Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat petunjuk
dan bimbingan-Nya, penulis berhasil menyelesaikan makalah dengan
judul “Keanekaragaman Budaya Indonesia” yang berisi pemahaman materi bagi
siswa sebagai saran belajar agar siswa lebih aktif dan kreatif.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak sekali mengalami bayak


kesulitan karena kurangnya ilmu pengetahuan. namun berkat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat terselesaikan meskipun
banyak kekurangan.

penulis menyadari sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya belum


seberapa dan masih perlu banyak belajar dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif
untuk ksempurnaan makalah ini.

Penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dan


digunakan sebagai bahan pembelajaran di masa yang akan datang. Amiin.

Jepara, 10 Maret 2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan petunjuk mengenai tingkah laku dan juga sebagai


perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap
sebagai perangkat kerja sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan
menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan
antarmanusia.
Keadilan harus selalu dilibatkan dalam hubungan satu manusia dengan
manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial, interaksi antarmanusia tidak dapat
dimungkiri lagi. Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang dapat menjadi
“pemangsa” bagi orang lain sehingga masyarakat dengan sistem sosial tertentu
harus memberikan aturan pada para anggotanya yang mengatur tentang hubungan
antarsesama. Hukuman adalah sebuah cara untuk menjadikan seorang yang
melakukan pelanggaran berhenti dan tidak lagi mengulanginya. Selain itu juga
menjadi pelajaran kepada orang lain untuk tidak mencoba-coba melakukan
pelanggaran itu. Setiap peradaban pasti memiliki bentuk hukum dan jenis
hukuman tersendiri. Dan masing-masing bisa berjalan sesuai dengan apa yang
telah digariskan. Dalam islam terkenal dengan istilah fiqih jinayah atu jarimah
yakni ilmu yang membahas perbuatan manusia yang salah seperti pembunuhan,
pemerkosaan, dan sejenisnya. Apa dan bagaimanakah jarimah itu. bagaimana
macam macam jarimah itu? dan apa perbedaan jinayah dengan jarimah itu?
pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab dalam tulisan berikut ini.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada latarbelakang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Jinayah dan Jarimah?
2. Sebutkan macam macam Jarimah?
3. Apa Hubungan Jarimah dengan larangan syara’?

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Jinayat dan Jarimah
Pengertian jinayah secara bahasa adalah

‫امكسمم لمبماَ يبكجنمكيمه اكلبمكرهء ممكن بشرر بوبماَ اككتببسببهه‬


‘’Nama bagi hasil perbuatan bagi seseorang yang buruk dan apa yang di
usahakan’’.
Pengertian jinayah secara istilah Fuqaha sebagaimana yang di kemukakan oleh
Abdul Qadir Audah adalah :

‫س أبكو بماَلل ابكو بغكيهر بذالمكك‬


‫بسبوامء بوقببع اكلفمكعهل بعبلىَ نبكف ل‬,َ‫بفاَكلمجبناَ يبةه امكسمم لمفمكعلل همبحرَرمم بشكرععا‬
‘’Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’,
baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya’’.1
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq adalah:
“Yang di maksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap
perbuatan yang dilarang.dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap
perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya
terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda”.2
Dalam konteks ini pengertian Jinayah sama dengan jarimah.
‫بكبس ب‬
Menurut bahasa, jarimah berasal dari kata (‫ ) بجبربم‬yang sinonimnya ( ‫ب‬
‫ ) بوقب ب‬artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha disini khusus
‫طبع‬
untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci oleh manusia.3
Menurut istilah, Imam Al Mawardi mengemukakan sebagai berikut :

‫ت بشكرمعيرَةم بزبجبراه تببعاَبلىَ بعكنبهاَبمبحردأبكو تبكعمزكيلر‬


‫ابكلبجبرامءهم بمكحظهكوبرا م‬
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’, yang di ancam
dengan hukuman had atau ta’dzir.4

1 Abdul Qodir Audah, At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, juz 1, Dar Al Kitab Al ‘Araby, Bierut,
tanpa tahun, hlm. 67.

2 Sayid Sabiq, Fiqh As-sunnah, juz II, Dar Al Fikr, Beirut, cetakan II. 1982, hlm. 110.

3 Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, Maktabah Al


Angelo Al Mishriyah, kairo, tanpa tahun, hlm. 22.

4 Muhammad Abu Zahrah, Al jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy, Maktabah Al


Angelo Al Mishriyah, kairo, tanpa tahun, hlm. 22.

3
‫ ) بمكحظهكوبرا م‬adakalanya berupa mengerjakan perbuatan
Perbuatan yang di larang ( ‫ت‬
yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan.sedangkan lafadz syari’ah (‫ ) بششششمركيبعمة‬dalam definisi tersebut
mengandung pengertian bahwa suatu perbuatan yang baru di anggap sebagai
jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman.
Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada larangan nya dalam syara’ maka
perbuatan tersebut hukumnya mubah sesuai dengan kaidah yang berbunyi :

‫صهل مفىَ اكلب كشبياَمء اكلمءبباَبحةه بحرَتىَ يبهدلُل الرَدلمكيهل بعبليَ الترَكحمركيمم‬
‫ابكلب ك‬
‘’Pada dasarnya semua perkara di bolehkan, sehingga ada dalil yang
menunjukkan keharamannya’’.5
B. Macam – macam Jarimah
Jarimah dapat dibagi menjadi bermacam macam bentuk dan jenis. Tergantung
pada sudut pandang mana kita melihatnya atau aspek yang menonjol.
1. Dilihat dari Pelaksanaannya
Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini ada 2 aspek jarimah
pertama, jarimah ijabiyah, yaitu seseorang yang melakukan atau melaksanakan
perbuatan yang sudah dilarang atau perbuatan yang terlarang. Dalam hukum
positif disebut dengan delict commisionis contoh melakukan zina, pembunuhan
dll.
Kedua, jarimah salabiyah, yaitu seseorang yang tidak mengerjakan perbuatan
yang duperintahkan oleh islam. Contohnya meninggalkan sholat, zakat, puasa dll.
2. Dilihat dari Niatnya
Pembagian dalam sudut pandang ini terbagi menjadi dua bagian yaitu
perbuatan yang disengaja (jaraim al-makhsudah) dan perbuatan yang tidak
disengaja (jaraim ghair makhsudah). Contoh perbuatan disengaja adalah seseorang
yang masuk ke rumah orang lain dengan maksud mencuri sesuatu yang ada di
rumah tersebut. Sedangkan contoh perbuatan yang tidak disengaja adalah
seseorang yang bermaksud mengejutkan orang lain tetapi yang dikejuti
mempunyai penyakit jantung akhirnya meninggal dunia.
3. Dilihat dari Objeknya
Aspek ini tertuju pada manusia atau sekelompok masyarakat. Jika objeknya
perseorangan maka disebut dengan jarimah perseorangan. Dan jika objeknya

5 Jalaluddin As Syuyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Dar Al Fikr, tanpa tahun,hlm. 43.

4
masyarakat maka disebut dengan jarimah masyarakat. Kemudian para ulama
mengatakan bahwa jarimah perseorangan menjadi hak adami (hak perseorangan )
sedangkan jarimah masyarakat menjadi hak jama’ah (hak Allah).
4. Dilihat dari Motifnya
Sudut pandang ini di bagi menjadi 2 bagian yaitu jarimah politik dan jarimah
biasa. Arti dari jarimah politik adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang orang
tertentu yang bertujuan politik untuk melawan pemerintah contohnya
pemberontakan bersenjata, mengacaukan perekonomian dll. Sedangkan jarimah
biasa adalah perbuatan yang tidak ada hubungan dengan politik contohnya
perbuatan mencuri ayam, mencuri sepeda motor dll.
5. Dilihat dari Bobot Hukuman
Jarimah Ditinjau dari Aspek Bobot hukumannya:
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Hukuman had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah: “Hukuman
had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.6
Ciri khas dari jarimah hudud:
1) Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam artian bahwa hukumannya telah
ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata. Pengertian akan hak
Allah menurut Mahmud Syaltut.7
Hak Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan
tidak tertentu bagi seseorang”
Jarimah hudud ini ada tujuh macam:
1) Jarimah zina: Rajam, melempari pezina dengan batu sampai ajal.
2) Jarimah qadzaf (menuduh zina) menuduh wanita baik-baik berbuat zina
tanpa ada bukti yang meyakinkan.
3) Jarimah Syurbul Khamr: diharamkan, termasuk narkotika, sabu, heroin,
dan lainnya. Hukumannya 40 kali dera sebagai had, dan 40 kali dera
sebagai hukum ta`zir sebagaimana yang dipraktekkan oleh Umar bin

6 Drs.. Muslich, H Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hlm.24.

7 Ahmad Hanafi, MA., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993),
hlm. 13.

5
Khattab.
4) Jarimah pencurian: Sariqah ialah perbuatan mengambil harta orang lain
secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya
paksaan. Dalam Al-Quran, Jarimah Sariqah adalah potong tangan.
5) Jarimah hirabah: sekelomok manusia yang membuat keonaran,
pertumpahan darah, merampas harta, dan kekacauan. Hukuman bagi
haribah adalah hukuman bertingkat.
6) Jarimah riddah: keluar dari agama islam.
7) Jarimah Al Bagyu: pemberontakan, yaitu keluarnya seseorang dari
ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan.8
b. Jarimah Qishash dan Diyat
Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diyat (ganti rugi
dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Baik qishas maupun diyat keduanya
adalah hukuman yang sudah ditentukan syara’ dan merupakan hak individu.
Pengertian akan hak manusia (individu) menurut Mahmud Syaltut:
‘Hak manusia adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang tertentu’
Ciri khas jarimah qishas dan diyat:
1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan
syara’ dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2) Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti
bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan
terhadap pelaku.
Jarimah qishas dan diyat terbagi menjadi:
1) Pembunuhan sengaja (al-qotlul‘amdu)
2) Pembunuhan menyerupai sengaja (al-qotlu syibhul’amdi)
3) Pembunuhan karena kesalahan (al-qotlul khotho-u)
4) Penganiayaan sengaja (al-jar’hul ‘amdu)
5) Penganiayaan tidak sengaja (al-jar’hul khotho-u).9
Perbedaan antara qishas dengan diyat adalah qishas merupakan bentuk
hukuman bagi pelaku jarimah terhadap jiwa, anggota badan yang dilakukan
dengan di sengaja. Adapaun diyat objeknya sama dengan qishas tetapi dilakukan

8 Hakim, Drs. H. Rahmat, Hukum Pidana Islam,( Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.
27.

9 Ibid, Hal. 29.

6
dengan tanpa disengaja. Di samping itu diyat merupakan hukuman pengganti dari
hukuman qisahash yang dimaafkan.
c. Jarimah Ta’zir
Adalah jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang
belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan
Hakim. Namun hukum ta`zir juga dapat dikenakan atas kehendak masyarakat
umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan awalnya mubah. Dasar
hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip
keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena
sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.10
Ciri khas jarimah ta’zir:
1) Hukumannya tidak tertentu dan terbatas. Artinya hukuman tersebut belum
ditentukan syara’ dan ada batas maksimal dan minimalnya.
2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa
Jenis jarimah ta’zir menurut Ibnu Taimiyah;
“Perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula
kifarat, seperti mencium anak-anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang
bukan isteri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan atau memakan barang yang
tidak halal seperti darah dan bangkai.”
Jarimah Ta`zir juga bisa dibagi menjadi 3 macam:
1) Jarimah yang berasal dari hudud namun terdapat syubhat
2) Jarimah yang dilarang nash, namun belum ada hukumnya
3) Dan jarimah yang jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
C. Hubungan Jarimah denagan Larangan syara’
yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suaatu jarimah
adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak
lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun
nonmateri atau gangguan nonfisik, seperti ketenangan, ketenteraman, harga diri,
adapt istiadat, dan sebagainya.

10 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., h. 18-19.

7
Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat
manusia yang cenderung pada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya
walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan
itu memerlukan kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran
peraturan tersebut menjadi tidak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat
memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang
dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai
kehadiran peraturan tersebut. Dalam upaya menciptakan ketertiban, keamanan,
kenyamanan, kehidupan dalam bermasyarakat, kita tidak bias hanya
mengandalkan keimanan, niat baik, kejujuran, dan sebagainya dari anggota
masyarakat. Tanpa iming-iming ancaman sanksi hukum, pelanggaran selamanya
akan menjadi preseden buruk di kemudian hari. Pelaku kejahatan akan bercermin
kepada pelaku kejahatan yang sama yang lolos dari sanksi.
Tanpa menutup mata dari realitas yang ada dalam kehidupan kita, dapat kita
lihat banyak di antara mereka yang berhati luhur dan berakhlak mulia. Mereka
berbuat kebaikan tidak meninggalkan kewajiban, bukan karena ketakutan mereka
terhadap ancaman sanksi, melainkan berdasarkan keimanan, ketakwaan, dan niat
baik mereka. Namun jumlah mereka walaupun tidak teredapat data yang akurat,
populasinya sangat sedikit. Di sekeliling mereka dengan populasi yang jauh lebih
besar bertebaran secara spradis orang-orang yang hanya mau tunduk karena
ancaman sanksi dan takut hukum. Bahkan, mereka yang berbuat baik karena
keimanan, niat baik atau berakhlak baik pun sangat rentan terhadap perubahan
niat, kondisi, dan situasi.
Hukuman, ancaman, sanksi memang bukan merupakan sesuatu yang maslahat
(baik), bahkan sebaiknya hukuman itu akan berakibat buruk, menyakitkan,
menyengsarakan, membelenggu kebebasan bagi pembuat kejahatan. Namun, bila
dibandingkan dengan kepentingan orang banyak, kehadiran peraturan beserta
sanksi hukumnya sangat diperlukan. Jadi, apalah arti penderitaan segelintir pelaku
jarimah kalau obsesi kemaslahatan umum yang kita dambakan..
Berbuat jarimah itu memang menguntungkan si pelaku dan ini memang sesuai
dengan kecenderungan manusia untuk memilih yang terbaik bagi dirinya, dan

8
menguntungkan dirinya mencuri, menipu, atau berzina, tidak menunaikan
kewajiban zakat bisa jadi membawa keuntungan bagi pelaku pidana atu jarimah
baik yang bersifat materi atau non materi. Akan tetapi, semua itu sama sekali
bukanlah yang mendasri pertimbangan syarat melarang perbuatan tersebut.
Artinya, bukan keuntungan perseorangan yang menjadi bahan pertimbangan
bahwa mencuri, berzina, tidak mengeluarkan zakat itu dilarang. Syara tidak
melarang mereka mencari, mengumpulkan, serta menggunakan harta tersebut,
juga tidak melarang seseorang bersenang-senang dengan wanita. Akan tetapi,
perilaku mereka itu berdampak merugikan masyarakat banyak, merusak tatanan,
dan melanggar kesusilaan.
Jadi, dasar pertimbangan suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah atau tindak
pidana, bukanlah karena keuntungan yang sifatnya individual, tetapi adanya
konotasi larangan tersebut, yaitu merugikan kepentingan social. Jadi, kesimpulan
diadakannya peraturan, baik perintah maupun larangan sudah tentu berikut sanksi-
sanksinya semata-mata bagi kepentingan orang banyak, bukan kepentingan orang
per orang.
Tolok ukur suatu jarimah (delik, tindak pidana) dari moral atau akhlak tersebut,
tidak berarti meniadakan unsur kerugian. Lagi pula jarimah-jarimah tertentu,
terutama yang menyangkut kesusilaan, unsur kerugiannya relative sulit
dibuktikan. Jadi, penetapan suatu jarimah yang menyangkut kesusilaan akan
terlepas dari jangkauan hukum. Di sampig itu, pada dasarnya kerugian yang
diderita oleh korban baik perseorangan maupun masyarakat buruk (jarimah,
tindak pidana) yang merugikan orang lain itu bermuara dari buruknya akhlak
pelaku jarimah.
Sesuatu perbuatan itu digolongkan tindak pidana atau bukan bergantung pada
ada tidaknya kerugian atau yang merasa dirugikan. Oleh karena itu, berangkat dari
untung rugi, pelanggaran terhadap kesusilaan dan kejahatan moral tidak dianggap
sebagai tindak pidana dan merupakan sesuatu yang masuk akal. Ini karena hukum
positif merupakan produk Barat, dan kita mahfum Barat memang longgar
terhadap moral maka hukumnya pun menganaktirikan akhlak.11

11 http://e – journalfh. Blogspot.co.id/2013/03/jinayah – jarimmah.html.WIB: 13.30

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jarimah adalah perbuatan dosa dan salah, jika istilah di aplikasikan pada
hukum Indonesia maka jarimah sama dengan hukum positif atau delik (perbuatan
yang melanggar hukum). Maka jarimah itu perbuatan seseorang yang melanggr
hukum atau berbuat salah pada seseorang baik jiwa seseorang maupun bagian
tubuh seseorang.
Macam macam jarimah di lihat dari sudut pandang berbeda:
1. Dilihat dari pelaksanaannya: seseorang yang melakukan apa yang dilarang
oleh agama. Seperti zina, mencuri, membunuh (jarimah ijabiyah). Dan
tidak melakukan apa yang diperintah-Nya.
2. Dilihat dari niatnya: di sengaja atau tidak disengaja.

10
3. Dilihat dari objeknya: jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.
4. Dilihat dari motifnya: jarimah politik yaitu yang membahas politik dan
jarimah biasa yaitu jarimah yang tidak berhubungn dengan politik, seperti
mencuri ayam.
5. Diliha dari bobot hukuman:
a. Jarimah hudud
b. Jarimah qishas/diyat
c. Jarimah Ta’zir
Sedangkan hubungan jinayah dengan larangan syara’ adalah sebagai upaya
untuk mempertahankan keberadaaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat,
yang sebagai mana jinayah ini adalah perbuatan – perbuatan yang mengancam
sendi – sendi kehidupan masyarakat dan larangannya adalah upaya untuk menjaga
keberadaan masyarakat.

B. Saran
Sebagai Manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, penulis
sadar akan kekurangan dalam pembuatan Makalah ini, untuk itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan Makalah
selanjutnya, untuk kritik dan sarannya diucapkan terima kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qodir Audah. At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy. juz 1. Dar Al Kitab Al ‘Araby. Bierut.

Ahmad Hanafi, MA. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Hakim, Drs. H. Rahmat. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Jalaluddin As Syuyuthi. Al Asybah wa An Nazhair. Dar Al Fikr.

Muhammad Abu Zahrah. Al jarimah wa Al ‘Uqbah fi Al fiqh Al Islamiy. Maktabah Al


Angelo Al Mishriyah. Kairo.

Drs.. Muslich. H Ahmad Wardi.2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Sayid Sabiq. 1982. Fiqh As-sunnah. juz II. Dar Al Fikr. Beirut. cetakan II.

http://e – journalfh. Blogspot.co.id/2013/03/jinayah – jarimmah.html.WIB: 13.30

12
13

Anda mungkin juga menyukai