Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di dalam Islam, hukuman tidak berangkat dari pendapat manusia atau kesepakatan manusia
belaka. Karena apa yang ada dalam pandangan manusia memiliki keterbatasan. Seringkali apa
yang dalam pandangan manusia baik, pada hakikatnya belum tentu baik. Demikian juga, apa
yang dalam pandangan manusia buruk, hakikatnya belum tentu buruk. Sehingga bagi umat
Islam, harus mengembalikan penilaian baik atau buruk, terpuji dan tercela menurut pandangan
syari’at.
Adapun tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams
(disebut pula maqasid al-syari “ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati
bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan
utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara
keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari hukuman?
2. Apa tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam?
3. Apa saja syarat-syarat dalam pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam?
4. Apa saja macam-macam hukuman dalam hukum pidana Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari hukuman.
2. Untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukuman menurut syari’at Islam.
3. Untuk memahami syarat-syarat pelaksanaan hukuman yang sesuai dengan syari’at Islam.
4. Untuk memahami syarat-syarat pelaksanan hukuman dalam hukum pidana Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUMAN
Hukuman atau Hukum Pidana dalam Islam disebut al-‘Uqubaah yang meliputi baik hal-hal yang
merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.
A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang
atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk
kemaslahatan manusia.
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata
َ ‫ ع‬yang sinonimnya ‫ خَ لفهُ َو َجا َءب َعقب ِه‬artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam
‫َقب‬
pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa
diambil dari lafaz ‫ب‬ َ َ‫ عَاق‬yang sinonimnya ‫ َجزَاهُ َس َوا ًء بِما َ فَ َع َل‬artinya membalasnya sesuai dengan apa
yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia
mengiringi perbuatan dan melaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari
pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan
balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Abdul Qadir Audah, definisi hukuman adalah sebagai berikut:
‫ع‬
ِ ‫ار‬ ِ َ‫اَ ْل ُعقُوْ بَةُ ِه َى ْال َجزَ ا ُء ْال ُمقَ َّر ُر لِ َمصْ لَ َح ِة ْال َج َماع ِة عَلى ِعصْ ي‬
ِ ‫ان اَ ْم ِر ال َّش‬
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena
adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.

B. TUJUAN HUKUMAN
Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:
1. Pencegahan ( ‫ع َوال ّزجْ ُر‬
ُ ‫) ال ّر ْد‬
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti
mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa
mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang
lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.
Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum
terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).
2. Perbaikan dan Pendidikan ( ُ‫) ا ِالصْ ال ُح والتّ ْه ِذ يْب‬
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi
orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam
terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku
suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan
karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida
dari Allah SWT.
3. Kemaslahatan Masyarakat
Memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas
dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah
bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan
dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang
yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan
ihsan dan memberi rahmat kepadanya.

Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pidana dapat
dihimpun dalam empat bagian, yakni:
1. Pembalasan (revenge).
Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan
ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.
2. Penghapusan Dosa (ekspiation).
Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.
3. Menjerakan (detern).
4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal).
Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak
mengulangi kejahatannya.

Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam
dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi
terpidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana.
Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat,
sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh
sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai
dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat yang menghendaki.

C. SYARAT-SYARAT PELAKSANAAN HUKUMAN


1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (syar’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber
syara’ seperti: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga
yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh
ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Apabila
bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut menjadi batal.
Perbuatan dianggap salah jika ditentukan oleh nas. Prinsip ini yang dalam bahasa hukum disebut
dengan istilah asas legalitas. Hukum pidana Islam mengenal asas ini secara substansial
sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
– Surat Al-Isra’ ayat 15:
ً‫ث َرسُوْ ﻻ‬ َ ‫… َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذبِ ْينَ َحتَّى ن ْب َع‬
”…dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul”.
– Surat Al-Baqarah ayat 286:
َ ‫ﻻَيُ َكلِّفُ هّٰللا ُ نَ ْفسًا اِﻻَّ ُو ْس َعها‬
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”.
Berikut ini kaidah yang dirumuskan oleh para ahli hukum yang diambil dari sunstansi ayat-ayat
tersebut:
ِّ‫ﻻَ َج ِر ْي َمةَ َوﻻَ ُعقُوْ بَةَ اِﻻَّ بِالنَّص‬
“Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas”.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak
pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar
dan prinsip yang ditegakkan oleh syariat Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan
masalah pertanggungjawaban.
3. Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, baik pangkat,
jabatan, status, atau kedudukannya.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan
hukuman had atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh
syara’. Setiap orang yang melakukan jarimah hudud akan dihukum dengan hukuman yang sesuai
dengan jarimah yang dilakukannya. Sedangkan persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir
adalah persamaan dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik,
dan memperbaikinya. Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan, sebagian
lagi perlu dipenjara, dan sebagian lagi mungkin harus didera atau bahkan ada pula yang harus
dikenakan hukuman mati.

D. MACAM-MACAM HUKUMAN
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman adalah sebagai berikut :
1. Penggolongan ini ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang
lainnya, dan dalam hal ini ada empat macam hukuman yaitu:
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah yang
bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan,
atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan hukuman
pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat di laksanakan karena alasan yang sah, seperti
hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash.
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok
tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang
melakukan pembunuhan terhadap keluarga.
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok
dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri
pemisahnya dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan pencuri yang telah
dipotong di lehernya.
2. Penggolongan kedua ini ditinjau dari kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya
hukuman. Dalam hal ini ada dua macam hukuman:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas
terendah, seperti hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had (80 kali atau 100 kali).
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, dimana hakim diberi
kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara
atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
3. Penggolongan ketiga ini ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya
tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut
hukuman keharusan.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-
hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari
perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.
4. Penggolongan ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti ancaman,
peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat, denda dan
perampasan harta.
5. Penggolongan kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat, yaitu yang ditetapkan atas jarimah-jarimah qisas diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qishash dan diyat dan
beberapa jarimah ta’zir.
d. Hukuman ta’zir, yaitu yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah ta’zir.

E. PEMBERLAKUAN HUKUMAN
Dalam perkembangannya, pemberlakuan sanksi dalam hukum pidana Islam muncul 3 kalangan,
yaitu:
1. Kalangan Tradisional.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukuman harus dijalankan sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-
Hadits.
2. Kalangan Modernis.
Kalangan ini beranggapan bahwa hukum Islam memang ada dan berlaku tetapi tergantung
bagaimana metode pelaksanannya.
3. Kalangan Reformatif.
Kalangan ini mencoba menggabungkan kalangan tradisionalis dan kalangan modernis. Artinya
kalangan ini tetap meyakini hukum Islam ada pada nash dan dilaksanakan menurut metode nash.
Akibat dari pemecahan 3 kalangan tersebut dalam kehidupan kita muncul 2 sanksi, yaitu sanksi
pidana dan sanksi tindakan, perbedaannya adalah:
1. Sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dimana masing-masing mempunyai prinsip dan tujuan
dengan teori serta filosofis yang dipahaminya.
2. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar-dasar “mengapa diadakan pemidanaan”?
3. Sanksi tindakan bertolak pada ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan”?

 Hukuman Hudud
1. Hukuman Zina
Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Secara istilah adalah hubungan kelamin
antara seorang lelaki dengan seorang perempuan juga satu sama lain tidak terikat dalam
hubungan perkawinan. Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa zina merupakan dosa
paling besar kedua setelah syirik (mempersekutukan Allah). Beliau bersabda:
‫قال عليه الصالة والسالم مامررس يعد السرل اعظم مرعيرهللا مريطعه ومعها رحل فى رحم اليعل له‬
“Nabi SAW telah bersabda: Tak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi Allah selain dari
seorang lelaki yang mencurahkan maninya di tempat/kandungan yang tidak halal baginya”.
ّ ‫عن أبوهديرة رفي هللا عنه ان النبى صلى هللا عليه وسلم قال ان هللا كتب على ابن ادم‬
‫حظه من الزناأدرك ذلك المحالة‬
‫ النطروزنااللسان النّطق والنفس تمو وتشتهي والفرج يص ّد ق ذلك اويكذبه‬ž‫فذناالعينين‬
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwasanya: Nabi SAW bersabda: Allah SWT telah
menentukan bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Keinginan tersebut tidak
dapat dielakkan, yaitu melakukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam bentuk
penuturan, zina perasaan melalui cita-cita dan keinginan mendapatkannya. Namun, kemaluanlah
yang menentukan dalam bentuk zina atau tidak”.
‫ زناهافليجلد هاالحدواليثرب‬ž‫عن أبي هريرة رفي هللا عنه قال سمعت النبي صلى هللا عليه وسلم يقول إذازنت أمة أحدكم فتبين‬
‫عليها ثم إن زنت فليجلد هاالحدواليثرب ثم إن رنت الثالثة فتبين زناهافيبعهاولوبحبل من شعر‬
“Diriwayakan dari Abu Hurairah ra, katanya: Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Apabila seorang hamba perempuan milik salah seorang diantara kamu melakukan zina dan telah
terbukti, maka hukumlah dia dengan cambukan rotan dan janganlah kamu memaksanya. Dan jika
dia mengulanginya lagi dua kali ketiganya dan terbukti,maka jualah dia walaupun dengan harga
sehelai rambut”.
Hukuman zina ditetapkan tiga hukuman, yaitu dera, pengasingan dan rajam. Hukuman dera dan
pengasingan ditetapkan untuk pembuat zina tidak muhshan, dan hukuman rajam dikenakan pada
terhadap zina muhshan. Kalau kedua pelaku zina tidak muhshan keduanya, maka keduanya
dijilid atau diasingkan. Akan tetapi keduanya muhshan keduanya dijatuhi hukuman rajam.
a. Hukuman Jilid
Hukuman jilid seratus kali diancamkan atas perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang tidak
muhshan. Hukuman jilid dijatuhkan untuk mengimbangi faktor psikologis yang mendorong
diperbuatnya jarimah zina, yaitu keinginan untuk mendapatkan kesenangan. Faktor psikologis
penentangnya yang menyebabkan seorang meninggalkan kenangan tersebut ialah ancaman
sengsara yaitu yang ditimbulkan oleh seratus jilid. Kalau faktor pendorong zina lebih kuat
daripada faktor penghalaunya maka derita hukuman yang dijatuhkan cukup melupakan
kesenangan yang sudah diperoleh, sehingga bisa mendorongnya untuk memikirkannya kembali.
b. Hukuman pengasingan
Terhadap pembuat zina tidak muhshan dikenakan hukuman pengasingan selama satu tahun
selain hukuman jilid.
c. Hukuman rajam
Hukuman rajam ialah hukuman mati dengan jalan dilempari batu dan yang dikenakan adalah
pembuat zina muhshan, baik lelaki maupun perempuan. Hukuman rajam tidak tercantum dalam
Al-Qur’an, oleh karena itu fuqaha-fuqaha khawarij tidak memakai hukuman rajam. Menurut
jarimah-jarimah zina dikenakan hukuman jilid saja, baik pelaku muhshan atau belum.
Orang yang sudah muhshan mendapat hukuman lebih berat, yaitu hukuman rajam karena
biasanya keihshanan seseorang cukup menjauhkannya dari pemikiran tentang perbuatan zina.
Akan tetapi kalau ia masih juga memikirkannya maka hal ini menunjukkan kekuatan birahi dan
keinginan akan kelezatan, dan oleh karena itu maka harus dijatuhi hukuman yang berat, sehingga
ketika ia menginginkan jarimah tersebut terbayang pula derita dan sengsara yang akan menimpa
dirinya.
Akan tetapi apabila sudah kawin maka sudah tidak ada jalan bagi jarimah zina, sebab tali
perkawinan itu sendiri bukanlah perkara abadi yang tidak boleh putus, sehingga oleh karena itu
apabila perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, maka suami bisa menceraikan istri.
2. Hukuman Qadzaf
Salah satu delik pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu al Qadzfu. Qadzf secara harfiah berarti
melemparkan sesuatu. Istilah qadzaf dalam hukum Islam adalah tuduhan terhadap seseorang
bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan zina.
Qadzaf atau fitnah merupakan suatu pelanggaran yang terjadi bila seseorang dengan bohong
menuduh seorang muslim berzina atau meragukan silsilahnya. Ia merupakan kejahatan yang
besar dalam Islam dan yang melakukan disebut pelanggar yang berdosa oleh Al-Qur’an. QS.
24/An-Nur: 4. Sanksi bagi yang menuduh orang banyak melakukan zina dengan berulang kali
ucapan adalah hadd yang berulang kali pula sesuai dengan jumlah pengulangan ucapan yang ia
lakukan, akan tetapi apakah sanksi bagi yang menuduh orang banyak (melakukan zina) dengan
satu kali ucapan itu satu kali hadd atau berulang kali sesuai dengan jumlah orang yang dituduh.
Dalam Qawl Qadim, Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak
(melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan satu kali hadd: karena
perbuatannya sepadan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan).
Sedangkan dengan menuduh satu orang melakukan zina (dikatakan sekali ucapan). Sedangkan
dalam Qawl Jadid Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang menuduh orang banyak
(melakukan zina) dengan satu kali ucapan itu dihukum dengan berulang kali hadd sesuai dengan
jumlah orang dengan dituduh, menuduh orang banyak dengan satu kali ucapan sepadan dengan
menuduh orang banyak dengan berulang kali ucapan.
Jarimah qadzaf dikenakan hukuman pokok, yaitu jilid delapan puluh kali, dan hukuman
tambahan, yaitu tidak menerima persaksian pembuatnya. Hukuman tersebut dijatuhkan apabila
berisi kebohongan. Apabila berisi kebenaran maka tidak ada jarimah qadzaf.
Banyak faktor yang menimbulkan jarimah qadzaf, antara lain iri hati, dengki, balas dendam dan
persaingan. Akan tetapi kesemuanya bertujuan satu, yakni menghina korban dan melukai
hatinya. Dengan jarimah qadzaf pembuat bermaksud menimbulkan kejiwaan dan oleh karena itu
maka harus diimbangi pula dengan derita badan yang ditanggung oleh pembuat jarimah,
disamping derita kejiwaan pula yang harus diterimanya dari masyarakat, yakni dinyatakan hapus
keadilannya dan oleh karena itu maka ia tidak bisa menjadi saksi, serta mendapatkan cap abadi
orang fasik.
3. Hukum Minum Minuman Keras
Jarimah minum minuman keras dijatuhi hukuman delapan puluh jilid. Menurut Imam Syafi’I
hukuman jarimah tersebut adalah empat puluh jilid sebagai hukuman had, sedang empat puluh
jilid lainnya tidak termasuk hukuman had, melainkan sebagai hukuman ta’zir, artinya sebagai
hukuman yang dijatuhkan apabila dipandang perlu oleh hakim.
Faktor yang mendorong seseorang untuk minum khamer ialah keinginannya untuk melupakan
penderita jiwanya dan kenyataan hidupnya untuk menuju mendapatkan kebahagian khayalan
yang ditimbulkan oleh lezatnya khamer. Faktor pendorong ialah yang diperangi oleh syariat
dengan hukuman jilid yang selain menimbulkan derita kejiwaan juga menimbulkan derita badan.
4. Hukuman Pencurian
Pencurian adalah orang yang mengambil benda atau barang milik orang lain secara diam-diam
untuk dimiliki.
Pencurian diancamkan hukuman potong tangan dan kaki, sesuai dengan firman Allah SW
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Maidah 38)
Di kalangan fuqaha sudah sepakat bahwa didalam pengertian kata-kata “tangan” (yad) termasuk
juga kaki. Apabila seseorang melakukan pencurian untuk pertama kalinya, maka tangan
kanannya yang dipotong, dan apabila pencurian tersebut diulangi, maka kaki kirinya yang
dipotong.
Seseorang yang mencuri ketika meniatkan perbuatannya maka sebenarnya ia menginginkan agar
usahanya (kekayaannya) ditambah dengan kekayaan orang lain, dan ia meremehkan usaha-usaha
halal. Ia tidak mencukupkan dengan hasil usahanya sendiri, melainkan mengharapkan usaha
orang lain, agar dengan demikian ia bertambah daya nafkahnya atau tidak bersusah-susah
bekerja atau dapat terjamin hari depannya. Dengan perkataan lain tambahnya usaha atau
kekayaan itulah yang menjadi factor pendorong adanya pencurian. Sebagai imbangan dari factor
tersebut Syariat Islam menetapkan hukuman potong tangan (dan kaki) karena terpotongnya
tangan dan kaki sebagai alat kerja penyambung kerja yang utama yang mengurangi usaha dan
kekayaan, serta mengakibatkan hari depannya terancam.
5. Hukuman Gangguan Keamanan
Terhadap gangguan keamanan (hirabah) dikenakan empat hukuman, yaitu hukuman mati biasa,
hukuman mati dengan salib, hukuman dengan potong tangan dan kaki dan pengasingan.
 Hukuman Mati
Hukuman ini dijatuhkan atas pengganggu keamanan (pembegal, penyamun) apabila ia
melakukan pembunuhan. Hukuman tersebut hukuman had dan bukan hukuman qisas. Oleh karna
itu maka hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan. Naluri keinginan hidup sendiri merupakan
pendorong bagi pembuat untuk melakukan jarimahnya itu. Kalau ia menyadari bahwa ketika ia
membunuh orang lain, sebenarnya ia membunuh dirinya sendiri pula pada galibnya ia tidak akan
meneruskan perbuatannya. Jadi faktor kejiwaan disini dilawan pula dengan factor kejiwaan agar
ia menghindari jarimah.
 Hukuman Mati Disalib
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan melakukan pembunuhan serta merampas
harta benda. Jadi hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta bersama-
sama. Dimana pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta.
Hukuman tersebut juga merupakan hukuman had yang tidak bisa dimaafkan.
Penjatuhan hukuman tidak beda dengan dasar penjatuhan hukuman mati. Akan tetapi karena
harta benda disini menjadi pendorong bagi perbuatan jarimahnya maka hukuman harus
diberatkan, sehingga apabila ia meniatkan jarimah-jarimah tersebut beserta hukumannya yang
berat, maka ia akan mengurungkan niatnya.
 Pemotongan Anggota Badan
Pemotongan tangan kanan pembuat dan kaki kirinya sekaligus, yakni tangan dan kaki berseling-
seling. Jatuhan hukuman tersebut sama dengan penjatuhan hukuman pencurian. Akan tetapi
jarimah ini biasanya dikerjakan dijalan-jalan umum yang jatuh dari keramaian, maka
pengganggu keamanan pada galibnya yakin akan berhasilnya perbuatan yang dilakukannya dan
akan keamanan dirinya. Keadaan demikian itulah yang menjadi penguat factor kejiwaan yang
menjauhkannya. Oleh karena itu hukuman harus diperberat agar kedua factor tersebut dapat
seimbang.
Hukuman gangguan keamanan disini sama dengan hukuman pencurian dua kali, dan pelipatan
disini adalah adil, karena bahaya gangguan keamanan tidak kalah dengan bahayanya pencurian
biasa dan karena kesempatan untuk meloloskan diri lebih banyak daripada kesempatan dalam
pencurian biasa.
 Pengasingan
Hukuman ini dijatuhkan apabila pengganggu keamanan hanya menakut-nakuti orang yang
berlalu lintas, tetapi tidak mengambil harta dan tidak pula membunuh. Boleh jadi perbuatannya
ia maksudkan mencari ketenaran nama diri oleh karna itu maka ia harus diasingkan, sebagai
salah satu cara untuk mengurangi ketenarannya. Boleh jadi dengan perbuatannya tersebut
pengganggu keamanan bermaksud meniadakan keamanan dijalan-jalan umum sebagai bagian
dari negri, dan oleh karna itu maka ia akan dihukum dengan meniadakan keamanan diri nya dari
semua bagian negri. Baik alasan itu tepat atau tidak, namun yang jelas ialah bahwa factor
kejiwaan ditandingi pula dengan factor kejiwaan yang lain.
6. Hukuman Jarimah Murtad dan Pemberontakan
Perbuatan murtad diancam dengan dua hukuman, yaitu hukuman mati sebagai hukuman pokok
dan dirampas harta bendanya sebagai hukuman tambahan.
 Hukuman Mati
Syariat Islam menghukum perbuatan murtad, karena perbuatan tersebut ditujukan terhadap
agama Islam sebagai system social bagi masyarakat Islam. Ketidak-tegasan dalam menghukum
jarimah tersebut akan berakibat goncangnya system tersebut. Dan oleh karena itu pembuatnya
perlu ditumpas sama sekali untuk melindungi masyarakat dan sitem kehidupannya, dan agar
menjadi alat pencegahan umum. Sudah barang tentu hanya hukuman mati saja yang bisa
mencapai tujuan tersebut.
Kebanyakan Negara-negara didunia pada masa sekarang dalam melindungi system
masyarakatnya memakai hukuman berat yaitu hukuman mati. Yang dijatuhkan terhadap orang
yang menyeleweng dari system tersebut atau berusaha merobohkannya.
 Perampasan Harta
Perampasan harta merupakan hukuman tambahan, menurut Imam-imam Malik dan Syafi’I dan
pendapat yang kuat dalam madzhab Hambali, semua harta orang dirampas. Menurut imam Abu
Hanifah dan pendapat yang tidak kuat dalam madzhab Hambali, hanya harta yang diperolehnya
sesudah murtad itu saja yang dirampas, sedang harta yang diperoleh sebelum murtad diberikan
kepada keluarga ahli waris yang beragama Islam.
 Hukuman Pemberontakan
Hukuman pemberontakan ialah hukuman mati. Syariat mengambil tindakan keras terhadap
jarimah pemberontakan, karena apabila tidak demikian maka akan timbul fitnah, kekacauan serta
ketidak-tenangan dan pada akhirnya akan mengakibatkan kekacauan masyarakat dan
kemundurannya. Tindakan keras tersebut tidak lain adalah hukuman mati. Pada masa sekarang
hampir seluruh dunia menjatuhkan hukuman mati terhadap pemberontakan.

 Hukuman Jarimah Qishash-Diyat


Qisas-diyat ada lima yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak
sengaja, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. Hukum-hukum yang
diancamkan terhadap jarimah-jarimah tersebut ialah qisas, diyat, kifarat, hilangnya hak mewaris,
dan hak hilangnya menerima wasiat. Hukuman-hukuman tersebut akan dibicarakan satu-persatu.
1. Qishash
Pengertian qisas adalah agar pembuat jarimah dijatuhi hukuman setimpal dengan perbuatannya,
jadi dibunuh kalau ia membunuh, atau dianiaaya kalau ia menganiaaya. Hukuman qisas
dijatuhkan atas pembunuhan sengaja dan penganiaayan sengaja.
 Qisas pada Hukum Positif
Hukum positif juga mengenal hukuman qisas. Akan tetapi hanya ditetapkan untuk jarimah
pembunuhan saja yang dihukum dengan hukuman mati, sedang terhadap jarimah penganiayaan
tidak dijatuhi hukuman qisas, melainkan dicukupkan dengan hukuman denda dan hukuman
kawalan atau dengan salah satu hukuman tersebut.
 Pengampunan si Korban
Korban atau walinya diberi wewenang untuk mengampuni qisas, baik dengan imbangan diyat
atau tidak memakai imbangan sama sekali. Akan tetapi untuk hapusnya hukuman qisas penguasa
masih mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai.
2. Diyat
Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiayaan semi sengaja dan tidak
sengaja. Meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang diberikan kepada
korban, bukan kepada perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih mirip dengan ganti
kerugian apa lagi besarnya dapat berbeda-beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi
dan menurut perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarimah.
 Antara Pembunuhan Sengaja dengan Pembunuhan Semi-Sengaja
Syariat Islam mengadakan pemisahan antara hukuman pembunuhan sengaja dengan hukuman
pembunuhan semi sengaja, dimana untuk perbuatan pertama dikenakan hukuman qisas dan untuk
perbuatan kedua dikenakan hukuman diyat berat. Perbedaan ini disebabkan karena pada
pembunuhan sengaja pembuat meniatkan matinya korban sedang pada pembunuhan semi sengaja
ia meniatkan demikian.
 Antara Jarimah-jarimah Sengaja dengan Jarimah-jarimah Tidak Sengaja
Pada Jarimah-jarimah sengaja, pembuat mensengajakan dan melaksanakannya, agar dengan
demikian ia bisa mewujudkan kepentingan-kepentingan moral atau material bagi dirinya sendiri
atau bagi orang lain. Akan tetapi pada jarimah-jarimah tidak sengaja pembuat tidak
menyegajakan jarimah atau memikirkannya serta tidak ada factor yang mendorong untuk
memperbuatnya.
 Siapa Yang Menanggung Diyat
Pada umumnya para fuqaha sudah sepakat pendapatnya untuk mengikut-sertakan keluarga
pembuat yang disebut “Aqilah” dalam pembayaran diyat. Yang dimaksud dengan keluarga
adalah sanak-saudara yang datang dari pihak ayah. Keluaga yang jauh dikutsertakan karena
mereka jugavbisa menjadi ahli waris kalu keluarga yang dekat tidak ada, tanpa disyaratkan
menjadi ahli waris yang nyata.
 Alasan Kelurga Menanggung Diyat
 Kalau kita hanya memegangi prinsip “seseorang hanya menanggung dosanya sendiri”. Maka
akibatnya ialah bahwa sesuatu hukuman hanya dapat dikenakan terhadap pembuat jarimah yang
kaya saja, sedang jumlah mereka lebih sedikit, dan tidak bisa dikenakan terhadap pembuat
jarimah yang miskin, sedang jumlah mereka lebih besar.
 Meskipun diyat merupakan hukuman namun ia menjadi hak kebendaan bagi korban atau
walinya. Kalau pembuat saja yang membyarnya, maka kebanyakan korban atau walinya tidak
akan dapat menerimanya, karena biasanya kekayaan perseorangan lebih kecil dari pada jumlah
diyat, yaitu 100 unta.
 Keluarga hanya menanggung diyat dalam jarimah-jarimah tidak sengaja dan dalam jarimah
semi sengaja yang dapat dipersamakan dengan jarimah tidak sengaja.
 Kehidupan keluarga dan masyarakat menurut tabiatnya ditegakkan atas dasar tolong-menolong
dan kerja sama.
 Keharusan memelihara jiwa seseorang dan tidak boleh menyia-nyiakan, sedang diyat
ditetapkan sebagai pengganti dan memelihara jiwa.
 System Keluarga Pada Masa Sekarang
System pembayaran diyat oleh keluarga, meskipun dapat menjamin terwujudnya keadilan dan
persamaan antara pembuat-pembuat jarimah dan korban-korbannya, namun system tersebut
adalah adanya keluarga. Sudah barang tentu keluarga dalam arti tersebut hampir tidak terdapat
lagi pada masa sekarang.
3. Pencabutan Hak-mewaris
Pencabutan hak mewaris merupakan hukuman tambahan bagi jarimah pembunuhan, selain
hukuman pokok yaitu hukuman mati, apabila antara orang yang membunuh dengan korbannya
ada hubungan keluarga.
4. Pencabutan Hak Menerima wasiat
Pencabutan hak menerima wasiat merupakan hukuman tambahan, disamping hukumannya yang
pokok.
 Hukuman Kifarat
Adalah membebaskan seseorang hamba mu’min, merupakan hukuman pokok. Kalau tidak bisa
mendapatkan hamba tersebut atau tidak bisa memperoleh uang harganya, maka orang wajib
berkifarat diwajibkan berpuasa dua bulan, berturut-turut jadi puasa merupakan hukuman
pengganti yang tidak akan terdapat kecuali apabila hukuman pokok tidak bisa dijalankan.
 Hukumn Ta’zir
Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah:
1) Hukuman mati.
2) Hukuman jilid.
3) Hukuman kawalan.
4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
5) Hukuman salib.
6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
8) Hukuman denda (Al-Gharamah).
9) Hukuman-hukuman lain yang sifatnya spesifik dan tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah
ta’zir, di antara hukuman tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan, pencabutan hak-
hak tertentu, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah, penayangan
gambar penjahat di muka umum, dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan
syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan pemidanaan atau hukuman adalah:
1. Sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan nas.
2. Sebagai pencegahan kolektif (general prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan
pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
3. Sebagai pencegahan khusus (special prevention), artinya seseorang yang melakukan tindak
pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Syarat pelaksanaan hukuman antara lain:
1. Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara’.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan).
3. Hukuman Harus Bersifat Universal Dan Berlaku Umum.
Sanksi dalam hukum pidana Islam di bagi menjadi 3, yaitu:
1. Kalangan Tradisional.
2. Kalangan Modernis.
3. Kalangan Reformatif.
Sedangkan macam-macam hukuman menurut Abdul Qadir Audah yaitu:
1. Penggolongan dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, yaitu:
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah).
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah).
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah).
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah).
2. Penggolongan dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas.
b. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya.
3. Penggolongan dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan, yaitu:
a. Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dimana hakim harus melaksakannya
tanpa dikurangi atau di tambah, atau diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini disebut
hukuman keharusan.
b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman-
hukuman yang ditetapkan oleh syara’ agar dapat disesuaikan dengan keadaan pembuat dari
perbuatannya. Hukuman ini disebut hukuman pilihan.
4. Penggolongan dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:
a. Hukuman badan.
b. Hukuman jiwa.
c. Hukuman harta.
5. Penggolongan kelima ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, yaitu:
a. Hukuman hudud.
b. Hukuman qishash dan diyat.
c. Hukuman kifarat.
d. Hukuman ta’zir.

B. SARAN
Demikian makalah ini yang dapat kami sajikan, kami berharap makalah ini dapat berkembang
dengan berjalannya diskusi yang akan dijalankan oleh teman-teman. Kurang lebihnya kami
mohon maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon kritik dan saran yang bersifat membangun
demi sempurnanya makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Aby Al-Husaini Muslim Ibn Al-Hajj Al-Qusaiy An-Naisabury. Shahih Muslim. Juz 3
Ali, Prof. Dr. H. Zainuddin, MA, Hukum Pidana Islam
‘Audah, Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab
Al-‘Araby.
Djazuli, H. A., Prof, Drs. 1997. Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Furqan, H. Arif, dkk. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI,
Direktorat Jenral Kelembagaan Agama Islam.
Hanafi, Ahmad. 1990. Asas-Asas Hukum Pidana Islam Cet. 4. Jakarta: Bulan Bintang.
Kumpulan Hadis Riwayat Bukhary dan Muslim. 2002.
Munajat, Makhrus, M. Hum, Drs. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung
Pustaka
Rahman I Doi, Prof. Abdur. 1992. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Wardi Muslich, Ahmad, Dr

Anda mungkin juga menyukai