Disusun Oleh :
Dosen Pengampu:
Rasina Padeni Nasution. MH
Assalamualikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat beserta salam tak lupa kita
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan
dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Jinayah
dan juga untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta
informasi yang semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal
mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu
tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu
kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua
yang membaca makalah ini terutama Dosen Mata Kuliah Fiqih Jinayah yang kami
harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui, pada prinsipnya Al-Qur’an merupakan norma-norma
dasar. Oleh karena itu, dalam menentukan hukuman, Al-Qur’an memberikan pola
dasar yang umum. Karena bukan merupakan kitab hukum, Al-Qur’an tidak
merinci bentuk-bentuk perilaku kejahatan serta rincian hukumannya.
Pemberian pola dasar yang bersifat umum tersebut memberikan
keleluasaan bagi masyarakat untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat tersebut. Masyarakat diberi kesempatan mengurus kepentingannya
untuk menciptakan dan mengadakan hukuman yang sesuai dengan kepentingan
masing-masing. Namun demikian, syari’at dalam hal ini menentukan beberapa
jenis perbuatan tertentu yang dianggap sebagai kejahatan.
Bagian yang tidak ditentukan jenis pelanggarannya dan juga jenis
hukumannya, dalam terminologi fiqh disebut dengan ta’zir. Suatu jenis jarimah
dan sanksi hukuman yang menjadi wewenang ulil amri dalam pengaturannya.
Didalam makalah ini akan dibahas jarimah ta’zir atau pengajaran dari pengertian
macam-macam jarimah ta’zir dan hukuman bagi pelaku yang melanggarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Jarimah Ta’zir?
2. Bagaimana Pembagian Jarimah Ta’zir?
3. Apa Prinsip Dan Tujuan Dari Jarimah Ta’zir?
4. Apa Sanksi Dan Hukuman Dari Jarimah Ta’zir?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian jarrimah ta’zir
2. Untuk mengetahui tentang pembagian jarimah ta’zir
3. Untuk mengetahui tentang prinsip dan tujuan jarimah ta’zir
4. Untuk mengetahui tentang sanksi dan hukuman dari jarimah ta’zir
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jarimah Ta’zir
ِّ H ) َع َّز َر – يُ َعyang
Secara Etimologis Ta’zir merupakan mashdar dari ( ز ُرH
1 Imam hanafi, Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh, (Pamekasan: 2014) hlm, 103.
2
harus tetap memperhatikan isyarat-isyarat dan petunjuk nash keagamaan secara
teliti, baik, mendalam, karena hal ini menyangkut kepentingan dan kemaslahatan
umum atau masyarakat dalam sebuah negara[2].
Dengan demikian ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas,artinya hukuman tersebut
belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada batas
maksimal.
2. Penetapan hukuman tersebut adalah hak hakim.
2 Dr. H. M. Nurul Irfan, korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2011) hlm.127-129.
3
berharga tetapi tidak mencapai nisab syar’i , berkhianat terhadap amanat, mencaci
dan menyakiti bukan dengan lafal qadzaf[3].
3 Dr. Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia dalam Perspektif Fikih Jinayah,
(Badan Litbang dan diklat Departemen Agama RI, 2009) hlm. 153-155
4 Drs. H. Rahmat hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) hlm. 142-146
4
D. Sanksi Dan Hukumannya
Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri
untuk menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis
besar dapat dikelompokkan kepada 4 kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Hukuman Ta’zir Yang Berkaitan Dengan Badan
a. Hukuman Mati
Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishas untuk
pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah,
zina muhson dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman
mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah
membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai
ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati
apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian
yang berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan
oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk islam.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk
jarimah ta’zir tertentu, seperti spionese dan melakukan kerusakan dimuka
bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah,
Seperti Imam ibn Uqail. Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan
hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat
yang menyimpang dari ajaran al-qur’an dan assunah. Hukuman mati bisa
diterpkan kepada pelaku homoseksual (liwath), peminum khamar untuk ke
empat kalinya.
Hukuman mati untuk jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan dalam
jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
a) Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-
hukaman hudud selain hukum mati.
b) Harus dipertimbangkan betul dampak kemaslahatan terhadap
masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar
dimuka bumi.
5
Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai
ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan
pedang, kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai
alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya
terhukum, karena kematian dengan menggunakan pedang lebih cepat.
6
ijtihad hakim dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarimah, pelaku,
tempat, waktu, dan situasi ketika jarimah itu terjadi.
b. Hukuman Pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk
pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan surat Al-Maidah ayat 33:
7
waria, yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya keluar dari
madinah.
Wujud dari pemilikan harta itu adalah denda atau Gharamah. Hukuman
denda juga merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula
digabungkan dengan hukum pokok lainnya. Seperti, penjatuhan hukuman denda
8
terhadap orang yang duduk-duduk dibar tempat minuman keras, atau denda
terhadap orang yang mencuri buah-buahan dari pohonnya.
Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain
bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara
jarimah ta’zir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam dalam masalah
ini. Selain denda, hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan atau
perampasan harta. Namun hukuman ini diperselisihkan oleh para fuqaha. Jumhur
ulama’ membolehkannya apabila persyaratan untuk mendapat jaminan atas harta
tidak dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1) Harta diperoleh dengan cara yang halal
2) Harta itu digunakan sesuai dengan fungsinya.
3) Penggunaan harta itu tidak menggangu hak orang lain.
Apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, misalnya harta didapat
dengan jalan yang tidak halal, atau tidak digunakan sesuai dengan fungsinya
makna dalam keadaan demikian ulil amri berhak untuk menerapkan hukum ta’zir
berupa penyitaan atau perampasan sebagai sanksi terhadap perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku.
9
b. Dihadirkan Di Hadapan Sidang
Apabila pelaku membandel atau perbuatannya cukup
membahayakan maka pelaku dapat dipanggil ke hadapan sidang untuk
diberi peringatan keras. Pemanggilan pelaku kedepan sidang pengadilan
ditambah dengan peringatan keras yang disampaikan secara langsung oleh
hakim, bagi orang tertentu sudah takut dan gemetar dalam menghadapi
meja hijau.
c. Hukuman Nasihat
Hukuman nasihat ini, seperti halnya hukuman peringatan dan
dihadirkan didepan sidang pengadilan, merupakan hukuman yang
diterapkan untuk pelaku-pelaku pemula yang melakukan tindak pidana,
bukan karena kebiasaan melainkan karena lalaian.
d. Celaan (Taubikh)
Hukuman celaan ini bisa dilakukan oleh hakim dengan berbagai
cara dan berbagai perkataan yang dikehendakinya yang diperkirakan dapat
mencegah pelaku dari perbuatan pidana yang pernah dilakukannya. Imam
Al-mawardi mengemukakan bahwa taubikh (celaan) ini bisa dilakukan
oleh hakim dengan cara memalingkan muka dari hadapan terdakwa yang
menunjukkan ketidak senangannya, atau memandangnya dengan muka
yang masam dan senyuman yang sinis.
e. Pengucilan
Pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan
orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat untuk berhubungan
dengan pelaku. Hukuman ta’zir berupa pengucilan ini diberlakukan
apabila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka hukuman ini
sulit sekali untuk dilaksanakan, sebab masing-masing anggota
masyarakatnya tidak acuh terhadap anggota masyarakat lainnya.
f. Pemecatan (Al-Azl)
Pengertian pemecatan adalah melarang seseorang dari
pekerjaannya dan memberhentikannya dari tugas atau jabatan yang
dipegangnya sebagai akibat pemberhentian dari pekerjaan itu. Hukuman
10
ta’zir berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan
terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah , baik yang berhubungan
dengan pekerjaan atau jabatannya maupun dengan hal-hal lainnya.
Misalnya, pegawai yang menerima suap, melakukan korupsi, mengangkat
pegawai yang tidak memenuhi persyaratan karena ikatan keluarga
(nepotisme).
g. Pengumuman kesalahan secara terbuka (At- Tasyhir)
Tujuan diadakannya hukuman tasyhir (pengumuman kejahatan)
adalah agar orang yang bersangkutan (pelaku) menjadi jera, dan agar
orang lain tidak melakukan perbuatan serupa. Jadi, sanksi ini memiliki
daya represif dan preventif. Jarimah-jarimah yang bisa dikenakan
hukuman (tasyhir) antara lain seperti: Saksi palsu, Pencurian, Kerusakan
akhlak, menjual barang-barang yang diharamkan, seperti bangkai dan babi.
Penerapan sanksi tasyhir ini tidak dimaksudkan untuk
menyebarluaskan kejahatan dan kejelekan seorang, melainkan untuk
mengobati mentalnya supaya dimasa yang akan datang, ia berubah
menjadi orang baik, tidak mengulangi perbutannya, dan tidak pula
melakukan kejahatan yang baru[5].
5 Drs. H. Achmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) hlm. 258-273
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Pengertian ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran. Sedangkan pengertian
jarimah ta’zir adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku
perbuatan dosa yang tindkannya tidak ada sanksi had dan kifaratnya. Dengan kata
lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim,
terhadap pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya
belum ditentukan oleh syari’at.
Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah
mulai dari memberi nasehat, peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain,
bahkan sampai hukuman mati, jika jarimah uang dilakukan benar-benar sangat
membahayakan, baik yang diraskan oleh dirinya maupun masyarakat oleh karena
itu hakim boleh memilih hukuman mulai yang paling ringan smapai yang paling
berat. Pemberian berat hukuman tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis
perbuata atau tindak pidana yang dilakukan baik mengenai kriteria maupun
faktor-faktor penyebabnya.
B. Saran
Demikian makalah ini yang dapat kami susun, apabila terdapat kesalahan
baik berupa sistematika penulisan maupun isi makalah, kami mengharapkan kritik
dan saran sebagai pembangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca umumnya dan penulis khususnya.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Hanafi, Imam. Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh. Pamekasan: 2014.
2. Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
3. Irfan, Nurul. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: AMZAH,
2011.
4. Irfan, Nurul, Muhammad. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam
Perspektif Fikih Jinayah. Badan Litbang dan diklat Departemen Agama
RI, 2009.
5. Muslich, Wardi, Achmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,
2005.
13