Anda di halaman 1dari 16

HAKIM DAN POSISI

AKAL DALAM
MENGETAHUI SYARIAH
Dosen pengampu:Ida Faridatun Hasanah,
M.Pd.
ASSALAMUALAIKUM 01 Nur Hasanah
(2111010109)
WARAHMATULLAHI
WABARAKATUH 02 Miftahul Jannah
(2111010091)

03 (2111010092)
Mita Neli Hastuti

Kelompok 7 04 Sissy Rahma


(2111010140)
2
A.PENGERTIAN
HAKIM
Hakim menurut bahasa mempunyai dua arti, yaitu: Pertama,
pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber
hukum. Kedua, yang menemukan, memperkenalkan dan
menyingkapkan hukum. Menurut istilah yang dimaksud
hakim adalah Allah yang mensyariatkan dan pemberi beban
makhluk dengan hukum-hukum. Para ulama tidak berselisih
pendapat bahwa hakim yang sesungguhnya ialah Allah.
Hakim adalah rukun kedua dari rukun-rukun hukum. Hakim adalah Dzat Yang berfirman
dan hukum adalah firmanNya. Maka, tidak ada syarat lain untuk memunculkan bentuk
hukum kecuali adanya point ini. Hak legalitas hukum juga hanya diberikan kepada
Allah. Maka hukum-hukumNya saja yang dianggap legal, dengan kata lain tiada
hukum dan tiada perintah kecuali hanya dari Allah SWT. Adapun Rasulullah SAW,
para penguasa, para majikan (sayyid), orang tua atau suami yang dalam permasalahan
tertentu perintah dan larangan mereka juga menjadi hukum, sebenarnya bukan karena
mereka adalah pembuat hukum, melainkan karena adanya perintah Allah untuk
melakukan taat kepada mereka. Jika perintah Allah ini tidak ada maka tidak ada
kewajiban makhluk untuk taat kepada makhluk yang lain, karena serajat satu makhluk
tidak lebih utama dari pada makhluk yang lain. Jadi, yang wajib adalah mentaati Allah
dan mentaati orang yang perintahkan oleh Allah untuk mentaatinya.
B.MEMPOSISIK
AN AKAL
SEBAGAI
HAKIM
Tidak ada hakim kecuali Allah, Tuhan
Dalil-dalil hukum ada empat, yaitu: Al- semesta alam. Oleh sebab itu, kalangan
Qur’an, Hadits, Ijma’ dan dalil akal. Ketika Asy’ariyah mengatakan bahwa hukum
diteliti dengan sebenarnya, maka dalil
hukum hanya satu yaitu firman Allah SWT,
atas perbuatan para mukallaf sebelum
karena sabda Rasulullah SAW, bukan diangkatnya Rasulullah SAW (masa
merupakan hukum dan tidak fatrah), atau tidak sampainya da’wah
menetapkannya. Ia berstatus sebagai kepada mereka, tidak ada hubungannya
pemberi kabar firman-firman Allah. Ijma’ dengan Allh SWT. Maka saat itu
(Konsensus) ulama juga tidak bisa disebut kekufuran tidak haram dan iman tidak
sebagai dalil hukum dalam arti yang diwajibkan. Allah SWT berfirman:
sebenarnya, sebab ia menunjukkan sabda
Rasul. Akal juga demikian. Ia hanya
 
berstatus penafian hukum ketika firman )15 :‫ث َر ُسول ًا (اإلسراء‬ َ ‫َو َما كُن ّ َا ُم َع ِ ّذ ِب‬
َ ‫ين َح ّت َى نَبْ َع‬
Allah dan sabda rasul tidak ditemukan. Artinya: “Kami tidak akan meng'azab
sebelum Kami mengutus seorang
rasul.” 
Al-Haramain menambahkan bahwa yang dimaksud masa fatrah ialah orang-orang
yang hidup diantara dua Rasul dan rasul pertama tidak diutus untuk mereka,
dan mereka tidak menjumpai nabi sesudahnya. Dari uraian ini dapat dimengerti
bahwa perselisihan ini terjadi ketika dikaitkan dengan hukum iman. Untuk
masalah-masalah furu’iyah, para ulama tidak ada khilaf tentang tidak adanya
siksa, kecuali bagi mereka yang menerima dakwah para Rasul.
Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa akal adalah yang memutuskan wajib dan
haram. Singkat kata ia adalah al-Hakim secara independen. Apa yang dianggap
baik oleh akan adalah wajib, seperti mengenal Allah sebagai Tuhan, dan
mengenal diri sebagai hamba, kewajiban bersyukur kepada Allah, dan
penyelamatan terhadap korban banjir dan kebakaran. Apa yang dianggap akal
jelek adalah haram secara pasti, seperti kufur nikmat, perbuatan sia-sia dan
perbuatan aniaya. Mereka memposisikan akal diposisikan diatas posisi dalil-
dalil syar’i, hingga mereka tidak memperkenankan menetapkan hukum dengan
dalil syar’i, selama akal tidak mengetahuinya.
Menurut kalangan Mu’tazilah, sebuah pekerjaan jika mengandung kemaslahatan murni dan
berskala yang besar akan dianggap oleh akal bahwa Allah mewajibkannya. Jika
mengandung kerusakan murni dan berskala besar, maka akal akan mengatakan bahwa Allah
melarangnya. Jika maslahah dan mafsadah dalam posisi seimbang atau sama sekali tidak
mengandung keduanya, maka ia adalah mubah dan tidak bisa disebut dengan hukum, sebab
ia telah ada sebelum syariat di datangkan. Akal akan mampu memahami bahwa Allah
dengan kebijaksanaanNya yang tinggi secara pasti tidak akan meninggalkan maslahah
sesaatpun kecuali Dia mewajibkannya dan memberinya pahala. Akal juga tidak akan
meninggalkan kerusakan kecuali Dia mengharamkannya dan memberinya siksa.

Menurut Mu’tazilah kedudukan syariah yang sebenarnya hanya sebagai tanda dan ia
mengalami perubahan dan penggantian. Sementara akal dengan sendirinya telah
mewajibkan atau mengharamkan tanpa ada perubahan dan penggantian. Yang dimaksud
mewajibkan menurut mereka ialah adanya bentuk pengunggulan terhadap iman –
misalnya--, mengakui ketuhanan, dan mempercayai wujudnya Allah untuk selama-lamanya.
Jika akal mengharamkan, maka ia terjadi saat akal menetapkan pengunggulan untuk tidak
melakukan kemusyrikan, dan tidak melakukan pengakuan Tuhan untuk selain Allah.
Titik perbedaan pandangan antara Kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah hanya
terletak pada pemberian status pada sesuatu yang baik (al-Husn) dan yang
buruk (al-Qubh), Menurut jumhur, sesuatu yang baik (al-Husn) dan yang
buruk (al-Qubh), jika dimaknai kesenangan dan kebencian hati seperti
kebaikan manis dan kejelekan pahit atau sifat kesempurnaan dan kekurangan,
seperti kebaikan ilmu dan kejelekan bodoh, maka ia bersifat aqli, dalam arti
yang menentukan baik buruk adalah akal. Jika dimaknai munculnya pujian
dan hinaan di dunia atau pahala dan siksa di akhirat, maka ia bersifat syar’i,
artinya ia tidak dihukumi kecuali oleh syariah yang bawa Rasulullah SAW.
Menurut Kaum Mu’tazilah ini pun juga bersifat aqli, artinya akan yang
menghukumi baik dan buruk, karena dalam sebuah pekerjaan terdapat
maslahah dan mafsadah yang diikuti baik dan buruk menurut Allah, dalam
arti akal memahaminya secara dhoruri, seperti kebaikan sifat jujur yang
bermanfaat dan kejelekan sifat bohong yang berbahaya.
Ada tiga madzhab dalam masalah ini. Yaitu: Pertama: Baik dan buruk
sesuatu, dan pahala dan siksa adalah syar’i. Ini adalah pendapat
Asy’ariyah, Kedua: kedua-duanya adalah aqliyah.
Ini pendapat Kaum Mu’tazilah. Ketiga: kebaikan dan keburukan
suatu ditetapkan berdasar akal dan pahala dan siksa tergantung
syariah, tidak ada pahala dan siksa kecuali ketika akal sudah terbit.
Inilah sesuai dengan apa yang disampaikan As’ad bin az-Zanjani,
dari kalangan Syafi’iyyah, Abu Khathab dari kalangan Hanabilah,
juga kalangan Hanafiyah dan meriwayatkannya sebagai nash dari
Imam Abu Hanifah.
C.AKAL
SEBAGAI
PENEMU
HUKUM
Sudah jelas bahwa akal bukan sebagai pencipta hukum (al-Hakim) menurut Jumhur ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketika akal merupakan bagian dari dalil-dalil syariah maka posisi
akal adalah sebagai penemu (al-Mudrik) hukum, bukan sebagai pencetus hukum (al-Hakim).
Jadi, yang benar adalah dikatakan “Hukum syara’ ditemukan oleh akal”, tidak boleh
dikatakan, “ilmu Syara’ diwajibkan akal”.
Yang menjadi sandaran dalam membatalkan kebaikan dan keburukan adalah tidak adanya
kewajiban menjaga maslahah dan mafsadah. kaidah tahsin (pembaikan) dan taqbih
(pemburukan) menjadi batal, sebab kewajiban mengikat hukum-hukum dengan maslahah dan
mafsadah secara akal adalah kebaikan dan keburukan itu sendiri yang bersifat aqli. Dari dasar
(ashl) ini, para sahabat membuat cabang dengan dua masalah:
Masalah pertama: Kewajiban bersyukur kepada Dzat yang memberi kenikmatan. Syukur adalah
memuji kepada Allah dengan mengingat-ingat kenikmatan dan kebaikan Allah. Syukur adalah
sesuatu yang baik secara pasti berdasarkan pengetahuan akal. Adapun hukum wajib
bersyukur adalah berdasarkan syara’ bukan berdasar akal. Menurut ulama lain, syukur wajib
secara akal, tetapi wajib dari segi dalil, bukan dari segi pengetahuan akal yang pasti.
Segolongan ulama dari ashab Syafi’i, sepakat tentang hal ini seperti Abul Abbas bin Al-Qash,
Abu Bakar As-Syasyi, Abu Abdillah Az-Zubairi, Abul Hasan bin Qathan dan Abu Bakar As-
Shairafi.
Az-Zubairi mengatakan bahwa ibadah dilihat dari aspek dalil
sam’i (al-Quran dan Hadits) tidak didatangkan kecuali pada tiga
aspek:

1.     Ibadah yang didatangkan dengan pewajiban yang sama


dengan apa yang diwajibkan berdasarkan akal, seperti Iman
kepada Allah dan mensyukuri nikmatNya.
    2.     Datang dengan pengharaman yang sama dengan apa yang
diharamkan berdasarkan akal, seperti kufur kepada Allah
    3.     Ibadah datang karena akal memperbolehkannya, seperti
shalat, zakat dam haji.
Ibnul Qash mengatakan bahwa sesuatu berdasar tinjuan akal ada
tiga macam. Yaitu: sesuatu yang diwajibkan akal, sesuatu
yang dinafikan akal, dan sesuatu yang diperbolehkan oleh
syariah.
Apa yang telah dipaparkan diatas adalah i’tiqad
Masalah kedua: Hukum sesuatu sebelum ahlussunnah waljamaah dan berdasar
datangnya Syariah. Para ulama menetapkan kesepakatam imam madzahib al-Arba’ah dan
masalah ini secara mutlak dalam setiap murid-murid mereka. Seorang ulama Hanabilah
masalah ushul dan furu’. Namun demikian mengatakan bahwa hukum pekerjaan sebelum
didalamnya ada hukum yang dipahami datangnya syariah ada dua pendapat, yaitu
berdasar pengetahuan dharuri akal, dan ada boleh dan haram, berdasar perkataan Imam
yang dipahami berdasar pertimbangan akal. Ahmaad.
Ada pula yang dipahami tanpa keduanya.  
Menurut kalangan syafi’iyah, kewajiban Untuk hukum benda-benda yang dapat
dan keharaman dalam sesuatu tidak dapat dimanfaatkan sebelum datangya syariah ada
diketahui berdasarkana akal. Ia tidak akan beberapa pendapat.
diketahui hukumnya kecuali dengan 1.      Boleh. Ini adalah pendapat kaum Mu’tazilah
syariah sesudah Rasulullah diangkat Bashra seperti yang dikatakan Al-Ustadz Abu
menjadi Rasul. Mansur. Abu Zaid Al-Dabusi mengatakan
bahwa ini adalah pendapat ulama Hanabilah
WASSALAMUALAIKUM asih
Terimak
WARAHMATULLAHI
WABARAKATUH

Anda mungkin juga menyukai