Anda di halaman 1dari 14

INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL DAN UTANG NEGARA

MAKALAH

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan


Mata Kuliah Pengantar Ekonomi Islam

Disusun Oleh:
1. Mahrus Alwi (1917202159)
2. Ika Kurniawati (1917202165)
3. Ani Astuti (1917202183)
4. Ikhtiar Nurul Imam S (1917202193)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam usaha meningkatkan pembangunan ekonomi, yang biasanya diukur
dengan pertambahan pendapatan nasional, terdapat beberapa instrumen kebijakan
yang dapat digunakan. Salah satu instrument kebijakan tersebut adalah kebijakan
fiskal yang berhubungan erat dengan masalah anggaran penerimaan dan pengeluaran
yang dilakukan pemerintah. Penerimaan dan pengeluaran negara berkaitan dengan
masalah keuangan negara, sedangkan penerimaan dan pengeluaran daerah berakitan
dengan masalah keuangan daerah. Seperti halnya keunagan negara yang identik
dengan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), keuangan daerah identik
dengan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Dalam sistem ekonomi Islam, dominasi kebijakan fiskal pemerintah di sektor riil
ekonomi begitu jelas terlihat. Hal ini juga tergambar bagaimana instrumen fiskal
Islam begitu mendominasi perubahan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik,
seperti zakat, jizyah, ushur, infaq-shodaqoh-waqaf, ghanimah dan lain-lain. Dalam
perekonomian Konvensional, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan
hutang. Diluar kedua sumber utama penerimaan tersebut, negara juga memperoleh
pendapatannya dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat
daerah), dan pencetakan uang dan hadiah (hibah).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dan
ekonomi Kapitalis?
2. Apakah yang menjadi sumber penerimaan dan pengeluaran negara?
3. Apakah yang dimaksud utang negara?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dan kapitalis.
2. Untuk mengetahui sumber penerimaan dan pengeluaran negara.
3. Untuk mengetahui mengenai utang negara.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Konteks Ekonomi Kapitalis


Dalam usaha meningkatkan pembangunan ekonomi, yang biasanya diukur dengan
pertambahan pendapatan nasional, terdapat beberapa instrumen kebijakan yang dapat
digunakan. Salah satu instrument kebijakan tersebut adalah kebijakan fiskal yang
berhubungan erat dengan masalah anggaran penerimaan dan pengeluaran yang
dilakukan pemerintah. Penerimaan dan pengeluaran negara berkaitan dengan masalah
keuangan negara, sedangkan penerimaan dan pengeluaran daerah berakitan dengan
masalah keuangan daerah. Seperti halnya keunagan negara yang identik dengan
APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), keuangan daerah identik dengan
APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
a. APBN (Anggaran Pendapatan Belanjan Negara)
APBN adalah kebijakan fiskal dalam konteks pembangunan Indonesia yaitu
sebagai daftar sistematis yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran
negara selama satu tahun yang dinyatakan dalam rupiah. Anggaran mengandung
sisi penerimaan dan sisi pengeluaran dengan skala yang lebih besar dan jenis
kegiatan yang rumit. Adapun tujuan dari APBN adalah sebagai pedoman
pendapatan dan belanja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan negara serta untuk
menghindari pengeluaran yang tidak diperlukan. Fungsi APBN diantaranya yaitu:
 Fungsi Alokasi, APBN digunakan untuk membangun sarana prasarana publik,
seperti jembatan, jalan raya dan lain-lain.
 Fungsi Distribusi, Pemerintah dapat mendistribusikan pendapatan secara adil
dan merata. Contohnya: subsidi BBM, subsidi BOS.
 Fungsi Stabilisasi, Pemerintah dapat menstabilkan keadaan perekonomian
untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
 Fungsi Otorisasi, APBN menjadi dasar pelaksanan pendapatan dan belanja.
 Fungsi Perencanaan, menjadi pedoman perencanaan kegiatan untuk 1 tahun.
 Fungsi Pengawasan, APBN menjadi pedoman untuk memebrikan penilaian
kegiaatn pelaksanaan pemerintahan sudah sesuai dengan yang direncanakan.
b. APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)
APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) adalah instrumen kebijakan
fiskal utama bagi pemerintah daerah tentang rencana keuangan tahunan yang
dimiliki oleh daerah, yang terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja
dam pembiayaan. APBD memuat prioritas-priotitas pembangunan, terutama
prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai melalui belanja daerah sesuai
sumber daya yang tersedia, baik melalui pendapatan asli daerah (PAD) ataupun
skema transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat. Jenis-jenis belanja
daerah terdiri dari Belanaja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal,
belanja sosial dan hibah, belanja transfer dan belanja lainnya. Pengalokasian dana
APBD untuk belanja infrastruktur fisik semakin sulit diharapkan. Porsi belanja
modal terhadap belanja total APBD daerah pada umumnya tidak lebih 30%.
B. Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Konteks Ekonomi Islam
Pada instrument kebijakan fiskal dalam konteks ekonomi Islam, mekanisme zakat
memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang minimal, yaitu pada
tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-sedekah dan instrumen sejenis
lainnya mendorong permintaan agregat, karena fungsinya yang membantu umat
untuk mencapai taraf hidup di atasi tingkat minimum. Dan aktivitas ekonomi
produktif ini bermakna sumber daya ekonomi berputar pada tingkat yang maksimal.
Dalam sistem ekonomi Islam, dominasi kebijakan fiskal pemerintah di sektor riil
ekonomi begitu jelas terlihat. Hal ini juga tergambar bagaimana instrumen fiskal
Islam begitu mendominasi perubahan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik.
Apalagi pilar utama dan pertama Al-Qur’an dengan perekonomian Islam menyebut
mekanisme zakat menjadi syarat perekonomian riil. Ada beberapa instrumen fiskal
yang menajdi alat bagi negara untuk menjalankan perekonomian menuju
kesejahteraan spiritual dan material, baik yang disyariatkan secara syariah maupun
yang dilakukan sesuai wewenang negara, seperti zakat, kharaj, jizyah dan ushur yang
bersifat wajib (obligatory) dan infak, sedekah, hibah, wakaf yang bersifat sukarela
(Volutary) sedangkan ganimah merupakah sebuah hasil yang bergantung pada
kemenangan dari sebuah peperangan yang dilakukan oleh negara.
a. Zakat, instrumen fiskal yang menjadi syarat secara syariah adalah meknaisme
zakat. Asumsi awal dari bahasan ini adalah zakat menjadi sistem yang wajib
(obligatory zakat system), bukan sistem yang sukrela (voluntary zakat system).
Konsekuensi dari sistem ini adalah wujudnya institusi negara yang bernama
baitulmal (Treasury House). Fungsi pertama dari negara Islam adalah
menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup minimal. Jika dikaji lebih jauh
instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi perekonomian
agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi
mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian
terus berjalan pada tingkat minimum, akibat penjaminan konsumsi kebutuhan
dasar oleh negara melalui Baitul Mal menggunakan akumulasi dana zakat.
b. Kharaj, merupakan pajak khusus yang diberlakukan negara atas tanah
produktif yang dimiliki rakyat. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak negara
dalam penentuannya. Dan negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini
berdasarkan kondisi perekonomian yang ada.
c. Jizyah (poll tax), merupakan pajak yang hanya diperuntukan bagi warga
negara bukan Muslim yang mampu. Berdasarkan banyak literatur klasik
ekonomi Islam, pajak jenis ini dikenakan pada warga nonmuslim laki-laki.
Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang uzur, cacat dan mereka yang
memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini. Hal ini
berkaitan erat dengan fungsi pertama dari negara, yaitu untuk memnuhi
kebutuhan minimal rakyatnya. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas
hanya pada penduduk Muslim saja.
d. Ushur, merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang
masuk ke negara Islam (Impor). Menurut Umar bin Khathab, ketentuan ini
berlaku sepanjang ekspor negara Islam kepada negara yang sama juga
dikenakan pajak ini.
e. Infak-sedekah-wakaf, merupakan pemberian sukarela dari rakyat demi
kepentingan umat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Pada
kondisi keimanan rakyat yang begitu baik, maka dapat saja (besar
kemungkinannya) penerimaan negara yang berasal dari variable suka rela ini
akan lebih besar dibangdingkan dengan variabel wajib, sepanjang factor-
faktor produksi digunakan pada tingkatan yang maksimal.
f. Ganimah, merupakan pendapatan negara yang didapat dari kemenangan
perang. Penggunaan uang yang berasal dari ganimah ini, ada ketentuannya
dalam Al-Qur’an. Distribusi ganimah dapat per limanya diberikan kepada
prajurit yang bertempur (mujahidin), sementara per limanya adalah khums,
yaitu sesuai dengan Al-Qur’an dalam surat al-Anfaal (8).
g. Fa’i, yaitu harta kekayaan negara musuh yang telah dikalahkan (didapat bukan
melalui perang), yang kemudian dimiliki dan dikelola negara Islam.
h. Pajak khusus (nawaib) adalah pajak ini penentuan pemungutannya
(keberadaannya) tergantung kondisi perekonomian negara (sifatnya
sementara) dan menjadi hak prerogative.
i. Lain-lain, penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti
warisan yang dimiliki ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah, atau hadiah dari
negara Islam, hima dan bantuan-bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat
baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga keuangan dunia.
C. Sumber Penerimaan Pengeluaran Negara
Dalam perekonomian Konvensional, sumber utama penerimaan negara berupa
pajak dan hutang. Diluar kedua sumber utama penerimaan tersebut, negara juga
memperoleh pendapatannya dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di
tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-dengan dan perampasan yang dijalankan
pemerintah, pencetakan uang dan hadiah (hibah).
Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal.
Islam telah menentukkan sektor-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat,
ghanimah, Fa’I, jizyah, kharaj, shadaqoh, dan lain-lain. Jika diklasifikasikan
pendapatan tersebut maka ada yang bersifat rutin seperti: zakat, jizyah, kharaj, ushr,
infak dan shadaqoh serta pajak jika diperlukan da nada yang bersifat temporer seperti:
ghanimah, fa’I dan harta yang tidak ada pewarisnya.
Secara umum ada kaidah-kaidah syari’ah yang membatasi kebijakan tersebut.
Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan
pemerintah Islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi
bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (terlepas
dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).
1. Kaidah syari’ah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan pajak
Ajaran Islam dengan rinci telah menentukkan, syarat kategori harta yang
harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan besar tarifnya. Amak dengan
ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah
tarif yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan
perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang dengan
nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern.
2. Kaidah-kaidah syari’ah yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal
dari aset pemerintah.
Menurut kaidah syari’ah pendapatan dari aset pemerintah dibagi dalam dua
kategori yaitu: (a) Pendapatan dari aset pemerintah yang umum, yaitu berupa
investasi asset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau
masyarakat. (b) Pendapatan dari aset yang masyarakat ikut memanfaatkannya
adalah berdasarkan dengan kaidah syari’ah yang menyatakan bahwa manusia
berserikat dalam memiliki air, api, garam dan yang semisalnya. Kaidah ini
dalam kontek pemerintah modern adalah sarana-saran umum yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
3. Kaidah syariah yang berkaitan dengan kebijakan pajak
Dalam konteks ekonomi modern pajak merupakan satu-satunya sektor
pendapatan terpenting terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut
dialokasikan kepada public goods dan mempunyai tujuan sebagai alat
redistribusi, penstabilan, dan pendorongan pertumbuhan ekonomi. Pungutan
pajak diperbolehkan dalam Islam maka kaidahnya harus berdasar dengan
kaidah adalah dan kaidah dharurah yaitu pungutan tersebut hanya bagi orang
yang mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul sangat diperlukan
dan pemerintah tidak memiliki sector pendapatan lainnya.
D. Sumber Pengeluaran Negara
Efisiensi dan efektivitas merupakan landasan pokok dalam pengeluaran
pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh landasan-landasan syariah dan
penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah
umum yang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadits dalam memandu kebijakan belanja
pemerintah. Diantara kaidah (Chapra: 1995, 288-289) ialah:
1. Belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2. Menghindari kesulitan dalam mudarat harus didahulukan ketimbang
melakukan pembenahan
3. Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam
skala umum.
4. Pengorbanan individu dapat dilakukan dengan kepentingan individu dapat
dikorbankan demi mdnghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala
umum.
5. Kaidah al-guirmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang
medapat manfaat harus siap menanggung beban (yang untung harus siap
menanggung kerugian).
6. Kaidah Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang
menyatakan bahwa sesuatu hal yang wajib ditegakkan dan tanpa ditunjang
oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakan faktor
penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektifitas dan
efesiensi pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sehingga tujuan-tujuan dari
pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Diantara tujuan pembelanjaan dalam
pemerintah Islam:
1. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2. Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
3. Pengeluaran mengarah kepada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5. Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflansi dengan kebijakan
intervensi pasar.
Pos penerimaan Baitul Mal dari Bagian Fai dan Kharaj harus dikeluarkan negara
untuk pos pengeluaran dari al Khilafah, Mashalih ad Daulah, Santunan, Jihad,
Urusan Darurat/ Bencana Alam (athTharwaari) dan Anggaran Belanja Negara (al
Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan
Pengawas (al Murraqabah). Kemudian pos penerimaan dari Bagian Pemilikan
Umum harus dikeluarkan untuk Jihad, Penyimpanan Pemilikan Umum dan Urusan
Darurat/Bencana Alam. Sedangkan pos penerimaan dari Bagain Shadaqah harus
dikeluarkan hanya untuk Penyimpanan Harta Zakat dan Jihad.
E. Utang Negara dalam Konteks Ekonomi Islam
Secara umum terdapat dua pandangan tentang utang luar negeri sebagai alternatif
menutup defisit anggaran Negara. Pandangan pertama menganggap bahwa external
financing merupakan hal yang diperbolehkan dalam Islam, meskipun bentuk dan
mekanismenya memerlukan modifikasi. Pandangan kedua menganggap bahwa bahwa
Negara Islam tidak selayaknya mencari utang luar negeri sebagai penutup saving gap-
nya (Mannan, 1992).
Pandangan pertama tersebut pada dasarnya membolehkan adanya budged deficit
yang ditutup dengan External financing, sepanjang bentuk mekanismenya
disesuaikan dengan syariat. Pandangan terseut dilatarbelakangi oleh konsep dan fakta
historis bahhwa kerja sama dengan pihak lain dalam suatu usaha diperbolehlkan,
bahkan dianjurkan. Bentuk kerja sama yang diperkenankan dengan syariat, seperti
mudharabah, musyarakah, dan murabahah, dapat dikembangkan sebagai bentuk
external financing.
F. Utang Negara dalam Konteks Ekonomi Kapitalis
Utang negara adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari
para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa
pemerintah, perusahaan atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang
diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain atau lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia (Ulfa, 2017).
Dari aspek materiil, utang luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar ke
dalam negeriyang dapat menambah modal yang ada di dalam negeri. Aspek formal
mengartikan utang luar negeri sebagai penerimaan atau pemberian yang dapat
digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi.
Sehingga berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu
alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan (Astanti, 2015).
1. Teori Utang Negara
Negara berkembang seperti Indonesia yang sedang melakukan pembangunan di
segala bidang terhambat pada faktor pendanaan. Untuk mempercepat gerak
pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional, maka sumber pendanaan
yang digunakan oleh Indonesia adalah salah satunya bersumber dari utang.
Penggunaan utang sebagai salah satu sumber pendanaan dalam mempercepat
pembangunan nasional digunakan karena sumber pendanaan dari tabungan dalam
negeri jumlahnya sangat terbatas, sehingga sebagai sumber pendanaan, utang
khususnya utang dari luar negeri sangat dibutuhkan untuk memecahkan masalah
pembiayaan dalam pembangunan. Sumber pendanaan yang berasal dari utang
menjadi salah satu alternatif biaya pembangunan bagi negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia (Ramadhani, 2014). Berikut jenis-jenis utang luar
negeri dari berbagai aspek yaitu berdasarkan bentuk pinjaman yang diterima, sumber
dana pinjaman, jangka waktu peminjaman, status penerimaan pinjaman dan
persyaratan pinjaman (Tribroto dalam Ayu, 2016).
 Berdasarkan bentuk pinjaman yang diterima, pinjaman dibagi atas :
a. Bantuan proyek, bantuan luar negeri yang digunakan untuk keperluan
proyek pembangunan dengan cara memasukkan barang modal dan jasa.
b. Bantuan teknik, yaitu pemberian bantuan tenaga terampil atau ahli.
c. Bantuan program, yaitu bantuan yang dimaksudkan untukdana bagi
tujuan-tujuan yang bersifat umum sehingga penerimanya bebas memilih
penggunaannya sesuai pilihan.
 Berdasarkan sumber dana pinjaman, pinjaman dibagi atas :
a. Pinjaman dari lembaga internasional, yaitu merupakan pinjaman yang
berasal dari badan-badan internasional seperti World Bank Asia dan
Development Bank yang pada dasarnya adalah pinjaman berbunga ringan.
b. Pinjaman dari negara-negara anggota IGGI/IGI, hampir sama seperti
pinjaman dari lembaga internasional, hanya biasanya pinjaman ini dari
negara-negara bilateral anggota IGGI/IGI. Biasanya, pinjaman lunak.
 Berdasarkan jangka waktu peminjaman, pinjaman dibagi atas:
a. Pinjaman jangka pendek, yaitu pinjaman dengan jangka waktu sampai
dengan lima tahun.
b. Pinjaman jangka menengah, pinjaman dengan jangka waktu 5-15 tahun.
c. Pinjaman jangka panjang, pinjaman dengan jangka waktu diatas 15 tahun.
 Berdasarkan status penerimaan pinjaman, pinjaman dibagi atas :
a. Pinjaman pemerintah, pinjaman yang dilakukan oleh pihak pemerintah.
b. Pinjaman swasta, yaitu pinjaman yang dilakukan oleh pihak swasta.
 Berdasarkan persyaratan pinjaman, pinjaman dibagi atas:
a. Pinjaman lunak, yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga multilateral
maupun bilateral yang dananya berasal dari iuran anggota (untuk
multilateral) atau dari anggaran negara yang bersangkutan (untuk
bilateral) yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan.
b. Pinjaman setengah lunak, yaitu pinjaman yang memiliki persyaratan
pinjaman yang sebagian lunak dan sebagian komersial. Pinjaman
komersial, yaitu pinjaman yang bersumber dari bank atau lembaga
keuangan dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional.
 Dampak Positif dan Negatif dalam Utang Luar Negeri:
1. Dampak positif dari utang luar negeri
Yaitu terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat.
Sebab, alirannya dapat meningkatkanpendapatan dan tabungan domestik
sehinggautang luar negeri menghasilkan multipliereffect positif terhadap
perekonomian, kemudian terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tabungan
masyarakat sebagai dampak lanjutannya. Alasannya, aliran bantuan luar negeri dapat
meningkatkan investasi yang selanjutnya meningkatkan pendapatan dan tabungan
domestik dan seterusnya. (Wahyuningsih, 2012).
2. Dampak negatif dari utang luar negeri
Dialami oleh Indonesia pada saat terkena dampak krisis ekonomi pada tahun
1997-1998. Pada saat itu nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam
terhadap US Dolar dan mata uang dunia lainnya. Keadaan tersebut membuat utang
luar negeri Indonesia meningkat drastis dan untuk membayar utang yang sudah jatuh
tempo, pemerintah mengambil kebijakan penambahan utang baru. Penambahan utang
yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan pembayaran cicilan pokok dan bunga
dari utang tersebut makin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga
kebijakan tersebut berpengaruh terhadap kinerja APBN yang semakin menurun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari materi yang sudah di jelaskan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa,
instrumen kebijakam fiskal dalam ekonomi Islam adalah instrumen fiskal Islam
begitu mendominasi perubahan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik. Apalagi
pilar utama dan pertama Al-Qur’an dengan perekonomian Islam menyebut
mekanisme zakat menjadi syarat perekonomian riil. Instrumen kebijakan fiskal
menjadi alat negara untuk menjalankan perekonomian menuju kesejahteraan spiritual
dan material seperti zakat, kharaj, jizyah, ushur, infaq, shaodaqoh, hibah, wakaf, dan
ghonimah yang merupakan sebuah hasil kemenangan dari sebuah peperangan.
Sedangkan, Sumber utama dalam sistem ekonomi kapitalis dapat berupa
penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Negara juga memperoleh
pendapatannya dari retribusi (pungutan/semacam pajak yang berlaku di tingkat
daerah), keuntungan BUMN, denda-dengan dan perampasan yang dijalankan
pemerintah, pencetakan uang dan hadiah (hibah).
B. Saran
1. Makalah yang dibuat masih terdapat kekurangan sehingga diharapkan selanjutnya
dapat dikembangkan lagi.
2. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah ini
dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Alam S. 2007. Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Haryadi Santoso, Purwoko dkk. 2019. The King Bedah Kisi-Kisi SBMPTN Soshum.
Yogyakarta: Forum Edukasi.
Huda, Nurul dkk. 2012. Keungan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah.
Jakarta: Kencana.
Huda, Nurul dkk. 2015. Keungan Publik Pendekatan Instrumen Kebjiakan dalam
Perspektif Islam. Jakarta: PT Gramedia.
Naf’an. 2014. Ekonomi Makro Tinjauan Ekonomi Syariah. Samarinda: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai