DISUSUN OLEH :
Ath Thaariq Takbir Nugraha
19410488
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk dari jarimah?
2. Bagaimanakah pertanggung jawaban dari jarimah?
PEMBAHASAN
1
http://www. Islamisasi Ilmu Kontemporer. htp
2
1H. Ahmad Wardi Muslich, op cit, h. 1
A. BENTUK-BENTUK DARI JARIMAH
3
Op. Cit., h. 17
4
Prof. Drs. H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 19970, hal. 13.
3) Jarimah Syurbul Khamr: diharamkan, termasuk narkotika, sabu, heroin, dan
lainnya. Islam sangat memperhatikan kesehatan badan, jiwa dan kemanfaatan
harta benda. Hukumannya 40 kali dera sebagai had, dan 40 kali dera sebagai
hukum ta`zir sebagaimana yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab.
4) Jarimah pencurian: Sariqah ialah perbuatan mengambil harta orang lain secara
diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan. Dalam
Al-Quran, Jarimah Sariqah adalah potong tangan. Dalam ijtihad, potong-tangan
diberlakukan untuk pencuri professional. Dalam teori halah al-had al-a`la, hukum
potong tangan dalam kejadian tertentu dapat digantikan dengan hukuman lain
yang lebih rendah, tetapi tidak boleh diganti dengan yang lebih tinggi.
5) Jarimah hirabah: sekelomok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan
darah, merampas harta, dan kekacauan. Hukuman bagi haribah adalah hukuman
bertingkat. Potong tangan karena mencuri, potong kaki karena mengacau, qishash
karena membunuh, disalib karena membunuh dan mengacau, dan dipenjara bila
mengacau tanpa membunuh dan mengambil harta
6) Jarimah riddah: orang yang menyatakan kafir setelah beriman dalam Islam,
baik dilakukan dengan; 1. perbuatan menyembah berhala, 2. dengan ucapan
bahwa Allah mempunyai anak, atau 3. dengan keyakinan bahwa Allah sama
dengan makhluk. Dalam Hadis, hukumnya dibunuh. Namun dalam pemahaman
kontektual bahwa murtad, hanya dihukumi ta`zir, karena sanksinya bersifat
Akhirat, murtad hanya dihukum jika mencaci maki agama, akan tetapi bisa
dikenai hukuman mati dengan ta`zir jika terbukti melakukan desersi sedang
Negara dalam keadaan perang
7) Jarimah Al Bagyu: pemberontakan, yaitu keluarnya seseorang dari ketaatan
kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya
melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan
diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan
mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib.
D”
2. Jarimah Qishash dan Diat
Jarimah Qishash dan Diat adalah yang diancam dengan hukuman qishas dan
diat. Keduanya merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan yakni
tidak memiliki batasan minimal ataupun maksimal, yang meliputi; pembunuhan yang
disengaja, pembunuhan yang menyerupai sengaja, pembunuhan tersalah,
penganiayaan yang disengaja, penganiayaan yang tersalah.
Ciri khas jarimah qishas dan diat:
1. Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan syara’
dan tidak ada batas maksimal dan minimal.
2. Hukuman tersebut merupakan hak perseorangan (individu), dalam arti bahwa
korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan terhadap pelaku.
Jarimah qishas dan diat terbagi menjadi:
1) Pembunuhan sengaja (al-qotlul‘amdu)
2) Pembunuhan menyerupai sengaja (al-qotlu syibhul’amdi)
3) Pembunuhan karena kesalahan (al-qotlul khotho-u)
4) Penganiayaan sengaja (al-jar’hul ‘amdu)
5) Penganiayaan tidak sengaja (al-jar’hul khotho-u)5
3. Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir adalah Jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas
perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan
kepada keputusan Hakim. Namun hukum ta`zir juga dapat dikenakan atas kehendak
masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan awalnya mubah.
Bentuk hukuman dengan kebijaksanaan inidiberikan dengan pertimbangan khusus
tentang berbagai faktor yangmempengaruhi perubahan sosial dalam peradaban
manusia dan bervariasi berdasarkan dalam keanekaragaman metode yang
dipergunakan pengadilan ataupun jenis tindak pidana yang dapat ditujukan
dalamundang-undang. Pelanggaran yang dapat dihukum dengan metode iniadalah
yang mengganggu kehidupan dan harta serta kedamaian danketentraman masyarakat.
Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip
keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena
sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.6
Ciri khas jarimah ta’zir:
5
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., h. 18-19
6
Ibid., h. 27
1) Hukumannya tidak tertentu dan terbatas. Artinya hukuman tersebut belum
ditentukan syara’ dan ada batas maksimal dan minimalnya.
2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa
Jenis jarimah ta’zir menurut Ibnu Taimiyah;
“Perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula
kifarat, seperti mencium anak-anak (dengan syahwat), mencium wanita lain yang
bukan isteri, tidur satu ranjang tanpa persetubuhan atau memakan barang yang tidak
halal seperti darah dan bangkai.”
Jarimah Ta`zir juga bisa dibagi menjadi tiga macam
1) Jarimah yang berasal dari hudud namun terdapat syubhat
2) Jarimah yang dilarang nash, namun belum ada hukumnya
3) Dan jarimah yang jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
7
A. Hanafi, M.A, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 154
8
Ibid, hlm. 154.
pertanggung jawaban karena dasar pertanggung jawaban pada mereka ini tidak ada
pembebasan pertanggung jawaban.9
Dalam hal pertanggung jawaban pidana, hukum islam hanya membebani
hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum islam juga mengampuni
anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali ia
telah baligh.
Faktor yang menyebabkan terjadinya pertanggung jawaban pidana adalah di
karenakan perbuatan maksiat (pelanggaran-pelanggaran) yaitu meninggalkan yang di
suruh/di wajibkan oleh syara’ dan mengerjakan yang di larang oleh syara’ jadi sebab
pertanggung jawaban pidana adalah melakukan kejahatan apabila tidak melakukan
kejahatan maka tidak ada pertanggung jawaban pidana.10
Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggung jawaban pidana di
maksudkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat atau dengan
perkataan lain, adalah sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat oleh karena
itu besarnya hukuman harus di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yakni tidak
boleh melebihi apa yang diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat.11
Suatu hukuman dapat dianggap mewujudkan kepentingan masyarakat manakal
memenuhi syarat-syarat berikut ini yaitu:
1. hukuman mempunyai daya kerja yang cukup sehingga bisa menahan
seseorang untuk tidak mengulangi perbuatannya.
2. Hukuman tersebut juga mempunyai daya bagi orang lain, sehingga ketika ia
memikirkan akan memperbuatkan jarimah, maka terpikir pula olehnnya
bahwa hukuman yang akan menimpanya terlalu besar daripada keuntungan
yang di perolehnya.
3. Ada persesuaiannya antara hukuman dengan jarimah yang di perbuat.
4. Ketentuan hukuman bersifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang yang
berlaku jarimah tanpa memandang pangkat, keturunan atau pertimbangan
pertimbangan lain. Hubungan hukuman dengan pertanggungjawaban
ditentukan oleh sifat “ke-seseorangan hukuman” yang merupakan salah satu
prinsip dalam syariat islam, dimana seseorang tidak bertanggungjawaban
9
7Ahmad Wardhi Muslich, Penghantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: sinar
Grafika, 2004), hlm. 74.
10
Ahmad Wardhi Muslich, Penghantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: sinar
Grafika, 2004), hlm. 76.
11
Hanafi, A .Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Bulan bintang, 1976), hlm. 155
kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan bagaimanapun
juga tidak bertanggung jawab terhadap jarimah orang lain.12
II. Ketentuan pertanggungjawaban Pidana Terhadap Kejahatan
Untuk mengetahui macam-macam hukuman dalam jinayah harus ditinjau
dalam bebagai segi, yaitu:
1. ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancam hukuman, maka hukuman
dapat dibagi:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud
Seperti zina, qadzaf (penuduh zina), minum-minuman keras, pencurian,
pemberontakan, murtad dan perampokan.
b. Hukuman qishash dan diat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-
jarimah qishash dan diat. Misalnya pembunuhan sengaja, pembunuhan
menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan (tidak sengaja),
penganiayaan sengaja dan penganiayaan karena kesalahan (tidak sengaja).
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah
qishash dan diat dan beberapa jarimah ta’ziir. Misalnya pembunuhan karena
kekeliruan (tidak sengaja) dan menyerupai sengaja.
d. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah-jarimah
ta’zir. Jarimah ta’zir jumlahnya sangat banyak, karena mencakup semua
perbuatan yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan
kepada ulil amri untuk mengaturnya.
2. Di tinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman lain, maka
hukuman dapat dibagi 4 (empat) yaitu:
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk
jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman
qisas untuk jarimah pembunuhan, hukuman dera seratus kali untuk jarimah
zina, potong tangan untuk jarimah pencurian.
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam al-Qur’an
dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas (tidak boleh
diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua belah pihak. Ulama Syafi’iyah
menambahkan bahwa di samping qisas, pelaku pembunuhan juga wajib membayar
kafarah. Qisas diakui keberadaannya oleh al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ulama,
12
A. Hanafi,M.A Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 156
demikian pula akal memandang bahwa disyari’atkannya qisas adalah demi keadilan
dan kemaslahatan.
b. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri. Misal
larangan menerima warisan bagi pembunuh keluarga sebagai tambahan
qishash atau diyat.
c. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman mengikuti
hukum pokok dengan syarat ada keputusan sendiri dari hakim, dan syarat
inilah yang menjadi ciri pemisah dengan hukuman tambahan.
3. ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman,
maka hukuman dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hukuman yang mempunyai 1 (satu) batas, artinya tidak ada batas tertinggi
dan terendahnya. Seperti hukum jilid (dera) sebagai hukuman had (80 atau
100 kali dera). Dalam hukum jenis ini, hakim tidak berwenang untuk
menambah atau mengurangi hukuman tersebut, karena hukuman itu hanya
satu macam saja.
b. Hukuman yang punya batas tertinggi dan terendah. Dalam hal ini hakim
diberi kewenangan dan kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai
antara kedua batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-
jarimah ta’zir.
4. Di tinjau dari segi keharusan untuk menjatuhkan hukuman tersebut, maka
hukuman dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Hukuman yang telah ditentukan (‘Uqubah Muqaddarah), yaitu hukuman-
hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh syara’ dan hakim
berkewajiban untuk memutusnya tanpa mengurangi, atau menggantinya
dengan hukuman lain. Hukuman ini disebut dengan hukuman keharusan
(‘Uqubah Lazimah). Dinamakan demikian, karena ulil amri tidak berhak
untuk menggugurkan atau memaafkannya.
b. Hukuman yang belum ditentukan (‘Uqubah Ghair Muqaddarah), yaitu
hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari
sekumpulan hukumhukum yang ditetapkan syara’ dan menentukan
jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku dan perbuatannya.
Hukuman ini disebut hukum pilihan (‘Uqubah Mukhayyarah), karena hakim
dibolehkan untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut.
5. Di tinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, maka hukuman dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu :
1. Hukuman badan (‘Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman yang dikenakan atas
badan manusia, seperti hukuman mati, jilid (dera), dan penjara.
2. Hukuman jiwa (‘Uqubah Nafsiyah), yaitu hukuman yang dikenakan atas jiwa
manusia, bukan badannya, seperti ancaman, peringatan, atau teguran.
3. Hukuman harta (‘Uqubah Maliyah), yaitu hukuman yang dikenakan terhadap
harta seseorang, seperti diaat, denda, dan perampasan harta.
Adapun tingkat-tingkat pertanggungjawaban pidana adalah :
a. Sengaja (Al-’Amdu)
Dalam arti yang umum sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan
perbuatan yang dilarang atau sudah direncanakan sebelumnya. Tentu saja
pertanggungjawaban pidana dalam tingkat ini lebih berat dengan tingkat
dibawahnya.
b. Menyerupai Sengaja (Syibhul ‘Amdi)
Pengertian Syibhul ‘Amdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan
maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam
pertanggung jawabannya menyerupai sengaja berada di bawah sengaja.
c. Keliru (Al- Khata’)
Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak
pelaku tanpa ada maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut
terjadi karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Dalam segi pertanggung jawabannya, keadaan ini lebih ringan dari pada keliru,
karena pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk
melakukan perbuatan, melainkan perbuatan itu terjadi semata-mata akibat keteledoran
dan kelalaiannya. Sedangkan dalam hal keliru pelaku sengaja melakukan perbuatan,
walaupun akibatnya terjadi karena kurang hati-hati. Pertanggung jawaban pidana
dalam fiqh jinayah dapat dihapuskan karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan
atau karena hal-hal yang berkaitan dengan keadaan pelaku. Sebab hapusnya hukuman,
tidak mengakibatkan perbuatan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu
dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan
dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman.
Hukuman merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya tidak jatuh
dalam suatu maksiat. Karena seseorang akan terjaga dari perbuatan maksiat apabila
memiliki iman yang kokoh, berakhlak mulia dan dengan adanya sanksi duniawi yang
diharapkan mencegah seseorang kedalam tindak pidana.
Menurut seruan di atas sanksi pukulan diakui juga oleh Islam, setelah melakukan
upaya seperti nasehat atau cara lain sampai pada sanksi yang berat, namun bersifat
mendidik.
KESIMPULAN
Jarimah ditinjau dari aspek niat pelakunya terdiri atas jarimah sengaja dan
jarimah tak sengaja. Sedangkan jarimah ditinjau dari aspek objek perbuatannya adalah
jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat. Dan jika jarimah dilihat dari segi motif
pelakunya ada jarimah biasa dan jarimah politik. Jarimah juga terbagi atas dua jika
ditinjau dari aspek cara melakukan tindak pidana yaitu jarimah tunggal dan jarimah
berangkai. Dan terakhir jika jarimah dillihat dari aspek segi berat ringannya hukuman
terbagi atas tiga yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat serta jarimah ta’zir.
Dari berbagai macam-macam jarimah tersebut dapat disimpulkan bahwasanya
dari hukuman atas jarimah tersebut ada hukuman hak Allah dan ada hukuman hak
manusia. Itu semua tergantung dari jarimah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
H. Ahmad Wardi Muslich, op cit.
Hanafi,M.A Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (jakarta: Bulan Bintang, 1967)
Ahmad Wardhi Muslich, Penghantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: sinar Grafika, 2004)
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit.
Prof. Drs. H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1970)
Ali Yafie, Ahmad Sukarja, Muhammad Amin Sua, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana
Islam, Edisi Indonesia
Zaini Dahlan, Quran Karim dan Terjemahan Artinya, (yogyakarta: UII Press, 1999)
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema
InsaniPress.
Irfan, Nurul. Masyrofah.2013. Fiqh Jinayah. Jakarta :
AMZAH.Rahman, Abdul.1992. Tindak Pidana dalam Syariat Islam. Jakarta : PT.
RINEKACIPTA)