Anda di halaman 1dari 14

Hukum Pidana Islam

A. Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah)


1. Pengertian
Hukum pidana Islam sering disebut dengan fikih jinayah. Fikih jinayah terdiri dari dua kata.
Fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham.
Pengertian fikih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah:
Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[1]

Sedangkan Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang
buruk dan apa yang diusahakan.
Adapun jinayah secara istilah sebagai mana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah
adalah:
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.[2]

Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut:


Yang dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang.
Dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk
melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau harta
benda.[3]

Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan jinayah yakni suatu tindakan yang
dilarang oleh syara’ (Al Qur’an dan Hadis) karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa,
harta, keturunan, dan akal (intelegensia).[4] Pengertian dari istilah jinayah mengacu pada
hasil perbuatan seseorang dan dalam pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang
dilarang. Umumnya para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-
perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan, pembunuhan, dan
sebagainya. Selain itu ada fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan Qishash, tidak termasuk perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir.. istilah lain yang sepadan dengan istila
jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman
had atau ta’zir.[5] 

2. Unsur atau rukun jinayah


Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah peristiwa pidana ,
delik atau tindak pidana. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah
mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan diancam dengan
hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk
kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya, perbuatan-
perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut diancam
hukuman.
Larangan-larangan berasal dari Syara’, maka larangan-larangan tersebut hanya ditujukan
kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat
menerima panggilan (khitab), dan dengan demikian orang tersebut mampu memahami
pembebanan (taklif)dari syara’. Perbuatan-perbuatan merugikan yang dilakukan orang gila,
anak kecil tidak dapat dikategorikan sbagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima
khitab atau memahami taklif. Dari sinilah dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah.
Unsur atau rukun jinayah trsebut adalah:
a. Unsur formil  yaitu, adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan
mengancamnya dengan hukuman.
b. Unsur materiel yaitu, adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidana (Jarimah), baik
berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c. Unsur moral atau pertanggungjawaban yaitu, bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf,
yakni orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana yang
dilakukannya.[6]
d. Unsur formil (al-Rukun al-Syar’i)
Dalam  pembahasan unsur formil ini terdapat lima masalah pokok.
1) Asas legalitas
Bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana (Jarimah) yang harus dituntut,
apabila ada nash yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Abdul Qadir Audah bahwa “Sebelum ada nash
(ketentuan) tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat”
Jelas bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai
perbuata yang dilarang, selama belum ada nash yang melarangnya dan ia dapat bebas
melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sampai ada nash (ketentuan) yang
melarangnya. Kaidah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut;
Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali
karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak
berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan
atau hukuman atas pelakunya.[7]

Sudut pandang atas suatu perbuatan bukan hanya sebatas larangan saja, melainkan
dipertegas dengan adanya ketentuan hukum tentang sanksi atas suatu perbuatan. Dengan
demikian menurut syariat Islam tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan
adanya nash. Disamping itu juga ada kaidah lain yang menjelaskan tentang syarat-syarat
yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung
jawab pada perbuatan yang diperintahkan.

Adapun syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam:


1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklif.
2. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman,
sedangkan syarat.

Untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam:


1. Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan
mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya:
3. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna. Hal ini berarti yang
pertama, pelaku mengetahui hukum-hukum taklif dan untuk itu maka hukum tersebut
harus sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang banyak. Dengan demikian berarti tidak
ada jarimah kecuali dengan adanya nash (ketentuan). Kedua adalah, pada ketentuan hukum
itu sendiri ada faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Hal ini
berarti ia mengetahui bahwa ia akan dikenakan hukuman apabila tidak menaati peraturan
atau ketentuan hukum tersebut. Dengan demikian maka hal ini berarti bahwa suatu
ketenuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumannya.[8]
Dasar tentang kaidah asas legalitas dalam hukum pidana islam bersumber dari ayat atau
nash Al Qur’an. diantaranya adalah:

Dan tidaklah Tuhanmu menghancurkan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukotanya,


seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami. (QS. Al-Qashash: 59)

Tuhan tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya. (QS. Al-Baqarah: 286)

Katakana olehmu (Ya Muhammad) kepada orang-orang yang kafir, jika mereka
menghentikan kekafirannya, maka akan diampuni bagi mereka apa yang sudah lalu. (QS. Al-
Anfal: 38)

2) Sumber-sumber aturan pidana Islam


Dua dasar pokok dalam syari’at Islam dan berisi aturan-aturan yang bersifat umum adalah
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan sumber ketiga dan keempat adalah ijma’ dan qiyas
yang merupakan pengambilan (istimbath) hukum dari nash-nash Al Qur’an dan As-Sunnah.
[9] Sebenarnya masih ada sumber-sumber hukum yang lain, namun masih ada perselisihan.
Sumber-sumber tersebut diantaranya adalah istihsan, istishhab, maslahatul mursalah, urf,
mazhab sahabat, dan syar’u man qablana yang lebih jelasnya dapat dibaca dalam kitab-
kitab ushul fiqh.

3) Masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam


Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya pidana ini, pada
prinsipnya tidak berlaku surut. Meskipun demikian, dikalangan para ulama ada yang
berpendapat mengenai adanya kekecualian dari hal tersebut. Dalam hal ini berkenaan
dengan kejahatan-kejahatan yang betul-betul berbahaya untuk masyarakat, seperti halnya
dalam kasus hirabah(pembegalan/perampokan). Hal ini karena ada dasar hukunya dalam
surah Al-Maidah ayat 33
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

4) Lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam


Pada dasarnya syariat Islam bukan syariat regional atau kedaerahan, melainkan syariat yang
bersifat universal dan internasional. Keberlakuan syariat islam itu untuk seluruh dunia dan
semua umat mnusia, baik mereka itu muslim atau non muslim. Dalam surah Al-Anbiyaa’ yat
107 dijelaskan.

Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Berlakunya hukum pidana Islam dalam hubungannya dengan lingkungan, secara teoritis
para fuqaha membagi dunia ini dala dua bagian:
1. Negara islam (darul Islam)
Termasuk kelompok negeri Islam adalah negeri-negeri dimana hukum Islam tampak
didalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam kelompok
ini, negeri dimana penduduknya yang beragama Islam dapat menjalankan hukum-hukum
Islam. [10]

Penduduk negeri Islam dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah penduduk muslim,
yaitu penduduk yang memeluk dan percaya kepada agama Islam, dan yang kedua adalah
penduduk bukan muslim, yaitu mereka yang tinggal di negeri Islam tetapi masih tetap
dalam agama asal mereka. Mereka ini terdiri dari dua bagian, yakni kafir zimmi (non muslim
yang tinggal dinegeri Islam dan tunduk kepada hukum dan peraturan Islam berdasarkan
perjanjian yang berlaku) dan kafir mu’ahad  atau musta’man (non muslim yang tinggal
dinegeri Islam dan tunduk kepada hukum dan peraturan Islam berdasarkan perjanjian
keamanan yang bersifat sementara karena suatu keperluan). Kedua penduduk tersebut
dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh syariat Islam, karena jaminan itu bias diperoleh
dengan dua cara, yaitu keimanan dan keamanan.

2. Negara bukan Islam (Darul Harbi)


Termasuk dalam kelompok negeri bukan Islam adalah negeri-negeri yang tidak dikuasai
oleh kaum muslimin atau negeri dimana hukum Islam tidak dijalankan walaupun disana
terdapat umat Islam.
Penduduk negeri ini terbagi menjadi dua, yakni kafir harbi (penduduk asli dari negeri bukan
islam yang tidak memeluk agama Islam dan bagi mereka tidak mendapat jaminan selama
tidak ada perjanjian biasa atau damai dengan Negara Islam) dan penduduk muslim (muslim
yang yang tinggal dan menetap di negeri non muslim).

5) Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya hukum pidana Islam


Hukum pidana syariat Islam khususnya dalam pelaksananya tidak membeda-bedakan
tingkatan manusia.. jadi, setiap orang yang melakukan tidak pidana harus dijatuhi hukuman,
baik ia penguasa maupun rakyat, kaya mauoun miskin, bangsawan atau rakyat jelata.
Karena perbedaan tingkatan itu ada pada ketaqwaan. Dalam surah Al-Hujurat ayat 13
dijelaskan:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.

Dalam hadis pidana lain Rasulullah juga menjelaskan:


Dari Aisyah ra. Bahwa kaum Quraisy telah dihebohkan oleh peristiwa wanita
Makhzumiahyang melakukan pencurian. Salah seorang dari mereka bertanya: siapa yang
bias menghadap kepada Rasulullah untuk membicarakan masalah ini ? Mereka berkata:
Tidak ada yang berani kecuali Usamah kesayangan Rasulullah saw. Kemudian Usamah
menghadap dan berbicara dengan Rasulullah. Rasulullah kemudian bersabda: Apakah
engkau akan mengadakan pembelaan terhadap salah satu ketentuan Allah ? Rasulullah
kemudian berdiri dan berpidato dan ahirnya mengatakan: Sesungguhnya hancurnya orang-
orang sebelum kamu adalah karena apabila diantara mereka terdapat bangsawan yang
mencuri, mereka tidak menghukumnya. Akan tetapi apabila orang yang mencuri itu orang
yang lemah, mereka baru melaksanakan hukuman. Demi Allah andaikan Fatimah anak
Muhammad mencuri, saya pasti memotong tangannya. (HR. Al-Buhari)
Hadis ini jelas menunjukkan tidak ada diskriminasi hukum.  Setiap orang yang melakukan
tindak pidana harus dikenakan hukuman, walaupun ia adalah kepala Negara atau pejabat.
Masalah tersebut telah disepakati oleh para fuqaha.

Unsur Materiel (al-Rukun al-Madi)


Unsur ini mencakup setiap perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada
individu atau masyarakat. Perbuatan tersebut adakalaya dilakukan oleh seorang dan
adakalanya dilakukan  oleh beberapa orang atau bersama-sama dengan orang lain (al
istirak).

Pembicaraan tentang unsur materiel ini akan mencakup tiga masalah pokok:
1. Percobaan melakukan jarimah
Istilah percobaan ini tidak ada perhatian secara khusus di kalangan fuqaha dikarenakan dua
hal. Yang pertama, percobaan melekukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau
qishash, melainkan dengan hukuman ta’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah itu.
Para fuqaha lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimah hudud dan qishash, karena
unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan. Disamping itu,
hukumannya juga sudah ditentukan macam dan jenisnya tanpa boleh dikurangi atau
ditambah.. akan tetapi untuk jarimah-jarimah ta’zir, hamper seluruhnya diserahkan kepada
penguasa untuk menetapkannya terutama hukumannya. Di samping itu, hakim diberi
wewenang yang luas dalam menjatuhkan hukuman dengan berpedoman pada batas
maksinal dan minimal yang telah  di tetapkan oleh penguasa.. ta’zir juga dapat mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat, dan yang kedua, dengan adanya aturan-
aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir, maka
aturan-aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir
dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Percobaan yang pengertiannya adalah mulai melakukan suatu perbuatan yang dilarang
tetapi tidak selesai, termasuk kepada maksiat yang hukumannya adalah ta’zir.[11]

Ada beberapa sebab tidak selesainya perbuatan, diantaranya:


a) Adakalanya karena terpaksa, misalnya karena tertangkap. Dalam hal ini maka pelaku
tetap harus dikenakan hukuman, selama perbuatannya itu sudah bias diktegorikan maksiat.
b) Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
1. Bukan karena taubat, dan
2. Karena taubat.[12]

Turut serta melakukan jarimah


Adakalanya suatu jarimah dilakukan oleh satu orang atau lebih. Apabila beberapa orang
bersama-sama melakukan jarimah, maka perbuatannya itu itu disebut turut berbuat
jarimah (al isytirak).

Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam:


a. Turut  serta secara langsung (al isytirak al mubasyir). Orang yang turut serta disebut
peserta langsung (as syirku al mubasyir). Disini apabila orang-orang yang melakukan
jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Pengertian melakukan jarimah dengan nyata
disini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian
secara langsung, walaupun tidak sampai selesai. Jadi, cukup dianggap sebagai turut serta
secara langsung apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan yamg dipandang
sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu.
b. Turut serta secara tidak langsung (al isytirak bi al tasabbub). Orang yang turut serta
disebut peserta tidak langsung atau sebab (al syirku al mutasabbib). Turut berbuat tidak
langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk
melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau
memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan.

Unsur-unsur turut berbuat tidak langsung itu ada tiga macam:


1. Adanya perbuatan yang dapat dihukum. Dalam hal ini perbuatan tersebut tidak perlu
harus selesai, melainkan cukup walaupun baru percobaan saja. Juga tidak disyaratkan
pelaku langsung harus dihukum pula.
2. Adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut
dapat terjadi.
3. Cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan,
menyuruh, atau memberi bantuan.[13]

c. Usur moril atau unsur pertanggungjawaban pidana (al-Rukun al-Adabi)


Dua masalah pokok dalam unsur moril atau pertanggungjawaban pidana dalam hukum
pidana Islam, yakni pertanggungjawaban pidana dan hapusnya pertanggungjawaban
pidana.

1. Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana, yakni pembebanan seseorang dengan akibat perbuatannya
atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang
tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.[14]

Dalam syariat Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga hal:


a. Adanya perbuatan yang dilarang,
b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauannya sendiri, dan
c. Pelaku memahami akibat perbuatannya.

Apabila ketiga hal tersebut terpenuhi, maka dibebankan pula pertanggungjawaban


tersebut, apabila tidak terpenuhi dari ketiga hal tersebut, maka tidak dibebani
pertanggungjawaban., karena dasar pertanggungjawaban pada mereka ini tidak ada.
Termasuk diantaranya adalah orang gila, anak dibawah umur, orang yang dipaksa dan
terpaksa. Dalam sebuah hadis disebutkan:

Artinya :
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.“ (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu
Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali Ibnu Thalib).[15]

Dalam surah An-Nahl ayat 106 disebutkan tentan orang yang dipaksa:

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Orang yang harus bertanggungjawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri bukan orang lain. Hal ini didasarkan firman Allah surah Faathir ayat 18:
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

Kejahatan merupakan perbuatan melawan hukum, dan perbuatan yang melawan hukun
tersebut adakalanya disengaja dan adakalanya kekeliruan. Sengaja terbagi menjadi dua
bagian:
a. Sengaja semata-mata (al- amdu), adalah sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan
perbuatan yang dilarang.
b. Menyerupai  sengaja (syibhul amdi), adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud
melawan hukum, tetapi akibat itu tidak dikehendaki.

Sedangkan kekeliruan juga terbagi menjadi dua macam.


a. Keliru  semata-mata (al khata’), ialah terjadinya suatu perbuatan diluar kehendak pelaku,
tanpa ada maksud melawan hukum, bias jadi karena kelalaiannya atau kurang hati-hati
kekeliruan ini terbagi menjadi dua macam, yakni keliru dalam perbuatan dan keliru dalam
dugaan.
b. Kedaan  yang disamakan dengan keliru, dalam hal ini ada dua bentuk perbuatan.
Pertama, pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi
hal itu terjadi diluar pengetahuannya dan sebagai akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku
menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang dilarang karena kelalaiannya tetapi tanpa
dikehendaki.

Beberapa hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana:


a. Pengaruh tidak tahu
Ketentuan yang berlaku dalam syariat  adalah bahwa pelaku tidak dihukum karena suatu
perbuatan yang dilarang, kecuali dia mengetahui dengan sempurna tentang larangannya
perbuatan tersebut. Pengertian mengetahui disini bukan pengetahuan secara hakiki,
melainkan cukup dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui, apabila orang dewasa
dan berakal sehat serta memperoleh kesempatan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan
yang dilarang, baik dengan belajar maupun bertanya kepada orang pandai, maka orang
tersebut dianggap mengetahui semua perbuatan yang dilarang, dan ia tidak dapat
beralasan tidak tahu.[16]

b. Pengaruh lupa
Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syariat islam lupa
disejajarkan dengan keliru, seperti pada ayat 286 surah Al-Baqarah.

"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah.

Juga seperti dalam hadis disebutkan:


Hadis………….
Dihapuskan dari umatku kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya.[17]

Para fuqaha terbagi kepada dua kelompok dalam perihal lupa ini. Pertama, kelompok yang
mengatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun
urusan pidana.
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman
ahirat, karena hukuman ahirat didasarkan atas kesengajaan, sedangkan pada orang lupa
kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bias
menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang  berhubungan
dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukanperbuatannya itu
dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali.[18]

c. Pengaruh keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena
kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan,
melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.

Perbuatan yang berkaitan dengan jarimah dan hubungannya dengan pertanggungjawaban


pidana itu ada tiga macam, hal ini diperlukan untuk menentukan siapa pelaku sebenarnya
dan siapa:
a. Perbuatan langsung (al mubasyirah), adalah suatu perbuatan yang dengan langsung
tanpa perantara telah menimbulkan jarimah dan sekaligus menjadi illat  bagi jarimah
tersebut.
b. Perbuatan sebab (as sababu), adalah suatu perbuatan yang secara tidak langsung
menimbulkan jarimah dan menjadi illat-nya pula, tetapi dengan perantaraan perbuatan lai,
seperti persaksian palsu atas orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa ia telah
melakukan pembunuhan.
c. Perbuatan syarat (as syartu), adalah suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah
dan tidak menjadi illat-nya, seperti seorang yang membuat sumur untuk keperluan sehari-
hari, tetapi kemudian digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk menjerumuskan orang
ketiga sehingga ia mati.

2. Hapusnya pertanggungjawaban pidana


Hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku dapat menghapus pertanggungjawaban
pidana. Dalam keadaan yang pertama perbuatan yang dilakukan adalah mubah (tidak
dilarang) sedangkan dalam keadaan yang kedua adalah perbuatan yang dilakukan tetap
dilarang tetapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman. Sebab-sebab yang berkaitan dengan
perbuatan disebut asbab al ibahah atau sebab di bolehkannya perbuatan yang dilarang.
Sedankan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut asbab raf’ al uqubah
atau sebab hapusnya hukuman.
Asbab al-ibahah atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang pada umumnya
berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan
yang bagi masyarakat pada umumnya dilarang, kadang-kadang untuk orang-orang tertentu
dibolehkan karena hal itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban.
Misalnya, seorang algojo yang melaksanakan tugasnya untuk melakukan eksekusi mati.[19]

Bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang Abdul Qadir Audah mengemukakan
ada enam macam, yaitu:
a. Pembelaan yang sah (ad difa’ as syar’), secara khusus seperti menolak penyerangan (daf’u
ash-shail) dan secara umum adalah  Amar ma’ruf nahi munkar. Berdasarkan surah al
baqarah ayat 194
…Oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu..
Hadis nabi saw……………………………..
Dari sa’id ibn Zaid berate: Tela bersabda Rasulullah saw. “Barang-siapa yang dibunuh karena
mempertahankan hartanya, maka ia termasuk nati syahid” (Hadis diriwayatkan oleh imam
yang empat dan disahihkan oleh At-Tirmizi).[20]
Didasarkan pula oleh Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahihkan oleh
At Tirmizi.

Barang siapa yang dibunuh karena mempertahankan agamany, maka ia mati syahid, dan
barangsiapa yang dibunuh karena mempertahankan jiwanya maka ia mati syahid, dan
barang siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid.[21]

Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk
mempertahankan diri sendiri atau diri oranglain dari serangan terhadap jiwa, kehormatam,
dan harta benda.

Untuk terwujudnya keadaan membela  diri harus terpenuhu beberapa syarat sebagai
berikut.
1. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum.
2. Penyerangan harus terjadi seketika.
3. Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan.
4. Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya.

Sedangkan pembelaan umum ialah, pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam
istilah Amar ma’ruf nahi munkar. Sehubungan dengan ini keberlakuannyapun hanya oleh
mukallaf dan tidak dipandang maksiat perbuatan anak kecil dan orang gila, karena
perbuatan maksiat hanya bias terjadi dari orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan maksiat.[22] Sesuai dengan syarat dari pembelaan umum, yaitu:
1.      Dewasa dan berakal (mukallaf)
2.      Iman
3.      Adanya kesanggupan
4.      Adil tidak fasik (bersih dari perbuatan maksiat)
5.      Izin (persetujun dari penguasa)

b. Pendidikan dan pengajaran (at takdib), seperti seorang suami terhadap isteri yang
menyeleweng (nusyuz) dan angkuh, dengan batasan-batasan tertentu. Hal ini didasarkan
pada firman Allah dalam Al Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
c.    Pengobatan (at tabib), seperti seorang dokter dengan profesinya.
d.   Permainan olahraga (al ‘abulfurusiyah)
e.    Hapusnya jaminan keselamatan (ihdarul asykhashi)

Adapun yang dimaksud dengan jaminan keselamatan adalah kebolehan diambilnya


tindakan terhadap jiwa seseorang atau anggotabadannya, sehingga bias dibunuh atau
dilukai.[23]

Jaminan keselamatan dapat diperoleh dengan dua cara.


1. Iman atau Islam (orang yang menyatakan dirinyavberiman atau telah masuk Islam, ia
tidak boleh dibunuh atau dianiaya).
2. Perjanjian keamanan baik sementara maupun selamanya.
f. Menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib (hukuk
alhukmi wawajibatuhum). [24]  Seorang penguasa tidak dikenakan pertanggung jawaban
pidana, apabila perbuatan yang dilakukannya masih dalam batas-batas wewenangnya, atau
diluar batas wewenangnya , tetapi perbuatannya dilakukan dengan itikad baik.[25]

Asbab raf’ al uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang
dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja
olehkarena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia
dibebaskan dari hukuman. Diantara sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada empat
macam:
1. Paksaan (al ikrah)
“Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan
oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah
suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang
yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang
dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain
dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya
hilang kerelaannya”.[26]

2. Mabuk (al sukru)


Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum
minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu
Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk  itu adalah orang yang banyak mengigau pada
pembicaraannya. Alasan mereka ini didasarkan pada firman Allah dalam Surah An-Nisa’
ayat 43.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan….[27]

3. Gila (al jununu)


Secara umum dan luas , gila memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”.[28]
Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mencakup gila
(junun), dungu (al-‘ithu), dan semua jenis penyakit kejiwaan hyang sifatnya menghilangkan
idrak (kemampuan berfikir). Beberapa jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh
kekuatan berpikir maupun sebagiannya.

1. Gila dan keadaan-keadaan lain yang sejenis


a. Gila terus menerus
Gila terus menerus adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat berpikir sama
sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang dating kemudian.
Dikalangan fuqaha, gila semacam ini disebut dengan Al-Jununu Al-Muthbaq.
b. Gila berselang
Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak terus-menerus.
Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan
apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat berpikir kembali seperti biasa.
Pertanggungjawaban pidana pada gila terus menerus hilang sama sekali, sedang pada gila
berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.
c. Gila sebagian
Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara tertentu,
sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam kondisi
dimana ia masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika
ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari pertanggungjawaban pidana.
d. Dungu (Al-‘Ithu)
Menurut para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi
sebagai berikut.
“orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur,
tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena
suatu penyakit.[29]
Dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah dan dungu bias
dikatakan berbeda dengan gila, karena hanya mengakibatkan lemahnya berpikir bukan
menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan
berpikir, sesuai dengan tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu
bagaimanapun tidak sama kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Namun
secara umum orang dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.[30]
e. Dibawah umur (shighar assinni).[31]
Secara alamiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai
dewasa.
1. Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak)
2. Masa kemampuan berpikir yang lemah
Masa kemampuan berpikir penuh.
1. Pengertian Madzhab

Kata-kata madzhab adalah merupakan shighat (bentuk) isim makan (kata yang menunjukkan
tempat) yang terambil dari Fi’il Madhi Dzahaba (‫( ذهب‬yang memiliki arti pergi. Untuk itu
madzhab berarti: tempat pergi atau jalan. Adapun kata lain yang semakna dengan madzhab
ini adalah: Maslak ( ‫ مسلك‬,( tharîqah ( ‫ ( طريقة‬dan sabîl ( ‫ ( سبيل‬yang kesemuanya berarti jalan
atau cara. Demikianlah kata madzhab dalam pengertian bahasa. Madzhab menurut istilah
dalam kalangan umat Islam: Sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim
besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Sedangkan menurut Siradjuddin
Abbas madzhab adalah “Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid”. Dalam buku yang
sama Syeikh M.Said Ramadlan al-Buthi menandaskan bahwa pengertian madzhab menurut
istilah ialah jalan pikiran/paham/ pendapat yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid di
dalam menetapkan suatu hukum Islam dari al-Qur`an dan al-Hadits. Dari definisi-definisi
yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
madzhab itu mengandung dua pengertian yaitu: Pertama, madzhab berarti jalan pikiran atau
metode ijtihad yang ditempuh seseorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum sesuatu
peristiwa berdasarkan al-Qur`an dan as-sunnah. Kedua, madzhab dalam arti fatwa-fatwa
atau pendapat-pendapat seorang imam mujtahid tentang suatu hukum terhadap suatu
masalah yang digali dari al-Quran dan al-Hadits.

2. Historisitas Lahirnya Madzhab.

a. Terpecahnya Umat Islam kepada Golongan/Madzhab.

Pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup umat Islam masih bersatu, baik dalam masalah
akidah atau masalah syari’ah (Hukum Islam). Hal ini tidak lain karena adanya otoritas pembinaan
hukum dan aqidah yang secara langsung dipegang oleh Nabi sendiri. Beliaulah yang menetapkan dan
memutuskan hukum yang terjadi, baik berdasarkan petunjuk al-Qur`an atau berdasarkan perkataan
beliau sendiri. Umat Islam pada masa itu tidak perlu berijtihad tentang sesuatu persoalan yang
belum ada nashnya. Para sahabat merasa cukup dengan adanya Rasulullah sebagai tempat bertanya.
Jikapun sesekali perlu menggunakan ijtihad, hasil ijtihad disampaikan kepada Nabi, lalu Nabi
memberikan keputusannya. Setelah Rasulullah wafat otoritas pembinaan hukum umat pun
berpindah kepada para sahabat. Pada saat itu sesungguhnya sudah terjadi penafsiran-penafsiran
hukum atau istinbâth hukum dengan cara mengeluarkan fatwa-fatwa untuk peristiwa-peristiwa yang
tidak terdapat dalam nash. Namun demikian perbedaan pendapat di kalangan sahabat tersebut
tidak menyebabkan timbulnya golongan-golongan/madzhab-madzhab dalam Islam. Hal ini
karenakan faktor antara lain: kokohnya prinsip musyawarah di kalangan sahabat, mudahnya tercapai
ijma’, periwayatan hadits masih belum begitu tersiar, sedikitnya persoalan-persoalan baru, tidak
terlalu banyak mengeluarkan fatwa, orang yang berwenang memberikan fatwapun adalah mereka-
mereka yang betul-betul ‘âlim (expert) di bidangnya. Di ranah hukum Islam pada masa sahabat
relatif masih dapat dipersatukan, namun pada masa tersebut sudah ada pertentangan pada masalah
politik kekhalifahan, terutama sejak khalifah Usman menjabat sebagai khalifah yang ketiga. Pada
masa ini ada segolongan umat Islam yang tidak senang dan tidak setuju dengan Khalifah Usman.
Terutama karena Usman menjalankan politik pemerintahannya dengan sistem ‘kekeluargaan’.
Hasutan Abdullah ibn Saba’ mengenai wasiat politik Muhammad kepada Ali telah memberikan
dampak kepada sebagian umat Islam. Muncullah dua aliran yang terbesar di kalangan kaum Syi’ah,
pertama, madzhab Wishayah yang berpendapat bahwa Ali telah menerima wasiat dari Rasulullah
saw. untuk menjadi khalifah sesudah beliau wafat. Dikatakan juga bahwa Ali adalah penerima wasiat
terakhir justru karena Nabi Muhammad saw. adalah Nabi terakhir. Kedua, Madzhab Hak Ilahi yang
berpendapat bahwa Ali berhak menjadi khalifah itu karena hal itu sudah merupakan ketentuan dari
Allah SWT. Dikatakan pula bahwa Usman telah merampas hak dengan kekerasan. Akibat hasutan
dan propaganda yang diusung oleh Abdullah bin Saba tersebut, maka orang yang menentang
kekhalifahan Usman berusaha menjatuhkan beliau dari kedudukannya sebagai khalifah, yang pada
akhirnya menyebabkan kepada terbunuhnya khalifah Usman. Pasca terbunuhnya Ustman, mayoritas
umat Islam membai’at Ali bin Ali Thalib sebagai khalifah ke empat. Namun, terpilihnya Ali sebagai
khalifah menyisakan persoalan perang Jamal dan perang Shiffin. Peristiwa tahkim (arbitrase) dalam
perang Shiffin menghantarkan umat Islam terpecah secara politis kepada dua golongan besar :
Pertama, kelompok Khawarij yang memisahkan diri dan benci terhadap Ali dan Mu’awiyah beserta
orang-orang yang mendukung mereka. Kedua, kelompok Syi’ah yaitu golongan yang setia10 dan
sangat loyal kepada Ali dan kaum kerabatnya. Dengan memperhatikan uraian di atas maka jelaslah
bahwa pengaruh perpecahan umat Islam di ranah politik menjadi dua golongan besar itu ternyata
memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan syari’at (fiqh) Islam di masa berikutnya.
Hal ini sangat berpengaruh juga dalam hal timbulnya madzhabmadzhab fiqh di masa-masa
selanjutnya.

b. Lahirnya Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra’yi

Sejak kekhalifahan dipegang oleh khalifah ke-dua Umar bin Khaththab, wilayah kekuasan semakin
meluas. Hal ini menyebabkan para ulama pergi bertebaran ke berbagai kota dan daerah kekuasaan
Islam. Masing-masing memberikan fatwa-fatwa dalam masalah keagamaan. Para ulama yang
melakukan ijtihad pada masa itu mempunyai kecenderungan serta panutan masingmasing terhadap
sahabat yang mereka anggap lebih kompeten dalam hal berijtihad. Di kalangan para sahabat sudah
ada dua corak (aliran) dalam cara mengistinbâthkan hukum. Misalnya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
adalah dua sahabat Nabi saw. yang kuat berpegang teguh kepada kekuatan nâsh. Mereka tidak mau
menggunakan ra’yu kecuali apabila dalam keadaan terpaksa, yaitu di saat mendapatkan suatu
peristiwa yang benar-benar sudah terjadi, sedangkan nâsh hukumnya tidak ada. Dalam situasi yang
demikian ini barulah mereka menggunakan ra’yu. Sahabat Ali bin Abi Thalib, Umar bin al-Khaththab,
dan Ibnu Mas’ud misalnya, mereka adalah sahabat Nabi yang dikenal banyak menggunakan ra’yu
dalam menetapkan hukum suatu masalah atau dengan kata lain mereka tidak terpaku pada dzahîr
nâsh saja namun ma’na lafadz, dilâlâh dan ruh syari’at/tasyri’ juga menjadi perhatian mereka. Di
kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara beristinbâth yang dilakukan oleh para
sahabat tersebut. Tabi’in Hijaz misalnya terpengaruh oleh ijtihadnya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Sehingga kelahiran mereka lebih dikenal dengan sebutan Aliran ahlu al-hadîts. Sedangkan tabi’in
yang berada di Irak terpengaruh oleh ijtihadnya Ali, Umar, dan Ibnu Mas’ud. Sehingga mereka lebih
dikenal dengan aliran Qiyas (ra’yu). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Ulama Hijaz menjadi
ahlu al-hadîts yaitu: Pertama, mereka dipengaruhi oleh guru-guru mereka yang sangat ketat dan
teliti terhadap penggunaan nash-nash hadits dalam berijtihad. Kedua, mereka hanya hafal hadits
Nabi dan fatwa Sahabat, di samping sedikit sekali terjadinya peristiwa-peristiwa baru yang tidak
terdapat bandingannya di masa sahabat. Ketiga, mereka hidup dalam keadaan permulaan
perkembangan Islam, manakala mereka diminta berfatwa tentang suatu hal maka terlebih dahulu
mereka memeriksa kitab Allah (alQur`ân), sunnah Rasul kemudian Fatwa Sahabat. Dan kemudian
mereka berijtihad bi ar-ra’yi jika tidak ditetapkan hukumnya dalam nash. Sedangkan faktor-faktor
penyebab ulama Irak menjadi Ahlu ar-ra’yi adalah sebagai berikut: Pertama, mereka terpengaruh
oleh jalan pikiran guru mereka, seperti sahabat Abdullah bin Mas’ud yang terkenal sangat
terpengaruh oleh jalan pikiran dari Sahabat Umar bin Khaththab. Kedua, Kufah dan Basrah dua kota
yang banyak didiami oleh ulama Irak adalah merupakan markas tentara Islam, dan Kufah merupakan
tempat kedudukan khalifah Ali bin Abi Thalib yang banyak dikunjungi oleh para sahabat seperti
Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ammar bin Yasir, Abu Musa al-‘Asy’ari. Dengan
demikian sudah barang tentu mereka meriwayatkan hadits-hadits Nabi. Keadaan seperti ini
menyebabkan ulamaulama Irak cukup menguasai hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para Sahabat
yang datang berkunjung. Di samping itu Irak adalah tempat/sumber fitnah kekacauan. Di Iraklah
awal mula timbul keberanian sebagian kalangan untuk membuat-buat hadits palsu. Hal ini pulalah
yang membuat ulama-ulama Irak terpaksa membuat persyaratan yang ketat berkaitan dengan
penerimaan sebuah hadits dari para Sahabat. Sehingga ulama Iraq cenderung lebih banyak
menggunakan ratio (ra’yu) daripada hadits yang belum diyakini kebenarannya.

Anda mungkin juga menyukai