Anda di halaman 1dari 19

JARIMAH TA’ZIR

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pidana Islam yang dibimbing
oleh
Dr. H. Syahrul Anwar, M. Ag.
Deden Najmudin, M. Sy.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 7
Muhammad Fauzan (1203050099)
Putri Maharani Rahma Aisah (1203050129)
Renatha Maulana Aiman G. (1203050138)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan hidayah-Nya
yang telah diberikan kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan
pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Penulisan makalah ini merupakan bentuk dari tugas terstruktur mata kuliah Hukum
Perdata yang diampu oleh.Dr. H. Syahrul Anwar, M.Ag dan Deden Najmudin, M.Sy. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai “JARIMAH TA’ZIR”.

Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah hingga rampungnya
makalah dengan baik. Penyusun juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi setiap pembaca.

Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati, kami meminta kesediaan pembaca untuk
memberikan kritik serta saran yang membangun mengenai penulisan makalah kami, demi
kebaikan pembuatan makalah dikemudian hari.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

                                                                             

Bandung, 11 November 2021

Kelompok 7

i
Daftar isi

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
Daftar isi...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A. Pengertian......................................................................................................................2
B. Dasar Hukum Jarimah Ta’zir.....................................................................................2
C. Macam-macam JarimahTa’zir.....................................................................................5
D. Penerapan Hukuman Ta’zir dalam Hukum Positif...................................................11
BAB III PENUTUP................................................................................................................15
A. Kesimpulan..................................................................................................................15
B. Saran.............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….....16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Pidana atau Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku
semenjak diutusnya Rasulullah SAW. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan
diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham
tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan
hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada
kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentanghadits-hadits yang berkaitan
dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang
meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu
Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang
telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka
qishas dapat diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan
nasnya dalam Al-Qur’an.  Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan diterima
oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang
diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam
koridor agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Jarimah Ta’zir?
2. Apa dasar hukum dari Jarimah Ta’zir?
3. Apa macam-macam dari Jarimah Ta’zir?
4. Bagaimana bentuk-bentuk penerapan hukuman ta’zir menurut ulama madzhab dan
pemikir muslim kontemporer?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Jarimah Ta’zir.
2. Mengetahui dasar hukum dari Jarimah Ta’zir.
3. Mengetahui macam-macam Jarimah Ta’zir.
4. Mengetahui bentuk-bentuk penerapan hukuman ta’zir menurut ulama madzhab dan
pemikir muslim kontemporer.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti menolak dan mencegah,
dan juga bisa berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya,
menguatkan, dan menolong. 1Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian
pertama yaitu mencegah dan menolak. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak
mengulangi lagi perbuatannya. Dan pengertian kedua yaitu mendidik, ta’zir diartikan
mendidik karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki perbuatan pelaku agar
iamenyadari perbuatan jarimahnya, kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Dari
beberapa pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan
Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ahmad Wardi muslich.
Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan
Hadis. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada pelaku dan sekaligus mencegah
untuk tidak mengulangi perbuatannya2. Beberapa definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah
bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi istilah ta’zir bisa digunakan untuk
hukuman dan bisa juga untuk jarimah atau tindak pidana.

B. Dasar Hukum Jarimah Ta’zir


Ta’zir adalah hukuman atas tindakan pelanggaran atau kriminalitas yang tidak diatur
secara pasti didalam had. Hukuman ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kasus dan
pelakunya. Dari satu segi ta’zir ini sejalan dengan hukuman had yakni tindakan yang
dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk mencegah orang lain agar tidak
melakukan tindakan yang sama.3
Sebagai dasar hukumnya adalah Q.S. al-Fath :9
۟ ُ‫لِّتُْؤ ِمن‬
ِ ‫وا بِٱهَّلل ِ َو َرسُولِ ِهۦ َوتُ َع ِّزرُوهُ َوتُ َوقِّرُوهُ َوتُ َسبِّحُوهُ بُ ْك َرةً َوَأ‬
‫صياًل‬
Artinya : “ Agar kamu semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-
Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang.”

1
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 248.
2
Rahmad Hakim, Hukum pidana Islam (fiqih Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 141.
3
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (ter. Abdul Hayyie dan
Kamaluddin Nurdin), Jakarta : Gema Insani Press, 2000, hlm. 457

2
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ‫ي‬ َّ ِ‫ك ع َْن َم ْع َم ٍر ع َْن بَه ِْز ب ِْن َح ِك ٍيم ع َْن َأبِي ِه ع َْن َج ِّد ِه َأ َّن النَّب‬
ِ ‫َح َّدثَنَا َعلِ ُّي بْنُ َس ِعي ٍد ْال ِك ْن ِديُّ َح َّدثَنَا ابْنُ ْال ُمبَا َر‬
‫يث َح َس ٌن‬ ٌ ‫يث بَه ٍْز ع َْن َأبِي ِه ع َْن َج ِّد ِه َح ِد‬ ُ ‫س َر ُجاًل فِي تُ ْه َم ٍة ثُ َّم َخلَّى َع ْنهُ قَا َل َوفِي ْالبَاب ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ قَا َل َأبُو ِعي َسى َح ِد‬ َ َ‫َحب‬
ْ ‫يث َأتَ َّم ِم ْن هَ َذا َوَأ‬
‫ط َو َل‬ َ ‫َوقَ ْد َر َوى ِإ ْس َم ِعي ُل بْنُ ِإ ْب َرا ِهي َم ع َْن بَه ِْز ب ِْن َح ِك ٍيم هَ َذا ْال َح ِد‬

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Sa'id Al Kindi, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Al Mubrarak dari Ma'mar dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari
kakeknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menahan seseorang karena suatu
tuduhan lalu melepasnya. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abu Hurairah.
Abu Isa berkata; Hadits Bahz dari ayahnya dari kakeknya adalah hadits hasan, Isma'il bin
Ibrahim telah meriwayatkan hadits ini dari Bahz bin Hakim dengan redaksi yang lebih
lengkap dan lebih panjang.”4

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :


‫ك ْب ِن َز ْي ٍد نَ َسبَهُ َج ْعفَ ٌر ِإلَى َس ِعي ِد ْب ِن‬ِ ِ‫ك ع َْن َع ْب ِد ْال َمل‬ ٍ ‫اريُّ قَااَل َأ ْخبَ َرنَا ابْنُ َأبِي فُ َد ْي‬
ِ َ‫َح َّدثَنَا َج ْعفَ ُر بْنُ ُم َسافِ ٍر َو ُم َح َّم ُد بْنُ ُسلَ ْي َمانَ اَأْل ْنب‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ت ق‬ ْ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا قَال‬ ِ ‫زَ ْي ِد ْب ِن َع ْم ِرو ْب ِن نُفَ ْي ٍل ع َْن ُم َح َّم ِد ب ِْن َأبِي بَ ْك ٍر ع َْن َع ْم َرةَ ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬
‫ت َعثَ َراتِ ِه ْم ِإاَّل ْال ُحدُو َد‬
ِ ‫َو َسلَّ َم َأقِيلُوا َذ ِوي ْالهَيَْئا‬

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Ja'far bin Musafir] dan [Muhammad bin
Sulaiman Al Anbari] keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Abu Fudaik]
dari [Abdul Malik bin Zaid]. Ja'far menyandarkannya kepada Sa'id bin Zaid bin Amru bin
Nufail dari [Muhammad bin Abu Bakr] dari [Amrah] dari ['Aisyah radliallahu 'anha] ia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maafkanlah kekeliruan
(tergelincirnya) orang-orang yang baik, kecuali dalam masalah hukum had."
Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau
tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali
jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Pada hadits ketiga ini mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda
antara satu pelaku dan pelaku yang lainnya, tergantung kepada setatus mereka dan kondisi-
kondisi lain yang menyertainya.

4
Dikutip dari website https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/1337

3
Tujuan dan Syarat-syarat Jarimah Ta’zir
Tujuan dari diberlakukannya sanksi ta’zir yaitu sebagai preventif dan represif serta kuratif
dan edukatif.5
1. Preventif (pencegahan) adalah bahwa sanksi ta’zir harus memberikan dampak
positif bagi orang lain, sehingga orang lain tidak melakukan perbuatan melanggar
hukum yang sama. 6Fungsi ini ditujukan kepada orang yang belum melakukan
jarimah.
2. Represif (membuat pelaku jera) adalah bahwa sanksi ta’zir harus memberikan
dampak positif bagi pelaku, sehingga pelaku terpidana tidak lagi melakukan
perbuatan yang menyebabkan dirinya dijatuhi hukuman ta’zir. 7
Fungsi ini
dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian hari.
3. Kuratif (islah) adalah bahwa sanksi ta’zir itu harus mampu membawa perbaikan
sikap dan perilaku terpidana dikemudian hari. 8Fungsi ini dimaksudkan agar
hukuman ta’zir dapat merubah terpidana untuk bisa berubah lebih baik dikemudian
harinya.
4. Edukatif (pendidikan) adalah sanksi ta’zir harus mampu menumbuhkan hasrat
terhukum untuk mengubah pola hidupnya sehingga pelaku akan menjauhi perbuatan
maksiat bukan karena takut hukuman melainkan semata-mata karena tidak senang
terhadap kejahatan. 9Fungsi ini diharapkan dapat mengubah pola hidupnya kearah
yang lebih baik.
Apabila dilihat dari segi penjatuhannya Jarimah Ta’zir terbagi dalam beberapa tujuan, yaitu:10
 Hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atau pelengkap hukuman pokok.
 Hukuman ta’zir sebagai hukuman pengganti hukuman pokok.
 Hukuman ta’zir sebagai hukuman pokok bagi jarimah ta’zir syarak.
Disamping itu yang perlu diketahui juga bahwa ta’zir berlaku bagi semua manusia yang
melakukan kejahatan di muka bumi. Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan
baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, muslim maupun kafir. Setiap
orang yang melakukan kemungkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak
dibenarkan baik dengan perbuatan, ucapan, atau isyarat perlu dijatuhi sanksi ta’zir agar tidak
mengulangi perbuatannya tersebut.
5
Nurul Irfan dkk, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 142
6
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000),
7
Ibid., 191.
8
Ibid.
9
Rahmad Hakim, Hukum pidana Islam (fiqih Jinayah),... 143-145.
10
Nurul Irfan dkk, Fiqh Jinayah,... 143

4
C. Macam-macam JarimahTa’zir
Dilihat dari hak yang dilanggar, jarimahta’zir dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:11
1. Jarimahta’zir yang menyinggung hak Allah Yang dimaksud dengan jarimahta’zir
melanggar hak Allah adalah semua perbuatan yeng berkaitan dengan kepentingan
dan kemaslahatan umum. Misalnya: penimbunan bahan-bahan pokok, membuat
kerusakan dimuka bumi (penebangan liar)
2. Jarimahta’zir yang menyinggung hak individu. Yang dimaksud degan jarimahta’zir
yang menyinggung hak individu adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan
kerugian pada orang lain. Misalnya: penghinaan, penipuan, dll

Dilihat dari segi sifatnya, jarimahta’zir dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: 12
1. Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat Yang dimaksud dengan maksiat adalah
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang
diharamkan. Misalnya : tidak membayar utang , memanipulasi hasil wakaf, sumpah
palsu, riba, menolong pelaku kejahatan, memakan barang-barang yang diharamkan dll
2. Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum
Perbuatan-perbuatan yang masuk dalam jarimah ini tidak bisa ditentukan, karena
perbuatan ini tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Sifat yang
menjadi alasan dikenakan hukuman adalah terdapat unsur merugikan kepentingan
umum.
3. Ta’zir karena melakukan pelanggaran Dalam merumuskan ta’zir karena pelanggaran
terdapat beberapa pandangan, yang pertama berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan yang mandub (sesuatu yang diperintahkan dan dituntut untuk
dikerjakan) atau mengerjakan yang makruh (sesuatu yang dilarang dan dituntut
untukditinggalkan) tidak dianggap melakukan maksiat, hanya saja mereka dianggap
menyimpang atau pelanggaran dapat dikenakan ta’zir.
Menurut sebagian ulama yang lain, meninggalkan mandub dan mengerjakan yang makruh
tidak bisa dikenakan hukuman ta’zir. Karena ta’zir hanya bisa dikenakan jika ada taqlif

11
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,... 255.
12
Ibid., 255.

5
(perintah atau larangan). Apabila hukuman diterapkan maka merupakan suatu pertanda
menunjukan bahwa perbuatan itu wajib atau haram.
Contoh perbuatannya dicontohkan oleh Rasulullah yang menahan seseorang yang diduga
mencuri unta. Hal yang dilakukan Rasulullah merupakan contoh memelihara kepentingan
umum, sebab jika tidak demikian selama proses pembuktian pelaku bisa saja lari atau tidak
bertanggung jawab atas perbuatan.
Sedangkan jika dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dibagi kedalam tiga
bagian, yaitu: 13
1. Jarimah ta’zir yang berasal dari ta’zir-ta’zir hudud atau qisas tetapi syarat-syaratnya
tidak terpenuhi atau ada syubhat. Seperti pencurian yang tidak mencapai nishab atau
oleh keluarga sendiri
2. Jarimah yang jenisnya disebutkan dalam nas syarak tetapi hukumnya belum
ditetapkan. Seperti riba, suap, dan mengurangi takaran atau timbangan
3. Jarimah, baik yang hukum dan jenisnya belum ditetapkan oleh syarak, seperti
pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Abdul Aziz Amir seperti yang dikutip dalam bukunya Ahmad Wardi Muslich membagi
jarimah ta’zir secara rinci sebagai berikut: 14
1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan Apabila hukuman mati dan diat
dimaafkan, maka pemimpin negara yamg akan menentukan hukuman jarimah yang
lebih maslahat.
2. Jarimah ta’zir yang berkenaan dengan pelukaan Menurut Imam Malik hukuman
jarimahdapat digabungkan dengan qisas dalam jarimah pelukaan, karena qisas
merupakan hak adami, sedangkan ta’zir juga dapat dikanakan terhadap jarimah
pelukaan apabila qisasnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab
yang dibenarkan oleh syarak.
Menurut mahzab Hanafi, syafi’i dan Hanbali, dalam bukunya A. Djazuli ta’zir juga dapat
dijatuhkan terhadap orang yang melakukan jarimah pelukaan dengan berulang-ulang
(residivis), disamping dikenakan hukuman qisas.
1. Jarimah-jarimah yang beraitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan
akhlak Jarimah dalam kriteria ini berkaitan dengan Jarimah zina, menuduh zina dan
penghinaan. Dalam Jarimah zina yang dikenakan hukuman had, atau terdapat subhat
dalam diri pelakunya.perbuatannya atau objeknya. Demikian juga dengan percobaan

13
Ibid., 256.
14
Ibid., 256.

6
zina. Penuduhan zina dikenakan ta’zir apabila orang yang dituduh itu bukan orang
yang mukhsan. 15Kriteria muhshan menurut para ulama adalah berakal, baligh, Islam,
dan iffah (bersih) dari zina. Demikian pula dengan tuduhan zina dengan sindiran
merupakan hukuman ta’zir. Selain tuduhan zina, tuduhan mencuri, mencaci maki,
panggilan seperti wahai kafir dan semacamnya juga termasuk ta’zir.
2. Jarimahta’zir yang bekaitan dengan harta Jarimah yang berkaitan dengan harta adalah
Jarimah pencurian dan perampokan yang tidak memenuhi syarat had. Misalkan
pencurian yang pelakunya masih dibawah umur dan perempuan menuurut hanafiyah.
3. Jarimahta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia Jarimah yang termasuk
Jarimah ini antara lain seperti saksi palsu, berbohong didepan sidang, melanggar
privasi orang lain.
4. Jarimahta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.
Jarimahta’zir yang termasuk Jarimah ini adalah :
1. Jarimah yang mengganggu keamanan negara. Seperti spionase dan percobaan kudeta.
2. Suap
3. Tindakan melampaui batas dari pejabat atau lalai daklam menjalankan kewajiban.
Seperti penolakan hakim dalam mengadili perkara.
4. Pemalsuan tanda tangan dan stempel dll Abd Qodir Awdah sebagaimana dikutip
dalam bukunya
Ahmad Wardi Muslich membagi Jarimahta’zir menjadi tiga, yaitu16:
1. Jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur syubhat atau tidak memenuhi
syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian
harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta
benda.
2. Jarimahta’zir yang jenis Jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syariah
diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi
timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3. Jarimahta’zir dimana jenis Jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang
penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalamhal ini unsur akhlak menjadi
perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
Macam-macam Sanksi Ta’zir

15
Ibid., 180
16
Ibid., 256.

7
Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan
sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih tidiantara
hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta
pembuat jarimah itu sendiri. Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut: 17
1. Hukuman mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik.
Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau
penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian terhadap
peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman mati apabila kepentingan
umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali
dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata, penyeru
bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya.Oleh karena itu, hukuman mati
merupakan suatu pengecualian dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh
diperluas dan diserahkan seluruhnya kepada hakim. Kesimpulannya yaitu hukuman mati
sebagai sanksi tertinggi hanya diberikan kepada pelaku jarimah yang sangat berbahaya,
berkaitan dengan jiwa, keamanan dan ketertiban masyarakat. Di samping sanksi hudud tidak
lagi memberi pengaruh baginya.18

2. Hukuman jilid (dera)


Hukuman jilid biasa juga disebut cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam
hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir.
Pukulan atau cambukan dalam hukuman ini tidak boleh diarahkan kemuka, farji dan kepala.
Hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh
yang terhukum, apalagi sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi
pelajaran dan pendidikan kepadanya.
Hukuman jilid atau cambuk ini sangatlah efektif, karna mempunyai keistimewaan tersendiri
dibandingkan dengan hukumanan lainnya, yaitu sebagai berikut;
a. Lebih menjerakan dan lebih memiliki daya represif, karena dirasakan langsung secara
fisik.
b. Bersifat fleksibel. Setiap jarimah memiliki jumlah cambukan yang berbeda-beda.
c. Mempunyai biaya yang ringan. Tidak membutuhkan dana besar dan penerapannya
sangat praktis

17
Nurul Irfan dkk, Fiqh Jinayah,... 147.
18
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,... 258-260.

8
d. Bersifat pribadi dan tidak sampai menelantarkan keluarga terhukum. Apabila hukuman
sudah dilaksanakan oleh terhukum, terhukum dapat langsung dilepas dan beraktifitas
seperti biasanya. 19
Dikalangan fuqaha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir.
Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan
kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas
dasar berat ringannya jarimah.

3. Hukuman Kawalan (penjara atau kurungan)


Dalam bahasa arab ada dua istilah untuk hukuman penjara al-habsu dan as-sijnu. al-habsu
yang artinya menahan atau mencegah, al-habsu juga diartikan as-sijnu.
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama
waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas. 20
Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari,
sedangkan batas tertinggi ulama berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyyah menetapkan batas
tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam ta’zir
zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan
maslahat.
Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak
ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus
sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini
adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan ta’zir-ta’zir yang
berbahaya.

4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirabah), dan para
fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk
jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman
mati,melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan maupun minum,
tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan shalat cukup dengan isyarat.
Dalam penyaliban ini, menurut fuqaha tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Pengucilan

19
Ibid., 149.
20
Ibid., 153-154.

9
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah
dan melarang masyarakat berhubungan dengannya. 21Hukuman pengucilan merupakan salah
satu jenis hukuman ta’zir yang disyariatkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah
melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang
tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Mirarah bin Rubai’ah dan Hilal bin Umayyah.
Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman
Allah surah At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
ٓ
‫ت َعلَ ْي ِه ْم اَ ْنفُ ُسهُ ْم َوظَنُّ ْٓوا اَ ْن اَّل َم ْل َجا َ ِمنَ هّٰللا ِ آِاَّل اِلَ ْي ۗ ِه‬
ْ َ‫ضاق‬ ْ َ‫ت َعلَ ْي ِه ُم ااْل َرْ ضُ بِ َما َر ُحب‬
َ ‫ت َو‬ ْ َ‫ضاق‬ َ ‫َّو َعلَى الثَّ ٰلثَ ِة الَّ ِذ ْينَ ُخلِّفُوْ ۗا َح ٰتّى اِ َذا‬
‫َاب َعلَ ْي ِه ْم لِيَتُوْ بُوْ ۗا اِ َّن هّٰللا َ ه َُو التَّوَّابُ ال َّر ِح ْي ُم‬
َ ‫ࣖ ثُ َّم ت‬

Artinya : “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh
mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak
ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhanmenerima taubat
mereka agar mereka bertaubat. (Q.S. At-Taubah: 118)”.
Menurut ayat yang talah dipaparkan di atas, maksud dalam kasus ini Rasulullah melarang
muslimin berbicara dengan mereka bertiga dan memerintahkan agar menjauhi mereka.
Pengucilan ini diberlakukan apabila membawa dampak positif atau kemaslahatan sesuai
dengan kondisi masyarat dan situasi masyarakat tertentu. 22Dalam suatu sistem masyarakat
yang terbuka susah sekali hukuman ini diterapkan, karena para masyarakat saling tidak acuh
terhadap masyarakat yang lainnya. Akan tetapi pengucilan yang bermaksud untuk tidak diikut
sertakan dalam suatu kegiatan kemasyarakatan kemungkinan bisa terlaksana dengan efektif.

6. Hukuman ancaman, teguran, dan peringatan


Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan membawa
hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau
dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara
hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang hukuman tersebut bisa memperbaiki dan
mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah.
7. Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai
pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua
kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut.
Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang.
Penjatuhan hukuman denda bersama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang
21
A. Djazuli, Fiqh Jinayah,... 217.
22
A. Djazuli, Fiqh Jinayah,... 218.

10
dilarang bagi seorang hakim yang mengadili jarimah ta’zir karena hakim diberi kebebasan
penuh dalam masalah ini. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial
dapat dijadikan hukuman ta’zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.
Dari beberapa hukuman-hukuman yang telah disebutkan terdapat hukuman-hukuman ta’zir
yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalahPeringatan keras dan dihadirkan dihadapan
sidang, nasihat, celaan, dikucilkan, pemecatan, pengumuman kesalahan secara terbuka.23

D. Penerapan Hukuman Ta’zir dalam Hukum Positif


Saat ini fiqih jinayat sudah jarang sekali diterapkan di dunia muslim. Ini mengingat
begitu lamanya penjajahan di berbagai belahan dunia Islam. Indonesia yang mengalami 350
tahun dijajah Belanda, mewariskan KUHP yang bernama Wet book Van Scrahft. Pedoman
KUHP inilah yang menjadi panduan para penegak hukum untuk menjatuhkan sanksi pelaku
pidana. KUHP tersebut begitu jauh dari hukum Islam. Misalnya pembunuhan yang
semestinya dihukum qishash tetapi ternyata hanya dihukum penjara. Tindak pidana perzinaan
hanya dibiarkan saja tanpa hukuman, padahal dalam pidana Islam dihukum rajam dan
cambuk.
Ketika kita menghubungkan hukum Islam dengan hukum nasional sebetulnya masih
ada kekurangan, mengingat bahwa pijakan sumber hukum keduanya yang berbeda. Hukum
Islam bersumber dari kitab suci Alquran, sedangkan hukum positif bersumber dari akal
pikiran manusia yang cenderung dhonni (subjektif). Kendati demikian hukum Islam terbagi
menjadi dua unsur, pertama berupa nash qoth‟i yang sudah tidak ada ruang masuk bagi
mujtahid untuk berijtihad, dan yang kedua adalah hukum dhonni, yang bersifat fleksibel
karna merupakan sumber hukum yang dihasilkan dari ijtihad para fuqoha dalam memaknai
masalah hukum yang bersifat ijtihadiyah.
Hukum yang kedua ini dilatar belakangi sebab keglobalan nashsyara’, yang
membutuhkan upaya mujtahid untuk mengerahkan segala kemampuanya untuk mendapatkan
tafsiran dari nash Alquran maupun hadits. Hukuman ta’zir yang menjadi pembahasan pada
tesis ini merupakan salah satu bagian dari pada hukum fikih yang bersifat dhonni. Perbedaan
para fuqaha tentang jenis jinayah ini menjadi rahmat bagi umat manusia. Kedinamisan
hukum Islam bisa diwujudkan apabila menyikapi dengan arif dan bijak tentang perbedaan
pendapat. Umat Islam akan bisa memilih mana hukuman yang relevan pada konteks sekarang
dengan mempertimbangakan kondisi sosial yang terjadi. Penulis sengaja mengkaji

23
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,... 265-267.

11
penghukuman ta’zir pada tindak pidana oleh Syeikh Abdul Wahab Rokan yang terfokus pada
hukuman ta’zir, karna alasan menyegarkan kembali hukum Islam.
Hukum Islam ternyata relevan dan mampu menjawab problematika kasus kasus
hukum pada masa sekarang. Kefleksibelan Syeikh Abdul Wahab Rokan dalam hukuman
ta’zir menjadi poin tambahan. Penguasa atau lembaga yang berwenang dalam pembuatan
undang-undang dan penegak hukum diberikan ruang ijtihad dalam merumuskan suatu
hukuman pidana yang belum pernah disebutkan dalam Alquran maupun hadits, namun bukan
diberi kebebasan yang sebebas-bebasnya, mereka harus cakap berijtihad dan faham terhadap
hukum Islam. Dengan tidak adanya batas hukuman ta’zir dan jenis hukumanya, menjadi
pertimbangan mereka untuk merumuskan hukum positif yang tepat dan sesuai dengan tujuan
hukum demi keadilan (gerechtigkeit) kepastian hukum dan kemanfaatan.24
Apabila terdapat kasus baru yang belum ditemukan hukumnya maka penguasa atau
hakim diberi kewenangan untuk menemukan hukum. Putusan yang harus diambil adalah
putusan yang berdasarkan keyakinan yang kuat akan memberikan keadilan bagi para pihak
yang berperkara dan menimbulkan kemaslahatan bersama. Kebebasan kreatifitas Hakim
dalam mengkontruksi, menafsirkan dan menemukan hukum yang terkandung dalam syariat
Islam maka akan mewujudkan maqashid alSyari’ah alkhamsah.
Dengan mentransformasikan norma-norma atau nilai nilai hukuman ta’zir ke dalam
pembentukan hukum positif, yang awalnya tidak tertulis menjadi hukum tertulis merupakan
sebuah aktivitas rekayasa sosial terhadap hukum (Law as a tool of social engineering)
sebagai tuntutan perubahan penegakan hukum yang menempatkan syariat Islam ke dalam
arah supremasi hukum. Kewajiban sinergi antara lembaga pembuat hukum dan penegak
hukum sangat dibutuhkan guna mewujudkan cita-cita hukum yang berkeadilan.
Hukum Islam yang sudah ditransformasikan ke dalam hukum positif tidak akan bisa
berjalan maksimal apabila lembaga penegak hukum yang ada dibawah tidak mempunyai
integritas yang tinggi dan tidak menempati syarat sebagai mujtahid hukum. Mengutip
pandangan syahrur dalam teori limitasinya, bahwa disaat hakim menjumpai kasus
pelanggaran hukum yang berbeda maka kewajiban bagi hakim untuk menetapkan hukum
yang berbeda pula dan berubah ubah sesuai dengan pertimbangan obyektif yang terjadi.
Disamping itu syahrur juga mensyaratkan bagi seorang hakim harus pandai dan cerdas, ia
juga harus paham terhadap persoalan hukum pidana, mempunyai keberpihakan pada

24
Darji darmodiharjo dan sidharta, pokok pokok filsafat hukum(apa dan bagaimana Filsafat dan hukum
indonesia), jakarta: pt. Gramedia pustaka utama, cet vi, 2006, h. 154.

12
keadilan, dan mempunyai pengalaman yang luas. Oleh karenanya, tidak boleh seseorang yang
hanya hafal UU langsung diangkat sebagai hakim, tetapi ia dituntut lebih dari itu. 25
Dialektika yang terjadi dalam menetapkan batas hukuman ta’zir ini juga terjadi pada
penuntut umum dan pembela saat terjadi persidangan. Penuntut hukum jelas akan
mengarahkan tuntutanya pada hukuman maksimal, smentara pembela menuntut adanya
pengurangan hukuman. Dialektika antara pemberatan dan peringanan ini kata syahrur dapat
mengantarkan hakim sampai pada keputusan yang mendekati keadilan.
Oleh kaerna itu syahrur menjadikan keberatan penuntut umum dan pembela sebagai
faktor asasi dalam membangun pengadilan Islam. 26Mengulas apa yang telah disebutkan pada
bab dua terkait pengertian hukuman ta’zir, yakni jenis hukuman/sanksi yang diberikan
kepada pelaku maksiat atau pelanggaran hukum yang tidak atau belum pernah disebutkan
oleh Syari’ tentang hukumanya. Kebijakan hukuman bagi pelaku pidana ini dipasrahkan
semuanya pada penguasa atau lembaga yang diberi wewenang olehnya.
Melihat dari definisi yang telah disebutkan, sebetulnya sudah ada banyak kasus
hukuman ta’zir yang sudah terkodifikasi dan menjadi undang-undang hukum positif. Tindak
pidana ini awalnya belum disebutkan dalam Alquran atau hadits, dan juga ulama fikih
terdahulu belum membahas perkara pidana ini menjadi bab yang khusus yang berbicara
mengenai hukumanya. Namun seiring perkembangan zaman perkara pidana menjadi sesuatu
yang kompleks, banyak ditemukan kejahatan-kejahatan baru yang belum disebutkan oleh
Syari’, akan tetapi merusak tatanan maqashid al-Syari’ah ketika tidak ada kebijakan hukum
yang tegas.
Sebut saja masalah korupsi yang dilakukan oleh birokrasi negara, sebelumnya Syari’
belum mengatur tentang kejahatan ini, disamping itu fuqaha terdahulu juga belum membahas
bab yang khusus tentang hukuman ini, keberadaanya masih ada perbedaan dikalangan ulama
kontemporer. Namun ketika tidak dirumuskan tentang hukuman yang menjerat, maka korupsi
akan selalu mengakar dan menjadi benalu dijajaran pemerintahan, akhirnya tujuan dari pada
syariat yang berupa hifdzulmal(menjaga harta benda), dan hifdzunnafsi(menjaga jiwa) tidak
bisa diwujudkan.
Bahkan menurut Abdur Qodir Audah hukuman ta‟zir yang berupa cambukan(aljildu)
menjadi hukuman yang lebih diutamakan dibandingkan dengan jenis hukuman lainya.
keutamaanya adalah bahwa hukuman cambuk ternyata menjadi hukuman yang lebih banyak
memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana, dan karna sifatnya yang mempunyai batas

25
Ridwan, limitasi hukum pidana islam, (semarang: wali songo press, 2008), h.65.
26
Ibid., h. 65-66

13
tertentu. Sangat mungkin sekali setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dikenai
hukuman/sanksi dengan kadar atau jumlah cambukan yang menyakitkan dan menjerakan.
Selanjutnya hukuman jilid juga memberikan sangsi sosial kepada pelaku karna
dilaksanakan di tempat umum, dan banyak orang melihat. Menurutnya lagi hukuman penjara
yang menjadi hukuman pokok pada setiap perbuatan pidana, ternyata juga ada kelemahan
tersendiri. Dengan banyaknya jumlah orang yang dihukum maka akan semakin tambah
banyak penghuni lembaga pemasyarakatan, dan ini akan mengakibatkan ruangan yang sempit
dan berjubel. Disamping itu ketika terjadi percampuran antara pelakupidana maka sangat
dimungkinkan lembaga pemasyarakatan tidak sebagai tempat pertobatan, namun akan
menjadi tempat mengasah ilmu kejahatan yang lebih besar lagi, karena berkumpulnya mereka
pasti akan saling mengenal dan bertukar pengalaman dalam menjalankan aksi kejahatan.
Kasus demikian ternyata telah menjadi bukti yang nyata bahwa pelaku kejahatan
sering keluar masuk penjara, penyabnya tidak lain adalah kurang maksimalnya jenis
hukuman ini. Selain itu kelemahan yang terjadi pada peradilan di indonesia adalah pelaku
penegakan hukum yang begitu nampak tebang pilih, hukum seperti dua mata pisau yang
tumpul diatas dan runcing dibawah.
Hakim hanya difungsikan sebagai corong undang undang yang kurang melihat
kondisi yang obyektif disaat terjadinya dialektika dipersidangan. Lebih lebih apabila hakim
sudah teridentifikasi mendapatkan suap dari orang yang berperkara, maka maksimalisasi
hukuman hanya menjadi suatu impian dan tidak menjadi kenyataan. Kejujuran dan integritas
aparatur penegak hukum akan sangat menentukan sistem hukum itu sendiri kedepannya.
Adanya suatu produk hukum yang bagus tidak akan berpengaruh besar jika tidak diiringi
dengan kualitas aparatur penegak hukum yang baik.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

14
Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik
perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi
hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1. Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan
hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat
kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2. Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku
jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan
hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan
untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.

B. Saran
Demikian isi pembahasan makalah kami ini, tentunya masih banyak terdapat
kesalahan dalam penyampaian materi. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang membangun
jiwa penulis sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi kami sebagai pemakalah sendiri. Aminn...

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Rahmad Hakim, Hukum pidana Islam (fiqih Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)

15
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (ter.
Abdul Hayyie dan Kamaluddin Nurdin), Jakarta : Gema Insani Press, 2000
Hadits Nabi Bahz Ibn Hakim dikutip dari website https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/1337
Nurul Irfan dkk, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013)
A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2000)
Darji darmodiharjo dan sidharta, pokok pokok filsafat hukum(apa dan bagaimana Filsafat dan
hukum indonesia), jakarta: pt. Gramedia pustaka utama
Ridwan, limitasi hukum pidana islam, (semarang: wali songo press, 2008)

16

Anda mungkin juga menyukai