Anda di halaman 1dari 8

Sebagaimana diketahui, kita mengenal hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Jika hukum
taklifi ialah seperangkat hukum yang berisikan tuntutan, larangan, atau pembolehan,
maka hukum wadh’i lebih bersifat penjelasan tentang situasi bagaimana tuntutan dan
lainnya tersebut diberlakukan. Syekh Abdul Wahab Khallaf dalam ‘Ilmu Ushulil Fiqh
menjelaskan hukum wadh’i sebagai berikut: ،‫ فهو ما اقتضى وضع شيء سببًا لشيء‬:‫وأما الحكم الوضعي‬
ً
‫ أو مان ًعا? منه‬،‫شرطا له‬ ‫ أو‬Artinya: “Hukum wadh’i ialah tuntunan meletakkan sesuatu sebagai
sebab, syarat, atau pencegah bagi lainnya (terciptanya hukum),” (Lihat Khallaf, Ilmu
Ushulil Fiqh, [Kairo: Al-Madani, 2001], halaman 99). Sebagai contoh. Hukum shalat
shubuh adalah wajib. Wajib adalah hukum taklifi karena dalam hal ini kita “dituntut” oleh
kewajiban untuk menunaikan shalat shubuh tersebut. Tentang bagaimana “situasi”
shalat shubuh tersebut dapat terlaksana, maka kita menengok hukum wadh’i untuk
mengetahui apa saja sebab, syarat, serta penghalang dari terciptanya kewajiban shalat
zhuhur tersebut. Hukum wadh’i yang pertama ialah sebab. Syekh Wahbah Az-Zuhaily
mendefinisikan sebab hukum sebagai: ‫السبب هو وصف ظاهر منضبط دل الدليل السمعي على كونه معرفا‬
‫ للحكم‬Artinya, “Sebab hukum ialah sifat yang jelas dan memberikan pembatasan, di mana
dalil sam’i menyebut keberadaannya sebagai pemberitahu adanya hukum taklifi,” (Lihat
Az-Zuhaily, Ushulul Fiqh Al-Islamy, [Damaskus: Darul Fikr, 2005], juz I, halaman 99).
Secara sederhana, sebab hukum ini bisa diartikan sebagai kondisi pasti yang
memberikan batasan tertentu, di mana teks syariat menganggap hal tersebut sebagai
penanda keberlangsungan hukum. Contohnya, terbit fajar shidiq sebagai penanda waktu
shubuh. Terbitnya fajar shidiq merupakan sebuah kondisi yang jelas, atau tampak di
ufuk langit, di mana ia bisa menjadi pembatas sekaligus teks syariat menyatakan hal
tersebut sebagai penanda masuknya waktu shubuh. Ketika fajar shidiq tersebut terbit,
maka kewajiban menunaikan shalat shubuh dimulai. Masih dari kitab yang sama, dalam
bahasa lain, sebab hukum dinyatakan sebagai: ‫ ما يلزم من وجوده الوجود ومن عدمه العدم‬Artinya,
“Sebab hukum ialah sesuatu yang keberadaannya menetapkan keberadaan, dan
ketiadaannya menetapkan ketiadaan.” Mengacu pada contoh di atas, berarti adanya
fajar shidiq menetapkan adanya kewajiban shalat shubuh, dan ketiadan fajar shidiq
meniadakan ketiadaan kewajiban shalat shubuh. Mayoritas ulama menyatakan bahwa
sebab hukum adalah: ‫ ما يوجد عنده الحكم ال به‬Artinya, “Sebab hukum adalah sesuatu yang
dengan keberadaannya, hukum taklif bisa ditemukan, meski sebab hukum itu bukan
merupakan bagian dari hukum taklif itu sendiri. Sebagian ulama ada yang memperjelas
bahwa sebab hukum berlaku juga secara umum pada hal-hal yang tidak selaras dengan
hukum. Sementara jika selaras dengan hukum, sebab itu disebut sebagai 'illat hukum.
Sekarang, kita akan masuk pada beberapa contohnya agar bisa memperjelas
pemahaman kita. "Sedang berpergian" merupakan sebab diperbolehkannya tidak
berpuasa di bulan Ramadhan. Hal ini selaras dengan pensyariatan hukum dengan
pertimbangan adanya rasa payah yang bisa menimbulkan kemurahan. "Memabukkan"
merupakan sebab diharamkannya arak. Memabukkan ini merupakan sifat yang selaras
atau relevan karena bisa mengakibatkan hilangnya akal. Tapi di sisi lain, akal kita tidak
bisa menemukan keselarasan antara tergelincirnya matahari dan masuknya waktu
zhuhur, dan lainnya. Berpijak dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa “sebab hukum
lebih umum dari 'illat”. Tiap ‘illat adalah sebab meski tak semua sebab adalah ‘illat. Pada
akad jual beli, yang ditunjukkan dengan kerelaan keberpindahan hak milik, kita bisa
menyebutnya sebagai sebab dan ‘illat, namun pada tergelincirnya waktu zhuhur sebagai
penanda shalat zhuhur, kita hanya menyebutnya sebagai sebab hukum, bukan ‘illat
hukum. Illat hukum ini bisa didefinisikan sebagai: ‫الوصف الظاهر المنضبط الذي جعل مناطا لحكم يناسبه‬
Artinya, “Sebuah sifat yang tampak dan terdefinisikan yang dijadikan sebagai pijakan
bagi hukum yang menyelarasinya.” Tentu saja hal tersebut berbeda dengan hikmah, di
mana hikmah merupakan kemaslahatan yang ditimbulkan dari pemberlakuan sebuah
hukum atau kerusakan yang bisa timbul dari peniadaan hukum tersebut. Sebab hukum
dan ‘illat hukum bisa menjadi pertimbangan hukum, sementara hikmah tidak bisa.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Muhammad Ibnu Sahroji

Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan dalam ‫ الوجيز في اصول الفقه‬Al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh,
mengetahui hukum syara’ adalah tujuan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ushul fiqh lebih
melihat kaidah dan metode yang mengantarkan hukum syara’. Sedangkan fiqh lebih
melihat proses kerja intinbath ‫( استنباط‬melahirkan dan merumuskan hukum
berdasarkan dalil) dengan menerapkan kaidah yang ditetapkan ahli ushul.

Menurut ulama ahli ushul, hukum adalah khitab Allah yang berhubungan dengan
perilaku orang muslim akil-baligh (mukallaf) dengan tiga dimensi, yaitu iqtidla’
(tuntutan), takhyir (optional/ pilihan), dan wadla’ (ketetapan). ‫والحكم عند االصوليين هو خطاب‬
‫هللا المتعلق بافعال المكلفين باالقتضاء او التخيير او الوضع‬
Khitab Allah adalah firman Allah, baik secara langsung, yaitu al-Qur’an, atau dengan
perantara yang menengah-nengahi (‫)واسطة‬, yaitu sesuatu yang dikembalikan kepada
firman-Nya, yaitu: sunnah, ijma’, dan seluruh dalil syara’ yang ditetapkan Syari’
(Pembuat Syariat) untuk mengetahui hukumnya.

Sunnah adalah sesuatu yang keluar dari Rasul untuk tujuan pembuatan syariat ( ‫وجه‬
‫ )التشريع‬yang dikembalikan kepada firman Allah sebagai penjelas wahyu. (3 ‫وما ينطق عن‬
‫الهوي ان هو اال وحي يوحي (النجم‬. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).

Ijma’ harus berpijak kepada dalil dari al-Qur’an dan sunnah. Begitu juga dengan
seluruh dalil syara’ yang fungsinya menjelaskan firman Allah dan menampakkan
hukum syara’, bukan menetapkan.

Maksud iqtidla’ (‫ )اقتضاء‬adalah tuntutan melakukan atau meninggalkan, baik dengan


jalan mengharuskan (‫ )سبيل االلزام‬atau mengunggulkan (‫)سبيل الترجيح‬.

Maksud pilihan (‫ )تخيير‬adalah menyamakan status melakukan sesuatu dan


meninggalkannya tanpa mengunggulkan salah satunya dan membolehkan keduanya
kepada mukallaf.

Maksud ketetapan (‫ )الوضع‬adalah menjadikan sesuatu sebagai sabab (‫)سبب‬, syarath (


‫)شرط‬, atau mencegah (‫ )مانع‬dari sesuatu yang lain.

Contoh-Contoh

Dr. Abdul Karim Zaidan lebih lanjut memberikan contoh untuk memperjelas
keterangan di atas.
Firman Allah ( )1 ‫“ ياْيها الذين امنوا اوفوا بالعقود (المائدة‬Wahai orang-orang yang beriman,
penuhilah janji-janji”) adalah hukum syara’ karena termasuk firman Allah yang
berhubungan dengan pekerjaan orang mukallaf, yaitu memenuhi janji dengan jalan
menuntut (‫)علي جهة الطلب‬.Ø

Firman Allah (‫( )والتقربوا الزنا انه كان فاحشة وشاء سبيال‬32 ‫“ )االسر ْا‬dan janganlah mendekati
zina, karena hal itu adalah perbuatan keji dan jalan terjelek” adalah hukum syara’
karena termasuk firman Allah yang menuntut meninggalkan pekerjaan (‫)طلب الكف‬,
yaitu zina.Ø

Firman Allah (‫“ )واذا حللتم فاصطادوا‬dan jika kamu sudah tahallul, maka berburulah”,
adalah hukum syara’ karena termasuk firman Allah yang membolehkan berburu (‫اباحة‬
‫ )االصطياد‬setelah tahallul dari ihram.Ø

Firman Allah (‫( )فاذا قضيت الصالة فانتشروا في االرض‬10 ‫“ ) الجمعة‬maka ketika shalat sudah
ditunaikan, maka menyebarlah di muka bumi” adalah hukum syara’ karena termasuk
firman Allah yang membolehkan bertebaran di muka bumi (‫)اباحة االنتشار في االرض‬
setelah selesai shalat.Ø

Firman Allah (‫( )وهلل علي الناس حج البيت من استطاع اليه سبيال‬97 ‫“ )ال عمران‬Mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah” adalah hukum syara’ karena merupakan
firman Allah untuk mewajibkan haji bagi mukallaf.Ø

Firman Allah (‫( )والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما جزاء بما كسبا‬38 ‫“ )المائدة‬Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan
dari apa yang mereka kerjakan” adalah hukum syara’ karena termasuk firman Allah
dengan menjadikan mencuri sebagai sebab wajibnya memotong tangan bagi pencuri
laki-laki dan perempuan (‫)وجوب قطع يد السارق او السارقة‬.Ø

Firman Allah (‫( )اقم الصالة لدلوك الشمس‬78 ‫“ )االسراء‬Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir“ adalah hukum syara’ karena termasuk firman Allah dengan menjadikan
tergelincirnya matahari (‫ )دلوك الشمس‬sebagai sebab wajibnya shalat.Ø

Sabda Nabi (‫ عن النائم حتي يستيقظ وعن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق‬:‫)رفع القلم عن ثالثة‬
“Pena diangkat dari tiga orang, dari orang tidur sampai bangun, dari anak kecik
sampai baligh, dan dari orang gila sampai sadar” adalah sabda Nabi yang
menjadikan tidur, anak kecil, dan gila sebagai sesuatu yang mencegah pembebanan
hukum (‫)امورا مانعة من التكليف‬.Ø

Dua Hal Pokok Dalam Hukum Syara’

Dari definisi hukum di atas menurut ulama ahli ushul, Abdul Karim Zaidan
menyampaikan ada dua hal pokok yang harus diketahui:

Pertama, firman Allah yang berkaitan dengan selain pekerjaan mukallaf tidak
dinamakan hukum menurut ulama ahli ushul. Misalnya:

Firman Allah yang berhubungan dengan Dzat-Nya dan Sifat-Sifat-Nya ( ‫وهللا بكل شيئ‬
‫“ )عليم‬Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu”.§
Firman Allah yang berkaitan dengan benda-benda keras ( ‫والشمس والقمر والنجوم مسخرات‬
‫“ )بامره‬Matahari, bulan, dan bintang tundu§k dengan perintah-Nya”.

Firman Allah yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf, tapi tidak dengan jalan
menuntut (‫)ال علي سبيل الطلب‬, memilih (‫)التخيير‬, atau menetapkan (‫)الوضع‬. Contohnya
adalah ayat yang berkaitan dengan cerita-cerita (‫)القصص القر ْاني‬, misalnya: ‫ت‬ ِ ‫} ُغلِ َب‬1{ ‫الم‬
)3-1 ‫ِين (الروم‬
َ ‫ن‬ ِ‫س‬ ‫ع‬ ْ‫ض‬ ‫ب‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ }3 { ‫ُون‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ل‬ ْ
‫غ‬ ‫ي‬‫س‬ ‫م‬ ‫ه‬
ََ ِِْ‫ب‬َ ‫ل‬ َ
‫غ‬ ‫د‬
ِ ْ‫ع‬‫ب‬َ ‫ِّن‬
‫م‬ ‫ُم‬
‫ه‬ ‫و‬ ‫ض‬
َ ِ ْ‫ر‬َ ‫أل‬‫ا‬ْ ‫ى‬ َ
‫ن‬ ْ
‫د‬ َ ‫أ‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ }2 { ‫م‬
ُ ‫و‬ ُّ‫الر‬ Alif Laam Miim.
ِ ِ
Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah
dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi), dan informasi tentang
kemampuan Allah menciptakan makhluk (‫( )وهللا خلقكم وما تعملون‬96 ‫)الصافات‬, “Allah
menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan”.§

Baca Juga >  Ngaji Gus Muwafiq: Ketika Nabi Ngajari 'Ngaji' Sahabat dari
Pelosok Kampung

Kedua, hukum menurut ulama ahli ushul adalah teks firman Allah ( ‫نفس خطاب هللا اي نفس‬
‫ )النصوص الشرعية‬itu sendiri. Sedangkan menurut ulama fiqh, hukum adalah dampak
firman Allah yakni kandungan firman Allah (‫)اثر هذا الخطاب اي ما يتضمنه هذا الخطاب‬.

Maka, firman Allah (‫ )والتقربوا الزنا‬adalah hukum menurut ulama ahli ushul. Sedangkan
menurut ahli fiqh, maka hukum adalah dampak firman Allah, yaitu kandungan nash
syara’ ini, yaitu haramnya zina.

Klasifikasi Hukum Syara’

Hukum syara’ menurut ulama ahli ushul dibagi dua;

Pertama, hukum pembebanan (‫)الحكم التكليفي‬, yaitu hukum yang menuntut melakukan
pekerjaan atau mencegahnya, atau memilih antara melakukan dan meninggalkan.

Hukum ini disebut hukum taklifi (‫ )الحكم التكليفي‬karena di dalamnya ada unsur
kecapean/ keletihan (‫ )كلفة‬pada manusia. Hal ini tampak pada hukum yang di
dalamnya dituntut melakukan atau meninggalkan. Sedangkan sesuatu yang disuruh
milih (‫)تخيير‬, juga dijadikan hukum taklifi dengan jalan kemurahan dan dominasi ( ‫علي‬
‫ )سبيل التسامح والتغليب‬dan tidak ada kesulitan memasukkannya dalam istilah. Pendapat
lain mengatakan, dimasukkan mubah dalam hukum taklifi karena mubah ini
dikhususkan bagi mukallaf, yaitu orang yang sah diwajibkan untuk melakukan atau
meninggalkan, bukan dalam pengertian ia dipaksa.

Kedua, hukum ketetapan (‫)الحكم الوضعي‬, yaitu hukum yang menuntut menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syara’, dan mencegah sesuatu yang lain.

Hukum ini dikatakan hukum wadl’i karena menghubungkan dua hal dengan faktor
sebab, syarat, atau mencegah dengan ketetapan Syari’ (Pembuat Syariat). Syari’-lah
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarath, dan yang mencegah.

Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i

Pertama, dalam hukum taklifi, tujuan utamanya adalah menuntut pelaksanaan


pekerjaan atau meninggalkannya, atau membolehkan keduanya (melakukan atau
meninggalkan). Sedangkan hukum wadl’i tidak bertujuan demikian. Tujuan hukum
wadl’i adalah menjelaskan bahwa Syari’ menjadikan A sebagai sabab bagi adanya
B, atau menjadi syarath atau mencegahnya, supaya mukallaf mengetahui kapan
hukum syara’ ditetapkan dan kapan ditiadakan.

Kedua, obyek pembebanan (‫ )المكلف به‬dalam hukum taklifi adalah perintah yang bisa
dilakukan atau ditinggalkan mukallaf, sesuai dengan kemampuannya. Tujuan taklif
adalah kepatuhan mukallaf terhadap perintah yang diberikan. Jika perintah yang ada
di luar batas kemampuannya, maka perintah atau pembebanan tersebut sia-sia.

Oleh sebab itu, dalam kaidah syariat Islam ada pedoman “‫ ”ال تكليف اال بمقدور‬tidak boleh
ada pembebanan kecuali pada sesuatu yang mampu dilakukan. Sedangkan dalam
hukum wadl’i, tidak disyaratkan adanya kemampuan mukallaf. Oleh sebab itu, dalam
hukum wadl’i ada sesuatu yang sesuai dengan kemampuan mukallaf dan ada
sesuatu yang di luar kemampuan mukallaf. Namun, selalu ada implikasi hukum ( ‫ترتب‬
‫ )عليه اثره‬dalam hal ini.

Termasuk hukum wadl’i yang mampu dilakukan mukallaf adalah: mencuri, zina, dan
seluruh tindak pidana (‫)سائر الجرائم‬. Syari’ menjadikan semua hal ini sebagai sebab
bagi langkah selanjutnya. Mencuri misalnya adalah sebab terpotongnya tangan
pencuri. Zina sebagai sebab dijilid atau dirajamnya orang yang berzina, dan begitu
seterusnya.

Begitu juga dalam semua model akad dan tasharruf (penggunaan harta). Hal ini
menjadi sebab bagi pengaruh-pengaruh hukum syara’ (‫)اثارها الشرعية‬. Jual beli adalah
sebab perpindahan kepemilikan, menikah adalah sebab halalnya suami-istri dan
terikat hak-hak keduanya. Menghadirkan saksi adalah syarat sahnya pernikahan,
wudlu’ adalah syarat sahnya shalat.

Maka tidak sah menikah tanpa saksi dan shalat tanpa wudlu’. Ahli waris yang
membunuh orang yang diwarisi mencegah kewarisan (‫)قتل الوارث مورثه مانع من االرث‬,
begitu juga orang yang diberi wasiat membunuh orang yang memberikan wasiat
juga mencegah lulusnya wasiat (‫)قتل الموصي له للموصي مانع من نفاذ الوصية‬.

Sedangkan hukum wadl’i yang di luar batas kemampuan mukallaf adalah datangnya
bulan Ramadhan yang menjadi sebab wajibnya puasa, tergelincirnya matahari
sebagai sebab wajibnya shalat, dan adanya kerabat (‫ )قرابة‬sebagai sebab mewarisi,
sampainya baligh menjadi syarat habisnya perwalian pada seseorang ( ‫بلوغ الحلم شرط‬
‫)النتهاء الوالية علي النفس‬, sampainya manusia kepada level bijaksana menjadi syarat
lulusnya sebagian penggunaan harta (‫)بلوغ االنسان الرشد شرط لنفاذ بعض التصرفات‬.

Baligh dan rusyd adalah sesuatu yang di luar kemampuan mukallaf. Bapak dicegah
mewarisi jika membunuh anak laki-lakinya dengan sengaja. Gila mencegah adanya
taklif (pembebanan hukum), khususnya dalam transaksi yang dilakukan. Orang yang
mendapat wasiat sebagai bagian ahli waris mencegah lulusnya wasiat ( ‫كون الموصي له‬
‫ ) وارثا مانع من نفاذ الوصية‬menurut pendapat mayoritas ulama ahli fiqh. Hal-hal yang
mencegah (‫ )الموانع‬ini di luar batas kemampuan mukallaf. Demikian Abdul Karim
Zaidan menjelaskan.

Catatan:
Menggabungkan pendekatan ushul fiqh dan fiqh dalam merumuskan status hukum
syara’ adalah keharusan. Pendekatan ushul fiqh lebih melihat nash-nash secara
langsung dengan berbagai kaidah istinbath yang mengantarkan pada sebuah produk
hukum yang menjadi konsentrasi utama ulama fiqh. Sementara pendekatan fiqh
lebih fokus pada hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Integrasi dan
kolaborasi kedua pendekatan ini sangat penting untuk merespons kasus-kasus yang
terjadi sekarang ini, sehingga hukum yang ditetapkan berkualitas tinggi.

Oleh : KH Fajar Abdul Bashir, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU DIY dan
Pengasuh Pesantren Ar-Risalah Bantul

‫ الصالة والطواف ومس المصحف وحمله واللبث في‬: ‫ويحرم بالحيض عشرة أشياء‬
‫المسجد وقراءة القرآن والصوم? والطالق والمرور في المسجد إن خافت تلويثه واالستمتاع‬
‫بما بين السرة والركبة‬
Diharamkan Bagi Wanita Haidh Dan Nifas melakukan :
1. Shalat.
Rasulallah saw bersabda kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Jika datang haid maka
tinggalkanlah shalat, dan jika telah pergi maka mandilah dan lakukanlah shalat” (HR
Bukhari Muslim).

2. Puasa.
Rasulallah saw bersabda: “Aku tidak melihat kurangnya akal dan agama yang lebih
menguasai manusia dari wanita.”. Beliau bersabda “Wanita bangun malam tanpa
mengerjakan shalat dan tidak puasa di bulan Ramadan (karena haid), ini adalah
kekurangan pada agama” (HR Bukhari Muslim).

3. Thawaf
Rasulallah saw bersabda kepada Aisyah ra (Ketika haji wada’ dan ia mendapatkan
haid): “Lakukanlah semua amalan yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan
haji, hanya saja engkau tidak boleh melakukan thawaf di Baitullah” (HR Bukhari
Muslim).

4. Membaca Al-Quran, berkiyas kepada orang yang sedang junub diharamkan


membaca al-Qur’an.
Allah berfirman: “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Al-
Waqiah 79

Membaca Quran. Artinya melafadzkan dengan lisan baik satu ayat atau lebih.
Dengan demikian, perempuan yang haidl diperbolehkan mengingat ayat-ayat al-
Quran di dalam hati dengan tanpa melafadzkannya dengan lisan. Ia juga
diperbolehkan melihat fisik al-Quran. Dan ulama bersepakat bahwa diperbolehkan
bagi perempuan haidl dan orang yang berhadats membaca tahlil, tasbih, tahmidl,
takbir, shalawat kepada nabi dan dzikir-dzikir yang lainnya.

5. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya.


Karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam
keadaan suci, “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”. (al-
Waqi’ah:77)
6. Berdiam (I’tikaf) di masjid.
Rasulallah saw bersabda “Tidak halal masjid bagi orang yang junub dan wanita yang
sedang haid” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, at-Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-
Qathan)

7. Masuk ke dalam masjid sekalipun hanya untuk sekedar lewat jika ia takut akan
mengotori masjid tersebut.
Adanya keharaman itu sebagaimana pendapat menurut jumhur ulama. Mereka
umumnya menggunakan dalil qiyas. Yaitu menyamakan orang yang sedang haidh
dengan orang yang sedang junub. Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang
sedang junub dilarang masuk masjid kecuali sekedar lewat saja.
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ku halalkan masjid
bagi orang yang junub dan haidh.” (HR Bukhori, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah)

Baca Juga >  Ngaji Burdah 5, Bermunajat di Gunung Alam

8. Cerai
Suami menceraikan isterinya dalam keadaan haidh.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan
para istri maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-
nya.” (At Thalaq: 1)
“Ibnu Abbas menafsirkan: (Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam
keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah
disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan
istrinya maka hendaklah ia membiarkannya [menahannya] sampai datang masa haid
berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya).” (Tafsirul
Qur’anil Adhim 4/485)

9. Bersetubuh
Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu
adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu” al-Baqarah 222

10. Menikmati dengan membuka antara lutut dan pusar (tanpa busana).
Sesuai dengan firman Allah tersebut diatas, dan hadist Rasulallah saw, beliau
bersabda: “Halal bagi laki-laki atas perempuan yang sedang haid, menyentuh apa-
apa yang diatas kain (di atas pusar)” (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi).

Syekh Nawawi dalam mensyarahi (mengomentari) kitab Bidayatul Hidayah karangan


Imam Al-Ghazaly, pada halaman 18 menulis;

Sebagian ulama menyatakan bahwa Iblis itu memiliki 9 (sembilan) anak dengan
‘tupoksi’ khusus yang berbeda-beda.
Kesembilan putra Iblis itu adalah:
1. Khanzab, bertugas menggoda orang sholat.
2. Walhan, bertugas menggoda orang berwudlu atau bersuci.
3. Zallannabur, bertugas menyebarkan segala bentuk keburukan dan kemaksiatan di
pasar-pasar, seperti penipuan, mengurangi timbangan, menipu pembeli dan
semacamnya.
4. A’war, bertugas menggoda manusia supaya terjerumus kepada prostitusi.
5. Wasnan, bertugas menggoda orang supaya mudah tidur dari kebaikan seperti
tahajjud dan supaya cepat mudah bangun jika ada kemaksiatan. Misal: saya sering
kesulitan bangun malam untuk tahajjud, tetapi mudah bangun malam jika ada Laga
Bola Eropa… Hihihi.
6. Tibr, bertugas menggoda manusia supaya sulit menerima setiap musibah.
7. Dasim, bertugas masuk ke dalam setiap rumah yg tidak diucapkan Bismillah,
Ta’awwudz dan semacamnya, juga makanan yang tidak dibacakan Bismillah,
pakaian yang dipakai tanpa bismillah dan menggoda suami istri untuk selalu cekcok.
8. Mathun, BERTUGAS MENYEBAR HOAX!!!
9. Abyadl, bertugas menggoda para Awliya’, Sholihin dan Anbiya’.

Jadi, selama ini, terutama di Medsos akhir-akhir ini si MATHUN memang sangat
superduper sibuk mengkordinir, mengkader, mensupport, memanage dan menyusun
strategi berikut tetekbengeknya yang terkait dengan sebaran-sebaran hoax, fitnah
dan semacamnya.

Hanya saja, saya membayangkan bahwa MATHUN hari ini mungkin marah besar…
Hoaxnya nggak laku gegara Operasi Plastik…

Oalah, Mathuuunnn…

Anda mungkin juga menyukai