Sedangkan Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang
buruk dan apa yang diusahakan.
Adapun jinayah secara istilah sebagai mana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah
adalah:
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.[2]
Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan jinayah yakni suatu tindakan yang
dilarang oleh syara’ (Al Qur’an dan Hadis) karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa,
harta, keturunan, dan akal (intelegensia).[4] Pengertian dari istilah jinayah mengacu pada
hasil perbuatan seseorang dan dalam pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang
dilarang. Umumnya para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-
perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan, pembunuhan, dan
sebagainya. Selain itu ada fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan Qishash, tidak termasuk perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir.. istilah lain yang sepadan dengan istila
jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman
had atau ta’zir.[5]
Sudut pandang atas suatu perbuatan bukan hanya sebatas larangan saja, melainkan
dipertegas dengan adanya ketentuan hukum tentang sanksi atas suatu perbuatan. Dengan
demikian menurut syariat Islam tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan
adanya nash. Disamping itu juga ada kaidah lain yang menjelaskan tentang syarat-syarat
yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung
jawab pada perbuatan yang diperintahkan.
Tuhan tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya. (QS. Al-Baqarah: 286)
Katakana olehmu (Ya Muhammad) kepada orang-orang yang kafir, jika mereka
menghentikan kekafirannya, maka akan diampuni bagi mereka apa yang sudah lalu. (QS. Al-
Anfal: 38)
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Berlakunya hukum pidana Islam dalam hubungannya dengan lingkungan, secara teoritis
para fuqaha membagi dunia ini dala dua bagian:
1. Negara islam (darul Islam)
Termasuk kelompok negeri Islam adalah negeri-negeri dimana hukum Islam tampak
didalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam kelompok
ini, negeri dimana penduduknya yang beragama Islam dapat menjalankan hukum-hukum
Islam. [10]
Penduduk negeri Islam dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah penduduk muslim,
yaitu penduduk yang memeluk dan percaya kepada agama Islam, dan yang kedua adalah
penduduk bukan muslim, yaitu mereka yang tinggal di negeri Islam tetapi masih tetap
dalam agama asal mereka. Mereka ini terdiri dari dua bagian, yakni kafir zimmi (non muslim
yang tinggal dinegeri Islam dan tunduk kepada hukum dan peraturan Islam berdasarkan
perjanjian yang berlaku) dan kafir mu’ahad atau musta’man (non muslim yang tinggal
dinegeri Islam dan tunduk kepada hukum dan peraturan Islam berdasarkan perjanjian
keamanan yang bersifat sementara karena suatu keperluan). Kedua penduduk tersebut
dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh syariat Islam, karena jaminan itu bias diperoleh
dengan dua cara, yaitu keimanan dan keamanan.
Pembicaraan tentang unsur materiel ini akan mencakup tiga masalah pokok:
1. Percobaan melakukan jarimah
Istilah percobaan ini tidak ada perhatian secara khusus di kalangan fuqaha dikarenakan dua
hal. Yang pertama, percobaan melekukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau
qishash, melainkan dengan hukuman ta’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah itu.
Para fuqaha lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimah hudud dan qishash, karena
unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan. Disamping itu,
hukumannya juga sudah ditentukan macam dan jenisnya tanpa boleh dikurangi atau
ditambah.. akan tetapi untuk jarimah-jarimah ta’zir, hamper seluruhnya diserahkan kepada
penguasa untuk menetapkannya terutama hukumannya. Di samping itu, hakim diberi
wewenang yang luas dalam menjatuhkan hukuman dengan berpedoman pada batas
maksinal dan minimal yang telah di tetapkan oleh penguasa.. ta’zir juga dapat mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat, dan yang kedua, dengan adanya aturan-
aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir, maka
aturan-aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir
dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Percobaan yang pengertiannya adalah mulai melakukan suatu perbuatan yang dilarang
tetapi tidak selesai, termasuk kepada maksiat yang hukumannya adalah ta’zir.[11]
1. Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana, yakni pembebanan seseorang dengan akibat perbuatannya
atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang
tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.[14]
Artinya :
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.“ (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu
Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan Ali Ibnu Thalib).[15]
Dalam surah An-Nahl ayat 106 disebutkan tentan orang yang dipaksa:
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Orang yang harus bertanggungjawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri bukan orang lain. Hal ini didasarkan firman Allah surah Faathir ayat 18:
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Kejahatan merupakan perbuatan melawan hukum, dan perbuatan yang melawan hukun
tersebut adakalanya disengaja dan adakalanya kekeliruan. Sengaja terbagi menjadi dua
bagian:
a. Sengaja semata-mata (al- amdu), adalah sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan
perbuatan yang dilarang.
b. Menyerupai sengaja (syibhul amdi), adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud
melawan hukum, tetapi akibat itu tidak dikehendaki.
b. Pengaruh lupa
Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam syariat islam lupa
disejajarkan dengan keliru, seperti pada ayat 286 surah Al-Baqarah.
"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah.
Para fuqaha terbagi kepada dua kelompok dalam perihal lupa ini. Pertama, kelompok yang
mengatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik dalam urusan ibadah maupun
urusan pidana.
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman
ahirat, karena hukuman ahirat didasarkan atas kesengajaan, sedangkan pada orang lupa
kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman-hukuman dunia, lupa tidak bias
menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan
dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukanperbuatannya itu
dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali.[18]
c. Pengaruh keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam jarimah yang terjadi karena
kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan,
melainkan karena kelalaian dan kurang hati-hati.
Bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang Abdul Qadir Audah mengemukakan
ada enam macam, yaitu:
a. Pembelaan yang sah (ad difa’ as syar’), secara khusus seperti menolak penyerangan (daf’u
ash-shail) dan secara umum adalah Amar ma’ruf nahi munkar. Berdasarkan surah al
baqarah ayat 194
…Oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu..
Hadis nabi saw……………………………..
Dari sa’id ibn Zaid berate: Tela bersabda Rasulullah saw. “Barang-siapa yang dibunuh karena
mempertahankan hartanya, maka ia termasuk nati syahid” (Hadis diriwayatkan oleh imam
yang empat dan disahihkan oleh At-Tirmizi).[20]
Didasarkan pula oleh Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahihkan oleh
At Tirmizi.
Barang siapa yang dibunuh karena mempertahankan agamany, maka ia mati syahid, dan
barangsiapa yang dibunuh karena mempertahankan jiwanya maka ia mati syahid, dan
barang siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid.[21]
Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk
mempertahankan diri sendiri atau diri oranglain dari serangan terhadap jiwa, kehormatam,
dan harta benda.
Untuk terwujudnya keadaan membela diri harus terpenuhu beberapa syarat sebagai
berikut.
1. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum.
2. Penyerangan harus terjadi seketika.
3. Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan.
4. Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya.
Sedangkan pembelaan umum ialah, pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam
istilah Amar ma’ruf nahi munkar. Sehubungan dengan ini keberlakuannyapun hanya oleh
mukallaf dan tidak dipandang maksiat perbuatan anak kecil dan orang gila, karena
perbuatan maksiat hanya bias terjadi dari orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan maksiat.[22] Sesuai dengan syarat dari pembelaan umum, yaitu:
1. Dewasa dan berakal (mukallaf)
2. Iman
3. Adanya kesanggupan
4. Adil tidak fasik (bersih dari perbuatan maksiat)
5. Izin (persetujun dari penguasa)
b. Pendidikan dan pengajaran (at takdib), seperti seorang suami terhadap isteri yang
menyeleweng (nusyuz) dan angkuh, dengan batasan-batasan tertentu. Hal ini didasarkan
pada firman Allah dalam Al Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
c. Pengobatan (at tabib), seperti seorang dokter dengan profesinya.
d. Permainan olahraga (al ‘abulfurusiyah)
e. Hapusnya jaminan keselamatan (ihdarul asykhashi)
Asbab raf’ al uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang
dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja
olehkarena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia
dibebaskan dari hukuman. Diantara sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada empat
macam:
1. Paksaan (al ikrah)
“Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan
oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah
suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang
yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang
dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain
dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya
hilang kerelaannya”.[26]
Kata-kata madzhab adalah merupakan shighat (bentuk) isim makan (kata yang menunjukkan
tempat) yang terambil dari Fi’il Madhi Dzahaba (( ذهبyang memiliki arti pergi. Untuk itu
madzhab berarti: tempat pergi atau jalan. Adapun kata lain yang semakna dengan madzhab
ini adalah: Maslak ( مسلك,( tharîqah ( ( طريقةdan sabîl ( ( سبيلyang kesemuanya berarti jalan
atau cara. Demikianlah kata madzhab dalam pengertian bahasa. Madzhab menurut istilah
dalam kalangan umat Islam: Sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim
besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Sedangkan menurut Siradjuddin
Abbas madzhab adalah “Fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid”. Dalam buku yang
sama Syeikh M.Said Ramadlan al-Buthi menandaskan bahwa pengertian madzhab menurut
istilah ialah jalan pikiran/paham/ pendapat yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid di
dalam menetapkan suatu hukum Islam dari al-Qur`an dan al-Hadits. Dari definisi-definisi
yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
madzhab itu mengandung dua pengertian yaitu: Pertama, madzhab berarti jalan pikiran atau
metode ijtihad yang ditempuh seseorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum sesuatu
peristiwa berdasarkan al-Qur`an dan as-sunnah. Kedua, madzhab dalam arti fatwa-fatwa
atau pendapat-pendapat seorang imam mujtahid tentang suatu hukum terhadap suatu
masalah yang digali dari al-Quran dan al-Hadits.
Pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup umat Islam masih bersatu, baik dalam masalah
akidah atau masalah syari’ah (Hukum Islam). Hal ini tidak lain karena adanya otoritas pembinaan
hukum dan aqidah yang secara langsung dipegang oleh Nabi sendiri. Beliaulah yang menetapkan dan
memutuskan hukum yang terjadi, baik berdasarkan petunjuk al-Qur`an atau berdasarkan perkataan
beliau sendiri. Umat Islam pada masa itu tidak perlu berijtihad tentang sesuatu persoalan yang
belum ada nashnya. Para sahabat merasa cukup dengan adanya Rasulullah sebagai tempat bertanya.
Jikapun sesekali perlu menggunakan ijtihad, hasil ijtihad disampaikan kepada Nabi, lalu Nabi
memberikan keputusannya. Setelah Rasulullah wafat otoritas pembinaan hukum umat pun
berpindah kepada para sahabat. Pada saat itu sesungguhnya sudah terjadi penafsiran-penafsiran
hukum atau istinbâth hukum dengan cara mengeluarkan fatwa-fatwa untuk peristiwa-peristiwa yang
tidak terdapat dalam nash. Namun demikian perbedaan pendapat di kalangan sahabat tersebut
tidak menyebabkan timbulnya golongan-golongan/madzhab-madzhab dalam Islam. Hal ini
karenakan faktor antara lain: kokohnya prinsip musyawarah di kalangan sahabat, mudahnya tercapai
ijma’, periwayatan hadits masih belum begitu tersiar, sedikitnya persoalan-persoalan baru, tidak
terlalu banyak mengeluarkan fatwa, orang yang berwenang memberikan fatwapun adalah mereka-
mereka yang betul-betul ‘âlim (expert) di bidangnya. Di ranah hukum Islam pada masa sahabat
relatif masih dapat dipersatukan, namun pada masa tersebut sudah ada pertentangan pada masalah
politik kekhalifahan, terutama sejak khalifah Usman menjabat sebagai khalifah yang ketiga. Pada
masa ini ada segolongan umat Islam yang tidak senang dan tidak setuju dengan Khalifah Usman.
Terutama karena Usman menjalankan politik pemerintahannya dengan sistem ‘kekeluargaan’.
Hasutan Abdullah ibn Saba’ mengenai wasiat politik Muhammad kepada Ali telah memberikan
dampak kepada sebagian umat Islam. Muncullah dua aliran yang terbesar di kalangan kaum Syi’ah,
pertama, madzhab Wishayah yang berpendapat bahwa Ali telah menerima wasiat dari Rasulullah
saw. untuk menjadi khalifah sesudah beliau wafat. Dikatakan juga bahwa Ali adalah penerima wasiat
terakhir justru karena Nabi Muhammad saw. adalah Nabi terakhir. Kedua, Madzhab Hak Ilahi yang
berpendapat bahwa Ali berhak menjadi khalifah itu karena hal itu sudah merupakan ketentuan dari
Allah SWT. Dikatakan pula bahwa Usman telah merampas hak dengan kekerasan. Akibat hasutan
dan propaganda yang diusung oleh Abdullah bin Saba tersebut, maka orang yang menentang
kekhalifahan Usman berusaha menjatuhkan beliau dari kedudukannya sebagai khalifah, yang pada
akhirnya menyebabkan kepada terbunuhnya khalifah Usman. Pasca terbunuhnya Ustman, mayoritas
umat Islam membai’at Ali bin Ali Thalib sebagai khalifah ke empat. Namun, terpilihnya Ali sebagai
khalifah menyisakan persoalan perang Jamal dan perang Shiffin. Peristiwa tahkim (arbitrase) dalam
perang Shiffin menghantarkan umat Islam terpecah secara politis kepada dua golongan besar :
Pertama, kelompok Khawarij yang memisahkan diri dan benci terhadap Ali dan Mu’awiyah beserta
orang-orang yang mendukung mereka. Kedua, kelompok Syi’ah yaitu golongan yang setia10 dan
sangat loyal kepada Ali dan kaum kerabatnya. Dengan memperhatikan uraian di atas maka jelaslah
bahwa pengaruh perpecahan umat Islam di ranah politik menjadi dua golongan besar itu ternyata
memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan syari’at (fiqh) Islam di masa berikutnya.
Hal ini sangat berpengaruh juga dalam hal timbulnya madzhabmadzhab fiqh di masa-masa
selanjutnya.
Sejak kekhalifahan dipegang oleh khalifah ke-dua Umar bin Khaththab, wilayah kekuasan semakin
meluas. Hal ini menyebabkan para ulama pergi bertebaran ke berbagai kota dan daerah kekuasaan
Islam. Masing-masing memberikan fatwa-fatwa dalam masalah keagamaan. Para ulama yang
melakukan ijtihad pada masa itu mempunyai kecenderungan serta panutan masingmasing terhadap
sahabat yang mereka anggap lebih kompeten dalam hal berijtihad. Di kalangan para sahabat sudah
ada dua corak (aliran) dalam cara mengistinbâthkan hukum. Misalnya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
adalah dua sahabat Nabi saw. yang kuat berpegang teguh kepada kekuatan nâsh. Mereka tidak mau
menggunakan ra’yu kecuali apabila dalam keadaan terpaksa, yaitu di saat mendapatkan suatu
peristiwa yang benar-benar sudah terjadi, sedangkan nâsh hukumnya tidak ada. Dalam situasi yang
demikian ini barulah mereka menggunakan ra’yu. Sahabat Ali bin Abi Thalib, Umar bin al-Khaththab,
dan Ibnu Mas’ud misalnya, mereka adalah sahabat Nabi yang dikenal banyak menggunakan ra’yu
dalam menetapkan hukum suatu masalah atau dengan kata lain mereka tidak terpaku pada dzahîr
nâsh saja namun ma’na lafadz, dilâlâh dan ruh syari’at/tasyri’ juga menjadi perhatian mereka. Di
kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara beristinbâth yang dilakukan oleh para
sahabat tersebut. Tabi’in Hijaz misalnya terpengaruh oleh ijtihadnya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Sehingga kelahiran mereka lebih dikenal dengan sebutan Aliran ahlu al-hadîts. Sedangkan tabi’in
yang berada di Irak terpengaruh oleh ijtihadnya Ali, Umar, dan Ibnu Mas’ud. Sehingga mereka lebih
dikenal dengan aliran Qiyas (ra’yu). Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Ulama Hijaz menjadi
ahlu al-hadîts yaitu: Pertama, mereka dipengaruhi oleh guru-guru mereka yang sangat ketat dan
teliti terhadap penggunaan nash-nash hadits dalam berijtihad. Kedua, mereka hanya hafal hadits
Nabi dan fatwa Sahabat, di samping sedikit sekali terjadinya peristiwa-peristiwa baru yang tidak
terdapat bandingannya di masa sahabat. Ketiga, mereka hidup dalam keadaan permulaan
perkembangan Islam, manakala mereka diminta berfatwa tentang suatu hal maka terlebih dahulu
mereka memeriksa kitab Allah (alQur`ân), sunnah Rasul kemudian Fatwa Sahabat. Dan kemudian
mereka berijtihad bi ar-ra’yi jika tidak ditetapkan hukumnya dalam nash. Sedangkan faktor-faktor
penyebab ulama Irak menjadi Ahlu ar-ra’yi adalah sebagai berikut: Pertama, mereka terpengaruh
oleh jalan pikiran guru mereka, seperti sahabat Abdullah bin Mas’ud yang terkenal sangat
terpengaruh oleh jalan pikiran dari Sahabat Umar bin Khaththab. Kedua, Kufah dan Basrah dua kota
yang banyak didiami oleh ulama Irak adalah merupakan markas tentara Islam, dan Kufah merupakan
tempat kedudukan khalifah Ali bin Abi Thalib yang banyak dikunjungi oleh para sahabat seperti
Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ammar bin Yasir, Abu Musa al-‘Asy’ari. Dengan
demikian sudah barang tentu mereka meriwayatkan hadits-hadits Nabi. Keadaan seperti ini
menyebabkan ulamaulama Irak cukup menguasai hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para Sahabat
yang datang berkunjung. Di samping itu Irak adalah tempat/sumber fitnah kekacauan. Di Iraklah
awal mula timbul keberanian sebagian kalangan untuk membuat-buat hadits palsu. Hal ini pulalah
yang membuat ulama-ulama Irak terpaksa membuat persyaratan yang ketat berkaitan dengan
penerimaan sebuah hadits dari para Sahabat. Sehingga ulama Iraq cenderung lebih banyak
menggunakan ratio (ra’yu) daripada hadits yang belum diyakini kebenarannya.