Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

                   
A. Latar Belakang

Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyariatkan
Allah SWT. Yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia
bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah
ditetapakn Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakikatnya.

Secara lebih tegas dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah
diterapkan oleh Allah baik perintah maupun larangan, dengan tujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Selain itu dijadikan sebagai landasan pemikiran
untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang
melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara’ tersebut.

Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong atau alasan-alasan logis
dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama Ushul Fiqh berupaya
meneliti nash Al-Qur’an dan Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum
dengan alasan yang mendasar. Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang
kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘Illat. Di dalam makalah ini akan
dijelaskan.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Illat?
2.      Macam macam Illat?
3.       Syarat syarat Illat ?
4.      Masalikul Illat ?

C. Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian Illat
2.      Untuk mengetahui Macam macam Illat
3.      Mengetahui Syarat syarat Illat
4.      Mengetahui Masalikul Illat

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Illat

Secara etimologi lafal illat berasal dari bahasa Arab yang berarti nama bagi sesuatu yang
menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya (Ma’luf
1986:123; al-As’adi 1990:231). Misalnya penyakit itu dikatakan illat, karena dengan adanya
penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Oleh sebab itu apabila
dikatakan ‫ فالن اعتل‬maka hal itu berarti keadaanya berubah dari sehat menjadi sakit (Sya’ban
1964:131). ‘illat berasal dari kata ‫عل‬-‫ علة‬yang berarti sakit, udzur, dll

Menurut Atho bin Khalil ‘illat adalah sesuatu yang keberadaanya maka hukum
menjadi ada. Atau perkara yang memunculkan hukum berupa pensyariatan suatu hukum. Illat
adalah dalil, tanda, dan yang memberi tahu adanya hukum.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf ‘illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar
hukum.

Menurut Muhammad Abu Zahrah, ‘illat adalah sebagai suatu sifat lahir yang menetapkan dan
sesuai dengan hukum.

Menurut Mu’in Umar, ‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar
untuk menetapakan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum
ditetapkan hukumnya.

Maka dapat disimpulkan ‘illat ialah sesuatu yang memberikan batasan terhadap
hukum, sehingga disebut juga tanda yang dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan
karena adanya ‘illat.

Contoh Illat adalah sebagai berikut:

· Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada
perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan harapannya
hukum menjual harta anak yatim.

· Sifat memabukkan pada khamr, sehingga semua yang memabukkan dihukumi sebagai
khamr. Atau pembunuhan sengaja dengan pedang sebagai ‘illat qishas, sebab tindak pidana

2
yang diancam dengan hukuman qishas ialah segala bentuk penganiayaan dengan alat atau
senjata yang mematikan.

B. Macam-Macam ‘Illat

‘Illat adalah sesuatu yang mendorong disyariatkannya hukum. Oleh karena itu, ‘illat harus
terdapat di dalam dalil baik secara jelas (sharih), menunjukkan (dilalah), penggalian
(istinbath), atau secara qiyas. Itulah macam-macam ‘illat yang akan dituturkan dibawah ini
yaitu sebagai berikut:

1. ‘Illat yang terdapat secara jelas (Shurahatan), contonya:

‫ان كنتم ثالثة فال يتنا ج اثنان دون الثالث من اجل ان ذلك يحزنه‬

Artinya: “ Apabila tiga orang diantara kalian sedang berkumpul maka tidak boleh dua orang
di antara kalian saling berbisik tanpa melibatkan orang yang ketiga karena hal itu akan
membuatnya sedih.”( HR. Ahmad).

‘Illat pada hadits ini adalah karena perkara itu akan membuatnya sedih. Termasuk ‘illat
karena menggunakan lafazh yang sharih, yaitu lafazh min ajli.

2. Illat yang terdapat pada nash secara dilalah (penunjukan), contohnya dalam firman
Allah SWT: (QS.Al-Anfal:60).

Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan
Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan).

Kata menggentarkan musuh adalah sifat yang sesuai dengan mafhum bagi keharusan
untuk mengadakan persiapan menghadapi musuh, lafazh tersebut merupakan ‘illat dilalah.

3. ‘illat yang terdapat dalam nash dengan jalan istinbath (mustanbath), contohnya dalam
sabda Rasulullah SAW:

‫ فكذلك القبلة‬:‫ قال‬. ‫ ال‬: ‫ارايت لو تمضمضت هل يفسد صومك ؟ قال‬

3
Artinya: “Apa pendapatmu andaikata engkau berkumur-kumur (pada saat berpuasa) apakah
akan rusak berpuasamu?” Umar menjawab” Tidak”. Beliau bersabda begitu juga mencium.”
(HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah)

Dari nash ini digali bahwa ‘illat batalnya puasa karena mencium adalah keluarnya
sperma. Apabila seseorang mencium istrinya tidak keluar sperma maka tidak membatalkan
puasa. Jadi Al-Inzal adalah ‘illat istinbatiyyah karena sama seperti berkumur-kumur.

4. ‘Illat melalui qiyas, contohnya:

‫نهى رسول هللا ص م ان يبيع حا ضر لباد‬

Artinya: “ Rasulullah SAW melarang orang kota (menyongsong guna membeli barang)
kepada orang yang datang dari pelosok (pedesaan)”. (HR. Bukhari Muslim).

C. Syarat Syarat Illat

Ada Empat syarat-syarat ‘illat yang disepakati para ulama yaitu:

1. Sifat ‘illat itu hendaknya nyata masih terjangkau oleh akal dan panca indera. Hal ini
diperlukan karena ‘illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara’.

2. Sifat ‘illat itu harus pasti, tertentu, terbatas, dan dapat dibuktikan bahwa ‘illat itu ada
pada fara’.

3. ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti
bahwa keras dugaan ‘illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya.

4. ‘Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja tetapai harus berupa sifat yang dapat pula
diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu.

D. Masalikul ‘Illat (Cara Mencari ‘Illat)

Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat
dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:

1. Nash yang menunjukkannya

Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat
hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshus alaih.
Lakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah

4
menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash. Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kejadian
atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua macam yaitu :

a. Dalalah Sharahah, ialah penunjukan lafazh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum
jelas sekali.Atau dengan kata lain bahwa lafazh nash itu sendiri yang menunjukan ‘illat
hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: supaya demikian atau sebab
demikian dan sebagainya.Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah
yang qath’I ( apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin, tidak mungkin
dialihkan kepada hukum yang lain). Dan yang kedua ialah dalalah sharahah yang dzanni
( apabila penunjukan nash kepada ‘illat hukum itu adlah berdasarkan dugaan keras).

b. Dalalah ima’ ( isharah ), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau
dengan perkataan lain dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Jika
penyertaan sifat itui tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan
sifat itu

Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:

· Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa sebelumnya.


Contohnya seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa
mengerjakan salah satu dari rukun shalat.

· Menyebutkan suatu sifat bersamaan ( sebelum atau sesudah ) dengan hukum.


Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu
disebutkan.Contohnya, adalah Nabi SAW bersabda:

‫ال يحكم احدكم بين اثنين وهو غضبان‬

Artinya : “Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang ( yang berpekara )
dalam keadaan ia sedang marah. ( HR. Bukhori Muslim ).

· Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula,
seperti sabda Rasulullah SAW :

‫للراجل سهم وللفارس سهم‬

Artinya : “ Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedangkan barisan berkuda mendapat
dua bagian. ( HR. Bukhari Muslim ).

5
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta
rampasan perang. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
( QS.At-Thalaq : 6 )

Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat wajibnya pemberian nafkah kepada
istri yang ditalaq ba’in dan menyusukan anak menjadi syarat pemberian upah menyusukan
anak.

· Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian ( istimewa ) dan pengecualian


(Istidrak).

2. Ijma yang menunjukan

Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti belum baligh ( masih kecil )
menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh
para ulama.

3. Dengan Penelitian

Ada beberapa cara penelitian itu dilakukan :

a) Munasabah, ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau
larangan. Persesuaian tersebut itu ialah persesuaian yang dapat diterima oleh akal,karena
persesuaian itu ada hubungannya, dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau
kemadoratan bagi manusia

b) Assabru wa taqsim. Assabru berartimeneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim


berarti menyeleksi atau memisah-misahkan.Assabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atu kejadian. Tetapi tidak ada
nash atau ijma yang menerangkan ‘illatnya.Contohnya : Para ulama sepakat bahwa wali
mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash
yang menerangkan ‘illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin yang
dijadikan ‘illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis dan
belum dewasa. Pada ayat 6 surat An-Nisa tidak dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang wali
mengusai harta seorang anak yatim yang belum dewasa.Karena itulah ditetapkan belum
dewasa sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada
dibawah perwaliannya.

6
c) Tanqihul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang
ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai
‘illat.Sedang sifat yang tidak sama ditinggalakan.Contohnya pada ayat 25 surat An-Nisa
diterangkan bahwa hukuman pada budak perempuan adalah separoh hukuman orang
merdeka, sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-laki. Setelah
dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya, maka yang sama ialah sifat
kebudakan.Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai ‘illat untuk
menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengan yang diberikan
kepada budak perempuan, yaitu separoh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang
merdeka.

d) Tahqiqul Manath,ialah menetapkan ‘illat pada ashal , baik berdasarkan nash atau tidak.
Kemudian ‘illat tersebut disesuaikan dengan ‘illat pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada
yang berpendapat bahwa ‘illat itu dapat ditetepkan pada fara’ dan mungkin pula ada yang
tidak berpendapat demikian.Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena
ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para
ulama. Berbeda pendapat ulama jika ‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain
kafan dalam kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah pencuri itu dihukum potong tangan,
karena mengambil harta dari tempat penyimpanannya ( kubur ). Sedangkan Hanafiyyah tidak
menjadikan sebagai ‘illat, karena itu pencuri kafan tidak potong tangannya.

7
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan yang sudah dijabarkan, dapat diambil kesimpulan bahwa ‘Illat
adalah sesuatu yang memberikan batasan terhadap hukum, sehingga disebut juga tanda yang
dijadikan dasar hukum, jadi hukum itu disyariatkan karena adanya ‘illat.

Sedangkan masalikul ‘illat yaitu cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat
atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum.

8
DAFTAR PUSTAKA
Khalil, ‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Khallaf, Abdul Wahhab.1996.Kaidah-Kaidah Hukum Islam.Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada.
Umar, Muin Dkk.1985.Ushul Fiqh 1.Jakarta:Departemen Agama RI.
Yunus, Mahmud.1975. Kamus Arab-Indonesia.Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah.
Zahrah, Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus
http://ayok.wordpress.com/2006/12/27/ragam-illat-qiya/ diakses tanggal 03 Juni 2012
http://haryono10182.wordpress.com/sumber-hukum-islam/ diakses tanggal 03 Juni 2012
http://umarjabbar.files.wordpress.com/.../illat-masalik-qawadih1.docdiakses tanggal 03 Juni
2012

Anda mungkin juga menyukai