AKAL DALAM
MENGETAHUI SYARIAH
Dosen pengampu:Ida Faridatun Hasanah,
M.Pd.
ASSALAMUALAIKUM 01 Nur Hasanah
(2111010109)
WARAHMATULLAHI
WABARAKATUH 02 Miftahul Jannah
(2111010091)
03 (2111010092)
Mita Neli Hastuti
Menurut Mu’tazilah kedudukan syariah yang sebenarnya hanya sebagai tanda dan ia
mengalami perubahan dan penggantian. Sementara akal dengan sendirinya telah
mewajibkan atau mengharamkan tanpa ada perubahan dan penggantian. Yang dimaksud
mewajibkan menurut mereka ialah adanya bentuk pengunggulan terhadap iman –
misalnya--, mengakui ketuhanan, dan mempercayai wujudnya Allah untuk selama-lamanya.
Jika akal mengharamkan, maka ia terjadi saat akal menetapkan pengunggulan untuk tidak
melakukan kemusyrikan, dan tidak melakukan pengakuan Tuhan untuk selain Allah.
Titik perbedaan pandangan antara Kalangan Mu’tazilah dan Asy’ariyah hanya
terletak pada pemberian status pada sesuatu yang baik (al-Husn) dan yang
buruk (al-Qubh), Menurut jumhur, sesuatu yang baik (al-Husn) dan yang
buruk (al-Qubh), jika dimaknai kesenangan dan kebencian hati seperti
kebaikan manis dan kejelekan pahit atau sifat kesempurnaan dan kekurangan,
seperti kebaikan ilmu dan kejelekan bodoh, maka ia bersifat aqli, dalam arti
yang menentukan baik buruk adalah akal. Jika dimaknai munculnya pujian
dan hinaan di dunia atau pahala dan siksa di akhirat, maka ia bersifat syar’i,
artinya ia tidak dihukumi kecuali oleh syariah yang bawa Rasulullah SAW.
Menurut Kaum Mu’tazilah ini pun juga bersifat aqli, artinya akan yang
menghukumi baik dan buruk, karena dalam sebuah pekerjaan terdapat
maslahah dan mafsadah yang diikuti baik dan buruk menurut Allah, dalam
arti akal memahaminya secara dhoruri, seperti kebaikan sifat jujur yang
bermanfaat dan kejelekan sifat bohong yang berbahaya.
Ada tiga madzhab dalam masalah ini. Yaitu: Pertama: Baik dan buruk
sesuatu, dan pahala dan siksa adalah syar’i. Ini adalah pendapat
Asy’ariyah, Kedua: kedua-duanya adalah aqliyah.
Ini pendapat Kaum Mu’tazilah. Ketiga: kebaikan dan keburukan
suatu ditetapkan berdasar akal dan pahala dan siksa tergantung
syariah, tidak ada pahala dan siksa kecuali ketika akal sudah terbit.
Inilah sesuai dengan apa yang disampaikan As’ad bin az-Zanjani,
dari kalangan Syafi’iyyah, Abu Khathab dari kalangan Hanabilah,
juga kalangan Hanafiyah dan meriwayatkannya sebagai nash dari
Imam Abu Hanifah.
C.AKAL
SEBAGAI
PENEMU
HUKUM
Sudah jelas bahwa akal bukan sebagai pencipta hukum (al-Hakim) menurut Jumhur ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketika akal merupakan bagian dari dalil-dalil syariah maka posisi
akal adalah sebagai penemu (al-Mudrik) hukum, bukan sebagai pencetus hukum (al-Hakim).
Jadi, yang benar adalah dikatakan “Hukum syara’ ditemukan oleh akal”, tidak boleh
dikatakan, “ilmu Syara’ diwajibkan akal”.
Yang menjadi sandaran dalam membatalkan kebaikan dan keburukan adalah tidak adanya
kewajiban menjaga maslahah dan mafsadah. kaidah tahsin (pembaikan) dan taqbih
(pemburukan) menjadi batal, sebab kewajiban mengikat hukum-hukum dengan maslahah dan
mafsadah secara akal adalah kebaikan dan keburukan itu sendiri yang bersifat aqli. Dari dasar
(ashl) ini, para sahabat membuat cabang dengan dua masalah:
Masalah pertama: Kewajiban bersyukur kepada Dzat yang memberi kenikmatan. Syukur adalah
memuji kepada Allah dengan mengingat-ingat kenikmatan dan kebaikan Allah. Syukur adalah
sesuatu yang baik secara pasti berdasarkan pengetahuan akal. Adapun hukum wajib
bersyukur adalah berdasarkan syara’ bukan berdasar akal. Menurut ulama lain, syukur wajib
secara akal, tetapi wajib dari segi dalil, bukan dari segi pengetahuan akal yang pasti.
Segolongan ulama dari ashab Syafi’i, sepakat tentang hal ini seperti Abul Abbas bin Al-Qash,
Abu Bakar As-Syasyi, Abu Abdillah Az-Zubairi, Abul Hasan bin Qathan dan Abu Bakar As-
Shairafi.
Az-Zubairi mengatakan bahwa ibadah dilihat dari aspek dalil
sam’i (al-Quran dan Hadits) tidak didatangkan kecuali pada tiga
aspek: