Dosen Pengampu
Disusun Oleh :
SULTAN ABDURRAHMAN
KEPULAUAN RIAU
2021
1
KATA PENGANTAR
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. Pengertian Ta’zir.............................................................................................................6
BAB IIII..................................................................................................................................12
PENUTUP...............................................................................................................................12
A. Kesimpulan...................................................................................................................12
B. Saran..............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti menolak dan
mencegah, dan juga bisa berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati,
membantunya, menguatkan, dan menolong. Sedangkan secara terminologis ta’zir adalah
bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentusan kadar hukumnya oleh syara’ dan
menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim.
Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan
Hadis. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada pelaku dan sekaligus mencegah
untuk tidak mengulangi perbuatannya. Beberapa definisi yang dikemukakan diatas,
jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi istilah ta’zir bisa
digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah atau tindak pidana. Ta’zir sering
juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang
tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Ketika menetapkan hukuman ta’zir, penguasa memiliki wewenang untuk memberikan
ketentuan hukuman tersebut dengan ketentuan maksimal dan minimal, dan memberikan
wewenang pada pengadilan untuk menentukan batasan hukuman antara maksimal dan
minimal. Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jari>mah. Dan agar mereka (hakim) dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa
menghadapi sebaikbaiknya terhadap keadaan yang mendadak.
Penegakan suatu hukum di sebuah Negara, khususnya Negara Islam, harus sesuai
dengan kehendak syari’ sebagai penentu suatu hukum, yaitu Allah (SWT) dan Rasul-Nya
Nabi Muhammad (SAW). Ketika hukuman tersebut tidak disebutkan atau ditentukan oleh
syari’, baik itu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka waliyul amri atau pemerintah
sebagai perpanjangan tangan atau khalifah Allah (SWT) dan Rasul-Nya, mereka harus
4
menetapkan hukum tersebut sesuai dengan kehendak syari’. Dengan itu, sehingga hukum
ini bisa ditegakkan dengan sebenarnya dan bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan
bagi masyarakat pada umumnya dan bagi penganut agama Islam khususnya. selanjutnya
menjadi sebuah Negara yang berada dibawah naungan Allah dan Rasul-Nya, yaitu Negara
yang diridhai oleh keduanya, karena hukum yang detgakkan tersebut sesuai dengan
kehendaknya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ta’zir ?
2. Apa saja dasar hukum dari Ta’zir ?
3. Apa saja macam-macam dari Ta’zir ?
4. Bagaimana penerapan hukuman ta’zir menurut ulama mazhab ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ta’zir.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Ta’zir.
3. Untuk mengetahui macam-macam dari Ta’zir.
4. Untuk mengetahui penerapan hukuman ta’zir menurut ulama mazhab.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’zir
Ta'zir berasal dari kata 'azzara, yu azziru, ta'zir yang berarti menghukum atau melatih
disiplin.1 Secara bahasa, ta‟zir bermakna al-man‟u artinya pencegahan. Menurut istilah
ta‟zir bermakna at-Ta‟dib (pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Ada pun definisi
ta‟zir secara syar‟i adalah sanksi yang diterapkan atas tindakan maksiat yang didalamnya
tidak ada had dan kifarat. Menurut Abu Bakr Jabir Al Jaziri, ta'zir adalah “sanksi disiplin
dengan pemukulan, atau pemukulan, atau embargo, atau pengasingan.2 Menurut A.
Rahman I Doi, ta'zir secara harfiah berarti “mencegah pelaku kriminal karena tindak
pidana yang memalukan. Hukuman itu dapat berupa cambukan, kurungan penjara, denda,
peringatan, dan lain-lain.3
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ta'zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh
syara'. Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara' dinamakan dengan jarimah ta'zir. Jadi, istilah ta'zir bisa digunakan untuk hukuman
dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana). Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami
bahwa jarimah ta'zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had
dan tidak dikenakan kafarat, dengan demikian inti dari jarimah ta'zir adalah perbuatan
maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). 4 Dari uraian tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa jarimah ta'zir dibagi kepada tiga bagian yaitu:
1. Ta'zir karena melakukan perbuatan maksiat.
2. Ta'zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
3. Ta'zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah).
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), hlm. 925.
2
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009),
hlm. 54.
3
Abdur Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan Syari'ah II, penerjemah: Zaimudin dan Rusydi Sulaiman
dalam Syari'ah The Islamic Law, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 15-16
4
6
Selain itu pula jika dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta'zir dapat dibagi
kepada dua bagian, yaitu:
1. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak Allah.
2. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak perorangan (individu).
Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak Allah adalah
semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya
membuat kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium
wanita lain yang bukan istri, penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan
lainlain. Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak
perorangan (individu) adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang
tertentu, bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan, dan
lain-lain.5
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa ta'zir merupakan suatu istilah untuk
hukuman atas tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara' dan tidak
dikenakan had serta kafarat.
5
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 252.
7
peluang kepada suami untuk memukul isterinya yang durhaka.6 Namun al-Quran tidak
menyebutkan jumlah pukulan atau bentuk hukuman pasti yang harus dilaksanakan seorang
suami. Sementara itu, qiyas digunakan untuk menghukum pelanggaran lainnya yang tidak
disebutkan dalam al-Quran dan hadits. Menurut Sayyid Sabiq, hukuman takzir pada
awalnya didasarkan pada riwayat Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasai dan Al-Baihaqi dari
Bahz Ibnu Hakim dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa nabi telah menjatuhkan hukuman
penjara terhadap pelaku tuduhan palsu.
Namun hukuman yang dilakukan oleh Nabi ini merupakan tindakan preventif sebelum
perkaranya menjadi jelas. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari
Haani` ibnu Nayyar, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
ال تجلدوا فوق عشرة اسواط إال فى حد من حدود هللا تعالى
Artinya:
Janganlah kamu melakukan pemukulan lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali
hanya dalam pelaksanaan hukuman had yang telah ditetapkan Allah SWT.7
Tindakan khalifah Umar bin Khattab yang membakar tempat tinggal Saad ibnu
Waqqash di Kufah, karena dia selalu menutupnya dan tidak memperkenankan rakyat
memasukinya. Beliau juga memukul wanita yang menangisi kematian keluarganya,
sampai rambutnya kelihatan, dijadikan landasan bagi penetapan hukuman dalam bentuk
takzir. Nampaknya berdasarkan keterangan di atas, dipahami bahwa hukuman takzir boleh
dan harus diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Namun yang menjadi perbedaan pendapat para ulama adalah ketika memahami
batasan hukuman takzir seperti yang tersebut dalam hadits, apakah hukuman takzir boleh
melebihi hukuman hudud yang telah ditentukan dalam nash atau tidak. Penerapan
hukuman takzir dalam praktek aktualisasi hukum Islam di atas memberikan gambaran
bahwa pelanggaran terhadap larangan hukum berarti melakukan yang dilarang atau tidak
melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan demikian suatu tindak
pidana adalah jika perbuatan tersebut dilarang oleh syariah. Dengan kata lain melakukan
atau tidak melakukan suatu perbuatan, yang membawa kepada hukuman yang ditentukan
oleh syariah adalah tindak pidana.
Penerapan hukuman Takzir ini, menurut sebagian ulama juga didasarkan pada nash
al-Quran yang menjelaskan tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana pelanggaran
6
Abu Muhammad bin Ahmad al-`Aini, Al-Binayah, Juz.V.…, hal. 516
7
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Al- Qahirah,
1997, hal, 209.
8
terhadap ketertiban umum, dan beberapa keterangan al-Quran yang menyuruh ummat
Islam mengalahkan orang kafir sehingga mereka mau mengerjakan perintah Allah.8
Menurut penulis, dasar penetapan hukuman takzir tidak berdasarkan penalaran bayani
yang bersumber dari al-Quran, akan tetapi berdasarkan penalaran Ta`lili dalam kasus-
kasus tertentu. Misalnya dalam kasus Nusyuz, di mana suami diberikan kesempatan untuk
mendidik isterinya dengan cara terakhir yaitu memukul. Illat yang digunakan adalah
karena isteri durhaka. Namun bentuk pemukulan dan berapa kali pukulan tidak dijelaskan.
Sementara itu Ta‟zir dapat ditinjau dari berbagai aspek yaitu :10
a. Ta‟zir terhadap maksiat yaitu maksiat yang termaktub dalam alquran yang tidak ada
hadnya.
b. Ta‟zir terhadap maslahah umum yaitu ta‟zir yang berada dalam sanksi undang-undang
atau peraturan-peraturan umum dalam masyarakat. Biasanya ta‟zir ini berasal dari
ketentuan dari pemerintah setempat
8
7 Lihat penjelasan Ibnu Hazm ketika membahas hukuman takzir bagi orang yang meninggalkan shalat, di
mana ia menjelaskan beberapa pendapat ulama yang menjatuhkan hukuman pembunuhan bagi orang yang
meninggalkan shalat tersebut, namum ia menolak pendapat ini. Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, Dar
al-kutub al-`Ilmiyah, Beirut, 1988, hal. 383-390.
9
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2009). h. 14- 15.
10
Abd al-Rahim Sidiqi, Al-Jarimah wa al-„Uqubah fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Cairo : Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyyah, 1987), h. 211.
9
c. Ta‟zir terhadap pertentangan-pertentangan lain yaitu sesuatu yang lebih sedikit derajat
kemaksiatannya yang tercakup dalam hal mengerjakan yang makruh dan meninggalkan
yang sunnah.
Berdasarkan hak yang dilanggar, ada dua macam jarimah ta‟zir yaitu:
a. Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak Allah SWT. Artinya, semua perbuatan yang
berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat kerusakan
di muka bumi, penimbunan bahan-bahan pokok, dan penyelundupan.11
b. Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak individu. Artinya, setiap perubahan yang
mengakibatkan kerugian pada orang-orang tertentu, bukan orang banyak. Misalnya,
pencemaran nama baik, penghinaan, penipuan, dan pemukulan.12
10
terhadap istrinya, guru kepada muridnya hanya terbatas pada hukum ta‟zir, tidak sampai
pada hukum hudud.14
14
Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam ( Jakarta; Sinar Grafika Offset, 2016). h.95
11
BAB IIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada pun definisi ta‟zir secara syar‟i adalah sanksi yang diterapkan atas tindakan
maksiat yang didalamnya tidak ada had dan kifarat. Menurut Abu Bakr Jabir Al Jaziri,
ta'zir adalah “sanksi disiplin dengan pemukulan, atau pemukulan, atau embargo, atau
pengasingan
Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara'
dinamakan dengan jarimah ta'zir. Jadi, istilah ta'zir bisa digunakan untuk hukuman dan
bisa juga untuk jarimah (tindak pidana). Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa
jarimah ta'zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak
dikenakan kafarat, dengan demikian inti dari jarimah ta'zir adalah perbuatan maksiat.
Ulama berbeda pendapat tentang dasar penetapan takzir apakah berdasarkan al-Quran,
hadits, ijma atau akal rasional. Penetapan hukuman takzir bersumber dari al-Quran adalah
surat an-Nisa: 16 dan 34.
Pelaksanaan hukuman ta‟zir bagi penguasa atau hakim sama dengan pelaksanaan
hukum hudud. Adapun selain dari penguasa yakni orang tua terhadap anaknya, suami
terhadap istrinya, guru kepada muridnya hanya terbatas pada hukum ta‟zir, tidak sampai
pada hukum hudud.
B. Saran
Saran tim penulis adalah seandainya hukuman tazir ini bisa dilaksanakan di Indonesai
maka akan lebih baik. Dan karena sudah sebagian besar dilaksanakan maka melakukan
perbaikan atas pelaksanaannya juga akan sangat lebih baik.
12
DAFTAR PUSTAKA
Sidiqi, Abd al-Rahim. 1987, Al-Jarimah wa al-„Uqubah fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah,
(Cairo : Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah
Rahman I. Doi, Abdur. 1996, Hudud dan Kewarisan Syari'ah II, penerjemah: Zaimudin dan
Rusydi Sulaiman dalam Syari'ah The Islamic Law, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,)
Ali bin Hajar al-Asqalani, Ahmad bin , 1997, Fathu al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Dar
al-Hadits, Al- Qahirah, Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam
Al Faruk, Asadulloh. 2009, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor : Ghalia
Indonesia)
Nurul Irfan, Muhammad. 2016. Hukum Pidana Islam ( Jakarta; Sinar Grafika Offset).
Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf Bin Murri Al-Nawawi, Muhyiddin. Syarah Al-Nawawi „Ala
Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar Al-Dawliyyah, Tt).
Al- Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiq Al-Islami Wa Adillatuhu, ( Damaskus: Dar Al-Fikr) Jilid 6
13