Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Ketatanegaraan Indonesia (Lengkap)

BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah ketatanegaraan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode
pra kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan Indonesia. Untuk mempelajari Hukum
Tatanegara sesuatu Negara, kiranya akan lebih mudah memperoleh kejelasannya apabila terlebih
dahulu dipelajari sejarah ketatanegaraannya.
Oleh karena itu, akan mudah diperoleh kejelasannya apabila dipelajari terlebih dahulu
sejarah ketatanegaraannya sebelum mulai dengan mempelajari aturan-aturan ketatanegaraannya.
Terlebih jika mengingat bahwa dari perjalanan ketatanegaraan Indonesia ternyata penuh
mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika revolusi Bangsa Indonesia, sehingga
mempelajari sejarahnya adalah mutlak perlu.
Dalam makalah ini pun akan membedah beberapa bahan materi yang dianggap krusial
untuk dibahas sebagai bahan kajian pembahasan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sistem Pra Kemerdekaan


1.      Masa Penjajahan Belanda
Pada masa ini Indonesia (disebut Hindia Belanda) dikonsturksikan merupakan bagian
dari Kerajaan Belanda. Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan
Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja tidak melaksanakan kekuasaannya sendiri di
Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana. Raja Belanda
sebagai pelaksana pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen.
Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda dalam sistem
Parlementer Kabinet.

Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia
Belanda adalah :

a.       Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938 

Peraturan ini bersifat sentralistik, mengacu pada peraturan kerajaan Belanda di Denhag.

b.      Indische Staatsregeling (IS) pada hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena substansinya
mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda
(Indonesia), maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik


pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara
umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah atau alat
perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya (IS): WET, Algemene Maatregedling
Van Bestuur (AMVB), Ordonantie, Regering Verardening (RV).

a.       WET: adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda, yaitu Raja Kerajaan Belanda
bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). (disebut dengan UU di dalam pemerintahan
Indonesia saat ini)
b.      AMVB (Algemene Maatregedling Van Bestuur): adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota
Belanda, yaitu Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur tangan dari Parlemen. (disebut
dengan PP di dalam pemerintahan Indonesia saat ini)
c.       Ordonantie: adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda bersama-sama
dengan Voolksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). (disebut dengan Perda di dalam
pemerintahan Indonesia saat ini)
d.      RV (Regering Verardening): adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda
tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan Keputusan
Gubernur .

Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan


umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang dibentuk
oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana dan Camat.

 Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah
Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu mencolok, maka asas yang
dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini
menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali,
khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Sistem
ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut : 

a.       Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang
sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat)
b.      Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah Agung)
c.       Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.

Maka dapat disimpulkan pada masa penjajahan Belanda dari segi hukum tata negara, Hindia
Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal ini karena belum terpenuhinya unsur-unsur
untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat.

2.      Masa Penjajahan Jepang


Penjajahan Jepang terhadap Indonesia terjadi pada Perang Dunia ke II. Dapat digambarkan
bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah :

a.       Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan
ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah pendudukan Jepang
adalah wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara Jepang dengan Belanda. Oleh
karena itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal
ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh
kekuasaan Jepang.
b. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur
raya termasuk Indonesia denga menyebut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah
Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji kemerdekaan kepada
Indonesia. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.

Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya


yang telah dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus
1945. Pada saat itu pula sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum
internasional, penguasa pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah
pendudukan tetap dipertahankan seperti sedia kala atau dalam konsidi status quo. 

Perlu diketahui pula pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia
dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu: Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Daerah Selebihnya. Dari
pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik
menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik
Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40
Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang cenderung
berbau otoriter/pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman mengenai undang-undang Osamu
Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada papan-papan pengumuman di Kantor-kantor
pemerintahan Jepang setempat.

B.     Priode Pasca Kemerdekaan Indonesia

Adapun pelaksanaan Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah


sebagai berikut :

1.      UUD 1945 (17 Agustus – 27 Desember 1949)

Sehari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan pertama kali oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pada saat itu dimulailah babak baru penyelenggaraan
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 bersamaan dengan itu telah dipilih dan ditetapkan pula
Presiden dan Wakil Presiden yaitu masing-masing Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Sebagai kelengkapan pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan maka
dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP berfungsi sebagai pembantu presiden
dalam tugas-tugas melaksanakan kedaulatan rakyat dan tugas lembaga tinggi negara lainnya
(MPR, DPR, dan DPA) sebelum badan itu dibentuk. Keanggotaan KNIP sebanyak 135 orang
yang mencerminkan dari tokoh-tokoh perjuangan, tokoh agama, pemimpin partai,pemimpin
masyarakat, pemimpin ekonomi yang terkemuka. Kemudian tanggal 2 September dibentuk dan
dilantik oleh Ir. Soekarno kabinet pertama yang dipimpin langsung oleh Ir. Soekarno.

2.      Konstitusi RIS (27 Desember – 17 Agustus 1950)

Peristiwa terbentuknya negara RIS diawali dari Konferensi Meja Bundar antara Belanda
dan Indonesia di Den Haag dari tanggal 23 Agustus- 2 Novenber 1949. Hasilnya adalah kerajaan
Belanda harus memulihkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada Pemerintahan Republik
Indonesia Serikat. Dan pada hari yang sama pula Republik Indonesia menyerahkan kedaulatan
kapada Republik Indonesia Serikat dan menjadi salah satu dari enam belas negara bagian dari
Republik Indonesia serikat.

Negara Serikat yang berbentuk federal merupakan bentukan dari Belanda seperti Negara
Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan , Negara
Jawa Timur, Negara Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat yang
terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang mempunyai tujuan utama
untuk mempertahan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

3.      UUDS 1950 (17 Agustus 1950- 5 juli 1959)

Seperti yang kita ketahui bahwa negara RIS adala hasil kompromi antara Indonesia
dengan Belanda dalam posisi terdesak Indonesia menerima RIS, namun Negara RIS hasil dari
KMB tidak sejalan dengan cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 27
Desember 1949 dirintis untuk kembali kepada Negara kesatuan dengan proses pemulihan
kedaulatan sebagai berikut:

a.         Negara-negara bagian yang menggabungkan diri kepada Negara dengan bagian yang lain (dalam
hal ini kepada Negara RIS pemerintahan).
b.         Penyerahan kekuasaan kepada pemerintah federal oleh negara bagian.
c.         Persetujuan antara Negara federal dengan Negara bagian.
Dengan cara ini ternyata belum berhasil untuk melaksanakan pembentukan kesatuan
Negara kesatuan kembali, maka harus dicari jalan lain yaitu harus merubah Konstitusi RIS
dengan Konstitusi baru dengan berbagai catatan antara lain:

a.       Pasal-pasal yang federalisme dalam Konstitusi RIS harus dicabut.


b.      Negara kesatuan dibentuk dengan cara semua negara bagian yang ada masuk RI, dengan
sendirinya RIS bubar.

Maka pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950 ini
sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang
parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Pada periode ini
Pemerintahan ini tidak stabil sering terjadi pergantian pemerintahan, untuk itu diadakanlah
Pemilihan Umum untuk Konstituante bulan Desember 1955 yang diikuti oleh banyak partai
politik, pada tanggal 10 November 1956 Presiden Soekarno membuka dengan resmi sidang
pertama Konstituante di Bandung. Presiden Soekarno meminta agar Konstituante agar tidak
terlalu lama bersidang untuk menghasilkan UUD. Tetapi setelah itu Konstituante telah menjadi
medan perdebatan yang tidak berkesudahan, medan pertarungan bagi partai politik dan
pemimpin-pemimpin politik mengenai persoalan-persoalan prinsipil.

Disamping itu terjadi pergolakana pada masa kabinet Ali Satro Amidjojo terjadi
pemberontakan di daerah oleh PRRI/ Permesta pada akhir 1956, kemudian disusul dengan
pengunduran diri wakil Presiden Moh. Hatta. Konstituante yang bersidang untuk membentuk
UUD yang permanen telah gagal.

4.      Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)

Konstiuante telah menyelanggarakan sidang-sidang membahas rencana penggantian


UUDS 1950, akan tetapi kentyataanya Konstituante tidak berhasil membuat rumusan tentang
undang-undang dasar yang dapat dijadikan pengganti UUDS 1950. Karena kemacetan kerja
Konstituante maka pada tanggal 22 April tahun 1959 Presiden menyampaikan amanat kepada
Konstituante yang memuat anjuran kepala negara dan pemerintahan untuk kembali kepapda
UUD 1945. Amanat Presiden diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum sidang
Konstituante tanggal 29 April sampai 13 mei 1959 serta tanggal 16 sampai 26 Mei 1959.1[7]

1[7] Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bekasi : Permata Aksara, 2014), hlm. 195
Maka dengan pertimbangan keselamatan negara dan bangsa pada tanggal 5 Juli 1959
Presiden Soekarno mengumumkan ”Dekrit” yang berisi: pembubaran Konstituante, penetapan
berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.2[8]

5.      Orde Baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998)

Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit
ini ialah Staatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan
umum pada tanaggal 3 juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 15 tahun 1969,
undang-undang mana adalah pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. XL/MPRS/1966 jo. No. XL II/MPRS/1968.3[9]

Sebagai hasil dari pemilihan umum tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971
dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis
Permusyawaratan Rakyat dilantik pula. Dalam sidangnya tahun 1973 Majelis Permusyawaratan
rakyat telah menetapkan bahwa Pemilihan Umum berikutnya akan diadakan pada akhir tahun
1977 dala Ketetapanya No. VIII/MPRS/1973.

Sandaran teoritis yang dikemukakan ialah, bahwa perubahan dengan Dekrit Presiden itu
dapat dianggap sah, karena keadaan darurat maka negara dapat memberlakukan hukum tata
negara darurat (objective staatsnoodrecht).

Dikaitkan dengan lembaga pemilu, ketiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia
(UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950) juga menuntut adanya lembaga pemilu meskipun
ketiganya tidak secara eksplisit menyebutkanya kecuali UUD 1945 pasca amandemen. Tapi
dapat dikatakan UUD itu secara implisit memuat adanya pemilu sebab aparatur negara yang
demokratis yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut secara Konsitusuonal memang
menuntut adanya lembaga pemilu.

C.     Sistem Era Reformasi (21 Mei 1998-20 Oktober 2009)

Reformasi Indonesia jika dipandang secara umum diakibatkan karena krisis ekonomi
dunia pada akhir abad 20, Indonesia salah satu negara yang terkena dampak krisis ini. Dimulai
pada tanggal 22 Januari 1998 angka rupiah tembus 17.000,- per dolar AS dan IMF (Dana

2[8] Ibid., hlm.196

3[9] Ibid., hlm. 196


Moneter Internasional) tidak menunjukkan rencana bantuannya untuk Indonesia. Kemudian awal
Maret terdapat dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR
untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan
pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional.4[10]

Dengan lengsernya Presiden Soeharto pad tanggal 21 Mei 1998 maka terjadi perubahan
besar dibidang ketatanegaraan khususnya dalam konteks demokrasi, hukum dan hak asasi
manusia. Pada masa pemerintahan Habibie menggantikan Presiden soeharto, ia
menyelenggarakan pemilu tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik. Hasil pemilu tersebut
dimana anggota MPR/DPR kemudian memilih H. Abdulrrahman Wahid menjadi presiden dan
Megawati Soekarnoputri menjadi wakil presiden. Sebelum berakhir kepemimpinan Gusdur
terjadi pergolakan ketatanegaraan dimana MPR/DPR mengajukan mosi tidak percaya kepada
presiden Abdurrahman Wahid yang mana kala itu MPR dipimpin oleh H. Amin Rais. Implikasi
politik dari mosi tersebut presiden dilengserkan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. 5
[11]

Pada tahun 2004 diselenggarakan pemilu kedua era reformasi dimana Susilo Bambang
Yudhoyino dan H. Yusuf Kalla dipilih langsung oleh rakyat menjadi presiden dan wakil
presiden. Selanjutnya tahun 2009 pemilu ketiga era reformasi diselenggarakan, hasilnya
dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.

Pada era reformasi usaha untuk menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara
hukum yang demokratis, oleh karena itu salah satu dari berkah era reformasi adalah perubahan
terhadap UUD 1945, karena sejak dekrit 5 Juli 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden
Soeharto praktis UUD 1945 belum pernah diubah.

4[10] http://agusbudipendidikanips.blogspot.com/2013/11/ketatanegaraan-era-reformasi.html. Diakses


pada tanggal 24 Maret 2015

5[11] Op-Cit., hlm. 198


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Sejarah ketatanegaraan di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode
pra kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan dan reformasi. Sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menggunakan asas
dekonsentrasi. Dan pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi
pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950 ini sangat
berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang parlementer,
kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959
berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah Saatsnoodrecht. Dibawah UUD
1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum

Pada era reformasi usaha untuk menjadikan UUD 1945 mendorong terbentuknya negara
hukum yang demokratis dan UUD 1945 belum pernah diubah.
B.     Saran

Besar harapan, makalah ini dapat menjadi tambahan sumber bacaan bagi teman-teman.
Makalah ini kami buat menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Tak luput dari itu, makalah
ini tak terhindar dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan
untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Mahdi Imam, Hukum Tata Negara Indonesia (Teras : Yogyakarta, 2011)

Sinamo Nomensen, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bekasi : Permata Aksara, 2014)

Sumber dari internet :

http://shintahappyyustiari.lecture.ub.ac.id/files/2012/10/SEJARAH-
KETATANEGARAAN-INDONESIA1.pdf

http://agusbudipendidikanips.blogspot.com/2013/11/ketatanegaraan-era-reformasi.html.

https://ferryyanto88.wordpress.com/2014/05/27/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-pra-
kemerdekaan/

Anda mungkin juga menyukai