Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

USHUL FIQIH

Tentang

“ Kaidah Ushuliyah (Mutlaq dan Muqayad, Mujmal dan Mubayan)”

Disusun Oleh: Kelompok 3

 Kelvin Teguh Pranda


 Milda Rahmadani
 Dwi Arifka
 Nopia Gustimar

Dosen Pembimbing:

Agustiari, S.PdI., M.E

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) KERINCI

TAHUN 1441 H/2020 M


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah Subhanallahu


wata’ala, karena hanya dengan Rahmat dan izin-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah ini, Shalawat beserta salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam, yang telah
membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman Islamiyah yang pernuh berkah ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan juga kami
berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung kami dalam
pembuatan makalah ini.

Kami berharap dengan adanya makalah ini bisa memberikan pengalaman


maupun pelajaran yang berrati bagi siapa yang membacanya. Makalah ini di buat
sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Ushul Fiqh yang membahas tentang
“Kaidah Ushuliyah (Mutlaq dan Muqayad, Mujmal dan Mubayan)”.

Akhir kata kami sebagai penulis mengharapkan kritik dan sran dari para
pembaca guna untuk memperbaiki tugas ini dimasa mendatang, atas perhatiannya
kami ucapkan terimakasih.

Kerinci, Maret 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………….………………………………………….…. 1
Daftar Isi …………………………………………………………………….... 2
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ………………………………………………………… 3
2. Rumusan Masalah ……………………………………………………... 3
3. Tujuan …………………………………………………………………. 3
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Mutlaq dan Muqayad ………………………………………..4
2. Kaedah-Kaedah Mutlaq dan Muqayad ………………………………... 5
3. Pengertian Mujmal Dan Mubayan ……………………………………. 11
4. Macam-macam Bayyan ………………………………………………. 13
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan …………………………………………………………… 14
2. Saran ………………………………………………………………….. 14
Daftar Pustaka ………………………………………………………………. 15

2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.
Al-Qur‟an adalah kitab yang perlu dikaji mendalam, karena merupakan
sumber hukum yang pertama untuk kaum muslimin. Salah satu unsur
penting yang digunakan sebagai perdekatan dalam mengkaji Al-Qur‟an adalah
Ilmu Ushul Fiqih, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari‟at yang bersifat amaliyah yang
diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang
penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasan, salah satunya adalah
lafadz muhtlaq dan muqayyad. Dibawah ini akan membahas lafadz mutlaq dan
muqayyad secara mendalam.

2. Rumusan Masalah.
a. Apa Pengertian Mutlaq dan Muqayad?
b. Bagaimana Kaedah-Kaedah Mutlaq dan Muqayad?
c. Apa Pengertian Mujmal Dan Mubayan?
d. Bagaimana Macam-macam Bayyan?

3. Tujuan.
Mengetahui Pengertian Mutlaq dan Muqayad Bagaimana Kaedah-Kaedah
Mutlaq dan Muqayad, Pengertian Mujmal Dan Mubayan, dan Bagaimana
Macam-macam Bayyan.

3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Mutlaq Dan Muqayad
A. Mutlaq
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada terbatas. 1 Dalam bahasa
Arab, kata ‫ مـطـلـــق‬berarti yang bebas, tidak terikat.2 Menurut al-Khudhori
Biek, 3

ْ ‫هٗ فَ ْش ٍد ا َ ْٔأ َ ْف َشا ٍدشَائِــــ َعـ ٍح ِتذ ُْٔ ٌِ لَـيْــــ ٍذ ُي‬


‫سر َ ِمــ ٍّم نَ ْفــــــظا‬ َ ‫ع‬ ْ ًُ ‫ا َ ْن‬
َ ‫طهَ ُك َيا دَ َّل‬
Artinya:
“Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek
yang tersebar tanpa ikatan bebas menurut lafal.”

Dalam rumusan yang berbeda namun saling berdekatan, Amir


Syarifuddin, 4 mengutip beberapa definisi para ulama ushul fiqh,
sebagaimana berikut:
Al-Amidi memberikan definisi:
ٍ ِ‫هٗ َيذْنُ ْـٕ ِل شَائ‬
ِّ ‫ــع فِٗ ِجـ ُْـسِـــ‬ َ ‫ع‬َ ‫ْ َُٕانَّهـ ْفـظُ انذَّا ُّل‬
artinya:
“Mutlaq ialah lafal yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi
petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.”
Abu Zuhrah mengajukan definisi:

‫احـذَجِ ا َ ِٔ اْن َج ًْــ ِع‬


ِ ٕ‫ِنٗ اْ َن‬
َ ‫ـــش ا‬
ٍ ‫ظ‬ َ ََ ‫غي ِْش‬
َ ٍْ ‫ض ْٕ ِع ِّ ِي‬ُ ْٕ ‫هٗ َي‬
َ ‫ع‬ َ ‫ـك ْ َُٕانَّزِٖ يَـذُ ُّل‬ ْ ُ ‫اَنَّه ْفــظُ اْنًـ‬
ُ َ‫ــطه‬
.‫ي‬
َ ِْ ‫ْث‬ ُ ‫هٗ اْن ًَـا ِْــيَ ِح ِي ٍْ َحي‬
َ ‫ع‬َ ‫ف تَ ْم يَذ ُ ُّل‬ ْ ٕ‫ا َ ِٔ اْ َن‬
ِ ‫ص‬
Artinya:
“Lafal mutlaq adalah lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu-’nya
(sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau
sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa
adanya.”

Contoh dari lafal mutlaq adalah dalam firman Allah swt (QS. Al-
mujadilah [58]: 3) yang menjelaskan tentang kifarat bagi seseorang yang
telah melakukan perbuatan zihar terhadap istrinya:
َّ ‫يش َسلَ َث ٍح ِي ٍْ لَ ْث ِم أ َ ٌْ َير َ ًَا‬
...‫سا‬ ِ ‫فَر‬...
ُ ‫َحْش‬

1
Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),
hal. 990
2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 862.
3
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,1982), 239.
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), 121-122.

4
Terjemah:
“…maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur...”5
Kata roqobah (seorang budak) pada ayat tersebut tidak diikuti oleh kata
yang menerangkan jenis budak yang disyaratkan untuk dimerdekakan
sebagai kifarat zihar, sehingga ayat ini berlaku mutlaq. Oleh karena itu,
pengertian ayat ini adalah kewajiban untuk memerdekakan seorang budak
dengan jenis apapun juga, baik yang mukmin ataupun yang kafir tanpa
adanya ikatan.

B. Muqayad
Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat,6 atau yang mengikat, yang
membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang
menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak
tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa
perkataan. Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh
Imam al-Syafi‟i seperti dikutip oleh Muhlish Usman, 7 muqoyyad adalah
lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan
yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat
berupa sifat, syarat, dan ghayah.8 Sebagai contoh adalah firman Allah swt
dalam (QS. al-Nisa‟ [4]: 92), tentang kifarat bagi seseorang yang
membunuh tanpa sengaja, yaitu:
...ٍ‫يش َسلَ َثــ ٍح ُيــؤْ ِيُـــَح‬ ِ ‫…فَر‬
ُ ‫َحْش‬
Artinya:
“…maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang
mukmin…” Dalam ayat tersebut, kata roqobah adalah kata yang
berlaku muqoyyad karena ia dibatasi dengan kata mu’minah. Hal ini
berarti bahwa tidak sembarang budak yang dapat dimerdekakan dalam
permasalahan kifarat bagi orang yang membunuh tanpa sengaja ini, tetapi
budak itu haruslah budak yang mukmin.

2. Kaedah-kaedah Mutlaq Dan Muqayad


Imam al-Syafi‟i seperti dalam Sapiudin Shidiq, 9 menjelaskan kaidah-
kaidah yang berkaitan dengan mut}laq dan muqoyyad sebagaimana berikut:
1. Hukum mutlaq. Lafal mutlaq dapat digunakan sesuai dengan
kemutlakannya. Kaidahnya:

ِِ ‫عهَٗ ذ َ ْمـِـي ْي ِذ‬ ْ ‫عهَٗ ِإ‬


َ ‫ط ََللِ ِّ َيانـَـ ْى يَمُ ْى دَ ِنــْي ٌم‬ ْ ًُ ‫ا َ ْن‬
َ َٗ‫ـطهَ ُك يَ ْثم‬

5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, 791.
6
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 206
7
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57.
8
Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 187
9
Shidiq, Ushul Fiqh, 186-192

5
Terjemah:
“Mutlaq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada
dalil yang membatasinya.”

Contoh: (QS. An-Nisa‟ [4]: 23).


َ َِ ُ‫ٔأ ُ َّي َٓاخ‬..
..‫سائِكُ ْى‬ َ .
artinya:

“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”


Ayat ini mengandung arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat
atau membatasi kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh
dinikahi, baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya
atau belum.
2. Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama
belum ada bukti yang me-mutlaq-kan. Kaidahnya:
َ ‫ط‬
ِّ ‫ــــَل ِل‬ ْ ‫عهَٗ ِإ‬
َ ‫عهَٗ ذ َ ْم ِيــ ْي ِذ ِِ َيانـَـ ْى َيمُ ْى دَ ِنــْي ٌم‬ ٌ ‫ا َ ْن ًُـمَــَّيذ ُ تا َ ِل‬
َ ٗ
Artinya:
“Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada
dalil yang menyatakan kemutlakannya.”

Contoh: (QS. Al-Mujadalah [58]: 3-4):


‫سا رَ ِنكُ ْى‬ َّ ‫يش َسلَثَ ٍح ِي ٍْ لَ ْث ِم أ َ ٌْ يَر َ ًَا‬ ِ ‫سائِ ِٓ ْى ث ُ َّى يَعُٕد ٌَُٔ ِن ًَا لَانُٕا فَر‬
ُ ‫َحْش‬ َ َِ ٍْ ‫ظا ِْ ُشٌَٔ ِي‬ َ ُ‫َٔانَّزِيٍَ ي‬
‫يش‬ َّ َٔ ِّ ِ‫عظٌَُٕ ت‬
ٌ ِ‫َّللاُ تِ ًَا ذ َ ْع ًَهٌَُٕ َخث‬ َ ُٕ‫ذ‬
ٍَ‫طعَا ُو ِسرِّي‬ ْ ِ ‫سا فَ ًَ ٍْ نَ ْى يَ ْسر َِط ْع فَئ‬
َّ ‫ش ْٓ َشي ٍِْ ُيرَر َاتِعَي ٍِْ ِي ٍْ لَ ْث ِم أ َ ٌْ يَر َ ًَا‬
َ ‫صيَا ُو‬ ِ َ‫فَ ًَ ٍْ نَ ْى يَ ِجذْ ف‬
ٌ‫عزَابٌ أ َ ِنيى‬َ ٍَ‫َّللا َٔ ِن ْه َكافِ ِشي‬
ِ َّ ُ ‫سٕ ِن ِّ َٔذِ ْهكَ ُحذ ُٔد‬ ِ َّ ِ‫ِي ْس ِكيُا رَنِكَ ِنرُؤْ ِيُُٕا ت‬
ُ ‫اَّلل َٔ َس‬
artinya:
“ (3) Orang-orang yang menz}ihar isteri mereka, Kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
(4) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka
siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh
orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kifarat bagi seorang suami yang


melakukan zihar terhadap istrinya adalah memerdekakan budak atau puasa
dua bulan berturut-turut atau kalau tidak mampu, maka ia harus memberi
makan sebanyak 60 orang miskin. Karena ayat ini telah dibatasi
kemut}laqannya, maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.

6
3. Hukum mut}laq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq jika telah ditentukan
batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya:
ِِ ‫عهَٗ ذ َ ْمـِـي ْي ِذ‬ ْ ‫عهَٗ ِإ‬
َ ‫ط ََللِ ِّ ِإرَا يَمُ ْٕ ُو دَ ِنــْي ٌم‬ ْ ًُ ‫ا َ ْن‬
َ َٗ‫ـطهَ ُك الَ يَ ْثم‬
Terjemah:
“Lafal mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaq karena telah ada batasan
yang membatasinya.”
Contoh: (QS. An-Nisa‟ [4]: 11).
...‫ُٕصي‬ ِ َٔ ‫ ِي ٍْ تَ ْع ِذ‬...
ِ ‫صيَّ ٍح ي‬
Artinya:
“…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya…”
Kata wasiat pada ayat ini masih bersifat mut}laq dan tidak ada batasan
berapa jumlah wasiat yang harus dapat dikeluarkan. Kemudian ayat ini
dibatasi ketentuannya oleh hadits yang menyatakan bahwa wasiat yang
paling banyak adalah sepertiga dari jumlah harta warisan yang ada.
Dengan demikian, maka hukum mutlaq pada ayat tersebut dibawa kepada
yang muqoyyad. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw.

ُ ُ‫ث َٔانثُّــه‬
)‫ث َك ِثــــي ٌْش (سٔاِ انثخــاسٖ ٔيســهى‬ ُ ُ‫هللا لَا َل اَنثُّــه‬ ُ ‫فَئ ِ ٌَّ َس‬
ِ ‫س ْٕ َل‬
Terjemah:
“Wasiat itu adalah sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR.
Bukhari dan Muslim).

4. Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika


dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia
menjadi mutlaq. Kaidahnya:

َ ‫ط‬
ِّ ‫ــــَل ِل‬ ْ ‫عهَٗ ِإ‬ َ َٗ‫ا َ ْن ًُـمَــَّيذ ُ الَ َي ْثم‬
َ ‫عهَٗ ذ َ ْم ِيــ ْي ِذ ِِ ِإرَا َيمُ ْٕ ُو دَ ِنــْي ٌم‬
Terjemah:
“Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain
yang menunjukkan kemutlaqannya.

Contoh: (QS. An-Nisa‟ [4]: 23).

‫سائِكُ ُى انَلذِي دَخ َْهر ُ ْى ِت ِٓ ٍَّ فَئ ِ ٌْ نَ ْى ذَكَُُٕٕا دَخ َْهر ُ ْى ِت ِٓ ٍَّ فََل‬
َ َِ ٍْ ‫ٕسكُ ْى ِي‬
ِ ‫ َٔ َستَائِثُكُ ُى انَلذِي فِي ُح ُج‬...
...‫عهَ ْيكُ ْى‬
َ ‫ُجَُا َح‬
Terjemah:
“…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya…”

Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal


ini disebabkan karena anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya

7
“sudah dicampuri”. Keharaman ini telah dibatasi oleh dua hal tersebut,
namun batasan yang kedua tetap dipandang sebagai batasan
yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar pengikut saja,
karena lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana
ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri
tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena batasan muqoyyadnya telah
dihapus sehingga menjadi mutlaq kembali. 10
Pada prinsipnya, para ulama bersepakat bahwa hukum dari
lafal mutlaq itu wajib diamalkan kemutlaqannya, selama tidak ada dalil
yang membatasi kemutlaqannya. Begitupun dengan lafal-
lafal muqoyyad yang berlaku kemuqoyyadannya. Namun, pada kasus-
kasus tertentu, terdapat berbagai dalil syara‟ dengan lafal
yang mutlaq disatu tempat, sedang ditempat lain menunjukkan muqoyyad.
Pada permasalahan seperti ini, Hamid Hakim dalam Muhlish
Usman,11 mengatakan bahwa ada empat alternatatif kaidah yang dapat
digunakan, yaitu:
1) Hukum dan sebabnya sama, maka yang mutlaq dibawa
kepada muqoyyad. Kaidahnya:
‫ة َٔاْن ُحـــــ ْك ِى‬ َّ ‫هٗ ا َ ْن ًُـمَــَّي ِذ ِإرَااذَّفَــمَا ِفٗ ان‬
ِ ‫ســ َث‬ َ ‫ع‬ ْ ًُ ‫ا َ ْن‬
َ ‫ـطهَ ُك يُحْ ًَـ ُم‬
Terjemah:
“Mutlaq itu dibawa pada muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Contoh: (QS. Al-Maidah‟ [5]: 3).
ِ ‫عهَ ْيكُ ُى ْان ًَ ْيرَحُ َٔانذَّ ُو َٔنَحْ ُى ا ْن ِخ ُْ ِز‬
...‫يش‬ ْ ‫ُح ِ ّش َي‬
َ ‫د‬
Terjemah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…”

Pada ayat ini, kata )‫ (انـذو‬atau darah adalah lafal mutlaq yang tidak
diikat oleh sifat atau syarat apapun. Namun pada ayat lain, dalam
firman Allah swt, (QS. Al-An‟am [6]: 145) disebutkan:

ْ َ‫طا ِع ٍى ي‬
ْٔ َ ‫طعَ ًُُّ إِال أ َ ٌْ يَكٌَُٕ َي ْير َح أ َ ْٔ دَيا َي ْسفُٕحا أ‬ َ َٗ‫عه‬ َّ َ‫ي إِن‬
َ ‫ي ُي َح َّشيا‬ ِ ُ ‫لُ ْم ال أ َ ِجذ ُ فِي َيا أ‬
َ ‫ٔح‬
ٍ ‫نَحْ َى ِخ ُْ ِز‬
‫يش‬

Terjemah:
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi.”
10
Shidiq, Ushul Fiqh, 189.
11
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah, 59-61.

8
Dalam ayat ini, kata ‫انذو‬, atau darah diberi sifat
dengan masfuh (mengalir). Namun, hukum dalam kedua ayat ini
adalah sama, yaitu sama-sama “haram”. Demikian pula sebab yang
menimbulkan hukumnya juga sama, yaitu “darah”. Oleh karena itu
dibawalah yang mutlaq pada yang muqoyyad, dalam artian; hukum
yang dalam lafal mutlaq harus dipahami menurut yang berlaku pada
lafal muqoyyad.
Dengan demikian, kata “darah” pada lafal mutlaq, harus diartikan
dengan “darah yang mengalir” sebagaimana yang terdapat pada
lafal muqoyyad. Dari kedua ayat tersebut, terlihat jelas bahwa materi
dan hukumnya sama, maka selain darah yang mengalir menjadi halal,
misalnya hati atau limpa.

2) Berbeda sebabnya namun sama hukumnya. Pada permasalahan ini,


jumhur syafi‟iyyah menyatakan bahwa yang mutlaq dibawa pada
yang muqoyyad. Sedangkan golongan Hanafiyyah dan Malikiyyah
mayoritas menetapkan bahwa hukum mut}laq dan muqoyyad masing-
masing tetap pada posisinya. Kaidahnya:
‫ة‬
ِ ‫ســ َث‬ ْ ٌِ ‫هٗ ا َ ْن ًُـمَــَّي ِذ َٔ ِإ‬
َّ ‫اخر َـــهَفـَـــا ِفٗ ان‬ َ ‫ع‬ ْ ًُ ‫ا َ ْن‬
َ ‫ـطهَ ُك يُحْ ًَـ ُم‬
Terjemah:
“Mutlaq itu dibawa ke muqoyyad jika sebabnya berbeda.”

Contoh: (QS. Al-Mujadlah [58]: 3) yang menjelaskan bahwa kifarat


zihar adalah “memerdekakan budak” tanpa ada batasan “mukmin” atau
tidak. Sementara pada ayat lain, dijelaskan bahwa bagi orang yang
membunuh dengan tidak sengaja, kifaratnya adalah memerdekakan
budak yang mukmin. Sebagaimana firman Allah: (QS. an-Nisa‟ [4]:
92)

...ٍ‫يش َسلَثَ ٍح ُيؤْ ِيَُح‬ َ ‫ٔ َي ٍْ لَر َ َم ُيؤْ ِيُا َخ‬...


ِ ‫طأ فَر‬
ُ ‫َحْش‬ َ
Terjemah:
“…dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman...”
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak,
sedangkan sebabnya berlainan, yang pertama karena zihar sementara
yang lain karena pembunuhan tidak sengaja. Al-Syafi‟iyyah
mengatakan bahwa lafal mutlaq pada kifarat zihar itu harus dibawa
kepada yang muqoyyad tanpa memerlukan dalil lain dengan
argumentasi bahwa Kalamullah itu satu zatnya, tidak berbilang.

9
Karena itu, jika Allah telah menentukan syarat “iman”
dalam kifarat pembunuhan tidak disengaja, berarti ketentuan inipun
berlaku pula pada kifarat zihar, yaitu membebaskan budak yang
mukmin. Sementara Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan
bahwa kifarat zihar ialah sembarang budak.12
3) Berbeda hukum namun sama sebabnya, maka mutlaq dibawa
pada muqoyyad. Kaidahnya:
ْ َ‫هٗ ا َ ْن ًُـمَــَّي ِذ إِر‬
‫ااخر َـــهَفـَـــا فِٗ اْن ُحـــــ ْك ِى‬ َ ‫ع‬ ْ ًُ ‫ا َ ْن‬
َ ‫ـطهَ ُك َال يُحْ ًَـ ُم‬
Terjemah:
“Mutlaq itu tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya
hukumnya.”
Contoh: kata “tangan” dalam perintah wudhu dan tayammum.
Membasuh tangan dalam perintah wudhu dibatasi sampai dengan siku,
sebagaimana firman Allah swt, (QS. Al-Maidah [5]: 6).

ِ ِ‫صَلجِ فَا ْغ ِسهُٕا ُٔ ُجٕ َْكُ ْى َٔأ َ ْي ِذ َيكُ ْى ِإنَٗ ْان ًَ َشاف‬
..‫ك‬ َّ ‫َيا أَيُّ َٓا انَّزِيٍَ آ َيُُٕا ِإرَا لُ ًْر ُ ْى ِإنَٗ ان‬

Terjemah:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”

Dalam perintah tayammum, tidak dijelaskan batasan membasuh


tangan, tetapi berlaku mutlaq. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Nisa‟
[4]: 43).
...‫جٕ ِْكُ ْى َٔأ َ ْيذِيكُ ْى‬
ُ ُٕ ِ‫س ُحٕا ت‬
َ ‫اي‬ َ ‫ص ِعيذا‬
ْ َ‫طيِّثا ف‬ َ ‫فَرَيَ ًَّ ًُٕا‬...

Terjemah:
“…maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu…”

Kedua ayat diatas mengandung sebab yang sama yaitu membasuh


tangan, tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan sampai mata
siku dalam wudhu dan hanya menyapu tangan secara mutlaq pada
tayammum. Dengan demikian, harus diamalkan secara masing-masing
karena tidak saling membatasi.13

12
Hanafie, Ushul Fiqh, 77.
13
Shidiq, Ushul Fiqh, 191.

10
4) Berbeda sebab dan hukumnya, maka mutlaq tidak dibawa
pada muqoyyad. Masing-masing berdiri sendiri. Kaidahnya:

ُ ‫ة َٔاْن‬
.‫حـــــ ْك ِى‬ ْ َ‫هٗ ا َ ْن ًُـمَــَّي ِذ ِإر‬
َّ ‫ااخر َـــهَفـَـــافِٗ ان‬
ِ َ‫ســث‬ َ ‫ع‬ ْ ًُ ‫ا َ ْن‬
َ ‫ـطهَ ُك َال يُحْ ًَـ ُم‬
Terjemah:
“Mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya
berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Maidah [5]: 6) tentang perintah wudhu. Pada ayat
tersebut kata “tangan” disebutkan dengan batasan yaitu sampai siku.
Sementara pada ayat lain yang menjelaskan tentang hukuman potong
tangan bagi pencuri yang berlaku mutlaq tanpa menyebutkan batasan.
Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Maidah [5]: 38)
...‫طعُٕا أ َ ْي ِذ َي ُٓ ًَا‬
َ ‫اسلَحُ فَا ْل‬
ِ ‫س‬َّ ‫اس ُق َٔان‬
ِ ‫س‬َّ ‫َٔان‬
Terjemah:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya …” Kedua ayat diatas memiliki sebab dan hukum
yang berbeda. Ayat pertama menyebutkan keharusan mencuci tangan
secara muqoyyad sampai siku dalam masalah wudhu untuk melakukan
shalat. Sementara ayat kedua menyebutkan keharusan memotong
tangan secara mutlaq dalam sanksi hukum terhadap pencuri.
Dalam hal ini, ulama bersepakat bahwa kedua ayat ini berlaku
sendiri-sendiri, lafal yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya, sementara
yang muqoyyad, tetap pada kemuqoyadannya.14

3. Pengertian Mujmal Dan Mubayan


A. Mujmal.
Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara
istilah berarti: lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam
menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau
menjelaskan ukurannya.
1. Contoh: lafadz yang masih memerlukan lainnya untuk menentukan
maknanya:
kata ” rapat ” dalam bahasa Indonesia misalnya memiliki dua
makna: perkumpulan dan tidak ada celah. Sedangkan dalam al Qur‟an
misalnya surat al Baqarah: 228
َ ًُ ‫َٔ ْان‬
﴾٢٢٢ :‫﴿انثمشج‬.…… ٍ‫طهَّمَاخُ يَر ََش َّتصٍَْ ِتأ َ َْفُ ِس ِٓ ٍَّ ث َ ََلث َ َح لُ ُشٔء‬

kata ” ‫ ” ءورق‬dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga
untuk menentukan maknanya membutuhkan dalill lain.

14
Syarifuddin, Ushul Fiqh, 128.

11
2. Contoh: lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan
tatacaranya.
Surat An Nur: 56
﴾٦٥ :‫انشسُٕلَ نَ َعهَّكُ ْى ذ ُ ْش َح ًٌَُٕ ﴿انُٕس‬
َّ ‫انزكَاجَ َٔأَطِ يعُٕا‬ َّ ‫َٔأَلِي ًُٕا ان‬
َّ ‫ص ََلج َ َٔآذُٕا‬

Kata “ mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum


jelas karena tidak diketahui tatacaranya, maka butuh dalil lainnya
untuk memahami tatacaranya. Begit pula ayat- ayat haji dan puasa

3. Contoh lafadz yang membutuhkan lainnya dalam menjelaskan


ukurannya.
Surat an nur : 56 di atas. Kata ” menunaikan zakat ” dalam ayat di
atas masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk
memahaminya masih diperlukan dalil lainnya. 15
B. Mubayyan
Mubayyan secara bahasa (etimologi) : (‫ )حضوملاو رهظملا‬yang
ditampakkan dan yang dijelaskan.
Sedangkan secara terminologi yang didefinisikan oleh al-Asnawi sebagai
berikut: “Mubayan adalah lafaz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya
atau dengan lafaz lainnya”.
Ada yang mendifinisikan Mubayyan sebagai berikut:
‫ إما ب أ صل ال ى ضع أو ب عد ال ت ب ي ين‬،‫ما ي فهم ال مراد م نو‬
“Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya
atau setelah adanya penjelasan.”

Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya :


lafadz langit (‫)ءامس‬, bumi (‫)ضرأ‬, gunung (‫)لبج‬, adil (‫)لدع‬, dholim (‫)ملظ‬,
jujur (‫)قدص‬. Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat difahami
dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam
menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan :
Firman Alloh ta‟ala :
‫و ىا ال ا‬ ‫ا يمى ال‬

“Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” (Al-Baqoroh : 43)


Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah
mujmal, tetapi pembuat syari‟at (Allah ta‟ala) telah menjelaskannya, maka
lafadz keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan.
Dalam hubungannya dengan Mubayyan , maka dapat kita pahami ada
tiga hal disini. Pertama adanya lafaz yang mujmal yang memerlukan
penjelasan atau disebut Mubayan (yang dijelaskan). Kedua ada lafaz lain
yang menjelaskan lafaz yang Mujmal tadi atau disebut Mubayyin (yang
menjelaskan. Dan yang ketiga adanya penjelasana atau disebut Bayan.

15
http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/

12
C. Macam-Macam Bayyan ( Penjelasan )
Dalam pembahasan selanjutnya, para Ulama Ushul membuat kategori
daripada penjelasan atau Bayan tersebut. Ulama Syafiiyah membagi bayan
kepada 7 macam sebagai berikut :
1. Penjelasan dengan perkataan ,
Contohnya, Allah SWT menjelaskan lafaz ‫ ( ةعبس‬tujuh ) pada
surat al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah hari puasa bagi yang tidak
mampu membayar dam (hadyu) pada haji Tamattu‟. Dalam bahasa
Arab lafaz tujuh sering ditujukan kepada arti „banyak‟ yang bisa lebih
dari tujuh. Untuk menjelaskan „tujuh‟ itu betul-betul tujuh maka Allah
SWT mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang
sempurna”.
2. Penjelasan dengan mafhum perkataan,
Contohnya, firman Allah SWT dalam surat al-Isra‟ ayat 23, tentang
larangan mengatakan ‫”فا‬ah” kepada kedua orang tua. Mafhum dari
ayat tersebut adalah melarang seseorang anak menyakiti orang tuanya,
seperti memukul dan lain-lain, karena mengucapkan “ah” saja tidak
boleh, apalagi memukul.
3. Penjelasan dengan perbuatan,
Contoh. Rasulullah SAW menjelaskan perintah mendirikan shalat,
dalam ayat al-Quran, lalu Rasulullah SAW mencontohkan
cara melakukan shalat tersebut.
4. Penjelasan dengan Iqrar “pengakuan”
Contohnya, Rasulullah melihat Qayis shalat dua raka‟at sesudah
shalat Subuh, maka Rasulullah bertanya kepada Qayis, lalu Qayis
menjawab dua raka‟at itu adalah shalat sunat fajar. Rasulullah tidak
melarang. Ini menunjukkan dibolehkan shalat sunat sesudah shalat
Subuh.
5. Penjelasan dengan Isyarat,
Contohnya penjelasan Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam
satu bulan. Beliau mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30
hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya
pada kali yang terakhir. Maksdunya bahwa bulan itu kadang-kadang
30 hari atau kadang-kadang 29 hari.
6. Penjelasan dengan tulisan,
Contohnya Rasulullah SAW menyuruh juru tulis beliau menuliskan
hukum-hukum mengenai pembagian harta warisan dan lain-lain.
7. Penjelasan dengan qiyas,
Contohnya Rasulullah SAW menjawab seorang penanya
melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal. Rasullullah
bertanya, „bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu bisa
membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua
dengan membayar hutangnya. 16

16
Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, tahun 1998

13
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada terbatas. Dalam bahasa Arab,
kata ‫ مـطـلـــق‬berarti yang bebas, tidak terikat.
Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat, atau yang mengikat, yang
membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan
suatu hal, barang atau orang yang tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan
(batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Mujmal Secara bahasa berarti
samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz yang
maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu
maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
Mubayyan secara bahasa (etimologi) : (‫ )حضوملاو رهظملا‬yang ditampakkan
dan yang dijelaskan.

2. Saran.
Demi kesempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan masukan kritikan
dan saran yang bersifat membangun kearah yang lebih baik demi kelancaran
dan kesempurnaan penulisan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, Pekalongan: Raja
Murah,1982
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, Jakarta: CV. Naladana, 2004
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1996.
Sapiuddin Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011
Shidiq, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
Hanafie, Ushul Fiqh, Cet. VII. Jakarta: Widjaya, 1980
http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/
Prof.DR.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, tahun 1998

15

Anda mungkin juga menyukai