Anda di halaman 1dari 12

HUKUM SYARA DAN UNSUR-UNSURNYA; MAHKUM FIH DAN

MAKHUM BIH (OBJEK DAN PERISTIWA HUKUM)

A. Latar Belakang
Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum bihi/ fihi dan mahkum
alaihi. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbedabeda menurut para ulama, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu alhakim, mahkum bihi/ fihi dan mahkum alaihi. Karena semua pengertian pemahaman
mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam
penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya.
Konsep dasar tentang Mahkum bihi/ fihi dan Mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat
para ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam hukum islam. Sebagai mukallaf
konsep ini perlu diketahui serta dipahami semua umat islam dalam kehidupan sehari-hari.
Kali ini kami akan mengkaji lebih dalam mengenai Mahkum Fih/Bih, dan Mahkum
Alaih.
B. Mahkum Fih/Bih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul
menggunakan istilah mahkum fih, karena dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum,
baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah
mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat yang
diperintahkan maupun yang dilarang.1
Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objel hukum,
yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari (Allah dan Rasul-Nya),
baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan;
dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah, serta batal.
Mahkum Bih (Objek Hukum) Ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum
untuk di kerjakan atau ditinggalkan oleh manusia. Jadi, yang disebut sebagai objek hukum

1
Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih (Untuk UIN, STAIN, PTAIS), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007),
hal.317.

adalah sesuatu yang berlaku pada hukum syari . Objek hukumnya adalah perbuatan itu
sendiri.2
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Hukum Syara terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Hukum Wadhi
2. Hukum Taklifi
Sebagian Hukum Wadhi berasal dari perbuatan manusia, sementara sebagian yang
lain bukan dari perbuatannya. Misalnya bergesernya matahari dari tengah cakrawala langit,
datangnya awal bulan dan sebagainya merupakan sebab hukum yang tidak bersumber dari
perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan dalam kategori hukum Wadhi

yang tidak

bersumber dari perbuatan manusia, bukanlah Objek pembahasan ahli Ushul Fiqh. Karena
yang menjadi Objek hukum yang menjadi pembahasan para ulama Ushul Fiqh hanyalah
terbatas pada perbuatan orang-orang muhallaf, baik berupa taklif secara murni maupun
hukum taklif yang berhubungan dengan hukum wadhi. Seperti Wudhu yang menjadi syarat
sah shalat, jual beli yang menjadi sebab pemilikan benda, pembunuhan yang mencegah
(mani) memperoleh harta warisan, pernikahan yang menjadi sebab memperoleh harta
warisan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, topik pembahasan Mahkum Fih hanyalah terbatas pada syarat-syarat
Taklif dan beberapa Objek hukum Allah yang di bebankan kepada Hamba-nya.3
Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengannya hukum syari.
Jadi firman Allah SWT:

..
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. AlMaidah: 1).
Adalah hukum kewajiban (ijab) yang diambil dari Khitab ini, yang berhubungan
dengan perbuatan di antara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji. Maka ijab
menjadikan memenuhi janji itu adalah wajib.

2
3

Suyatno, Dasar-dasar ilmu Ushul Fih, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011).hal.128


Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2014), hal.510-511

Arttinya : ......dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara yang patut...... (QS.Al-Baqarah: 233)4
Di jelaskan Kewajiban seorang Ayah/Suami memberikan nafkah kepada Istri dan
keluarganya, hukumnya adalah Wajib. Ayat ini mengandung Kaidah tentang hukum yang juga
ada di Indonesia.
Di indonesia, dalam Ranah Hukum tentang perkawinan, Juga di haruskan seorang
suami menafkahi keluarganya, sama hal nya dalam Kaidah yang terkandung dalam ayat
tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Pasal 34 tentang perkawinan, di
jelaskan bahwa : Seorang suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya .5 Undang-undang tersebut
sesuai dengan Hukum Syari yang tertera dalam Al-Quran sebagai Kaidah (Ketetapan)
Contoh lain , mengenai Hukum Tindak pidana Kasus pembunuhan, dalam UU pasal
338 KUHP yang menetapkan bahwa tindak pidana untuk pembunuhan adalah Hukuman
penjara6
Hal ini bertentangan dengan Kaidah yang ada , dalam Al-quran dijelaskan :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh..... (QS.Al-Baqarah : 178)7
Hal ini berbeda atau bertentangan dengan Kaidah-kaidah Ushuliyah yang telah di
tetapkan dalam Al-Quran.
Dari beberapa Ayat diatas adalah ayat-ayat yang mengandung Perintah, maka
hukumnya adalah Wajib dan harus dijalankan.
Para ahli Ushul Fih menyatakan sebuah Kaidah :


Perintah Pada dasarnya Berarti Wajib

Kementrian RI, Al-Jamil, (Bekasi: Cipta bagus segara,2012) hal.37


Hukum, http:/hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm, Akses 10 maret 2016
6
Tindak Pidana, http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/05/tindak-pidana-pembunuhan-dalam-kuhp.html?
m=1 ,Akses 10 maret 2016
7
Kementrian RI, Al-Jamil, (Bekasi: Cipta bagus segara,2012) hal.27
5

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah:
282).8
Adalah hukum sunat (nadb) yang diambil dari khitab ini, yang berhubungan dengan
perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu mencatat piutang. Maka nadb
menjadikan mencatat piutang itu adalah sunat.



Artinya : Dan

pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu

sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke


tempat yang Terpuji.(QS.Al-Isra 79)9
Dalam ayat tersebut ada makna menganjurkan, namun tidak memaksa karena di
sebutkan dalam Ayat tersebut Sebagai suatu Ibadah tambahan bagimu maka perbuatan
tersebut adalah Nabd .
Firman Allah SWT:


Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS. Al-Anam: 151).
Adalah hukum makruh (karohah) yang diambil dari kitab ini, yang berhubungan
dengan perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf, yaitu infak, yakni menyedekahkan
(atau mengeluarkan harta zakat) dari harta yang rusak, atau busuk. Maka karohah itu
menjadikan perbuatan infak itu makruh.
Firman Allah SWT:


Artinya: Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184).10

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2011), hal. 37.
Abdul Qadir Syaibah Al-Hamd, Fiqhul Islam, (Jakarta : Darul Haq, 2006). Hal, 56
10
Ibid. hal. 22.
9

Adalah hukum kebolehan (ibahah) yang diambil dari khitab ini, yang berhubungan
dengan sakit dan bepergian, maka kebolehan itu menjadikan masing-masing sakit dan
bepergian itu membolehkan berbuka. Karena apabila sedang berpergian dalam kondisi
berpuasa dikhawatirkan akan membahayakan diri sendiri, maka Allah memberikan
Keringanan (Rukshah),
Dalam Kaidah Hukum Islam :11


Menghindari Kerusakan/ Resiko didahulukan atas menarik Kemaslahaan
Jadi setiap hukum diantara hukum-hukum syari, wajib berhubungan dengan
perbuatan diantara perbuatan-perbuatan mukallaf dari segi tuntutan, atau perintah memilih
(takhyir), atau ketetapan (al-wadhu).
Diantara hal yang telah ditetapkan, yaitu bahwasanya tidak ada tuntutan
(taklif=beban) kecuali dengan perbuatan. Artinya bahwa hukum syari yang bersifat tuntutan
itu tidak berhubungan kecuali dengan perbuatan mukallaf. Maka apabila hukum syari itu
ijab, atau nadb, maka persoalannya jelas. Karena hubungan ijab itu adalah perbuatan wajib
atas jalan yang pasti. Sedangkan hubungan nadb adalah perbuatan sunat (mandub) tidak atas
jalan yang pasti dan tetap. Maka tuntutan dalam kedua keadaan itu (yakni ijab dan nadb)
adalah dengan perbuatan.12
1. Syarat Sah Pentaklifan dan Syarat Sah Mahkum Fih
ada 3 syarat. Yaitu :
a. Perbuatan tersebut harus benar-benar diketahui oleh mukhallaf, sehingga mukhallaf
mampu melaksanakannya sebagaimana di tuntut oleh syari. Contohnya :

..
Artinya : dan dirikanlah shalat. (QS.Al-Baqarah: 43)
Nash Al-Quran di atas menunjukan perintah, namun belum di jelaskan rukun-rukun
shalat, syarat sah nya, dan tata cara pelaksanaannya. Maka bagaimana mungkin orang
yang tidak mengetahui rukun-rukunnya, tata caranya di tuntut melaksanakan Shalat?
Oleh karena itu Rasulullah Saw. Menjelaskan kemujmalan ayat di atas dengan
sabdanya :

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku Shalat (HR. Bukhari)

11

Masjfuk Zuhdi, Masail Fihiyah, (Jakarta : CV Haji Masagung. 1994).hal.88


Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1969), hal. 202.
12




Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban),
supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan
Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu
berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang
yang tunduk patuh (kepada Allah) (QS.Al-Hajj : 34)
Ayat tersebut menjelaskan tentang syariat Berqurban, namun belum di jelaskan
bagaimana tata cara nya, Maka Rasulullah Saw. Menjelaskan :
Wajib berbuat ihsan dalam segala perbuatan, termasuk dalam menyembelih dengan
cara menajamkan mata pisau dan tidak membuat panik hewan sembelihan
(H.R.Muslim, Abu Dawud, Nasai).13 Dalam hadis tersebut Jelas di perintahkan Oleh
Rasulullah dengan lengkap bagaimana Adab menyembelih hewan Qurban.
b. Mukallaf

harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa

tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan


dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata. Sebenarnya, hal itu sama dengan
hukum yang berlaku dalam hukum positif. Yakni tidak ada keharusan untuk
mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara
lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaanya sesuai dengan tuntutan syara.
c. Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf. Artinya
kemampuan Mukhallaf untuk mengerjakannya. Akibat dari syarat ketiga ini adalah
sebagi berikut14:
1. Menurut Syara, Taklif terhadap sesuatu yang mustahil tidaklah sah. Baik mustahil
karena substansinya (zatnya) atau karena sesuatu yang lainnya. Kemustahilan
yang dilihat dari zatnya adalah sesuatu yang tidak tergambar eksistensinya oleh
akal, seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang dalam satu taklif.
Contohnya, dalam satu perbuatan ada dua ketentuan hukum pada waktu
bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama, yaitu wajib untuk dikerjakan
dan pada saat yang sama juga haram dikerjakan. Hal seperti ini, menurut para
ulama ushul fiqh tidak mungkin terjadi. Sedangkan kemustahilan yang dilihat
13
14

Ahmad Bisyri Syakur, Fiqh Tradisi, (Bandung; Salamadani,2013).hal.90


Burhanudin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hal.290.

bukan dari zatnya adalah sesuatu yang tergambar eksistensinya dalam akal, tetapi
menurut hukum kebiasaan tidak pernah terjadi, seperti manusia dapat terbang
seperti burung. Dalam dua jenis kemustahilan, menurut ulama ushul fiqh, tidak
sah adanya taklif karena Allah sendiri menyatakan bahwa tidak ada taklif terhapa
sesuatu yang tidak dapat dikerjakan
2. Perbuatan itu harus diketahui, bahwa pentaklifan perbuatan itu datang dari orang
yang mempunyai otoritas, atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya
oleh mukallaf, karena dengan pengetahuan inilah maka kemauannya mentaati di
arahkan. Hukum-hukum yang menunjukan wajib maka wajib pula dilakukan oleh
mukhallaf. Dalam susuna mahkamah Aliyah (Mesir) pasal 22 seseorang yang
tidak mengetahui undang-undang, pengakuannya tidaklah diterima15
3. tidak sah hukumnya bagi seseorang yang melakukan perbuatan yang ditaklifkan
atas nama orang lain karena hal ini adalah taklif yang bukan kepada dirinya. Oleh
sebab itu, seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat
saudaranya, membayar zakat dari hartanya sendiri untuk dan atas nama
saudaranya. Atau berbuat sesuatu yang menghindarkan tetangganya dari
kecurian.seseorang tidak diminta pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain.
Tidak boleh ada tindakan mewakilkan pelaksanaan perbuatan yang bersifat fisik,
seperti yang disebutkan diatas. Demikian juga tidak Sah menurut Syara mentaklif
seseorang dengan suatu hal yang bersifat perwatakan manusia yang bersifat naluri,
sebagaimana refleksi ketika marah, muka merah ketika malu, cinta, benci, sedih,
gembira, karena itu semua merupakan perwatakan yang menjadi fitrah manusia.16
Misalnya, dalam surat Ali Imran: 102. Allah berfirman:



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam Keadaan beragama Islam. (Qs. Ali-Imran:102).17
Ayat ini menurut zhahirnya, menyuruh seseorang agar tidak mati sebelum ia
menjadi muslim. Akan tetapi, masalah mati bukanlah terletak di tangan manusia.
Oleh sebab itu, maka zhahir ayat ini dipalingkan dan hakikat ayat sebenarnya
adalah untuk memerintahkan seseorang masuk islam sebelum ia wafat.
15

Abdul Wahhab Kallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1969), Hal.226
16
Ibid,hal.228
17
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2011), hal. 50

C. Mahkum Alaih
Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang
yang perbuatannya dikenai khitab Allah taala, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan
dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Mukallaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan
mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan
mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila
mengerjakan larangan Nya akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar aturanNya, disamping tidak memenuhi kewajibannya. 18
Sebagai contoh adalah firman Allah yang berbunyi:


Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (Qs. Al-Baqarah: 110).
Perintah shalat dan perintah membayar zakat pada ayat tersebut, hanyalah ditunjukkan
pada orang-orang yang telah sampai umur (baligh) dan sehat akal. Jadi tidak terkena pada
anak-anak dan orang gila karena bagi mereka ini semua kesalahan tidak dianggap satu
kesalahan, berdalil dengan Hadits Nabi:


:
()
Artinya: Diangkat kalam dari tiga (golongan), dari orang tidur hingga ia bangun, dari
anak-anak hingga ia dewasa dan dari orang gila hingga ia sadar. (HR. Abu Daud dan
Nasay).19
Dari Ayat dan Hadis tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa : 1. Dasar Taklif adalah
akal ; 2. Akal itu berkembang secara bertahap ; 3. Pertumbuhan akal merupakan hal yang
abstrak. Namun orang gila dan anak-anak masih di kenakan taklif harta (perdata), apabila

18

Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih (Untuk UIN, STAIN, PTAIS), (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h
al.334.
19
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 39.

salah seorang dari mereka merusak harta orang lain, maka harus di ganti atau di kenakan
Diyyat (tebusan).20
Sedangkan menurut Sapiudin Shidiq, mahkum alaih ialah mukallaf
yang

layak

mendapatkan

khitab

dari

allah

dimana

perbuatannya

berhubungan dengan hukum syariat.


Seseorang dikatakan mukallaf

jika telah memenuhi syarat-syarat

berikut ini21:
a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas alQuran atau sunnah baik secara langsung maupun melalui
perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka ia tidak
dapat melaksanakan dengan benar apa

yang diperintahkan

kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan


akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan
mukallaf.
b. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli disini adalah layak atau
wajar untuk menerima perintah.
Sedangkan menurut ulama fiqih (layak) itu terbagi kepada dua
bagian, yaitu:
- Ahli Wajib (Ahyatul Wujub)
Yaitu kelayakan seseorang untuk memiliki hak-hak dan kewajiban.
Asas keahlian (kelayakan) ini adalah kekhususan yang diciptakan oleh
Allah SWT. Kepada manusia dan menjadi kekhususannya diantara
macam-macam binatang. Dengan keahlian itu, dia layak menerima
hak dan kewajiban. Kekhususan inilah yang oleh para fuqaha (sarjana
ahli hukum islam) disebut Az-Zimah, yaitu sifat naluri kemanusiaan
yang dengan itu, manusia menerima ketetapan hak bagi orang lain
dan menerima kewajiban untuk orang lain pula.22
- Ahli melaksanakan (Ahyatul Ada)

20

Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2014)hal.522-533


Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Perenada Media Group, 2011), hal. 148.
22
Burhanudin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hal. 302.
21

Yaitu kelayakan mukallaf untuk dianggap ucapan dan perbuatan


menurut syara. Apabila keluar darinya akad (contract) atau tasarruf
(pengelolaan),

menurut

syara,

akad

atau

tasarruf

itu

dapat

diperhitungkan dan terjadi tertib hukum atasnya.


1. Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan mukallaf

dan

implikasi

dihukumkan

hukum,

dinamakan

mahkum

fihi

(yang

punya

terhadapnya).
Pekerjaan

yang

ditaklifkan

atau

diberatkan

para

mukallaf

melaksanakannya dilakukan dengan syarat-syarat yang dibawah ini23:


a. Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil
disangkutkan
menukarkan

perintah
jenis

dan

dengan

yang

mengumpul

mustahil,

antara

yang

seumpama
berlawanan.

Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan yang belum ada


yang mungkin berwujud.
b. Dapat diusahakan oleh manusia, lagi mungkin pula hasilnya dengan
ikhtiar (dengan kemampuan) orang yang dipikulkan kewajiban itu,
karena tidak sah dibebankan si A dengan menulis tulisan si B.
Tegasnya, selain mungkin terjadi perbuatan itu, sanggup pula
dilakukan oleh orang yang menerima perintah.
c. Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang
ditugaskan, antara yang ditugaskan itu dengan yang lainnya,
sehingga dikerjakan sesuai minatnya terhadap perbuatan itu.
d. Diketahui (mungkin diketahui) oleh orang yang ditugaskan bahwa
pekerjaan itu disuruh Allah, agar dapatlah ia kerjakan dengan niat
menurut perintah. Hal ini tentu dengan yang wajib diniatkan taat
dan mendekatkan diri kepada Allah. Dimaksudkan dengan diketahui
disini, mungkin diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil
dan mempergunakan nalar.
e. Dapat dikerjakan dengan memandangnya taat, yakni diketahui
bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk taat. Kebanyakan ibadat
masuk bagian ini.
D. Kesimpulan

23
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), hal. 486.

10

Makhum Fih dan Bih adalah dua hal yang memiliki Makna yang Sama,
yaitu sebagai Objek Hukum. Objek hukum adalah Perbuatan Mukhallaf itu
sendiri. Mukhallaf adalah orang yang suda dibebani hukum Syari. Hukum
Syari dibagi menjadi dua, yaitu Taklifi dan Wadi. Dalam mentaklifkan
seorang Muhkhallaf juga tidak bisa sembarangan, harus memenuhi
beberapa syarat , diantara lain Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, Mukallaf
harus mengetahui sumber taklif , Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh
mukallaf.
Sedangkan Mahfum Alaih adalah Subjek hukum atau Mukhallaf yang
melaksanakan perbuatan tersebut sehingga di tetapkan hukum Syari.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhamad, 2014. Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus
Al-Hamd, Abdul Qadir Syaibah, 2006. Fiqhul Islam, Jakarta : Darul Haq
11

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 1997. Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra
Burhanudin, 2001. Fiqih Ibadah,Bandung: CV. Pustaka Setia
Departemen Agama, 2011. Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Bintang Indonesia
Djalil, Basiq, 2010.Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Prenada Media Group
Kementrian RI, 2012. Al-Jamil, Bekasi: Cipta bagus segara
Shidiq, Sapiudin, 2011.Ushul Fiqh, Jakarta: Perenada Media Group
Syafei, Rachmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih (Untuk UIN, STAIN, PTAIS), Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Syakur, Ahmad Bisyri, 2013. Fiqh Tradisi, Bandung; Salamadani
Suyatno, 2011. Dasar-dasar ilmu Ushul Fih, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media
Wahhab Kallaf, Abdul, 1969. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Zuhdi, Masjfuk, 1994. Masail Fihiyah, Jakarta : CV Haji Masagung
Hukum, http:/hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm, Akses 10 maret 2016
Tindak Pidana, http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/05/tindak-pidana-pembunuhan-dalamkuhp.html?m=1 ,Akses 10 maret 2016

12

Anda mungkin juga menyukai