Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan norma-norma dasar. Oleh karena itu, dalam menentukan


hukuman, Al-Qur’an memberikan pola dasar yang umum. Karena bukan merupakan kitab
hukum, Al-Qur’an tidak merinci bentuk-bentuk perilaku kejahatan serta rincian
hukumannya.

Jenis-jenis kejahatan yang telah ditentukan syari’at berikut hukumannya itu pada
prinsipnya adalah apa yang dikehendaki syari’at dalam pemeliharaan dan keharusan
keberadaannya yang sifatnya sangat mendesak. Adapun selebihnya, yang merupakan
bagian terbesar dari jumlah tindak pidana dan hukuman, diserahkan kepada ulul amri
dalam menentukan jenis pelanggaran maupun bentuk hukumannnya. Kepercayaan yang
diberikan pembuat syari’at dalam menentukan bentuk pelanggaran dan macam hukum
tersebut ditujukan agar penguasa dapat secara leluasa mengatur masyarakatnya.

Bagian yang tidak ditentukan jenis pelanggarannya dan juga jenis hukumannya, dalam
terminologi fiqh disebut dengan ta’zir. Suatu jenis jarimah dan sanksi hukuman yang
menjadi wewenang ulil amri dalam pengaturannya. Didalam makalah ini akan dibahas
jarimah ta’zir dari pengertian, ruang lingkup, dasar hukum, dan uqubah nya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian jarimah Ta’zir?
2. Bagaimana ruang lingkup jarimah Ta’zir?
3. Apa dasar hukum adanya jarimah Ta’zir?
4. Apa uqubah dari jarimah Ta’zir?
C. Tujuan Makalah
1. Mahasiswa mengetahui pengertian jarimah Ta’zir.
2. Mahasiswa mengetahui ruang lingkup jarimah Ta’zir.
3. Mahasiswa mengetahui dasar hukum dari jarimah Ta’zir.
4. Mahasiswa mengetahui uqubah dari jarimah Ta’zir.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian jarimah Ta’zir

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Ta’zir” ditulis dengan ‘ta’zir
yang artinya hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak
terdapat di dalam al-qur’an dan Hadist. 1

Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata ‫ يعزر‬-‫ عزر‬yang secara etimologis berarti
ّ yaitu “menolak” dan “mencegah”. Kata ini juga memiliki arti ‫ نصره‬menolong atau
‫الردّوالمع‬,
menguatkan, karena pihak yang menolong akan menghalangi dan mencegah pihak
musuh yang akan menyakiti orang yang ditolongnya. Hal ini seperti dalam firman Allah
swt berikut: 2

  


 
   

( Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya,
membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.). (QS. Al-Fath:
9)3

1. Hanafiyah
Al-jurjani dan ibnu Himam berkata “hukuman ta’zir merupakan hukuman yang
bertujuan mendidik dan bukan berupa hukuman had”

2. Malikiyah
Muhammad bin ahmad bin jazi berkata: “ta’zir mrupakan hukuman yang ditetapkan
pada perbuatan kemaksiatan menyerupai hukuman hudud yang kadar human bisa

1
abdul wahab rokan, “Penerapan Konsep Hukuman Ta’zir Dalam Maqosid Syariah” (UIN Sumatera utara, 2018).hal.
156
2
M. Nurul irfan and masyrofah, Fiqh Jinayah (jakarta: amzah, 2015).hal. 136
3
(Q.S Al-Fath:9)

2
lebih atau kurang dari hukuman hudud itu sendiri yang dilakukan dari hasil ijtihad
imam”

3. Syafi’iyah
Umar bin ali berkata: “Ta’zir merupakan hukuman kepada semua kemaksiatan yang
tidak ada had dan kafarahnya, termasuk juga wanita yang berakal yang terkena
hukuman juga menaggung dari banyak sedikitnya hukuman”.

4. Hanabilah
Ibnu Quddamah berkata: “ta’zir merupakan hukuman yang diberikan terhadap
suatu bentuk perbuatan kemaksiatan dan criminal yang didalmnya tidak ada
ancaman dengan hukuman had, kafat, qishas dan diyat”. 4

Sedangkan menurut Ahmad Bahsani, asal kata ta’zir ini bermakna al-radd wa al-
rad’u yang berarti tadib terhadap orang yang berbuat salah (dosa) atas kesalahan yang
tidak disyariatkan padanya hudud, dan hukumannya akan selalu berada dengan
perbedaan ahwal (kondisi) pelakunya.

Menurut al Mawardi dalam kitab al-ahkam al-sulthaniyyah, Ta’zir ialah pengajaran


(terhadap pelaku) dosa-dosa yang tidak diatur oleh hudud. Status hukumnya berbeda-
beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya. Ta’zir sama dengan hudud dari satu sisi,
yaitu sebagai pengajaran (untuk menciptakan) kesejahteraan dan untuk melaksanakan
ancaman yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan dosa yang (dikerjakan). Definisi ta’zir
yang dikemukakan oleh al-Mawardi ini dikutip oleh Abu Ya’la. 5

Sedangkan menurut Syara’, pengertian ta’zir adalah al-tadib (mendidik) terhadap


pelaku yang melakukan perbuatan dosa yang tidak memiliki had dan tidak pula kafarat.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan jarimah ta’zir sebagai uqubah (hukuman) yang

4
rokan, “Penerapan Konsep Hukuman Ta’zir Dalam Maqosid Syariah.”
hal. 14
5
irfan, Fiqh Jinayah.hal.137

3
disyariatkan terhadap perbuatan maksiat atau pelanggaran yang tidak ada ketentuan had
dan tidak pua kafarah 6

Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah dalam Al-Tasyri al-Jina’I al-islami


muqaranan bi al-qanun al-wad’I, Ta’zir ialah pengaajaran yang tidak diatur oleh hudud
dan merupakan jenis sanksi yang diberlakukan karena melakukan beberapa tindakan
pidana yang oleh syariat tidak ditentukan dengan sebuah sanksi hukuman tertentu.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ta’zir ialah sanksi yang diberlakukan
kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran- baik berkaitan dengan hak Allah
maupun hak manusia-dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau kafarat.
Karena ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh al-quran dan hadist, maka ini menjadi
kompensasi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir, harus
tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan
umum. 7

B. Ruang lingkup jarimah Ta’zir

1. Jarimah hudud atau qishash yang terdapat syubhat, dialihkan ke sanksi ta’zir. Seperti:
a. Orang tua yang mencuri harta anaknya
“Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”(HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
b. Orang tua yang membunuh anaknya
“Orang tua tidak dapat dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya.”(HR.
Ahmad dan Al-Tirmidzi).
2. Jarimah hudud atau qishash yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi sanksi ta’zir.
Contoh: Percobaan pencurian, percobaan pembunuhan.
3. Jarimah yang tidak ditentukan Al-Qur’an dan Hadits tetapi dapat digunakan untuk
kemaslahatan umum. Contoh: pelanggaran atas peraturan lalu lintas.

6
khamami zada et al., “Ahkam (Jurnal Ilmu Syariah),” UIN Syarif Hidayatullah 17, number 1 (2017).hal. 156
7
M. Nurul irfan and masyrofah, Fiqh Jinayah (jakarta: amzah, 2015).hal 140

4
Jarimah ta’zir apabila dilihat dari hak yang dilanggar dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah, yaitu semua perbuatan yang berkaitan
dengan kemaslahatan umum. Misalnya, penimbunan bahan-bahan pokok, berbuat
kerusakan di muka bumi.
2. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perseorangan (individu), yaitu setiap perbuatan
yang mengakibatkan kerugian pada orang tertentu, bukan orang banyak. Misalnya,
penghinaan, penipuan.

Hukum Sanksi ta’zir

Ulama berbeda pendapat mengenai sanksi ta’zir, yakni:

- Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta’zir hukumnya wajib sebagaimana


hudud karena merupakan teguran yang di syariatkan untuk menegakkan hak Allah
dan seorang kepala negara atau kepala daerah boleh mengabaikannya.
- Menurut mazhab Syafi’i, ta’zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala negara atau
kepala daerah boleh meninggalkan jika hukum itu tidak menyangkut hak adami.
- Menurut mazhab Hanafiyah, ta’zir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak
adami. Adapun jika berkenaan dengan hak Allah, keputusannya berada pada hakim.

C. Dasar hukum jarimah Ta’zir

Tazir merupakan sebuah hukuman yang diberikan kepada pelaku maksiat bagi umat
islam karena telah melanggar sebuah ketentuan. Terdapat dalil yang terkandung dalam Al-
Quran dan hadits terkait sanksi tazir:

Dalil Al-Quran

(Q.S An-Nisa/4:34)

  


   
   
   

5
  
    
  
  
  
   
     
  

Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”

Allah mengizinkan suami untuk memukul istrinya dengan kadar pukulan yang
membuatnya tidak cedera masyuz (nakal:meninggalkan kewajiban), dipahami ulama
sebagai dasar sebagai pensyariataan tazir. Jadi dalam pukulan tersebut jangan sampai
meninggalkan bekas, luka, atau patah tulang serta tidak pula memukul wajah karena wajah
adalah kemuliaan manusia. Fuqahah mengingatkan apabila terpaksa maka pukulah bagian
pantatnya, karena pantat merupakan bagian tubuh yang tidak ada syaraf sensitif.8

(Q.S Al-Maidah/5:33)

  


  
    
8
Fuat Thohari, HADITS AHKAM KAJIAN HADITS-HADITS HUKUM PIDANA ISLAM (HUDUD, QISHASH, TAZ’IR),
(Yogyakarta,2016 CV BUDI UTAMA).Hlm 265

6
   
  
    
     
    
  

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”

Dalam ayat diatas disebutkan ada 4 hukum yaitu hukuman bunuh, gantung,
memotong anggota badan, dan diasingkan. Dari keempat hukuman ini tidak bisa
disamaratakan. Dalam ayat ini Allah SWT menyamakan bahwa ancaman orang yang
membunuh sama halnya seperti dia melakukan pernyataan perang terhadap Allah dan
Rasul-Nya. Diankhir ayat ini Allah mengatakan “Sanksi-sanksi hukum ini adalah bersifat
duniawi, tidak bisa menghapus siksa dan balasan kelak di akhirat, kecuali jika para pelaku
kejahatan ini bertobat, dan allah mengampuni segala kesalahan yang berkaitan dengannya.
9

Dalil hadits 1

..…‫سواط‬
ْ ‫ ل يجْ لد ف ْوق عشرة أ‬:‫للَا صلى هللا عليه وسلم يقول‬ ّ ‫ع ْن أبي ب ْردة ا ْل ْنصار‬
َ ‫ي أنَه سمع رسول‬

Artinya : “Dari Abi Burdah Al-Anshari bahwa ia mendengar Rasulullah SAW


bersabda, “Tidak boleh dicambuk lebih dari sepuluh kali kecuali di dalam hukuman yang
telah ditentukan oleh Allah.”(HR. Muttafaq ‘Alaih).

Dalil Hadist 2

99
Ibid, hlm 266

7
‫أقيلوا ذوي ا ْلهيْئات عثراته ْم إ َل ا ْلحدود‬: ‫للَا ع ْنها أنَ النَب َي اللهصلى عليه وسلم قال‬
َ ‫ع ْن عائشة رضي‬

Artinya: Dari Aisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi
orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, keculai
dalam jarimah-jarimah hudud.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Nasa’i dan Al-Baihaqi).

Bentuk Sanksi Ta’zir

Ta’zir dapat disesuaikan dengan kebijakan tuan atau hakim yang memandang setiap
perbuatan maksiat yang dilakukan kepada allah yang sampai tidak dikenai Had dan tidak
ada kewajiban membayar kafarat diluar penegculian yang telah dikemukakan. ,misalnya,
mengkonsumsi minuman yang memabukkan, melakukan tindakan mesum tanpa legalitas,
kesaksian palsu dan lainnya yang tidak terkena sanksi had.

Sanksi hakim dijatukan dalam bentuk sebagai berikut:

1. penjara
2. pukulan atau tamparan dengan tangan terkepal agar takut dan jera
3. teguran keras secara lisan
4. hukuman bunuh/mati, Malakiyah dan hanafiyah memperbolehkan hukuman tazir
dalam bentuk hukuman mati. Misalnya hukuman mati kepada para pelaku tindak
kejahatan yang melakukannya berulangkali atau terbiasa melakukan kejahatan
(residivis), atau liwat ( seks sodomi/sexs sesama jenis) atau pembunuhan dengan
benda tumpul menurut ulama Hanafiyah. Hukuman tazir dalam bentuk hukuman
bunuh itu dikenal dengan istilah al-qotlu siasatan.Berdasarkan hal semacamnya
menurut ulama hanafiyah kafir dzimmi patut dibunuh karena gemar menghujat
nabi.
5. pengambilan dan penyitaan harta, Sebagian ulama tidak boleh menghukum ta’zir
dalam bentuk pengambilan ( penyitaan, perampasan harta) karena hal ini
memungkinkan orang-orang zalim untuk memanfaatkan situasi untuk mengambil
dan merampas harta-harta orang-orang untuk dipergunakan dirinya sendiri10

10
Ibid, 269-270

8
Sifat dan Karakter Hukuman Tazir

1. Ulama Hanafiyah

hukum tazir apabila kasusnya menyangkut hak sesama manusia (adami), wajib dan
harus dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan. Karena hakim sama sekali tidak memiliki
kewenangan untuk menggugurkan hak adami. Adapun jika kasusnya berhubungan dengan
Allah swt, masalahknya diserahkan kepada kebijakan dan pandangan imam.

Sifat taz’ir yang kedua pukulan cambukan dalam hukuman taz’ir adalah yang paling
keras, karena secara kuantitatif hukuman taz’ir dimungkinkan untuk diperingan dengan
dikurangi jumlah cambukannya namun secara kualitatif tidak peringan sifat pukulannya.
Supaya maksud dari hukuman tersebut memberikan efek jera.11

2. Ulama Malikiyah dan Hanabillah


hukuman ta’zir adalah hak Allah SWT. Yang wajib dipenuhi, oleh karena itu secara
garis besar, hakim tidak boleh menggugurkan hukuman ta’zir, karena itu adalah
hukuman untuk memberi efek jera yang diberlakukan untuk memenuhi hak Allah.
3. Ulama Syafiiyah
Ta’zir sifatnya tidak wajib. Oleh karena itu hakim bisa saja tidak melaksanakannya
selama kasusnya tidak menyakut hak manusia (adami).12

Syarat Wajib Hukuman Ta’zir

Terjadinya Ta’zir apabila memenuh syarat-syarat berikut ini.

1) Berakal dan melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman
had.
2) Baligh (dewasa), adapun anak kecil yang sudah mumayiz, ia di ta’zir, namun bukan
sebagai bentuk hukuman akan tetapi sebagai upaya mendidik dan memberikan
pelajaran.
3) Atas inisiatif sendiri (mukhtaran) dan bukan karena dipaksa orang lain (amidan
ghair mukhrah)13
11
Ibid, 271
12
Ibid, 272

9
Mekanisme penetapan dan pembuktian kasus kejahatan dengan acaman ta’zir

Menurut ulama hanafiah, ,mekanisme penetapan dan pembuktian kasus kejahatan


dengan ancaman hukuman ta’zir sama seperti mekanisme pembuktian dan penetapan hak-
hak hamba lainnya yaitu: iqrar (pengakuan), bayinnah (saksi), al-nuqul (tidak mau
bersumpah), dan mendasarkan sepengetahuan hakim akan kebeneran kasus yang terjadi.14

Otoritas hukuman tazir

Imam adalah pelaksana ta’zir karena memiliki wewenang penuh atas seluruh kaum
muslimin. Al-San’ani menyatakan dalam kitab Subul al-salam, pelaksanaan ta’zir tidak
boleh dilaksanakan selain pemimpin (pemerintah), kecuali 3 pihak, yaitu:

Pertama Ayah , seorang ayah berhak melakukan ta’dib terhadap anak nya yang
masih kecil dan menghukumnya (tazir) untuk mrndidik, memperbaiki akhlaknya, dan juga
ketika diperintahkan solat apabial menolak maka pukulah dibagian pantatnya.

Kedua, Pemilik Budak, seorang majikan berhak melakukan ta’zir kepada budaknya
karena pelanggaran yang diperbuat baik terhadap dirinya maupun terhadap Allah Swt.

Ketiga, Suami. Seorang suami berhak menghukum istrinya karena nusyuz


(nakal/membangkang) untuk memerintah istri agar menunaikan hak Allah Swt.15

D. Macam-Macam sanksi jarimah Ta’zir

Macam-Macam Sanksi jarimah


Ta’zir

13
Ibid, 272-273
14
Ibid, 273
15
Ibid, 273-274

10
1. Sanksi Ta’zir yang 2. sanksi Ta’zir yang berkaitan 3. Sanksi Ta’zir lainnya
berkaitan dengan badan dengan harta

1. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan badan


A. Hukuman Mati

Mazhab Hanafi membolehkan sanksi ta’zir dengan hukuman mati apabila perbuatan
yang dilakukan telah berulang-ulang dan dapat membawa kemaslahatan bagi
masyarakat.Contohnya, pencurian yang berulang-ulang.

Kalangan Malikiyah dan sebagian Hanabilah juga membolehkan hukuman mati sebagai
sanksi ta’zir tertinggi. Demikian pula sebagian Syafi’iyah yang membolehkan hukuman
mati, seperti dalam kasus homoseks.

B. Hukuman Cambuk

Hukuman cambuk dalam jarimah hudud telah jelas bagi jarimah zina ghairu muhsan
dan jarimah qadzaf. Namun dalam jarima ta’zir hakim diberikan kewenangan untuk
menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku dan situasi.

Hukuman ini dikatakan efektif karena memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan


hukuman lainnya, antara lain:

- Lebih menjerakan dan lebih memiliki daya represif, karena dirasakan langsung secara
fisik
- Lebih murni dalam menerapkan prinsip bahwa sanksi ini bersifat pribadi dan tidak
sampai menelantarkan keluarga terhukum.

Adapun mengenai jumlah maksimal cambukan dalam jarimah ta’zir, terdapat


perbedaan pendapat, antara lain:

- Abu Hanifah, tidak boleh lebih dari 39 kali karena had bagi peminum khamr adalah 40
kali cambuk

11
- Abu Yusuf, tidak boleh lebih dari 79 kali karena had bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali
cambuk
- Ulama Malikiyah. Sanksi ta’zir boleh melebihi had selama mengandung maslahat.

2. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan Harta

Hukuman ta’zir dengan mengambil harta bukan berarti mengambil harta pelaku untuk
diri hakim melainkan menahannya untuk sementara waktu.Adapun jika pelaku tidak dapat
diharapkan untuk bertaubat, hakim dapat menyerahkan harta tersebut untuk kepentingan
yang mengandung maslahat.

Imam Ibnu Taimiyah membagi hukuman ta’zir berupa harta menajdi tiga bagian
dengan memperhatikan atsar (pengaruhnya)terhadap harta, yaitu:

A. Menghancurkannya

Penghancuran barang sebagai hukuman ta’zir berlaku untuk barang-barang yang


mengandung kemungkaran, misal:

- Penghancuran alat musik atau permainan yang mengandung maksiat


- Penghancuran alat dan tempat minum khamr. khalifah Ali pernah memutuskan
membakar kampung yang menjual khamr
- Khalifah Umar pernah menumpahkan susu yang bercampur dengan air untuk dijual
karena apbila susu sudah dicampur dengan air maka sulit mengetahui masing-
masing kadarnya16
B. Mengubahnya

Hukuman ta’zir yang berupa mengubahharta pelaku, antara lain mengubah patung yang
disembah oleh orang muslim dengan cara memotong bagian kepalanya sehingga mirip
pohon atau vas bunga.

C. Memilikinya

16
Ibid, h. 158

12
Hukuman ta’zir berupa pemilikan harta pelaku, antara lain Rasulullah melipatgandakan
denda bagi seorang yang mencuri buah-buahan di sampng hukuman cambuk.Hukuman
denda dapat merupakan hukuman pokok atau bisa saja hukum denda digabungkan dengan
hukuman pokok lainnya, yaitu hukuman denda disertai cambuk.17

Ibnu Al-Qayyim menjelaskan bahwa ada dua macam denda, yaitu

1. Denda yang dipastikan kesempurnaannya, ialah denda yang mengharuskan


lenyapnya harta karena berhubungan dengan hak Allah, misalnya:
a. Pelanggaran sewaktu ihram dengan membunuh binatang buruan, maka
pelakunya di denda dengan memotong hewan kurban
b. Hukuman bagi wanita yang nusyuz kepada suaminya adalah gugurnya nafkah
baginya
c. Berhubungan suami-istri pada siang hari di bulan Ramadan, dendanya memberi
makanan untuk 60 orang miskin
2. Denda yang tidak pasti kesempurnaannya, ialah denda yang ditetapkan melalui
ijtihad hakim dan disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan. Oleh karena
itu, tidak ada ketentuan syariat dan ketetapan hududnya.18

Selain denda, hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan harta.Jumhur ulama
membolehkan apabila persyaratan untuk mendapat jaminan atas harta tidak dipenuhi.
Persyaratan tersebut, antara lain:

- Harta diperoleh dengan cara yang halal


- Penggunaan harta tidak menggangu hak orang lain
- Harta digunakan sesuai dengan fungsinya

Apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, ulil amri berhak menetapkan hukuman
ta’zir berupa penyitaan atas perbuatan yang telah dilakukan.

3. Sanksi ta’zir lainnya

17
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 266
18
Mawardi Noor, Garis-garis Besar Syariat Islam.(Jakarta: Khairul Bayan, 2002), h. 36.

13
Selain hukuman yang telah di jelaskan sebelumnya, masih ada beberapa sanksi ta’zir
lainnya, antara lain

- Peringatan keras
- Nasihat
- Celaan
- Pengucilan
- Pemecatan
- Pengumumam kesalahan secara terbuka, seperti diberitakan dalam media cetak
atau pun elektronik.

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa artian ta’zir yang sebenar-benarnya berdasarkan


beberapa pendapat para pakar hukum islam adalah suatu istilah atau nama bagi suatu
perbuatan atau tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan syara’.Dan termasuk
juga tindak pidana hudud dan qishash/diyat jika pembuktiannya tidak memenuhi
rukun dan syarat maka tindakan tersebut berpindah menjadi kepada pidana ta’zir.
kekuasaan yang menetapkan ta’zir itu dari segi undang-undangnya adalah
seutuhnya hak pemerintah (ulul amri) dan dari segi pembuktian atau penjatuhan
hukum sepenuhnya milik hakim.Macam-macam sanksi ta’zir meliputi sanksi ta’zir yang
berkaitan dengan badan, sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta serta sanksi ta’zir
lainnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

irfan, M. Nurul, and masyrofah. Fiqh Jinayah. jakarta: amzah, 2015.


rokan, abdul wahab. “Penerapan Konsep Hukuman Ta’zir Dalam Maqosid Syariah.” UIN
Sumatera utara, 2018.
zada, khamami, ilyya muhsin, muhammad maksum, mustafa kamal rokan, amany
burhanudin lubis, and fauzan & fuadah zuhri. “Ahkam (Jurnal Ilmu Syariah).” UIN
Syarif Hidayatullah 17, number 1 (2017).
Wardi Muslich, wardi. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)

Noor, Mawardi. Garis-garis Besar Syariat Islam.(Jakarta: Khairul Bayan, 2002),

Thohari, Fuad. Hadis ahkam kajian hadis-hadis hukum pidana islam. (Hudud, Qisas, Ta’zir),
(Yogyakarta, Cv. budi utama. 2016)

15
16

Anda mungkin juga menyukai