Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah yang berjudul “AL-
HAKIM”.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Guru Pembimbing yang telah
membantu kami dalam mengerjakan karya ilmiah ini. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang telah memberi kontribusi baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam pembuatan karya ilmiah ini.

Kami sebagai penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari seluruh pihak senantiasa kami harapkan demi
kesempurnaan karya kami. Semoga makalah ini dapat membawa pemahaman dan
pengetahuan bagi kita semua tentang [AL-HAKIM].

Tugumulyo, Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................


KATA PENGANTAR ....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................
A. Pengertian Al- Hakim ..........................................................................
B. Pandungan Ulama tentang Al- Hakim .................................................
C. Sumber Hukum selain NAS & Al- Hakim...........................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran .....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT telah menciptakan dalam diri manusia potensi kehidupan yang
berupa kebutuhan naluri yang terdiri dari naluri beragama, naluri yang
mempertahankan diri serta naluri melangsungkan kehidupan. Disamping itu Allah
SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan lainnya yang berupa kehidupan
jasmani dan rohani.
Dengan adanya potensi kehidupanberupa kebutuhan jasmani dan rohani
inilah manusia menjalani kehidupannya sehari hari atau dengan kata lain apapun yang
dilakukan manusia selama hidup didunia adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan
mereka.
Agar seluruh pemenuhan kebutuhan tersebut berjalan dengan baik dan
menghasilkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, maka manusia harus
terlebih dahulu mengetahui baik atau buruk , serta apakah mendatangkan manfaat
atau memberikan mudharat baik didunia maupun diakhirat. Untuk itu manusia harus
terlebih dahulu mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan status hukum dan
pembuat hukum yang dilihat dari sisi baik atau buruk terhadap perbuatan
manusia.Dan manusia juga harus mengetahui siapa pihak yang berhak menjatuhkan
hukum ataupun ketetapan.
Dalam hal ini manusia harus mengetahui apa itu AL HAKIM, oleh karena itu
disini kita akan membahasnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian Al Hakim?
2. Seperti apa pandangan ulama tentang Al Hakim?
3. Apa saja sumber hukum selain nas dan al hakim dalam fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Al Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa hakim mempunyai dua arti, yaitu;
‫اض ُع ااْلَحا كَا ِم َو ُمثا ِبت ُ َها َو ُم ان ِشئ ُ َها َو َم ا‬
‫صدَ ُرهَا‬ ِ ‫َو‬
Artinya:
“Pembuat hukum yang menetapkan ,memunculkan sumber hukum”[1]
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam ushul fiqih, sebab
berkaitan dengan pembuatan hukum dalam syari’at islam, atau pembentuk hukum
syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya.
Dalam ilmu ushul fiqih, hakim juga disebut dengan syar’i.
Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at.Adapun sebelum
datangnya wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam menentukan
baik buruknya sesuatu, sehingga orang berbuat baik diberi pahala dan orang yang
berbuat buruk dikenakan sanksi.
Dari pengrtian pertama tentang hakim diatas,dapat diketahui bahwa hakim
adalah Allah SWT. Dia_lah pembuat hukum dan satu satunya sumber hukum yang
dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam islam, tidak ada syari’at, kecuali dari
Allah SWT. Baik yang brkaitan dengan hukum hukum taklif (wajib, sunah, haram,
makruh, mubah),maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’I (sebab, syarat,
halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsoh). Menurut kesepakatan para ulama,
semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT.Melalui nabi Muhammad SAW,
maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, separti qiyas,
ijma’, dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah
SWT.
B. pandangan ulama’ mengenai Al-Hakim
Terjadi banyak perbedaan pendapat mengenai al-hakim,yang menjadi pokok
permasalahan atau yang menjadi persoalan adalah siapa yang menjadi hakim terhadap
perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus.
Adapun beberapa pandangan itu diantaranya datang dari golongan mu’tazilah
berpendapat bahwa sebelum rasul diutus,akal manusia itulah yang menjadi
hakim,karena akal manusia dapat mngetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan
karena hakikatnya atau karena sifatnya.
Sedangkan pendapat dari golongan Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa
sebelum datangnya syara’,maka tidak diberi sesuatu hukum perbuatan-perbuatan
mukallaf.Titik persoalan antara golongan mu’tazilah dan al-Asy’ariyah adalah
tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala dan siksa,tergantung
pada perbuatan, walaupun syara’ belum menerangkannya. Sedangkan golongan
jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak disiksa atau tidak diberi pahala manusia
sebelum datangnya syara’,kendati akal bisa mengetahui baik buruknya suatu
perbuatan.[4]
Mengenai masalah akal yang mampu mengetahui hal yang baik dan juga
buruknya suatu perbuatan ,ada perbedaan pandangan lagi dari ulama’ ,yaitu:

1.Kelompok Asya’ariyah(Ahlusunnah)
Berpendapat bahwa bahwa suatu perbuatan dari segi perbuatan itu sendiri
tidak dapat di nilai baik atau buruk, oleh karena akal manusia tidak dapat mangetahui
baik dan buruknya suatu perbuatan. Baik dan buruknya suatu perbuatan terletak pada
disuruh atau dilarangnya perbuatan perbuatan itu oleh Allah melalui wahyunya.
Setiap perbuatan yang disuruh Allah melakukan menunjukan bahwa perbuatan itu
adalah baik, dan setiap perbuatan yang dilarang oleh Allah untuk melakukannya
menunjukan bahwa perbuatan itu adalah buruk.Dengan demikian baik buruknya suatu
perbuatan hanya ditentukan oleh Allah dengan wahyunya, dan akal manusia tidak
dapat mengenalnya.
Bila akal manusia tidak dapat mengenal baik atau buruknya suatu perbuatan,
maka dengan sendurinya akal manusia juga tidak dapat mendorong manusia untuk
berbuat maupun tidak berbuat. Wahyu Allah-lah yang dapat menetapkan baik atau
buruknya suatu perbuatan dan hanya wahyu pula yang dapat menyuruh atau melarang
manusia, daan hanya ditetapkan oleh Allah melalui Rasul-Nya

2.Kelompok Mu’tazilah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan dari materi perbuatan itu sendiri
mengandung nilai biak atau buruk. Akal manusia dapat mengutahui nilai baik atau
buruk. Suatu perbuatan akan dinilai baik oleh akal bila perbuatan itu disenangi oleh
manusia, baik langsunng dirasakannya pada waktu itu atau di kemudian hari.
Bila akal dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan,maka sebagai
kelanjutannya akal memahami pula bahwa suatu perbuatan yang baik itu harus di
laksanakan, dan suatu perbuatan yang buruk harus di tinggalkan. Alasannya ialah
bahwa akal manusia dapat memahami berdasarkan keyakinan akan keadilan
Allah, bahwa A llah tidak mungkin membiarkan Sesutu yang buruk dilakukan oleh
manusia dan tidak mungkin mencegah manusia melakukan suatu perbnuatan yang
baik . D engan demikian,keharusan berbuat atau tidak berbuat sudah ada meskipun
wahyu belum di turunkan oleh Allah. Di antara fungsi wahyu yang datang kemudian
adalah untuk mengokohkan apa yang telah diketahui dan ditetapkan oleh akal. Dan
dari pendapat ini ialah adanya taklif sebelum datanya Rosul.Seorang manusia tela di
anggap berdosa karena melakukan perbuatan buruk atau berpahala jika
melakukanperbuatan baik sebelum wahyu di turunkan Allah dan Rosul-Nya.

3.Kelompok Maturidiyah
Berpendapat bahwa suatu perbuatan dengan semata melihat pada materi
perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk.Karena itu akal dapat menetapkan
perbuatan itu baik atau buruk. Dapat di fahami bahea A llah tidak akan membiarkan
manusia melakikan perbuatan buruk dan tidak akan mencegah manusia melakukan
perbuatan baik. Dalam hal ini kelompok Maturidiyah sependapat degan kelompok
Mu’tazilah.
Mengenai yang berhubungan atau taklif atau beban hukum, kelompok ini
berpendapat bahwa akal semata tidak akan dapat menetatkan seseorang harus
melakukan perbuatan baik atau harus meninggalkan perbuatan buruk. Persoalan
taklif, dosa dan pahal ahanya ditetapkan oleh wahyu Allah atau cara menghubungkan
kepada wahyu yang telah ada menurut cara-cara tertentu.
Dikalangan ulama fiqih kelompok ahli sunah, hanafiah, mengikuti aliran
maturidiyah dalam penilaian baik dan buruk, juga dalam hal taklif.Berdasarerkan
pendapat ini maslahat dan mafsadat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum.Namun penetapan hukum itu baru berlaku efektif bila mendapat pengakuan
dari wahyu, baik secara langsung atau tidak.Maslahat inilah yang dikalangan ulama
ushul ahlussunah yang disebutmaslahat mu’tabarah.Kelompok ulama syi’ah
Imamiyah sependapat dengan Mu’tazilah dalam menetapkan akal sebagai sesuatu
yang dapat menilai baik atau buruknyasuatu perbuatan dan menetakpkan taklif dalam
hak wahyu tidak ada.[5]

C.Sumber Hukum Selain Nas dan Al Hakim


Dalam islam ,sumber hukum yang pokok dan utama dalah al-Qur’an dan juga
hadis.Namun seperti yang telah diuraikan tadi ada wahyu yang sudah jelas dan ada
wahyu yang belum jelas . Dan penafsiran ,juga pemkiran akal dari wahyu yang belum
jelas tersebut melahirkan sumber hukum yang lain dalam islam diantaranya:
a. Ijma’
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari
kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul SAW atas hukum syara’.
Ijma’ harus memenuhi persyaratan yaitu :
a. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid saja.
b. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu
masalah.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika
sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang
‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah
yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang
banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Adapun kehujjahan ijma’ untuk dijadikan sumber hukum ,ada beberapa
perbedaan pendapat dari kalangan ulama’.
Al bardawi berpendapat bahwa orang –orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu
sebagai hujjah,bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan
hujjah secara mutlaq.
Menurut Al-amidi paraulam’ telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang
wajib diamalkan.pendapat tersebut bertentangan syiah ,khowarij,dan nizam dari
golongan mu’tazilah.[7]

b. Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainya atau
penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.Qiyas secara umum dapat dapat
didefinisikan sebagai suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang
tidak disebutkan dalam suatu nash,dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash
karana adanya kesamaan dalam illat-nya. Contoh mengqiyaskan hukuman dera bagi
orang yang menuduh laki-laki berzina dengan hukum dera bagi mereka yang
menuduh zina kepada wanita –wanita yang sudah berkeluarga.
Adapun rukun Qiyas ada empat yaitu :
1. Ashl (suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat meng-
qiyas-kan .
2. Far’u (peristiwa yang tidak ada nash-nya)
3. Hukum ashl (hukum syara’,yang ditetapkan oleh suatu nash)
4. Illat (suatu sifat yang terdapat pada ashl)
Adapun kehujahan qiyas sebagai sumber hukum,terdapat pandangan yang
berbeda-beda pula. Ada yang membolehkannya dan ada yang melarangnya ,seperti
Golongan syafii ,Hambali ,dan golongan zahir berpendapat boleh menggunakan qiyas
sebagai hujjah.[8].Dan kehujjahan Qiyas menurut Jumhur ulama kaum muslimin
sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang
keempat dari sumber hukum yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat
hukum, yang dinamakan qiyas.

c. Istihsan
Menurut bahasa istihsan artinya menganggap sesuatu itu
baik,memperhitungkansesuatu lebih baik . menurut istilah ulama’ ushul fiqh adalah
berpaling seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali(nyata) kepada tuntutan qiyas
yang khaofi(samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy(
pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan
perpalingan ini .Atau meninggalkan hukum yang jelas ditetapkan pada suatu
peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalail syara’,menuju
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga. Contoh dari istihsan
adalah madzab hanafi yang menganggap rusaknya sholat seorang laki yang
berhadapan dengan perempuan.
Adapun kehujahan istihsan dalam sumber hukum berbeda-beda pula,ada yang
memperbolehkannya juga ada yang tidak memperbolehkannya,diantaranya;
Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan
sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak
terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau
menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh.
Menganggap bukan sebagai sumber hukum.Diantara ulama yang menolaknya
sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau
menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar
Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang
beristihsan sungguh ia telah membuat syariat.

d. Istishab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”.
Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari
suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau
dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil
yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama
berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat
kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka valaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A
dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Terjadi perbedaan pendapat tentang kehujahan istishab ,ada yang
memperbolehkannya juga ada yang tidak memperbolehkannya ,seperti ulama’
malikiyah ,Syafiiyah, zahiriyah ,dan syiah memperbolehkan berhujjah dengan
istishab .Alasannya bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu ,selama tidak
ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’I maupun zhanny,maka hukum yang
telah ditetapkan itu berlaku terus ,karena diduga keras belum ada perubahannya.

e. Maslahat mursalah
Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara'
dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar
atau kemaslahatan.Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu
Bakar mengumpulkan al-Qur'an yang terkenal dengan jam'ul Qur'an. Adapun
kehujjahannya ,imam syafi’I memperbolehkan berhujjah dengan maslahat mursalah.

f. Urf
Urf adalahSebuah hal yang menjadi kebiasaan manusia dan yang merreka selalu
melaksanakannya baik berupa pekerjaan atau perkataan yang di tetapkan pada arti
tertentu.
Adapun kehujjahan ur’f sebagai sumber hukum berpeda-beda pendapat
pula.Madzhab maliki dan hanafi sepakat bahwa penetapan hukum dengan ‘uruf yang
benar dengan adanya dalil syar’i di perbolehkan.
Sedangkan Para ulama’ bersepakat bahwa ‘uruf merupakan dalil sekiranya tidak
ditemukan dalam nash alquran dan assunnah.

g. Madhzab sahabi
Pengertian madzab sahabi sendiri adalah fatwa yang dikeluarkan sahabat secara
perorangan.
Beberapa pendapat tentang madzhb shohaby:
1. Tidak bisa di pakai sebagai hujjah sama sekali, ini pendapat dari jumhur dan
qoul jadid imam syafi’i.
2. Di dahulukan sebagai hujjah daripada qiyas, ini pendapat dari imam malik,
kebanyakan ulama’ hanafi dan qaul qadim imam syafi’i.
3. Menjadi hujjah apabila menyimpan qiyas dan di dahulukan dari qiyas yang
tidak menyimpan qaulus shohaby.[9]

h. Dzaro’i
Secara bahasa adalah alat penghubung atau jalan penghubung pada sessuatu.
Menurut ulama’ ushul dan syariat adalah sesuatu yang menjadi alat atau jalan pada
perkara yang diharamkan atau dihalakan untuk di ambil hukum darinya.Maka, jalan
menuju perkara yang di haramkan adalah haram, yang di perbolehkan adalah mubah
dan sesuatu yang tanpanya perkara wajib tidak terlaksana maka, hukumnya wajib.
Contoh dzaro’I : melarang berjudi yang tidak menngunakan taruhan,karena
dikhawatirkan akan masuk pada perjudian yang sebenarnya.
Adapun Kehujjahan dzaroi’ adalah sebagai berikut:
1) Imam malik dan imam ahmad menjadikan dzaroi’ sebagai salah satu sumber
hukum fiqh, ibnu qayyim beerkata: “saddud dzaroi’ adalah ¼ agama”.
2) Imam syafii dan imam hanafi terkadng memakai dan terkadang tidak.
3) Ibnu hazm saama sekali tidak memakai dzaroi’.

i. Syar’un Man qoblana


Syar’un man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul terdahulu,
sebelum diutus Nabi Muhammad SAW. Jika Al-qur’an atau sunnah yang shohih
mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang terdahulu melalui
para rasul,kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagai mana diwajibkan
kepada mereka,maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditunjukkan juga
kepada kita seperti syariat tentang puasa .
Namun sebaliknya bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada
orang-orang terdahulu,namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita,para ulama’
sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita,seperti syariat Nabi
Musa bahwa seorang yang berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya keculai dengan
membunuh dirinya dan jika ada najis yang menempel pada tubuh tidak akan suci
kecuali dengan memotong anggota badan tersebut .[10]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al-hakim adalah pembuat hukum,dalam hal ini adalah Allah swt lah sebagai
pembuat hukum yang mutlaq. Dalam hal ini akal manusia pun berperan dalam
memperjelas dan menerangkan wahyu dari al-hakim yang belum jelas maksudnya.
Selain Al-qur’an dan juga As-sunah sumber hukum islam adalah
ijma’,qiyas,istihsan,istishab,urf,dzaroi,syar’un man qoblana,madzab sahabi.

B. SARAN
Dalam era islam masa kini, masih banyak orang yang melanggar dan tidak mengikuti
aturan atau hukum yang dibuat Hakim. Padahal hukum sudah jelas tercantum dalam
Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Manusia sebagai subjek hukum seharusnya dapat
mampu menjalankan perbuatan dalam Al-qur’an dan sunnah yang sebagai ojek
hukum. Jika Subjek dan Objek hukum tidak berjalan dengan baik, telah dijelaskan
dalam hukum akan ada beban hukum yang dibebankan pada manusia itu sendiri.
Demikianlah akhir makalah ini. Jika ada penulisan makalah yang kurang tepat kami
mohon maaf. Terimakasih kepada pembaca yang telah menyempatkan membaca
makalah AL- HAKIM yang kami buat. Semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,Abddur Rahman.Ushul Fiqh.Jakarta:Bumi Aksara.2011


http// cerdas.net.sumber hukum selain nash.com
Jumantoro,Totok dan Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fiqih .Jakarta:Bumi
Aksara,2009.
Syafi”ie, Rachmat.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:Pustaka Setia.2010.
Zuhri,Syaefudin.Ushul Fiqih .Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2011.

Anda mungkin juga menyukai