Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan suatu ajaran yang memiliki aturan dan hukum yang
sangat kompleks meliputi seluruh yang berkaitan dengan kehidupan manusia
di muka bumi ini. Allah Swt sebagai pembuat hukum menghendaki
hambaNya untuk senantiasa menyembah kepadaNya.
Hukum dalam Islam dapat berlaku dalam segala persoalan hidup
sesuai dengan hubungannya dengan persoalan yang terjadi, baik itu mengenai
ibadah, muamalah maupun dalam beramal sosial.
Di dalam Islam juga ditentukan segala perbuatan yang baik dan
dibolehkan syara’ untuk dilakukan dan yang tidak boleh (dilarang). Maka
segala perbuatan yang baik akan mendapat balasan pahala, sedangkan untuk
perbuatan yang dilarang jika dilakukan akan mendapatkan sanksi syara’.
Begitulah keadilan yang Allah ciptakan sebagai pembuat hukum tunggal.
Dalam makalah ini, akan penulis jelaskan bagaimana islam mengatur
persoalan tentang tindakan yang melanggar hukum syara’. Bagaimana konsep
jinayah dan jarimah yang dalam bahasa indonesia disebut hukum tindak
pidana.

A. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Jinayah dan jarimah ?
2. Apa Dalil yang berkaitan dengan Jinayah dan jarimah ?
3. Apa saja unsur-unsur Jinayah dan jarimah ?
4. Apa macam-macam Jinayah dan jarimah?
5. Bagaimana hubungan Jinayah dan jarimah dengan larangan syara’ ?
6. Apa saja hikmah dari jinayah dan jarimah dan dampaknya kepada
masyarakat.

1
C. Tujuan
1. Memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Kapita Selekta Fiqh Semester
Genap tahun 2013/2014
2. Memahami dan mampu menjelaskan tentang konsep Jinayah dan Jarimah
3. Mampu mengamalkan Jinayah dan Jarimah dalam kehidupan sehari-hari
dengan baik dan benar

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Jinayah dan Jarimah


1. Pengertian Jinayah dan Jarimah

Secara etimologis jinayah berasal dari kata ‫جِنى – جِنْي ا‬


ْ ‫َجنَى – َي‬

‫ ِجَنايَُة‬yang berarti ‫ب‬


ِ ْ‫( أَذذ ن‬berbuat dosa), ‫( تََنا وَُل‬menggapai atau memetik
dan mengumpulkan).1 Jinayat bentuk jamak dari Jinayah, diambil dari

kata jana-yajni ‫ جَيْ ِن‬-‫َجَن‬, artinya mengambil. Misalnya dikatakan; jana


ats-tsimar (mengambil buah), jika dia memetik buah dari pohon.
Dikatakan juga; jana ‘ala qaumihi jinayatan. Maksudnya melakukan
tindak kejahatan yang dikenai sanksi hukum.2
Menurut terminologi jinayah adalah setiap perbuatan yang
dilarang. Perbuatan yang dilarang adalah setiap perbuatan yang dicegah
dan ditolak oleh syariat, lantaran mengandung bahaya terhadap agama,
jiwa, akal, kehormatan, atau harta.3
Pengertian dari istilah Jinayah mengarah kepada hasil perbuatan
seseorang. Di kalangan fuqaha’, perkataan Jinayah berarti perbuatan-
perbuatan yang terlarang menurut syara’. Fuqaha menggunakan istilah itu
hanya untuk perbutan-perbuatan yang mengancam keselamatn jiwa, seperti
pemukulan dan pembunuhan.4

1
. M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: 2011, Amzah, hlm. 67
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta :2012, Cakrawala Publishing, hlm. 378
3
ibid
4
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7. (Jakarta : Darul Fikr, 2012 ) hal 348

3
Pengertian Jinayah dibagi ke dalam dua jenis pengertian, yaitu:
a. Pengertian Luas
Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’
dan dapat mengakibatkan hukuman had atau ta’zir.
b. Pengertian Sempit
Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’
dan dapat menimbulkan hukuman had bukan ta’zir.5
Abdul Qadir ‘Audah mendefinisikan Jinayah yaitu suatu nama
(istilah) untuk perbuatan yang dilarng oleh Syara’, baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, atau harta, atau lainnya.6
Fiqh Jinayah berbicara tentang bentuk-bentuk tindak kejahatan
yang dilarang Allah untuk manusia melakukannya dan jika dilakukan
maka ia berdosa kepada Allah dan akibat dari dosa itu akan dirasakan
azab Allah di akhirat. Dalam rangka mempertakut manusia melakukan
kejahatan yang dilarang Allah itu, Allah menetapkan sanksi atau
ancaman hukuman atas setiap pelanggaran terhadap larangan Allah itu.
Sanksi hukuman itu dalam bahsa fiqh disebut ‘uqubat. Dengan bahasa
tentang jinayat diiringi dengan bahasan tentang ‘uqubat. Dalam istilah
umum biasa dirangkum dalam “hukum pidana.”7

2. Pengertian Jarimah
Jarimah (tindak pidana) didefinisikan oleh Imam Al-Mawardi
adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau
meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum had
atau ta’zir.8

5
. A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta:1996, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 1-2
6
. Ahmad Wardi Muslich, hukum Pidan Menurut Al-qur’an, Jakarta: 2007, Diadit Media,
hlm. 24
7
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: 2003, Kencana Prenada Media
Group, hlm. 254
8
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam-Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 22

4
Jarimah (kriminal, kejahatan, pidana) dalam terminoogi fiqh Islam
disebut jinayat dalam arti dan pengertian khusus. Menurut sebagian pakar
hukum jarimah adalah setiap perbutatan yang dialarang oleh undang-
undang dan ada sanksi hukum yang ditetapkan untuknya.9
Dari definsi diatas jelaslah pada dasarnya pengertian jinayah dan
jarimah yaitu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Syara’, baik
perbuatan itu sasarannya agama, akal, kehormatan maupun harta yang
akan dikenakan sanksi syara’ bagi pelakunya.

3. Dasar Hukum Jinayah dan Jarimah


Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang sangat berkaitan erat
dengan hukum tindak pidana. Diantaranya :
       

Artinya : “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 179)10

        


         
    
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain
beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya) (QS. Furqan :
68)11

        


         
        
       
Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu

9
Wahbh zuhaili, ibid, 248
10
Departemen Agama RI. Alquran Dan Terjemahannya. (Surabaya : Mega Jaya Abadi,
2007) hlm. 29
11
Ibid, hlm. 292

5
mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-
Maidah : 49)12

Dari ayat-ayat diatas tergambar dengan jelas perintah Allah untuk


melaksanakan hukum pidana syariat Islam. Sesuai dengan apa yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Alquran.
Sebaliknya Allah melarang untuk menetapkan hukum berdasarkan hawa
nafsu yang isinya bertentangan dengan ketetntuan yang telah digariskan
oleh Allah. 13

Sedangkan dalam hadist Rasulullah :

‫ ُع‬J‫ب ٍْر يَ ْقتَ ِط‬J‫ص‬ َ ‫ين‬ ُ Jِ‫لَّ َم اَل يَحْ ل‬J‫ ِه َو َس‬J‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬
ِ ‫ف َعلَى يَ ِم‬J َ ‫قَا َل النَّبِ ُّي‬
ُ ‫ان فَأ َ ْن َز َل هَّللا‬
ُ َ‫اج ٌر إِاَّل لَقِ َي هَّللا َ َوهُ َو َعلَ ْي ِه غَضْ ب‬
ِ َ‫َمااًل َوهُ َو فِيهَا ف‬
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; “Tidaklah seseorang
bersumpah dusta dengan tujuan merampas harta orang lain dan dia
bertindak zhalim dengan sumpahnya itu, kecuali ia akan bertemu Allah
dan Allah dalam keadaan murka terhadapnya,”(HR. Bukhari muslim)14

B. Unsur-Unsur Jinayah dan Jarimah


1. Unsur-unsur Jinayah
Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’
pasti akan mendapatkan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh

12
Ibid, hlm. 92
13
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana dalam Al-Quran. ()Jakarta, Diadit Media:2007)
hlm. 4
14
Ashabul Muslimin, e-book kompilasi kitab hadist bukhari muslim (Bekasi : 2011)

6
syara’, namun ada unsur-unsur yang harus terpenuhi didalamnya. Adapun
unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut15:
a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang
disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas. Unsur ini
dikenal dengan istilah “unsur formal”.
b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk Jinayah, baik berupa
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang
diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material”.
c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab atau dapat
memahami taklif, artinya pelaku kejahatn tadi adalah mukallaf,
sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral”.16

Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika


perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun diatas. Tanpa
ketiga unsur tersebut, sesuatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai
perbuatan Jinayah.17

Karena jinayah dan jarimah diartikan oleh sebagian pakar hukum


sama-sama tindak pidana secara umum, maka Dalam buku M. Nurul Irfan,
dikatakan bahwa Jarimah memiliki unsur umum dan unsur khusus. Unsur
umum jarimah adalah unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah.
yaitu unsur formal (al-Rukn al-Syar’iy). Sedangkan unsur khususnya
meliputi al-Rukn al-Madi atau unsur materil dan al-Rukn al-Adabiy atau
unsur moril. al-Rukn al-Madi atau unsur materil adalah sebuah unsur yang
menyatakan bahwa seseorang dapat disebut pelaku jarimah maka pelaku
harus benar-benar telah terbukti melakukan sebuah jarimah, baik yang
bersifat positif (aktif melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif
(pasif tidak melakukan sesuatu).18
15
A. Djazuli, ibid hlm. 14
16
. A. Djazuli, Fiqh Jinayah upaya menanggulangi tindak kejahatan dlaam islam edisi
revisi, Jakarta:2000, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 2-3
17
Ibid,
18
M. Irfan, ibid

7
al-Rukn al-Adabiy atau unsur moril adalah unsur yang menyatakan
bahwa seseorang yang melakukan sebuah jarimah harus sebagai subjek
yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau pelaku harus bisa
dipersalahkan, artinya pelaku bukan orang gila, anak dibawah umur atau
bukan seseorang yang berada dibawah ancaman dan keterpaksaan.19
Unsur khusus jarimah adalah unsur-unsur yang hanya terdapat
pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain.
Contohnya mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempatnya
dalam jarimah pencurian, atau menghilangkan nyawa manusia oleh
manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan.20
Adapun unsur-unsur jinayah dan jarimah yang lainnya adalah
sebagai berikut:
a. Adanya perbuatan manusia
Perbuatan manusia itu adakalanya melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan UU (perbuatan positif), dan adakalanya
melalaikan kewajiban (perbuatan negatif).
b. Perbuatan itu harus melawan hukum
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana, apabila
perbuatannya itu melanggar norma-norma hukum yang berlaku.
c. Perbuatan itu diancam dengan pidana oleh UU
Dalam hukum pidana Islam, ancaman hukuman tidak selalu
disebutkan secara tegas dan rinci dalam ketentuan pidana. Dalam
definisi tindak pidana (jarimah) yang dikemukana oleh Al-Mawardi,
sebagiamana ancaman pidana itu adakalanya hadd dan adakalanya
ta’zir. Hadd artinya hukumannya yang disebutkan secara tegas dalam
teks-teks Al-Qur’an dan hadis Nabi. Hadd merupakan hak Allah
artinya tidak dapat digugurkan oleh perseorangan atau oleh masyarakat
yang diwakili oleh Negara.21 Sedangkan Ta’zir adalah hukuman yang
belum didalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Penetapan hukum untuk
19
. M. Nurul Irfn, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: 2011, Amzah, hlm. 69-70
20
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: 1996, PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 12
21
Sri Yunarti, Fiqh Jinayah. (Batusangkar : STAIN Press, 2012) hlm. 244

8
ta’zir ini sepenuhnya diserahkan kepada penguasa negara atau Ulil
Amri. Penetapan hukuman tersebut cukup dengan menyebutkan
hukuman yang tertinggi dan terendah, kemudian dijadikan pegangan
oleh hakim dalam memutuskan perkara-perkara yang tergolong kepada
ta’zir.22
d. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab
Dalam hukum Islam, unsur pertanggungjawaban pidana
merupakan unsur subyektif yang harus dipenuhi untuk memidana suatu
peristiwa pidana. Apabila unsur tersebut tidak dipenuhi, maka si
pelaku tidak dapat dipidana. Ketentuan ini tercantum dalam Q.S An-
Nahl: 106 tentang orang yang dipaksa.
        
      
        
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(QS. An-
Nahl : 106)23

Ayat diatas menyebutkan bahwa kecakapan seorang pelaku tindak


pidana menjadi unsur yang menentukan untuk dapat menghukumnya.
Orang-orang yang hilang kecakapannya karena gila, atau belum
dewasa, dipaksa tidak dapat dipidana.24

C. Macam-Macam Jinayah dan Hikmahnya


Para ulama mengelompokkan Jinayah itu dengan melihat kepada
sanksi hukuman apa yang ditetapkan, kepada tiga kelompok25:
a. Qishash-diyat, yaitu tindak kejahatan yang sanksi hukuman nya
adalah balasan (qishash) dan denda darah (diyat). Yang termasuk
22
Wahbah Zuhaili, ibid, hlm. 238
23
Deperteman Agama, ibid, hlm. 223
24
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Al-qur’an, Jakarta: 2007,
Diadit Media, hlm. 26-33
25
A. Djazuli, Ibid, hlm. 13

9
dalam kelompok ini adalah pembunuhan, pelukaan dan
penghilangan bagian/anggota tubuh.
b. Hudud, yaitu kejahatan atau Jinayah yang sanksi hukumannya
ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan
zina tanpa bukti, minum-minuman keras, pemberontakan dan
murtad.
c. Ta’zir, yaitu kejahatan lain yang tidak diancam dengan qishash-
diyat dan tidak pula dengan hudud. Dalam hal ini ancamannya
ditetapkan oleh penguasa atau negara.

Zuhaili mengatakan bahwa hukuman dalam Islam terdiri dari dua


yaitu huduud (hukuman hadd) dan hukuman ta’zir. Adapun hukuman
hadd jumlahnya sangat terbatas, yaitu hanya ada lima macam menurut
ulama Hanafiyah, yaitu hukuman hadd zina, hukuman hadd qadzaf,
pencurian, menenggak khamr, dan mabuk karena minuman keras.
Mereka tidak memasukkan hukuman qishash sebagai hadd karena
hukuman qishash diberlakukan demi menjaga dan memenuhi hak
hamba atau manusia atau didalamnya hak manusia lebih dominan
daripada hak Allah SWT.26
Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah hukuman
hadd ada tujuh macam yaitu : hadd zina, qadzaf, pencurian, hiraabah,
pennggak minuman keras mencakup khamar dan segala minuman yang
memabukkan, dan qishash dan terakhir hukuman hadd murtad.
Pembagian ini berdasarkana pertimbangan bahwa hukuman hadd
adalah hukuman yang terlah ditentukan Allah sehingga tidak boleh
seorangpun melanggarnya.27
Yang kedua menurut Wahbah Zuhaili yaitu hukuman ta’zir,
dimana syara’ memasrahkan pemberian hukuman kepada kebijakan

26
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu jilid7. (Jakarta :Darul Fikr), 2012 hal 257
27
Ibid, 258

10
negara sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan dengan
memperhatikan keadaan, waktu, dan ruang seseorang yang
bersangkutan dan perkembangan yang ada. Sehingga hal itu
bisaberbeda-beda sesuai tingkat kemajuan zaman dan peradaban
masyarakat suatu negara. 28
Diantara ulama mengelompokkan Jinayah itu dengan melihat
kepada hak siapa yang terlanggar dalam kejahatan itu. Pengelompokkan
ini berkaitan dengan boleh atau tidaknya pelaku kejahatan itu dimaafkan.
Dalam hal ini ulama membagi hak yang terlanggar dalam kejahatan itu
kepada empat, yaitu:
1) Kejahatan yang melanggar hak hamba secara murni yaitu
pembunuhan, pelukaan dan penghilangan bagian tubuh, yang
termasuk dalam kelompok qisas-diyat tersebut diatas. Dalam hal ini
pelaksanaan ancaman sepenuhnya diserahkan kepada korban
kejahatan atau keluarganya. Ia dapat menuuntut untuk dilaksanakan
atau memaafkannya dari pelaksanaan hukuman.
2) Kejahatan yang melanggar hak Allah atau kepentingan umum (publik)
secara murni yaitu perzinaan, minuman keras, murtad, perampokan,
makar dan murtad. Dalam hal ini maaf yang diberikan pihak korban
tidak mempengaruhi terhadap pelaksanaan hukuman.
3) Kejahatan yang melanggar hak hamba yang berbaur dengan hak
Allah, namun hak hamba lebih dominan. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah tuduhan zina tanpa bukti. Menurut pendapat
sebagian ulama ancaman hukuman dapat dihindarkan bila ada maaf
dari pihak korban yang dituduh berzina.
4) Kejahatan yang melanggar hak Allah yang berbaur dengan hak
hamba, yang hak Allah lebih dominan. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah pencurian. Menurut pendapat sebagian ulam

28
Ibid 259

11
korban pencurian dapat memaafkan kejahatan ini selama kasusnya
belum masuk di pengadilan.29

Adapun hikmah dari jinayah ini adalah untuk menjaga dan melindungi hak
masyarakat yaitu untuk mendisiplinkan (ta’diib) dan memberi efek jera supaya
tidak melakukan hal yang menimbulkan mudharat bagi masyarakat, demi
menciptakan keamanan, ketentraman dan stabilitas menjaga hak-hak kehidupan
yang harus dilindungi dan dihormati, serta menjaga dan melindungi kehormatan
jiwa, akal dan harta benda.30
Seperti pada hukuman hadd, ia bersifat keras yang dapapt bermanfaat
untuk mencegah dan mengatasi secara efektif dibandingkan dengan ta’zir
(misalnya dipenjara dan pukulan ringan) .31

D. Macam-Macam Jinayah dan Jarimah


1. Jarimah Hudud
Jarimah hudud merupakan jarimah yang hukumnya langsung
ditetapkan dalam Al-Quran berupa hadd, meliputi pembunuhan dan
pelukaan, zina, qadzaf (menuduh zina), pencurian, perampokan,
pemberontakan, dan murtad. Ciri khas dari jarimah hudud:32

a) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam artian bahwa


hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas
maksimal dan minimal.
b) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata.

2. Jarimah Qishash atau Diyat

29
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: 2003, Kencana Prenada Media
Group, hlm. 256-257
30
Ibid, hlm. 256
31
Wahbah Zuhaili, ibid hlm. 279
32
.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 19970, hlm. 13

12
Qishash maupun diyat keduanya adalah hukuman yang
sudah ditentukan syara’ dan merupakan hak individu. Ciri khas
jarimah qishash dan diyat :33

1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah


ditentukan syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu),
dalam arti bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan
pengampunan terhadap pelaku.

Jarimah qishash dan diyat meliputi :


1) Pembunuhan sengaja (al-qotlul‘amdu)
2) Pembunuhan menyerupai sengaja (al-qotlu syibhul’amdi)
3) Pembunuhan karena kesalahan (al-qotlul khotho-u)
4) Penganiayaan sengaja (al-jar’hul ‘amdu)
5)    Penganiayaan tidak sengaja (al-jar’hul khotho-u)

3. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zir merupakan jarimah-jarimah yang jenisnya
disebutkan dalam Al-Quran secara rinci, tetapi hukumannya sama
sekali tidak disebutkan. Menurut Ahmad Wardi Muslich, jenis-
jenis jarimah ta’zir berdasarkan yang disebutkan dalam Al-Quran
ada 30, beberapa diantaranya sihir, mengambil harta orang lain
secara tidak sah, bunuh diri, melanggar sumpah, persaksian palsu,
dan lain sebagainya. Jarimah ta’zir dibagi tiga yaitu;
1) Jarimah Hudud atau Qishash/diyat yang subhat atau tidak
memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat.
Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan,
pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.

33
Ahmad Wardi Muslich, ibid hlm. 150

13
2) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadis,
namun tidak ditentukan sanksinya. Contohnya penghinaan,
saksi palsu, tidak melaksanakan amanah, dan meghina agama.
3) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulul Amri untuk
kemaslahatan umum. Dalam hal ini, ajaran Islam dijadikan
pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.34

E. Hubungan Jinayah dan Jarimah terhadap Larangan Syara’

Konsep jinayah berkaitan erat dengan masalah larangan karena setiap


perbuatan yang terangkum dalam jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’. Larangan ini timbul karena mengancam sendi-sendi
kehidupan masyarakat. Maka dengan adanya larangan keberadaan dan
kelangsungan hidup masyarakat dapat terjaga dan terpelihara.35
Islam sebagaimana yang kita ketahui, memiliki aturan yang adil termasuk
dalam penetapan sanksi (hukuman) tindak pidana yang dilakukan. Seperti hudud
yang disebut sebagai sanksi yang keras. Namun menurut penulis, seseorang
muslim yang melakukan tindak pidana, dapat terbebas dari azab yang pedih
(hadd) jika mereka bertaubat dengan sebenar taubat serta minta ampun kepada
Allah SWT. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.36

F. Hikmah Jinayah dan Jarimah dan Dampaknya terhadap Kehidupan


Bermasyarakat

Adanya hukum pidana Islam merupakan suatu bentuk pemeliharaan yang


telah ditetapkan Allah SWT, karena Allah lah pembuat hukum yang mutlak.
Adapun unsur yang dipelihara tersebut meliputi :
1. Pemeliharaan jiwa dimana didalam hukum Islam, wajib memelihara
hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Untuk
34
. A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: 1996, PT. Raja Grafindo Persada) , hlm. 13
35
Ibid, hlm 4
36
Terjemahan Surat Al-Maidah ayat 5 dalam Al-Quran danTerjemahan,

14
itu hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan
jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh
manusia dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya..37
2. Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya
matahari, dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Dengan akal, surat perintah dari Allah disampaikan, dengannya pula
manusia berhak pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia
menjadi sempurna, mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya. Maka
seorang muslim senantiasa bisa menjaga dan memelihara fungsi
akalnya dari segala yang dapat merusak fungsinya dalam berfikir
rasional.38
3. perlindungan untuk harta yang dimiliki seseorang dimana ia berhak
untuk dijaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian,
perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik
dilakukan kaum muslimin atau non muslim ) dengan cara yang batil,
seperti merampok, menipu, atau memonopoli.

Selain itu, adanya jnayah dan jarimah juga memiliki hikmah untuk
melindungi dan tidak menganiaya harta serta mengambilnya dengan cara
yang batil :39

Jadi dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan agama yang


memenuhi segala kepentingan kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya
hukum pidana Islam, akan membuat ketentraman dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat, terpeliharanya hak-hak individu baik dalam agama, akal, jiwa
dan harta. Pemberian hukuman yang diharapkan mampu menakuti seorang

37
Yusuf Al-Qordhowi,” Fiqih Maqasid Syariah”, ( Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,
2006) hlm. 13.
38
Ibid,
39
Ahmad Al-mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah ( Jakarta : AMZAH, 2009) hlm.
191

15
muslim untuk melakukan jarimah sehingga dapat mencegah rusaknya sistem
kehidupan bermasyarakat. Bagi para pelaku, hal ini diharapkan mampu
membuat jera dalam melakukan jarimah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang
dilarang adalah setiap perbuatan yang dicegah dan ditolak oleh syariat,
lantaran mengandung bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau
harta.

16
Jarimah (tindak pidana kriminal) adalah segala larangan syara’
melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang
diwajibkan) yang diancam dengan hukum hadd atau ta’zir.
Unsur-unsur jinayah dan jarimah yaitu adanya nash sebagai unsur
formal (al-Rukn al-Syar’iy), al-Rukn al-Madi atau unsur materiil, dan al-
Rukn al-Adabiy atau unsur moril. Adanya unsur perbuatan yang
membentuk Jinayah, pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima
khitab atau dapat memahami taklif.
Adapun bentuk-bentuk jinayah adalah Qishash-diyat, yaitu tindak
kejahatan yang sanksi hukumannya adalah balasan (Qishash) dan denda
darah (diyat), Hudud, yaitu kejahatan atau Jinayah yang sanksi
hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah atau Nabi, Ta’zir,
yaitu hukuman yang ditetapkan kepada negara atau pemerintah. Bentuk-
bentuk jarimah yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, dan
jarimah ta’zir. Hubungan jinayah dan jarimah dengan larangan syara’
yaitu jinayah dan jarimah merupakan suatu bentuk tindakan mukallaf
yang melanggar syara’ baik melakukan perbuatan yang dilarang maupun
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Adanya hukum pidana islam ini
akan menjadikan kehidupan masyarakat terpelihara dari segala kekacauan
yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan baik terhadap akal, jiwa,
maupun harta.

B. Saran
Dari makalah yang telah dbuat ini, penulis menyarankan kepada
mahasiswa khususnya dan masyarakat umumnya untuk dapat menjadikan
makalah ini sebgai salah satu sumber bacaan guna memahami materi
hukum pidana Islam. Sehingga nantinya masyarakat dapat mengetahui
ilmu tentang materi terkait yang dapat diamalkan dalam kehidupan
bermasyarakat.

17
18

Anda mungkin juga menyukai