chapra: 1995, 288-289) ialah: 1. Belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah. 2. Menghindari kesulitan dalam mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan 3. Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam skala umum. 4. Pengorbanan individu dapat dilakukan dengan kepentingan individu dapat dikorbankan demi mdnghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum. 5. Kaidah al-guirmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang medapat manfaat harus siap menanggung beban (yang untung harus siap menanggung kerugian). 6. Kaidah Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya. Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektifitas dan efesiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Diantara tujuan pembelanjaan dalam pemerintah Islam: 1. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat. 2. Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan. 3. Pengeluaran mengarah kepada semakin bertambahnya permintaan efektif. 4. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi. 5. Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflansi dengan kebijakan intervensi pasar. Pos penerimaan Baitul Mal dari Bagian Fai dan Kharaj harus dikeluarkan negara untuk pos pengeluaran dari al Khilafah, Mashalih ad Daulah, Santunan, Jihad, Urusan Darurat/ Bencana Alam (athTharwaari) dan Anggaran Belanja Negara (al Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan Pengawas (al Murraqabah). Kemudian pos penerimaan dari Bagian Pemilikan Umum harus dikeluarkan untuk Jihad, Penyimpanan Pemilikan Umum dan Urusan Darurat/Bencana Alam. Sedangkan pos penerimaan dari Bagain Shadaqah harus dikeluarkan hanya untuk Penyimpanan Harta Zakat dan Jihad. E. Utang Negara dalam Konteks Ekonomi Islam Secara umum terdapat dua pandangan tentang utang luar negeri sebagai alternatif menutup defisit anggaran Negara. Pandangan pertama menganggap bahwa external financing merupakan hal yang diperbolehkan dalam Islam, meskipun bentuk dan mekanismenya memerlukan modifikasi. Pandangan kedua menganggap bahwa bahwa Negara Islam tidak selayaknya mencari utang luar negeri sebagai penutup saving gap- nya (Mannan, 1992). Pandangan pertama tersebut pada dasarnya membolehkan adanya budged deficit yang ditutup dengan External financing, sepanjang bentuk mekanismenya disesuaikan dengan syariat. Pandangan terseut dilatarbelakangi oleh konsep dan fakta historis bahhwa kerja sama dengan pihak lain dalam suatu usaha diperbolehlkan, bahkan dianjurkan. Bentuk kerja sama yang diperkenankan dengan syariat, seperti mudharabah, musyarakah, dan murabahah, dapat dikembangkan sebagai bentuk external financing. F. Utang Negara dalam Konteks Ekonomi Kapitalis Utang negara adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia (Ulfa, 2017). Dari aspek materiil, utang luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar ke dalam negeriyang dapat menambah modal yang ada di dalam negeri. Aspek formal mengartikan utang luar negeri sebagai penerimaan atau pemberian yang dapat digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sehingga berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan (Astanti, 2015). 1. Teori Utang Negara Negara berkembang seperti Indonesia yang sedang melakukan pembangunan di segala bidang terhambat pada faktor pendanaan. Untuk mempercepat gerak pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional, maka sumber pendanaan yang digunakan oleh Indonesia adalah salah satunya bersumber dari utang. Penggunaan utang sebagai salah satu sumber pendanaan dalam mempercepat pembangunan nasional digunakan karena sumber pendanaan dari tabungan dalam negeri jumlahnya sangat terbatas, sehingga sebagai sumber pendanaan, utang khususnya utang dari luar negeri sangat dibutuhkan untuk memecahkan masalah pembiayaan dalam pembangunan. Sumber pendanaan yang berasal dari utang menjadi salah satu alternatif biaya pembangunan bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia (Ramadhani, 2014). Berikut jenis-jenis utang luar negeri dari berbagai aspek yaitu berdasarkan bentuk pinjaman yang diterima, sumber dana pinjaman, jangka waktu peminjaman, status penerimaan pinjaman dan persyaratan pinjaman (Tribroto dalam Ayu, 2016). Berdasarkan bentuk pinjaman yang diterima, pinjaman dibagi atas : a. Bantuan proyek, bantuan luar negeri yang digunakan untuk keperluan proyek pembangunan dengan cara memasukkan barang modal dan jasa. b. Bantuan teknik, yaitu pemberian bantuan tenaga terampil atau ahli. c. Bantuan program, yaitu bantuan yang dimaksudkan untukdana bagi tujuan-tujuan yang bersifat umum sehingga penerimanya bebas memilih penggunaannya sesuai pilihan. Berdasarkan sumber dana pinjaman, pinjaman dibagi atas : a. Pinjaman dari lembaga internasional, yaitu merupakan pinjaman yang berasal dari badan-badan internasional seperti World Bank Asia dan Development Bank yang pada dasarnya adalah pinjaman berbunga ringan. b. Pinjaman dari negara-negara anggota IGGI/IGI, hampir sama seperti pinjaman dari lembaga internasional, hanya biasanya pinjaman ini dari negara-negara bilateral anggota IGGI/IGI. Biasanya, pinjaman lunak. Berdasarkan jangka waktu peminjaman, pinjaman dibagi atas: a. Pinjaman jangka pendek, yaitu pinjaman dengan jangka waktu sampai dengan lima tahun. b. Pinjaman jangka menengah, pinjaman dengan jangka waktu 5-15 tahun. c. Pinjaman jangka panjang, pinjaman dengan jangka waktu diatas 15 tahun. Berdasarkan status penerimaan pinjaman, pinjaman dibagi atas : a. Pinjaman pemerintah, pinjaman yang dilakukan oleh pihak pemerintah. b. Pinjaman swasta, yaitu pinjaman yang dilakukan oleh pihak swasta. Berdasarkan persyaratan pinjaman, pinjaman dibagi atas: a. Pinjaman lunak, yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga multilateral maupun bilateral yang dananya berasal dari iuran anggota (untuk multilateral) atau dari anggaran negara yang bersangkutan (untuk bilateral) yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan. b. Pinjaman setengah lunak, yaitu pinjaman yang memiliki persyaratan pinjaman yang sebagian lunak dan sebagian komersial. Pinjaman komersial, yaitu pinjaman yang bersumber dari bank atau lembaga keuangan dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional. Dampak Positif dan Negatif dalam Utang Luar Negeri: 1. Dampak positif dari utang luar negeri Yaitu terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat. Sebab, alirannya dapat meningkatkanpendapatan dan tabungan domestik sehinggautang luar negeri menghasilkan multipliereffect positif terhadap perekonomian, kemudian terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat sebagai dampak lanjutannya. Alasannya, aliran bantuan luar negeri dapat meningkatkan investasi yang selanjutnya meningkatkan pendapatan dan tabungan domestik dan seterusnya. (Wahyuningsih, 2012). 2. Dampak negatif dari utang luar negeri Dialami oleh Indonesia pada saat terkena dampak krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pada saat itu nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam terhadap US Dolar dan mata uang dunia lainnya. Keadaan tersebut membuat utang luar negeri Indonesia meningkat drastis dan untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo, pemerintah mengambil kebijakan penambahan utang baru. Penambahan utang yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan pembayaran cicilan pokok dan bunga dari utang tersebut makin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga kebijakan tersebut berpengaruh terhadap kinerja APBN yang semakin menurun. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari materi yang sudah di jelaskan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa, instrumen kebijakam fiskal dalam ekonomi Islam adalah instrumen fiskal Islam begitu mendominasi perubahan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik. Apalagi pilar utama dan pertama Al-Qur’an dengan perekonomian Islam menyebut mekanisme zakat menjadi syarat perekonomian riil. Instrumen kebijakan fiskal menjadi alat negara untuk menjalankan perekonomian menuju kesejahteraan spiritual dan material seperti zakat, kharaj, jizyah, ushur, infaq, shaodaqoh, hibah, wakaf, dan ghonimah yang merupakan sebuah hasil kemenangan dari sebuah peperangan. Sedangkan, Sumber utama dalam sistem ekonomi kapitalis dapat berupa penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Negara juga memperoleh pendapatannya dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-dengan dan perampasan yang dijalankan pemerintah, pencetakan uang dan hadiah (hibah). B. Saran 1. Makalah yang dibuat masih terdapat kekurangan sehingga diharapkan selanjutnya dapat dikembangkan lagi. 2. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah ini dikemudian hari. DAFTAR PUSTAKA Alam S. 2007. Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Penerbit Erlangga. Haryadi Santoso, Purwoko dkk. 2019. The King Bedah Kisi-Kisi SBMPTN Soshum. Yogyakarta: Forum Edukasi. Huda, Nurul dkk. 2012. Keungan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah. Jakarta: Kencana. Huda, Nurul dkk. 2015. Keungan Publik Pendekatan Instrumen Kebjiakan dalam Perspektif Islam. Jakarta: PT Gramedia. Naf’an. 2014. Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah. Samarinda: Graha Ilmu.