Anda di halaman 1dari 16

HAKIM DAN

MAHKUM FIH
DEFINISI HAKIM

Secara etimologi hakim berasal dari kata ‫حاكم‬-‫يحكم‬-‫ حكم‬yang berarti memutus.
Sedangkan secara terminologi definisi hakim mempunyai 2 pengertian
a. ‫َو اِض ُع اُالْح َك اِم َو ُم َثِّبُتَها َو ُم َص ِّد ُر َها‬
pembuat yang menetapkan, yang menentukan dan sumber hukum.
b. ‫اَّلِذ ى ُيْد ِر ُك ْاَالْح َك اُم َو َيْظَهُر َها َو ُيَع ِّر ُفَها َو َيْك ِش ُف َع ْنَها‬
Yang menentukan, menjelaskan, memperkenalkan dan mengungkap hukum
Singkatnya, dalam kajian ushul fiqih hakim ialah pihak pembuat hukum syari’at
secara hakiki.
DEFINISI HAKIM
Dari pengertian hakim yang berbeda diatas, dapat diambil pemahaman bahwa diantara
para ahli ushul, terjadi perbedaan tentang status hakim. Hal ini disebabkan dari adanya
dua keadaan yaitu:
a. Hakim sebelum Nabi Muhammad SAW terutus sebagai Rasul
Yang menjadi persoalan dikalangan para ahli ushul dalam kaitannya dengan maslah ini
ada. Siapa yang menemukan dan memperkenalkan serta yang memperjelas hukum?
Persoalan ini ditanggapi oleh para ahli berbeda-beda, yaitu:
1). Menurut Ahli al-Sunnah wa Al-Jama’ah berpendapat bahwa pada masa sebelum nabi
Muhammad saw terutus sebagai rasul itu tidak ada hakim dan tidak ada syara’, sementara
akal pikiran manusia tidak memiliki kemampuan untuk menemukannya,sebab akal hanya
mampu menetapkan baik-buruk melalui perantara Al-Qur’an dan rasul
DEFINISI HAKIM
2). Menurut kelompok Mu’taliziyyin, berpendapat bahwa yang menjadi hakim saat itu adalah Allah
SWT, hanya saja akal sudahn memiliki kemampuan untuk menentukan hukum-hukum
Allah,bahkan akal mampu menjelaskannya
b. Hakim setelah Nabi Muhammad saw menjadi Rasul.
Dalam menanggapi masalah ini, para ahli ushul bersepakat untuk menyatakan bahwa Hakim
adalah syari’ah yang diturunkan dari Allah melalui rasul-Nya, Muhammad saw. Oleh karena itu
segala sesuatu yang hukumnya telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan segala sesuatu yang
hukumnya telah diharamkan oleh Allah adalah haram.
Dengan demikian, at-tahsin adalah segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan
didalamnya terdapat kemaslahatan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedang at-taqbih
adalah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan didlamnya terdapat kemadlaratan bagi
kelangsungan hidup manusia
HASAN DAN QABIH
Golongan Asy’ariyyah dan Mu’tazilah menyepakati suatu konsensus, bahwa akal
dapat memahami hasan(baik) dan qabih(buruk) dalam dua pemaknaan :
•Hasan diartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan tabiat(selera) manusia,
sehingga dalam hal ini hasan berupa perasaan senang, merdunya suara, menolong
orang yang kesakitan. Sedangkan qabih di artikan sebagai sesuatu yang kontradiktif
dan tidak disukai tabiat manusia, seperti perasaan susah, suara kasar, menyakiti
seseorang
•Hasan diartikan sebagai sifat kesempurnaan seseorang seperti jujur dan berilmu.
Sedangkan qabih diartikan sebagai sifat kekurangan, seperti berbohong dan bodoh
HASAN DAN QABIH MENURUT 3 MAZHAB :

• Menurut Asy’ariyyah, sumber penetapan dan pemahaman hasan(baik) dan


qabih(buruk) hanyalah syariat yang dibawa oleh seorang Rasul. Segala
apapun yang diperintah syara’, seperti beriman, shalat, dan kekufuran, dan
perkara haram lainnya adalah qabih. Akal tidak memiliki wewenang sama
sekali dalam penetapan hukum. Sehingga seseorang tidak dituntut
melakukan atau meninggalkan perkara yang menurut akalnya baik atau
buruk, kecuali dakwah Rasul telah sampai kepadanya. Dan konsekuensinya,
siksa Allah SWT tidak akan ditimpakan pada pelaku perbuatan tersebut
qabih(buruk), atau meninggalkan perbuatan yang menurut akalnya
hasan(baik), sampai Allah SWT mengutus seorang Rasul
HASAN DAN QABIH

•Menurut Mu’tazilah, dan beberapa kelompok pendukung seperti Karamiyah, Khawarij, Syiah,
Ja’fariyah, Barahimiyah, dan Tsanawiyyah. Mereka mengatakan, sumber penetapan dan
pemahaman hasan(baik) dan qabih(buruk) adalah akal, dan tidak tergantung dengan ditetapkan
oleh akal. Anggapan mereka, syariat yang ditetapkan pada manusia merupakan sesuatu yang
didalamnya dapat dicerna dan dicapai oleh akal, dalam arti dapat ditelusuri bahwa didalamnya
pasti terkandung sebuah kemanfaatan atau kemadharatan. Kesimpulan mereka, apapun yang
difahami oleh akal sebagai perkara yang baik atau buruk, maka syariat pun selaras dengan hal
tersebut. Kedatangan Rasul hanyalah sebagai penguat terhadap segala sesuatu yang telah
ditetapkan oleh akal
HASAN DAN QABIH

Menurut Ma’turidiyah, berpendapat bahwa suatu perbuatan


dengan semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai
nilai baik dan buruk. Karena itu, akal dapat menetapkan suatu
perbuatan itu baik atau buruk.
DEFINISI MAHKUM FIH

• Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan


taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada manusia
dalam setiap perbuatan-perbuatannya.
• Menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek
hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari.
Baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih
suatu pekerjaan: dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah,
sah serta batal.
SYARAT MAHKUM FIH

•Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan sehingga tujuannya dapat


ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka berdasarkan hal tersebut, nash-
nash al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal, yakni yang belum dijelaskan maksudnya,
tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf, kecuali sesudah Rasulullaah SAW
menjelaskan nash-nash al-Qur’an yang masih global tadi. Misalnya firman Allah
SWT :
‫َو َاِقْيُم وا الَّص ٰل وَة‬
artinya : dan dirikanlah shalat..
Nash al-Qur’an tersebut masih mujmal, belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-
syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang tidak
mengetahui rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya
di taklif untuk mengerjakan shalat? Oleh karena itulah, maka Rasulullah
SAW menjelaskan kemujmalan nash tersebut.
SYARAT MAHKUM FIH
•Mukallaf harus mengetahui sumber taklif
Seseorang harus mengetahui bahwa pentaklifan itu datang dari orang yang
mempunyai otoritas untuk memberikan taklif yaitu Allah SWT. Sehingga dengan
pengetahuan itu ia dapat melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan
tujuan melaksanakan titah Allah semata.
Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang
dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan
kemampuan melaksanakannya. Oleh karena itu ketika seseorang telah dinyatakan
baligh dalam keadaan berakal dan diperkirakan mampu mengetahui hukum-hukum
syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan
cara bertanya kepada para ulama’, maka sudah bisa dinyatakan bahwa ia mengetahui
dan menanggung beban syari’at, serta tidaklah diterima suatu alasan karena
kebodohan atau ketidak-tahuaannya. Sesuai dengan pendapat para fuqaha: “tidaklah
diterima didunia Islam udzur (halangan) yang disebabkan oleh kebodohan.
SYARAT MAHKUM FIH

•Perbuatan yang ditaklifkan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.


Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain :
a. tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk
dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik
berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya.
b. Para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya
seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas orang lain. Oleh
karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk
menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya.
c. tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang
berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan
sebagainya, karena hal itu diluar kendali manusia
HAK ALLAH DAN IBAD

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah
atas para hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab:
‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu’. Beliau bersabda: “Sesungguhnya
hak Allah atas para hamba adalah beribadah kepada-Nya dan tidak
mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba atas Allah
adalah Dia tidak menyiksa hamba yang tidak mensyirikkan-Nya dengan
sesuatu apapun.”
HAK ALLAH DAN IBAD
•Huquuqullah (hak Allah) adalah kewajiban manusia terhadap
Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah.
Huquuqul-‘ibad (hak manusia) merupakan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk
Allah lainnya.
Apabila menyangkut hak sesama hamba, keadilanNya
menentukan: Ia tidak akan mengampuni sebelum di antara sesama
hamba itu menyelesaikan urusan mereka. Artinya, apabila kita
mempunya kesalahan kepada sesama hamba, Allah tidak akan
mengampuni sebelum hamba yang bersangkutan memaafkan
kesalahan kita itu.
HAK ALLAH DAN IBAD
Ada hadis sahih (riwayat imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah) yang
menggambarkan kebangkrutan sementara umat Muhammad SAW kelak di Hari
Kiamat. Mereka yang bangkrut itu ialah mereka yang datang di Hari Kemudian
membawa sekian banyak amalan-amalan salat, puasa, dan zakat; namun semasa
hidupnya di dunia suka melakukan perbuatan buruk kesana-kemari kepada sesama:
mencaci ini, menuduh itu, memakan hartanya ini, melukai ini, memukul itu. Nanti
pahala-pahala amal mereka diambil dan diberikan kepada orang-orang yang
pernah mereka lalimi. Dan apabila pahala-pahala amal mereka habis, padahal
masih dan ditimpukan kepada mereka. Akhirnya mereka pun dilemparkan ke
neraka. banyak orang yang haknya belum terpenuhi, maka dosa orang-orang yang
bersangkutan akan diambil
THANK YOU 

Anda mungkin juga menyukai