Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FIQIH JINAYAH
DOSEN PENGAMPU : Arif Marshal, Lc.,Ma.

KELOMPOK 11
Muhammad Fadil (12250511140)
Januarko (12250511169)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
TEKNIK ELEKTRO
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbilm‘alamin. Kami mengucapkan puji dan syukur
kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Hanya
kepada-Nya lah kami memuji dan bersyukurn, meminta ampunan dan memohon
pertolongan. Tak lupa shalawat juga tercurahkan bagi Nabi Muhammad SAW,
Yaitu syariat agama Islam yang sempurna. Satu-satunya syariat islam dari
Rasulullah SAW adalah karunia terbesar bagi alam semesta.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari
bahwa banyak kekurangan dan kelemahan pada penyusunan dan penulisan. Demi
kesempurnaan makalah ini, kami sangat berharap adanya perbaikan, kritik dan
saran dari pembaca yang sifatnya membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fiqih Jinayah..........................................................................2
2.2 Asas-asas Fiqih Jinayah............................................................................2
2.3 Klasifikasi Jinayah Menurut Islam...........................................................6
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...............................................................................................7

3.2 Saran.........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at yang
berlaku semenjak diutusnya Rasulullah. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah
dan Khulafarur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik.
Yitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintahan selaku penguasa yang
saha atau ulil amri

Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak


terpisahakan dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at
islam merupakan hukum yang harus dilakasanakan setiap muslim, karena
syaro’at islam merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT.

Namun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tau
yang paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta
bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah
akan mencoba menjelaskan apa itu fiqih jinayah atau hukum pidana islam dan
beberapa aspek didalamnya

Dalam hukum islam yang dikenal dengan istilah jinayah merupakan salah
satu dari bagian syari’at islam, jinayah ini bermacam-macam jenis dan sebabnya.
Dalam makalah ini kami mencoba untuk membahasnya sesuai dengan batas
kemampuan yang kami miliki

1.2 Rumusan Masalalah

1. Apa pengertian fiqih jinayah ?

2. Apa saja asas-asas jinayah?

3. Apa klasifikasi jinayah menurut islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fiqih Jinayah

Secara bahasa jinayah berasal dari kata ‘Janna Dzanba Yajniihi


Jinaayatan’ yang berarti melakukan dosa. Kata dasar Jinayah di jama’kan,
karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Menurut istilah syar’I kat
jinayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman
qishas atau membayar denda

2.2 Asas-asas Fiqih Jinayah

1. Asas Legalitas

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau
prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata
benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang
berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan
demikian legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang undang”.
Adapun istilah legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif.
Kendati demikian, bukan berarti syari’at Islam tidak mengenal asas
legalitas. Asas legalitas dipopulerkan melalui ungkapan dalam bahasa
latin:

Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik
tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini
merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi
batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini
melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan
hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan
yang dilarang. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

2
Al-Qur’an surat Al-Isra’: 15

‫َّم ِن ٱْه َتَد ٰى َف ِإَّنَم ا َيْه َت ِد ى ِلَنْف ِس ِهۦ ۖ َوَم ن َضَّل َف ِإَّنَم ا َيِض ُّل َع َلْيَه ا ۚ َواَل َت ِزُر َواِزَر ٌة ِوْزَر‬
‫ُأْخ َرٰى ۗ َوَم ا ُك َّن ا ُم َعِّذ ِبيَن َحَّت ٰى َنْب َع َث َرُس واًل‬

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka


Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang
Rasul.

Berdasarkan Asas legalitas dan kaidah “tidak ada hukuman bagi


perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan nas, maka perbuatan
mukalaf tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana.
Dengan demikian nas-nas dalam syari’at Islam belum berlaku sebelum
diundangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi
pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang
mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku
surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah:

‫اﻟﺟﻧﺎﺋﻲ اﻟﺗﺷرﯾﻊ ﻓﻲ اﻟرﺟﻌﯾﺔ‬

Tidak berlaku surut pada pidana Islam.

2. Asas Amar makruf Nahi Munkar

Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada


kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’rûf: kebaikan,
nahyi: mencegah, munkar: kejahatan. Abul A’la al-Maududi menjelaskan
bahwa tujuan utama dari syariat ialah membangun kehidupan manusia di
atas dasar ma’rifat (kebaikan) dan membersihkannya dari hal-hal yang
maksiat dankejahatan.

Dalam filsafat hukum Islam dikenal istilah amar makruf sebagai


fungsi social engineering, sedang nahi munkar sebagai social control
dalam kehidupan penegakan hukum. Berdasar prinsip inilah di dalam
hukum Islam dikenal adanya istilah perintah dan larangan. Islam

3
memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya.

3. Asas Teritorial

Menurut konsepsi hukum Islam Asas teritorial yaitu hukum pidana


Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan. Abu
Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah (tindak
pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang masuk
dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah maupun
pelaku, muslim maupun non-muslim. Aturan-aturan pidana Islam hanya
berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negeri muslim. Menurut
Imam Abu Yusuf, hukum pidana Islam diterapakan atas jarimah-jarimah
yang terjadi di negeri Islam, baik dilakukan oleh penduduk muslim, zimmi
maupun musta’man. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa terhadap
penduduk muslim diberlakukan hukum pidana Islam karena
keIslamannya, dan terhadap penduduk kafir zimmi karena telah ada
perjanjian untuk tunduk dan taat kepada peraturan Islam. Sedangkan
alasan berlakunya hukum Islam untuk musta’man adalah bahwa janji
keamanan yang memberi hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri
Islam, diperoleh berdasarkan kesanggupannya untuk tunduk kepada
hukum Islam selama ia tinggal di negeri Islam. jarimah yang diperbuat di
negeri bukan Islam oleh penduduk negeri Islam (orang muslim atau
dzimmi), dengan merugikan orang bukan Islam (penduduk negeri bukan
Islam) tidak dapat dihukum, karena tidak adanya kekuasaan atas tempat
terjadinya jarimah itu. Pengadilan negeri Islam juga tidak berhak
memeriksa segi keperdataan yang timbul dari jarimah. Demikian pula
halnya apabila keadaan si korban seperti orang muslim yang tertawan atau
orang muslim yang pindah ke negeri Islam.

Bagi orang dzimmi yang memperbuat jarimah di negeri-negeri bukan


Islam, sedang ia telah meninggalkan sama sekali negeri Islam dengan niat
tidak akan kembali, maka apabila dia masuk ke negeri Islam, tidak
dikenakan hukuman atas perbuatannya itu, sebab dengan keluarnya dari
negeri Islam, ia sudah menjadi orang harbi. Bagi orang Islam yang
berbalik agama (murtad) dan meninggalkan negeri Islam, kemudian

4
memperbuat jarimah di negeri bukan Islam, dan sesudah itu ia masuk lagi
ke negeri Islam, maka ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimahnya,
meskipun ia menyatakan memeluk lagi agama Islam.

4. Asas Material

Menurut konsepsi hukum Islam Asas teritorial yaitu hukum pidana


Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan. Abu
Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterapkan atas jarimah (tindak
pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu tempat-tempat yang masuk
dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa melihat jenis jarimah maupun
pelaku, muslim maupun non-muslim. Aturan-aturan pidana Islam hanya
berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negeri muslim. Menurut
Imam Abu Yusuf, hukum pidana Islam diterapakan atas jarimah-jarimah
yang terjadi di negeri Islam, baik dilakukan oleh penduduk muslim, zimmi
maupun musta’man. Alasan yang dikemukakannya adalah bahwa terhadap
penduduk muslim diberlakukan hukum pidana Islam karena
keIslamannya, dan terhadap penduduk kafir zimmi karena telah ada
perjanjian untuk tunduk dan taat kepada peraturan Islam. Sedangkan
alasan berlakunya hukum Islam untuk musta’man adalah bahwa janji
keamanan yang memberi hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri
Islam, diperoleh berdasarkan kesanggupannya untuk tunduk kepada
hukum Islam selama ia tinggal di negeri Islam. jarimah yang diperbuat di
negeri bukan Islam oleh penduduk negeri Islam (orang muslim atau
dzimmi), dengan merugikan orang bukan Islam (penduduk negeri bukan
Islam) tidak dapat dihukum, karena tidak adanya kekuasaan atas tempat
terjadinya jarimah itu. Pengadilan negeri Islam juga tidak berhak
memeriksa segi keperdataan yang timbul dari jarimah. Demikian pula
halnya apabila keadaan si korban seperti orang muslim yang tertawan atau
orang muslim yang pindah ke negeri Islam.

Bagi orang dzimmi yang memperbuat jarimah di negeri-negeri bukan


Islam, sedang ia telah meninggalkan sama sekali negeri Islam dengan niat
tidak akan kembali, maka apabila dia masuk ke negeri Islam, tidak
dikenakan hukuman atas perbuatannya itu, sebab dengan keluarnya dari

5
negeri Islam, ia sudah menjadi orang harbi. Bagi orang Islam yang
berbalik agama (murtad) dan meninggalkan negeri Islam, kemudian
memperbuat jarimah di negeri bukan Islam, dan sesudah itu ia masuk lagi
ke negeri Islam, maka ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimahnya,
meskipun ia menyatakan memeluk lagi agama Islam.

5. Asas Moralitas

Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam:

Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak


diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.

Asas Rufiul Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu


tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena
pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila.

Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan


dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut
pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan
tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini
didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.

Asas Suquth al- ‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya


hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena
dua hal: pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan tindakannya
melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud
adalah seperti: petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan
operasi atau pembedahan. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan
sanksi hukum seperti: membunuh orang dengan alasan membela diri, dan
sebagainya.

2.3 Klasifikasi Jinayah Menurut Islam

1. Qishas

Qishas adalah penjatuhan coba sanksi yang sama dengan yang telah
pelaku lakukan terhadap korbannya, misalnya pelaku menghilangkan
nyawa korbannya, maka ia wajib dibunuh. Kecuali, keluarga korban

6
memaafkan si pelaku, maka pelaku hanya akan dikenakan denda yang
dinamakan dengan diat atau denda sebagai pengganti dari hukuman.

Syarat

a. Si pelaku adalah orang yang sudah dewasa, maka tidak akan


terjadi kisas atas anak kecil.

b. Si pelaku adalah orang yang tidak gila atau memiliki akal yang
sehat.

c. Si pelaku bukanlah orang tua.

d. Orang yang terbunuh memiliki derajat yang sama, misalnya


seorang budak membunuh budak yang lain, maka budak tersebut
boleh dikisas.

2. Hudud

Hudud adalah penjatuhan sanksi yang berat atas sesorang yang telah
ditentukan oleh Al-Qur'an dan Hadis, seperti zina, mabuk dan keluar
dari agama Islam atau murtad.

3. Takzir

Takzir adalah hukum yang selain hukum hudud, yang berfungsi


mencegah pelaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan
menghalanginya dari melakukan maksiat.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fiqih Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan jinayah. Pengertian fiqih
secara bahasa berasal dari faqiha tafqahu fiqhan yang berarti mengerti,
paham. Dikalanagn fuqaha Jinayah berarti perbuatan yang terlarang menurut
syara’. Hukum pidana Islam dalam fiqih disebut Jinayah atau Jarimah. Dasar
hukum Jinayah diantaranya Q.S al-Qashash ayat 77 yang artinya “ Dan carilah
(pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu,
tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai prang yang berbuat
kerusakan.

3.2 Saran
Alhamdulillah dengan terselesainya makalah Fiqih Jinayah ini penulis
mengharapkan seluruh pembaca menjadi orang yang haus akan ilmu terutama
untuk mempelajari dengan tekun dan teliti materi ini serta mencari referensi
lain sehingga bisa mengenal lebih dalam tentang Fiqih Jinayah, Hudud, Qishash
dan Ta’zir. Penulis mengharapkan bagi para pembaca bisa mengajukan
kritikan jika terdapat kesalahan dalam penulisan makalah.

7
DAFTAR PUSTAKA

https://pecihitam.org/fikih-jinayah/
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jinayah
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-syarif-
hidayatullah-jakarta/hukum-pidana-di-dunia-islam/jinayah-5-macam-macam-
qishas/31668994

Anda mungkin juga menyukai