Anda di halaman 1dari 13

TINDAK PIDANA (JARIMAH) TA’ZIR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Jinayah

Dosen Pengampu

H. Muhammad Lukman, M.H.I

Disusun Oleh :

Pooja Aryanti Saleha (19.1287)


Bagus Wahyuda Utama (19.1306)
Rudi Apriandi (19.1294)
Nur Naela Jamiah Syafitri (19.1293)
Sutrisno ( 19.1311 )

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SULTAN ABDURRAHMAN

KEPULAUAN RIAU

2021

1
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


‫السال م عليكم ورحمة هللا وبركاته‬
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia, nikmat, serta
hidayah-Nya, makalah ini telah kami susun dengan baik. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Hukum dengan judul makalah yang kami bahas
adalah “(Ta’zir)” yang insyaallah akan berguna untuk menambah wawasan kita dalam
mempelajarinya.
Dalam penyusunannya, kami menggunakan beberapa sumber dan melibatkan berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih atas dukungan yang telah diberikan
untuk menyelesaikan makalah ini.
Meski telah disusun secara maksimal, kami sebagai manusia biasa menyadari bahwa
makalah ini sangat banyak mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat
dan pembelajaran dari makalah ini.
‫والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته‬

Tanjungpinang, 04 Juli 2021

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................5

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5

BAB II........................................................................................................................................6

PEMBAHASAN........................................................................................................................6

A. Pengertian Ta’zir.............................................................................................................6

B. Dasar Hukum Takzir.......................................................................................................7

C. Macam – Macam Hukum Ta’zir.....................................................................................9

D. Penerapan Hukuman Ta’zir Menurut Ulama Mazhab..................................................10

BAB IIII..................................................................................................................................12

PENUTUP...............................................................................................................................12

A. Kesimpulan...................................................................................................................12

B. Saran..............................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti menolak dan
mencegah, dan juga bisa berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati,
membantunya, menguatkan, dan menolong. Sedangkan secara terminologis ta’zir adalah
bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentusan kadar hukumnya oleh syara’ dan
menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim.
Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan
Hadis. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada pelaku dan sekaligus mencegah
untuk tidak mengulangi perbuatannya. Beberapa definisi yang dikemukakan diatas,
jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi istilah ta’zir bisa
digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah atau tindak pidana. Ta’zir sering
juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang
tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat.
Ketika menetapkan hukuman ta’zir, penguasa memiliki wewenang untuk memberikan
ketentuan hukuman tersebut dengan ketentuan maksimal dan minimal, dan memberikan
wewenang pada pengadilan untuk menentukan batasan hukuman antara maksimal dan
minimal. Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan
bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jari>mah. Dan agar mereka (hakim) dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa
menghadapi sebaikbaiknya terhadap keadaan yang mendadak.
Penegakan suatu hukum di sebuah Negara, khususnya Negara Islam, harus sesuai
dengan kehendak syari’ sebagai penentu suatu hukum, yaitu Allah (SWT) dan Rasul-Nya
Nabi Muhammad (SAW). Ketika hukuman tersebut tidak disebutkan atau ditentukan oleh
syari’, baik itu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka waliyul amri atau pemerintah
sebagai perpanjangan tangan atau khalifah Allah (SWT) dan Rasul-Nya, mereka harus

4
menetapkan hukum tersebut sesuai dengan kehendak syari’. Dengan itu, sehingga hukum
ini bisa ditegakkan dengan sebenarnya dan bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan
bagi masyarakat pada umumnya dan bagi penganut agama Islam khususnya. selanjutnya
menjadi sebuah Negara yang berada dibawah naungan Allah dan Rasul-Nya, yaitu Negara
yang diridhai oleh keduanya, karena hukum yang detgakkan tersebut sesuai dengan
kehendaknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ta’zir ?
2. Apa saja dasar hukum dari Ta’zir ?
3. Apa saja macam-macam dari Ta’zir ?
4. Bagaimana penerapan hukuman ta’zir menurut ulama mazhab ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ta’zir.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Ta’zir.
3. Untuk mengetahui macam-macam dari Ta’zir.
4. Untuk mengetahui penerapan hukuman ta’zir menurut ulama mazhab.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’zir
Ta'zir berasal dari kata 'azzara, yu azziru, ta'zir yang berarti menghukum atau melatih
disiplin.1 Secara bahasa, ta‟zir bermakna al-man‟u artinya pencegahan. Menurut istilah
ta‟zir bermakna at-Ta‟dib (pendidikan) dan at-Tankil (pengekangan). Ada pun definisi
ta‟zir secara syar‟i adalah sanksi yang diterapkan atas tindakan maksiat yang didalamnya
tidak ada had dan kifarat. Menurut Abu Bakr Jabir Al Jaziri, ta'zir adalah “sanksi disiplin
dengan pemukulan, atau pemukulan, atau embargo, atau pengasingan.2 Menurut A.
Rahman I Doi, ta'zir secara harfiah berarti “mencegah pelaku kriminal karena tindak
pidana yang memalukan. Hukuman itu dapat berupa cambukan, kurungan penjara, denda,
peringatan, dan lain-lain.3
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ta'zir adalah suatu
istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh
syara'. Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh
syara' dinamakan dengan jarimah ta'zir. Jadi, istilah ta'zir bisa digunakan untuk hukuman
dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana). Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami
bahwa jarimah ta'zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had
dan tidak dikenakan kafarat, dengan demikian inti dari jarimah ta'zir adalah perbuatan
maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). 4 Dari uraian tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa jarimah ta'zir dibagi kepada tiga bagian yaitu:
1. Ta'zir karena melakukan perbuatan maksiat.
2. Ta'zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
3. Ta'zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah).

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), hlm. 925.
2
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2009),
hlm. 54.
3
Abdur Rahman I. Doi, Hudud dan Kewarisan Syari'ah II, penerjemah: Zaimudin dan Rusydi Sulaiman
dalam Syari'ah The Islamic Law, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 15-16
4

6
Selain itu pula jika dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta'zir dapat dibagi
kepada dua bagian, yaitu:
1. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak Allah.
2. Jarimah ta'zir yang menyinggung hak perorangan (individu).
Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak Allah adalah
semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya
membuat kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium
wanita lain yang bukan istri, penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan
lainlain. Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah ta'zir yang menyinggung hak
perorangan (individu) adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang
tertentu, bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan, dan
lain-lain.5
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa ta'zir merupakan suatu istilah untuk
hukuman atas tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara' dan tidak
dikenakan had serta kafarat.

B. Dasar Hukum Takzir


Ulama berbeda pendapat tentang dasar penetapan takzir apakah berdasarkan al-Quran,
hadits, ijma atau akal rasional. Penetapan hukuman takzir bersumber dari al-Quran adalah
surat an-Nisa: 16 dan 34.
‫هّٰللا‬
ِ ‫َوالَّ ٰذ ِن يَْأتِ ٰينِهَا ِم ْن ُك ْم فَ ٰا ُذوْ هُ َما ۚ فَا ِ ْن تَابَا َواَصْ لَ َحا فَا َ ْع ِرضُوْ ا َع ْنهُ َما ۗ اِ َّن َ َكانَ تَوَّابًا ر‬
‫َّح ْي ًما‬
Artinya :
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah
hukuman kepada keduanya. Jika keduanya tobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah
mereka. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (An-nisa:16 )
ٰ
َ ‫َوالّتِ ْي تَ َخافُوْ نَ نُ ُشوْ زَ ه َُّن فَ ِعظُوْ ه َُّن َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى ْال َم‬
‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوْ ه َُّن‬
Artinya :
  Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri
nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau
perlu) pukullah mereka. ( An-Nisa:34 ).
Dua ayat dalam surat an-Nisa merupakan dalil yang menjadi dasar penyariatan
hukuman takzir. Pada surat an-Nisa:34 merupakan legitimasi al-Quran memberikan

5
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 252.

7
peluang kepada suami untuk memukul isterinya yang durhaka.6 Namun al-Quran tidak
menyebutkan jumlah pukulan atau bentuk hukuman pasti yang harus dilaksanakan seorang
suami. Sementara itu, qiyas digunakan untuk menghukum pelanggaran lainnya yang tidak
disebutkan dalam al-Quran dan hadits. Menurut Sayyid Sabiq, hukuman takzir pada
awalnya didasarkan pada riwayat Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasai dan Al-Baihaqi dari
Bahz Ibnu Hakim dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa nabi telah menjatuhkan hukuman
penjara terhadap pelaku tuduhan palsu.
Namun hukuman yang dilakukan oleh Nabi ini merupakan tindakan preventif sebelum
perkaranya menjadi jelas. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari
Haani` ibnu Nayyar, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
‫ال تجلدوا فوق عشرة اسواط إال فى حد من حدود هللا تعالى‬
Artinya:
Janganlah kamu melakukan pemukulan lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali
hanya dalam pelaksanaan hukuman had yang telah ditetapkan Allah SWT.7
Tindakan khalifah Umar bin Khattab yang membakar tempat tinggal Saad ibnu
Waqqash di Kufah, karena dia selalu menutupnya dan tidak memperkenankan rakyat
memasukinya. Beliau juga memukul wanita yang menangisi kematian keluarganya,
sampai rambutnya kelihatan, dijadikan landasan bagi penetapan hukuman dalam bentuk
takzir. Nampaknya berdasarkan keterangan di atas, dipahami bahwa hukuman takzir boleh
dan harus diterapkan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Namun yang menjadi perbedaan pendapat para ulama adalah ketika memahami
batasan hukuman takzir seperti yang tersebut dalam hadits, apakah hukuman takzir boleh
melebihi hukuman hudud yang telah ditentukan dalam nash atau tidak. Penerapan
hukuman takzir dalam praktek aktualisasi hukum Islam di atas memberikan gambaran
bahwa pelanggaran terhadap larangan hukum berarti melakukan yang dilarang atau tidak
melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan demikian suatu tindak
pidana adalah jika perbuatan tersebut dilarang oleh syariah. Dengan kata lain melakukan
atau tidak melakukan suatu perbuatan, yang membawa kepada hukuman yang ditentukan
oleh syariah adalah tindak pidana.
Penerapan hukuman Takzir ini, menurut sebagian ulama juga didasarkan pada nash
al-Quran yang menjelaskan tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana pelanggaran

6
Abu Muhammad bin Ahmad al-`Aini, Al-Binayah, Juz.V.…, hal. 516
7
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Al- Qahirah,
1997, hal, 209.

8
terhadap ketertiban umum, dan beberapa keterangan al-Quran yang menyuruh ummat
Islam mengalahkan orang kafir sehingga mereka mau mengerjakan perintah Allah.8
Menurut penulis, dasar penetapan hukuman takzir tidak berdasarkan penalaran bayani
yang bersumber dari al-Quran, akan tetapi berdasarkan penalaran Ta`lili dalam kasus-
kasus tertentu. Misalnya dalam kasus Nusyuz, di mana suami diberikan kesempatan untuk
mendidik isterinya dengan cara terakhir yaitu memukul. Illat yang digunakan adalah
karena isteri durhaka. Namun bentuk pemukulan dan berapa kali pukulan tidak dijelaskan.

C. Macam – Macam Hukum Ta’zir


Menurut Abd Qadir Awdah jarimah ta‟zir terbagi menjadi tiga yaitu:9
a. Jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur syubhat atau tidak memenuhi
syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti wati‟ syubhat,
pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan
harta benda.
b. Jarimah ta‟zir yang jenisnya telah ditentukan oleh nash, tapi sanksinya oleh syar‟i
diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan,
menipu, mengingkari janji, mengkhinati amanat, dan menghina agama.
c. Jarimah ta‟zir dan jenis sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan
yang utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas,
dan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah lainnya.

Sementara itu Ta‟zir dapat ditinjau dari berbagai aspek yaitu :10
a. Ta‟zir terhadap maksiat yaitu maksiat yang termaktub dalam alquran yang tidak ada
hadnya.
b. Ta‟zir terhadap maslahah umum yaitu ta‟zir yang berada dalam sanksi undang-undang
atau peraturan-peraturan umum dalam masyarakat. Biasanya ta‟zir ini berasal dari
ketentuan dari pemerintah setempat

8
7 Lihat penjelasan Ibnu Hazm ketika membahas hukuman takzir bagi orang yang meninggalkan shalat, di
mana ia menjelaskan beberapa pendapat ulama yang menjatuhkan hukuman pembunuhan bagi orang yang
meninggalkan shalat tersebut, namum ia menolak pendapat ini. Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, Dar
al-kutub al-`Ilmiyah, Beirut, 1988, hal. 383-390.
9
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2009). h. 14- 15.
10
Abd al-Rahim Sidiqi, Al-Jarimah wa al-„Uqubah fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Cairo : Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyyah, 1987), h. 211.

9
c. Ta‟zir terhadap pertentangan-pertentangan lain yaitu sesuatu yang lebih sedikit derajat
kemaksiatannya yang tercakup dalam hal mengerjakan yang makruh dan meninggalkan
yang sunnah.

Berdasarkan hak yang dilanggar, ada dua macam jarimah ta‟zir yaitu:
a. Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak Allah SWT. Artinya, semua perbuatan yang
berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat kerusakan
di muka bumi, penimbunan bahan-bahan pokok, dan penyelundupan.11
b. Jarimah ta‟zir yang menyinggung hak individu. Artinya, setiap perubahan yang
mengakibatkan kerugian pada orang-orang tertentu, bukan orang banyak. Misalnya,
pencemaran nama baik, penghinaan, penipuan, dan pemukulan.12

D. Penerapan Hukuman Ta’zir Menurut Ulama Mazhab


Menurut Imam Al-Syafi’i dan Abu Hanifah, penerapan hukuman Ta’zir ditentukan oleh
penguasa dan atau oleh selain penguasa atau hakim harus terikat dengan jaminan
keselamatan karena mendidik dan memberi peringatan tidak boleh sama dengan apa yang
dilakukan oleh penguasa atau hakim yang memang ditugaskan oleh syari‟at. Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
،‫ إمنا اإلمام جنة يقاتل من ورائو ويتقى بو‬:‫عن أيب ىريرة رضي اهلل عنو عن النيب صلى اهلل عليو و سلم قال‬
‫ كان لو بذلك أجر وإن يأمر بغريه كان عليو منو‬،‫فإن أمر بتقوى اهلل عز وجل وعدل‬.
(‫)رواه البخاري ومسلم‬
Artinya: Dari aAbu Huraurah ra. dari Nabi SAW bersabda “seusngguhnya Seorang
pemimpin/imam bagaikan perisai, karena ia menghalangi musuh dari mengganggu umat
Islam, dan mencegah kejahatan sebagian masyarakat kepada sebagian lainnya, membela
keutuhan negara Islam, ditakuti oleh masyarakat, karena mereka awatir akan
hukumannya. Dan makna „digunakan untuk berperang dibelakangnya„ ialah orang-
orang kafir diperangi bersamanya, demikian juga halnya dengan para pemberontak,
kaum khowarij, dan seluruh pelaku kerusakan dan kelaliman.”( HR. Muslim dalam kitab
Al-Imarah).13
Pelaksanaan hukuman ta‟zir bagi penguasa atau hakim sama dengan pelaksanaan
hukum hudud. Adapun selain dari penguasa yakni orang tua terhadap anaknya, suami
11
Ibid. Nurul Irfan,. h. 94.
12
Wahbah Al- Zuhaili, Al-Fiq Al-Islami Wa Adillatuhu, ( Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989) Jilid 6, h 197.
13
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf Bin Murri Al-Nawawi, Syarah Al-Nawawi „Ala Muslim, (Riyadh:
Bait Al-Afkar Al-Dawliyyah, Tt).

10
terhadap istrinya, guru kepada muridnya hanya terbatas pada hukum ta‟zir, tidak sampai
pada hukum hudud.14

14
Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam ( Jakarta; Sinar Grafika Offset, 2016). h.95

11
BAB IIII
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada pun definisi ta‟zir secara syar‟i adalah sanksi yang diterapkan atas tindakan
maksiat yang didalamnya tidak ada had dan kifarat. Menurut Abu Bakr Jabir Al Jaziri,
ta'zir adalah “sanksi disiplin dengan pemukulan, atau pemukulan, atau embargo, atau
pengasingan
Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara'
dinamakan dengan jarimah ta'zir. Jadi, istilah ta'zir bisa digunakan untuk hukuman dan
bisa juga untuk jarimah (tindak pidana). Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa
jarimah ta'zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak
dikenakan kafarat, dengan demikian inti dari jarimah ta'zir adalah perbuatan maksiat.
Ulama berbeda pendapat tentang dasar penetapan takzir apakah berdasarkan al-Quran,
hadits, ijma atau akal rasional. Penetapan hukuman takzir bersumber dari al-Quran adalah
surat an-Nisa: 16 dan 34.
Pelaksanaan hukuman ta‟zir bagi penguasa atau hakim sama dengan pelaksanaan
hukum hudud. Adapun selain dari penguasa yakni orang tua terhadap anaknya, suami
terhadap istrinya, guru kepada muridnya hanya terbatas pada hukum ta‟zir, tidak sampai
pada hukum hudud.

B. Saran
Saran tim penulis adalah seandainya hukuman tazir ini bisa dilaksanakan di Indonesai
maka akan lebih baik. Dan karena sudah sebagian besar dilaksanakan maka melakukan
perbaikan atas pelaksanaannya juga akan sangat lebih baik.

12
DAFTAR PUSTAKA
Sidiqi, Abd al-Rahim. 1987, Al-Jarimah wa al-„Uqubah fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah,
(Cairo : Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah

Rahman I. Doi, Abdur. 1996, Hudud dan Kewarisan Syari'ah II, penerjemah: Zaimudin dan
Rusydi Sulaiman dalam Syari'ah The Islamic Law, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,)

Muhammad bin Ahmad al-`Aini, Abu, Al-Binayah, Juz.V

Ali bin Hajar al-Asqalani, Ahmad bin , 1997, Fathu al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, Dar
al-Hadits, Al- Qahirah, Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam

Warson Munawwir, Ahmad. 1984, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif)

Al Faruk, Asadulloh. 2009, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor : Ghalia
Indonesia)

Munajat, Makhrus. 2009, Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras).

Nurul Irfan, Muhammad. 2016. Hukum Pidana Islam ( Jakarta; Sinar Grafika Offset).

Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf Bin Murri Al-Nawawi, Muhyiddin. Syarah Al-Nawawi „Ala
Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar Al-Dawliyyah, Tt).

Al- Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiq Al-Islami Wa Adillatuhu, ( Damaskus: Dar Al-Fikr) Jilid 6

13

Anda mungkin juga menyukai