Qadha (Bahasa Arab: kehendak (Allah) dan Qadar (Bahasa Arab: keputusan; takdir)1 ialah
takdir ketuhanan dalam Islam.2 Percaya kepada qadha dan qadar adalah Rukun Iman keenam.
yaitu mempercayai bahawa segala yang berlaku adalah ketentuan Allah semata-mata. 3 Ibnu Hajar
al-Asqalani berkata, Mereka, yakni para ulama mengatakan, Qadha adalah ketentuan yang
bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincianperincian dari ketentuan tersebut".4 Dari Ibn Abbas r.a meriwayatkan bahawa Jibrail a.s bertanya
kepada Baginda Rasulullah s.a.w: apakah itu iman? Baginda s.a.w menjawab; Imam itu ialah
kamu beriman kepada Allah S.W.T, kepada Hari akhirat, kepada malaikat-malaikat, kepada kitabkitab, kamu beriman dengan adanya mati dan kehidupan setelah mati, beriman dengan syurga dan
neraka, Penghisaban dan timbangan dan beriman dengan takdir yang berlaku sama ada baik atau
buruk. Jibrail a.s bertanya, jika aku buat demikian adakah aku beriman? rasulullah s.a.w
menjawab "jikalau kamu berbuat sedemikian maka kamu sudah beriman. Hadith Musnad Ahmad. 5
Sebagai seorang islam, wajiblah Muslim Yakin bahwa segala apa yang kita hendak laksanakan
tidak mampu untuk membuat melainkan dengan adanya Izin Allah. Seseorang hendak berbuat baik
atau buruk dengan Izin Allah
Beriman kepada takdir itu akan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu
yang terjadi di alam semesta ini berjalan dengan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh zat
yang maha tinggi, Allah SWT. Oleh sebab itu, manusia yang tertimpa musibah tidak perlu terlalu
menyesalinya, sebab hal itu adalah kehendak Allah, harus diterima dengan ikhlas. Sebaliknya
manusia yang ditimpahi rahmat tidak boleh terlalu bergembira sehingga lupa daratan.
Pada suatu hari Rasulullah Saw. Masuk kerumah Ali r.a sehabis sholat isya. Saat itu dilihat
menantunya sudah masuk tidur, meski masih terlalu dini Beliau bersabda: Alangkah baiknya
kalau kamu bangun dari sebagian waktu malam (untuk bersembahyang sunnat). Ali ra menjawab:
Ya Rasulullah, diri kita semua ini adalah dalam genggaman kekuasaan Allah. Jikalau tuhan
menghendaki tentu dilimpahkan kerahmatan-Nya dan jikalau Tuhan menghendaki tentu
ditariknya kembali. Mendengar jawaban itu Rasulullah Saw. Tampak marah, beliau lalu keluar
sambil memukul-mukul pahanya dan bersabda: Sesungguhnya manusia itu banyak sekali
membantah
Adapun didalam teologi islam terkait dengan qadha dan qadar yakni berkaitan dengan
masalah perbuatan manusia, perbuatan tuhan, dan ketetapan-ketetapannya yakni dalam aliran
qadariah, jabariah, mutazilah, asy-ariyah, maturidiah dan ahli sunnah wal jamaah. Dengan
pemikiran-pemikiran mereka yakni:
1)
Aliran qadariyah
Ditinjau dari segi ilmu bahasa, kata qadariah berasal dari kata: qadara-yaqdiru-alqadru :
athoatu wal quwatu. Sedangkan menurut terminology, al-qadariah adalah suatu kaum yang tidak
mengakui adanya qadar bagi tuhan. Mereka menyatakan bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah
pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Golongan yang melawan pendapatnya mereka ini adalah al-jabariah.
Ghailan al-damasyqi berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatanperbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan
sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat
atas kemauan dan dayanya sendiri.14
Yakni mempunyai istithaah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istithaah (daya) maka dia
berkuasa atas segala perbuatannya.15 manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri. Sebab itu, dia berhak mendapat pahala
atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman
atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Dengan demikian, nasib manusia tidak ditentukan
oleh tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh
paham al-jabariah.
2)
Aliran al-jabariah
Al-jabariah berasal dari kata jabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-syahrastani,
al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafy al-fiil al
alabd haqiqah) dan menyandarkan perbuatan itu kepada tuhan. 16 menurut paham ini, manusia
tidak kuasa atas segala sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat mampu
(istithaah). Manusia sebagaimana dikatakan oleh jahm bin shafwan, terpaksa atas perbuatanperbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak, (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar).
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan tuhan atas benda-benda
mati. Oleh karena itu, perbuatan yang harus disandarkan manusia harus dipahami secara majazy,
seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, pohon
berbuah, air mengalir, dan batu bergerak,17
Jadi, nama al-jabariyah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa. Dalam
aliran ini, sebagaimana dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris, paham ini disebut fatalisme atau
predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadar
Tuhan.18
Al-Syahrastani membagi al-jabariah ke dalam dua kelompok , yaitu al-jabariah ekstrim (alkhalisah) dan al-jabariah moderat (al-mutawassithah). Al-jabariyah ekstrim tidak menetapkan
perbuatan kepada manusia sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan
perbuatan. Sementara al-jabariah moderat mengakui andil manusia atas perbuatannya.19
3)
Aliran mutazilah
Mutazilah berasal dari kata (Itazala-yatazilu) yang berarti memisahkan diri atau menjauhi
atau menyisihkan diri. Kaum mutazilah disebut juga dengan mutakallimin karena mereka
banyak menggunakan Ilmu Kalam dalam mempertahankan pemikiran mereka. Bila ditinjau dari
sejarah ilmu kalam, sebab-sebab timbulnya ilmu baru ini dapat dibagi atas: sebab-sebab intern
dan sebab-sebab ekstern. Al mutazilah sebagai aliran kaum rasional, disamping memberikan
daya yang besar kepada akal, juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk melaksanakan
kehendak dan perbuatan. Karenanya menurut paham mutazilah, kehendak dan kekuasaan
mutlak tuhan tidak bersifat mutlak lagi, tetapi sudah terbatas. Keterbatasan kekuasaan dan
kehendak mutlak tuhan itu terjadi oleh adanya pembatasan yang diciptakan-Nya sendiri, yaitu
dengan menciptakan kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia, hukum alam
(sunnatullah), norma-norma keadilan, dan kewajiban tuhan itu terhadap manusia.1
Paham tentang kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia dalam pandangan
mutazilah, bertitik tolak dari pandangan bahwa perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh
tuhan, tetapi manusia sendiri yang menciptakannya.2
Konsekuensi dari pemberian kebebasan berkemauan dan berbuat kepada manusia, berarti
tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya sendiri, yang kalau dilanggarnya akan
menghilangkan keadilan-Nya.
Dengan kebebasan berkemauan dan berbuat, berarti manusia merdeka dalam menentukan
nasibnya sendiri. Kebebasan ini akan membawa kepada tanggung jawab pribadi. Segala
perbuatannya baik maksiat yang mendatangkan dosa, maupun ketaatan yang mendatangkan pahala
adalah tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang.
4) Al-asariyah
Alasyari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Ini bertolak
belakang dengan pendapat mutazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diwujudkan
oleh manusia itu sendiri. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak
dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-asyari menggunakan istilah al-kasb (acquisition, perolehan).
Al-kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib. Yang dimaksud dengan kasb disini adalah
berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan.
Al-asyari tidak menyetujui paham al-mutazilah tentang keadilan Tuhan. Al-asyari
mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang wajib bagi Tuhan. Tuhan adalah berkuasa mutlak.
Andaikala Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, hal ini bukan berarti Dia tidak
adil. Sebaliknya, andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka maka Tuhan
tidak dapat dikatakan bersifat zalim, 1 Tuhan adalah penguasa mutlak, bisa berbuat apa saja yang
Dia inginkan.
Pendapat al-asyari tentang kekuasaan Tuhan diatas, sekaligus juga menolak paham almanzilah bain al manzilatain yang dianut oleh aliran al-mutazilah. Menurut al-mutazilah, orang
yang berbuat dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir. Apabila orang tersebut meninggal dunia
akan dimasukkan ke dalam neraka, kecuali dia sebelumnya bertaubat dengan taubatan nasuha.
Bagi pembuat dosa besar yang masuk neraka, siksaan yang diberikan kepada mereka lebih ringan
dari pada siksaan orang-orang kafir. Bagi pembuat dosa besar yang bertaubat, Tuhan akan
menerima taubatnya dan memasukkannya kedalam surga. Menurut al-asyari orang yang berbuat
dosa besar tetap mukmin. Apabila pembuat dosa besar itu meninggal dunia sebelum sempat
bertaubat, hukumnya diserahkan kepada Allah SWT, dengan beberapa kemungkinan:
a.
Allah mengampuni pelaku dosa besar tersebut dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar
itu dimasukkan ke surga.
b. Pelaku dosa besar itu mendapat syafaat dari Nabi, berdasarkan hadis syafaata li ahli alkabaari min ummati
1.
c.
Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
Allah akan menghukum pelaku dosa besar itu ke dalam neraka sesuai dengan dosa yang
dilakukannya, kemudian Allah memasukkan ke dalam surga.2
Al-asyari juga menolak pendapat mutazilah yang mengatakan bahwa Allah wajib
menerima taubat pembuat dosa besar. Menurut al-asyari, jika pembuat dosa besar bertaubat,
Allah tidak wajib menerima taubatnya. Karena Allah yang membebani kewajiban terhadap
makhluk-Nya maka tidak ada kewajiban atas-Nya.3
Kaum al-asyariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi
yang sebaliknya mereka menolak paham mutazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam
perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan,
tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa
perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia manusia dan
bahwa Tuhan mengetahui kebaikan kebaikan dan keuntungan itu, tetapi pengetahuan maupun
kebaikan serta keuntungan-keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk
berbuat.4 Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan
karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian mereka mempunyai tendensi
untuk meninjau wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
5)
Aliran Al-maturidiyah
Golongan al-maturidiyah, dalam memahami kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan
terpecah menjadi dua kelompok, yaitu al-maturidiyah Samarkand dan al-maturidiyah Bukhara.
Al-maturidiayah Samarkand yang lebih banyak mempergunakan akal dalam pendapatnya
sehingga lebih dekat dengan pemahaman mutazilah.
2.
Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
3.
4.
Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
abduh, 558/9.
Menurut al-maturidi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh
kebebasan manusia yang diberikan oleh Tuhan sendiri dan keadaan Tuhan yang menjatuhkan
hukum sewenang-wenang tidak boleh terjadi.5
Untuk memperkuat pandangannya di atas, al-maturidiyah Samarkand mempergunakan dalildalil naqli antara lain seperti dalam surat al-maaidah ayat 48, al-anam ayat 149. Ayat-ayat ini,
dipahami oleh al-maturidi bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa membuat manusia yang ada di
bumi menjadi beriman, atau membuat manusia berada dalam hidayah Allah. Namun, Allah tidak
melakukannya disebabkan oleh kemerdekaan berkemauan dan berbuat apa yang memang ada
pada diri manusia.
Lebih lanjut al-maturidiyah Bukhara ini menganut paham masyiah dan ridha yang
memandang bahwa manusia melakukan perbuatan adalah kehendak Tuhan, namun tidak
semuanya menurut ridha-Nya. Manusia melakukan perbuatan baiknya atas kehendak Tuhan dan
ridha-Nya. Sebaliknya, bila manusia melakukan perbuatan jahat, hal itu juga merupakan
kehendak Tuhan, tetapi bukan atas ridha-Nya.6
Dari keterangan diatas jelas bahwa al-maturidiyah Bukhara hampir sepaham dengan alasyariyah.
Menurut al-bazdawi, Tuhan menciptakan kosmos ini bukan karena ada tujuan tertentu,
namun Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya.7
Dalam paham keadilan Tuhan, al-maturidiyah Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat
dengan al-asyriyah. Al-maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah
dipahami dari konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
berkemauan dan berbuat bagi manusia, hukum alam (sunnatullah), norma-norma keadilan, dan
kewajiban Tuhan itu sendiri terhadap manusia.2
Segala sesuatu ada timbal baliknya, saling berkaitan dengan yang lainnya, siang dan malam,
atas dan bawah, neraka dan surga, kebaikan dan keburukan, manusia yang melakukan perbuatan
tercela akan mendapakan dosa nantinya, sebaliknya jika dia melakukan perbuatan baik maka
pahala yang mereka dapatkan sehingga yang hanya satu adalah Sang pencipta itu sendiri Allah
SWT.
3.
4.
berserah diri kepada-Nya. Dengan cara demikian terhindarlah hatinya dari dihinggapi perasaan
resah dan gelisah yang dapat membawa dirinya putus asa.3
4.
baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabinabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan
yang pasti berlaku. (al-Ahzab: 38)
Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena
(al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, Tulislah, Ia bertanya, Apa yang
saya tulis? Dia berfirman, Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada
sampai hari kiamat. (HR Ahmad)
Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di
surga. Salah seorang dari mereka berkata, Bolehkah kami bertawakal saja, ya,
Rasulullah? Beliau menjawab, Tidak, (akan tetapi) beramallahkarena setiap
orang dimudahkan (dalam beramal), kemudian beliau membaca ayat ini, Adapun
orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan
adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya
jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan
mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar. (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan
merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan
menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (al-Lail: 5-10)
Agar takdir dapt dipahami dengan benar dan proporsional, maka hendaknya kita
memahami hakikat Takdir itu sendiri.
a. Takdir Allah hendaknya didasari dengan pandangan Husnu Azh-Zhon (berbaik
sangka) kepada Allah swt. Maksudnya, bahwa iman kepada takdir Allah didasari
dengan keyakinan terhadap ke-Mahabijaksanaan Allah swt dan ke-MahatahuanNya
atas segala yang menimpa hambaNya. Seringkali suatu kejadian nampaknya buruk
dalam pandangan manusia, tetapi dalam pandangan Allah swt suatu kebaikan,
sebab segala perbuatan Allah adalah kebaikan mutlak ( Lihat: Abdur-Rahmnan
Habannakah, Pokok-pokok Akidah Islam, 674, th. 1998, GIP ).
b. Keimanan kepada Takdir Allah bukan berarti meniadakan tanggung jawab
mukmin atas perbuatannya dan pilihannya dalam kehidupan. Sebagaimana firman
Allah swt (Q.S. al-Anbiya: 23) yang artinya: Allah tidak ditanya atas perbuatanNya,
tetapi manusia akan ditanya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Segala
sesuatu yang terjadi sebagai ketentuan qadho dan qodar mesti diterima dengan
ridha dan pasrah, dan diyakininya bahwa hal itu adalah ke-Mahabijaksanaan Allah
swt. Sedangkan dalam ruang lingkup tanggung jawab manusia, ia berusaha
menguasai sebab musabab yang merupakan sunnatullah pada alam ciptaanNya
(Lihat : Abdur-Rahman H, hal: 678 ).
c. Iman kepada Takdir Allah merupakan sikap Tawakkal dan Itimad ( bersandar )
kepada allah swt. Tawakkal berarti berupaya melakukan sesuatu sesuai ketentuan
yang berlaku pada sunnatullah, dengan menggunakan bekal-bekal dan potensipotensi yang diberikan Allah untuk manusia, kemudian berdoa, memohon
kemudahan kepadaNya. Hasil usaha dan doa tersebut diserahkan kepada Allah
yang memiliki masyiah ilahiah.
C. Hikmah Iman Kepada Takdir
1. Ibtila ( Ujian). Diantara hikmah Iman kepada Takdir Allah adalah ujian kepada
manusia, bahwa kejadian-kejadian yang menimpa manusia, baik atau buruk,
semuanya merupakan ujian
2. Sarana Pendidikan dan Pengajaran. Allah swt dalam mendidik dan mengajari
hamba-hambaNya kadang-kadang menimpakan musibah dan kadang-kadang
memberikan kesenangan dan kenikmatan hidup. Suatu saat Allah memberikan
hadiah penghargaan, pada saat lain memberikan teguran-teguran berupa sangsisangsi, baik bersifat fisik maupun moril.
3. Pembalasan yang disegerakan. Allah swt kadangkala menyegerakan balasan
orang yang melakukan kemaksiatan, sebagaimana menyegerakan ganjaran bagi
yang berbuat baik. Semua itu dilakukan dalam rangka dapat dijadikan pelajaran
bagi orang lain yang menyaksikan balasan atau ganjaran tersebut.
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu
yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfudz).(al-Anaam: 59)
Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.
(HR Muslim)
Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah SWT menulis
dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan
manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzhbuku catatan
amal yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan
beberapa ayat di bawah ini.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri, (al-Hadiid: 22-23)
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja
yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi
Allah. (al-Hajj: 70)
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah
Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan. (al-Anaam: 38)
Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena
(al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, Tulislah. Ia bertanya, Apa yang
aku tulis? Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada
sampai hari kiamat. (HR Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang
mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah
(kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia
kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula
sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun
manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak
mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,
Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di
bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Faathir: 44)
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam AlQur`an, di antaranya sebagai berikut.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (at-Takwiir: 29)
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan
Macam-Macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang
ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala
sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam
lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah SWT
memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan
yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(alHadiid: 22)
Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun
sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, Dan Arsy-Nya berada di atas
air. (HR Muslim)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal
penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat
umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini
didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.
Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk
meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau
bahagia... . (HR Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap
tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.
(ad-Dukhaan: 4-5)
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan
terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang
berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah
dicatat pada Lauh Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang
akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan,
mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah,
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia
dalam kesibukan. (ar-Rahmaan: 29)
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah
ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.