Anda di halaman 1dari 9

Hukum Wadhi

Disusun Oleh :
Abed Iza A. (01)
Bagas Dwiki P. K. (06)
Diyan Mei L. T. (12)
M. Ridho Daffa A. (24)
Silmi Hayatan N. (30)
Pengertian Hukum Wadhi
Hukum wadhi sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Al-wadhih, fii Usulil Fiqih,yang ditulis
oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT dalam kitabnya, dengan
menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang lainnya.
Adapun menurut pendapat yang lainnya,dalam buku Ushul Fikih Bagi Pemula yang ditulis oleh;
Abdul Mughits, M.Ag hukum wadhi adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni
antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut),
antara penghalang (mani) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum
yang tidak sah.
Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, dalam karyanya yang berjudul Al-Jaamiu Limasili
Usulil Fiqh, bahwasannya hukum wadhi adalah sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan
dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya, larangannya,
kemudahannya, hukum asal yang telah ditetapkan oleh Syari (Allah).
Hukum ini dinamakan hukum wadhi karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling
berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat
lain mengatakan bahwa definisi hukum wadhi adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan
sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani), atau menganggapnya
sebagai sesuatu yang sah (shahh), rusak atau batal (fasid), azimah atau rukhshah. Definisi ini
adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum wadhi adalah hukum yang yang berkaitan dengan dua
hal, yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya: orang yang junub menyebabkan orang
tersebut harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab
menyebabkan orang tersebut harus berzakat.
Macam-Macam Hukum
1. Sebab (al-Sabab)
Wadhi
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut sebab, secara etimologis, artinya adalah sesuatu yang
memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. dari kata inilah dinamakan jalan, itu sebagai sabab, karena
jalan bisa menyampaikan seseorang kepada tujuan. Menurut terminoogi, Imam al-Amidi, mendefinisikan dengan sifat
Zhahir yang dapat diukur yang ditunjukkan oleh dalil SamI (al-Quran dan sunnah) bahwa keberadaannya sebagai
pengenal bagi hukum syari.
Sedangkan menurut Prof.DR. Rachmat Syafii, M.A dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih, bahwa Sebab menurut
bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalam suatu sifat yang dijadikan sari sebagai tanda dari hukum.
Contoh dari adanya sebab sesuatu adalah sebagaiman Allah SWT berfirman
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, (Al-Maidah:6)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari untuk mengetahui hukum
syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan
hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut. Seperti firman Allah Swt. dalam surat al-Isra`:
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isr`: 78)
Macam-macam al-Sabab
1) Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
Al-Sabab yang menyebabkan adanya hukum taklifie. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari sebagai al-sabab adanya kewajiban
salat. Allah Swt. berfirman:
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isra`: 78)
Al-Sabab yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli,nikah,
thalaq, dan lain-lain.
2) Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam melakukannya, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
Sesuatu yang ada dalam batas kamampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti berpergian (safar) yang menjadi al-sabab diperbolehkannya berbuka
puasa, pembunuhan yang disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishash, dan lain-lain.
Sesuatu yang berada di luar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat maghrib.
2. Syarat (al-Syarthu)
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syari, tetapi keberadaan hukum
syara bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada maka hukum pun tidak ada,
tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara.
Macam-macam Syarat
Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi
menjadi dua macam:
1) Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan makna
sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai contoh, penjagaan
harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
2) Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-musabbab
atau rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya salat.
Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, al-syarthu dibagi menjadi dua macam[13]:
1) Al-Syarthu al-syarie, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh Syari. Seperti syarat-syarat yang
terdapat dalam ibadah, muamalat, jinayah, dan lain-lain.
2) Al-Syarthu al-jalae, yaitu syarat yang dibuat dan ditetapkan oleh seorang mukallaf. Seperti
syarat terjadinya thalaq yang ditetapkan seorang suami terhadap istrinya. Seorang mukallaf
tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan sebuah al-syarthu al-jalie, karena telah
ada batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, seorang mukallaf tidak
diperbolehkan menetapkan syarat yang dapat menghilangkan hakikat hukum syariat, karena
pada esensinya syarat berperan sebagai pelengkap al-sabab yang telah memunculkan hukum
syariat tersebut.
Al-Syarthu al-jalie sendiri terbagi menjadi dua macam:
3) Syarat al-muallaq, yaitu syarat yang sah dan tidaknya suatu akad tergantung pada syarat
tersebut, artinya seorang mukallaf telah menetapkan syarat dalam suatu akad. Sebagai contoh,
perkataan seorang suami terhadap istrinya jika kamu mencuri maka kamu bukan istriku.
4) Syarat al-muqtarin bi al-aqdi atau syarat muqayyad, yaitu syarat yang menyertai sebuah akad.
Seperti seorang yang menjual rumah dengan syarat tinggal satu tahun.
3. Pencegah (Al-Mani)
. Definisi al-mani secara etimologi berarti penghalang
dari sesuatu. Secara terminologi; sesuatu yang ditetapkan
syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab. Sebuah akad
perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan
rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi
masalah waris mewarisi itu bisa terhalang di sebabkan
suami misasnya membunuh istrinya
. Macam-macam al-Mani
. Al-Mni terbagi menjadi dua macam:
. Mni al-hukmi, yaitu al-mani yang dapat menghilangkan
suatu hukum syariat. Seperti tidak berlakunya qishsh bagi
seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
. Mani al-sabab, yaitu al-mani yang dapat menghilangkan
al-sabab yang telah memunculkan suatu hukum syariat.
Seperti mengurangi nisab dalam zakat yang menjadi al-
mni dari kewajiban zakat.
4. Sah (Al-Shihhah)
As-sihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari yaitu terpenuhinya sebab,
syarat dan tidak ada mani. Misalnya, mengerjakan shalat duhur setelah tergelincir matahari (sebab)
dan telah berwudu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid,
nifas, dan sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah
Daripenjelasan di atas bahwa As-sihhah adalah apabila kita akan mengerjakan sesuatu dikatakan sah
apabila sudah ada sebab dan syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang dari kedua hal tersebut.

5. Batal (al-Buthlan)
al-Buthlan adalah sesuatu yang dilakukan atau hal yang diadakan oleh orang mukallaf yang
tidak sesuai dengan tuntunan syara adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum, baik tidak
sahnya itu karena cacat pada rukun, maupun tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan dan baik
dalam soal ibadah, maupun dalam soal muamalah. Maka atas dasar ini sebagian para ahli ushultidak
membedakan antara pengertian Bathil dan Fasid.[17]
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh Islam, oleh sebab itu
segala perbuatan yang tidak disyariatkan Islam adalah batal, seperti halnya; Memperjualkan minuman
keras, Narkoba. Akad ini dipandang batal , karena minuman keras dan narkoba tidak bernilai harta
dalam pandangan syara.

6. Al-Azimah
Secara etimologi azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu al-muakkid, yaitu keinginan
yang kuat.akan tetapi Azimah dalam hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya
sejak semula. Jadi Azimah adalah peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak dulu (asli) yang
berlaku umum.
Adapun secara terminologi azimah berarti hukum syariat bagi sorang mukallaf yang berlaku dalam
segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan lain-lain.
Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram dimakan oleh semua orang mukallaf . akan tetapi
bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, ia diperkenankan untuk memakannya, asal tidak berlebih-
lebihan ataudengan maksud untuk menentang ketentuan Allah. Haram memakan bangkai itu azimah,
sedangkan boleh memakan bangkai itu adalah rukhsah.
7. al-Rukhshah
Al-rukhsah ialah ketentuan yang disyaruatkan oleh Allah sebagai peringatan terhadap
orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus. Secara etimologi rukhshah berarti al-suhulah dan
al-yusru, atau al-tashil dan al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun
secara terminologi rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syari sebagai
peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum syariat yang
ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan tertentu.
Macam-macam Rukhshah
Pembolehan sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti makan bangkai
atau makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada
makanan lain, dan takut akan kematian.
Pembolehan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir atau
seorang yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya masyaqqah.
Pembolehan suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli
pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena barang
yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung. Syri telah membolehkannya karena adanya
kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum kebiasaan yang telah berlaku.
Pembagian Rukhshah menurut Hanafiyyah
Rukhshah tarfih, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (azimah) tetap berlaku dan mukallaf
diberi kebebasan untuk mengambil rukhshah tersebut atau tetap melaksanakan hukum asli
(azmah). Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir di bulan ramadhan. Jika musafir
tersebut berbuka, maka ia telah mengambil rukhshah yang diberikan oleh Syri, namun
ketika ia tetap berpuasa maka ia telah melaksanakan hukum asli (azmah).
Rukhshah isqth, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (azmah) hilang, karena kondisi yang
memaksa harus adanya rukhshah. Seperti makan bangkai dalam keadaan darurat dan takut
akan kematian.
Kedudukan Hukum Wadhi

Hukum wadhi dalam hukum islam


sebagai acuan setelah sumber hukum
yang utama.
Tujuan Hukum Wadhi

Larangan atau penghalang untuk


melakukan sesuatu
Anjuran atau syarat untuk melakukan
sesuatu
Menetapkan sesuatu sebagai sebab
Menetapkan sesuatu sebagai syarat
Menetapkan sesuatu sebagai mani
(penghalang).

Anda mungkin juga menyukai