Dengan menyebut nama Allah Azza Wa Jalla yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Urf Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Dan
Keuangan Kontemporer.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah dengan berjudul ‘Urf Dan
Aplikasinya Dalam Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................................3
A. DEFINISI ‘URF DAN DASAR HUKUMNYA...........................................................3
B. KLASIFIKASI ‘URF DALAM BERBAGAI ASPEKNYA.........................................5
C. SYARAT ‘URF SEBAGAI LANDASAN HUKUM ISLAM......................................7
D. PERTENTANGAN ‘URF DENGAN DALIL SYARA’..............................................8
E. PANDANGAN ULAMA TERHADAP ‘URF SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM10
F. ‘URF SEBAGAI METODE DAN SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM............11
G. APLIKASI ‘URF DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN....................................13
BAB III.................................................................................................................................15
PENUTUP............................................................................................................................15
A. KESIMPULAN..........................................................................................................15
B. SARAN......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan masyarakat banyak terdapat kebiasaankebiasaan atau tradisi
yang populer secara luas di tengah kehidupan mereka. Tradisi tersebut dapat berupa
perkataan atau perbuatan yang berlaku secara umum, hal semacam ini disebut dengan
‘urf. Kebiasaankebiasaan tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan ketika akan
menetapkan hukum Islam dalam transaksi ekonomi yang semakin berkembang
terutama terkait masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukum dalam al-Qur’an
dan al-Hadit.1 Pembahasan adat kebiasaan sebagai ‘urf di dalam ushul al-fiqh
ditekankan pada kedudukannya sebagi suatu kepantasan yang telah dikenal secara
luas oleh masyarakat. Dan ‘urf yang menjadi pertimbangan hukum Islam hanyalah
‘urf shahih saja.2 Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini bertujuan
untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana ‘urf menjadi metode dan
sumber hukum Islam dalam kegiatan perekonomian. (Fitra Rizal, 2019)
B. RUMUSAN MASALAH
Berkaitan dengan uraian di atas, maka permasalahan yang perlu untuk dilakukan
pengkajian adalah:
1. Apa definisi ‘urf dan dasar hukumnya ?
2. Bagaimana klasifikasi ‘urf dalam berbagai aspeknya ?
3. Apa syarat ‘urf sebagai landasan hukum Islam ?
4. Bagaimana pertentangan ‘urf dengan dalil syara’ ?
5. Bagaimana pandangan ulama terhadap ‘urf sebagai dalil hukum Islam ?
1 Andiko.
2 Abdul Mun’im Saleh, Hubungan kerja Usul al-Fiqh dan al-Qawaid al-Fiqhiyah Sebagai Metode
Hukum Islam (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), 43.
1
6. Bagaimana kedudukan ‘urf sebagai metode dan sumber hukum ekonomi Islam
?
7. Bagaimana aplikasi ‘urf dalam ekonomi dan keuangan ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kajian ushul fiqh, adat dan ‘urf digunakan untuk menjelaskan tentang
kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Kata ‘urf secara etimologi yaitu sesuatu
yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sementara adat adalah sesuatu
perbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional. 3 Dalam konteks
ini, adat dan adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima dan dianggap baik oleh
masyarakat.4
Secara terminologi, ‘urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik
dalam perkataan maupun perbuatan. Menurut Abdul Karim Zaidah, istilah 'urfberarti
sesuatu yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan
mereka, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pantangan-pantangan dan juga
bisa disebut dengan adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf
dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian adat lebih umum dibanding dengan ‘urf.5
Dengan demikian, suatu kebiasaan dapat dikatakan sebagai ‘urf jika memenuhi
hal-hal berikut: Pertama, kebiasaan itu harus disukai banyak orang. Kedua, kebiasaan
harus dilakukan Secara Ketiga, kebiasaan itu harus populer dan dikenal Oleh banyak
komunitas.
Ahmad Azhar Basyir menyebutkan tiga prasyarat ‘urf lainnya, yaitu: adanya
kemantapan jiwa. Kedua, sejalan dengan pertimbangan akal sehat. Ketiga, dapat
diterima oleh watak pembawaan manusia. Oleh sebab itu, kebiasaan yang tidak
memenuhi prasyarat tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ‘urf.6
3
Dalam hukum Islam, ‘urf menempati posisi yang penting dalam penetapan
hukum. Hal ini karena ‘urf menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat secara
membudaya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, adat dan ‘urf menjadi
pertimbangan dalam menetapkan hukum yang telah dirumuskan menjadi kaidah
umum, yaitu: al-adah muhakkamah dan al-Tsabit bi al-urfi ka al-Tsabit bi al-nash.
Adapun ke-hujjah-an ‘urf sebagai dalil syara' didasarkan atas argumen-argumen
berikut:
Pertama, firman Allah pada surah al-A’raf [17] ayat 199:
َ ُخ ِذ ْال َع ْف َو َو ْأمُرْ ِب ْالعُرْ فِ َوأَعْ ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهل
ِين
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah daripada orang-orang bodoh.
Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk mengerjakan
yang makruf. Adapun yang disebut sebagai ma'ruf itu sendiri ialah yang dinilai Oleh
kaum Muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan
dengan watak manusia yang benar, yang dibimbing Oleh prinsip-prinsip umum ajaran
Islam.
Kedua, ucapan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; Abdullah
bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu:
َ َو َما َرأَى ْالمُسْ لِم، ٌ َفه َُو عِ ْندَ هَّللا ِ َح َسن،ُون َح َس ًنا
ٌُون َس ِّي ًئا َفه َُو عِ ْندَ هَّللا ِ َسيِّئ َ َف َما َرأَى ْالمُسْ لِم
"Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum Muslimin adalah baik di sisi Allah, dan
sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah.”
Ungkapan Abdullah bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu di atas, baik dari segi redaksi
maupun maksudnya menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di
dalam masyarakat Muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat Islam adalah
juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang
bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan
melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam
pada itu Allah berfirman pada şurah al-Mâidah [15] ayat 6:
4
َ َما ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ لِ َيجْ َع َل َعلَ ْي ُكم مِّنْ َح َر ٍج َو ٰلَكِن ي ُِري ُد لِي
َ ُطه َِّر ُك ْم َولِ ُي ِت َّم نِعْ َم َتهُۥ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َت ْش ُكر
ُون
Allah tidak hendak menyulitknn kamu, terapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Kebiasaan yang benar harus diperhatikan dalam pembentukan hukum şyara’ dan
putusan perkara. Şeorang mujtahid haruş memperhatikan hal ini dalam pembentukan
hukumnya, dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itü dalam setiap
putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah
menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya. Adapun adat yang
rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat yang rusak berarti
menentang dalil syara’ atau membatalkan hükum syara’. Hükum yang didasarkan
pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat, karena masalah baru
bisa berubah şebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal perbedaan
pendapat ini para ulama fikih berkata: "Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa,
bukan pada dalil dan alasan”.7
5
surah an-Nisâ’ [4]: 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.
Kedua, ‘urf amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud dengan perbuatan biasa di Sini
adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait
dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan masyarakat tertentu mamakan
makanan khusus atau minum minuman tertentu, atau kebiasaan masyarakat umum
dalam memakai pakaian tertentu dalam cara tertentu.
Adapun ‘urf yang berkaitan dengan mualamat perdata adalah kebiasaan
masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi atau lainnya dengan Cara tertentu.
Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli barang-barang yang dibeli
diantarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya bila barangnya tersebut berat dan besar.
Contoh lainnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli dengan cara mengambil
barang dan membayar uang tanpa adanya akad secara jelas seperti di swalayan.8
Di lihat dari aspek cakupannya, ‘urf dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian: ‘urf ‘amm (kebiasaan yang bersifat umum) dan ‘urf khas (kebiasaan yang
bersifat khusus). Adapun yang dimaksud ‘urf ‘amm adalah kebiasaan tertentu yang
berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. 9 Misalnya, dalam
jual beli mobil, maka seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti
kunci, tang, dongkrak, dan ban cadangan, termasuk dalam harga jual tanpa akad
tersendiri.
Sementara ‘urf khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah tertentu dan
dalam masyarakat tertentu. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dijual, maka konsumen
dapat mengembalikannya, namun pada daerah lain cacat yang terdapat dalam barang
yang sama, konsumen tidak dapat mengembalikan barang itu.10
8 Mustafa Ahmad az-Zarqa, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1978), h. 857-872.; al-Suyuthi, al-Asybah wa al-
Nazair, h. 99.
9 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,1958), h. 217.
10 Ibid.
6
Dilihat dari aspek keabsahannya, ‘urf juga dapat diklasifikasikan menjadi dua:
‘urf sahih dan ‘urf fasid.11 Adapun yang dimaksud dengan ‘urf sahih adalah kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil dari Al-
Qur'an dan Hadis, tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak mendatangkan
kemudaratan.12 Misalnya, kebiasaan dalam masa pertunangan, pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita, tetapi hadiah tersebut bukan termasuk
mahar.
Dalam bidang muamalat seperti membeli barang dengan mengantar barang itu sampai
tujuan si pembeli.
Adapun ‘urf fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’ dan kaidah dasar dalam syara’. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam
menghalalkan riba, budaya masyarakat yang suka melakukan sogok-menyogok untuk
memenangkan suatu perkara, seseorang memberikan sejumlah uang untuk hakim
demi memenuhi kepentingan yang tidak dibolehkan syariat.
7
kasus yang terjadi dalam masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat tersebut. (2) ‘Urf yang akan dijadikan sebagai dalil hukum Islam adalah
‘urf yang telah berjalan sejak lama di suatu masyarakat ketika pesoalan yang akan
ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum
itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. (3) ‘Urf yang
akan dijadikan sebagai dasar penetapan hukum tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan secara jelas oleh para pihak dalam masalah yang sedang dilakukan.
Sebagai contoh, antara penjual dan pembeli ketika melakukan transaksi jual-beli
telah menyepakati bahwa dengan kesepakatan secara jelas bahwa barang yang dibeli
akan dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Padahal kebiasaan yang berlaku
adalah barang yang dibeli akan diantarkan penjualnya ke rumah pembeli. Ini berarti
bahwa ada pertentangan antara ‘urf dan yang diungkapkan secara jelas dalam
transaksi tersebut. Bila demikian keadaannya, maka ‘urf yang berlaku di masyarakat
tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam jual beli tersebut.
(4) ‘Urf dapat diterima sebagai dasar hukum Islam manakala tidak ada nas} yang
mengandung hukum dari permasalahan yang dihadapi. Artinya, bila suatu
permasalahan sudah ada nashnya, maka adat itu tidak dapat dijadikan sebagai dalil
hukum Islam.
Pertama, pertentangan kebiasaan (‘urf) dengan nash yang bersifat khusus dan
terperinci. Kontradiksi antara nash dan ‘urf yang menyebabkan tidak berfungsinya
hukum yang ditunjuk oleh nash itu sendiri, maka seperti ini tidak dapat dijadikan
15 Imron Rosyadi, Kedudukan al-‘Adah wal ‘urf dalam Banqunan Hukurn Islam (Jurnal Suhuf,
Vol. XVII No. 01/Mei 2005), h. 9, lebih detail tentang pertentangan antara ‘urf dan dalil hukum
Iainnya baca, Dahlan Tamrin, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Malang; UIN Maliki Press, 2010), h. 224.
8
dasar penetapan hukum Islam. Misalnya, tradisi mengadopsi anak di zaman Jahiliyah
yang statusnya sejajar dengan anak kandung.
Kedua, pertentangan kebiasaan dengan nash yang bersifat umum. Menurut al-
Zarqa, apabila ‘urf tersebut lebih dahulu daripada nash yang bersifat umum itu
datang, maka harus dibedakan antara ‘urf lafzi dan ‘urf ‘amali. Jika ‘urf lafzi, maka ia
dapat dijadikan sebagai mentakhsis (mengkhususkan) nash Yang bersifat umum
tersebut selama tidak adanya larangan terkait hal itu. Misalnya, kata-kata shalat,
zakat, puasa, jual beli dan Iainnya diartikan leh suatu masyarakat dengan makna adat
atau tradisi yang berlaku di masyarakat tersebut maka hal itu bisa diterima.
Berbeda halnya jika berhubungan dengan ‘urf ‘amali (kebiasaan praktis), maka
para pakar ushul fiqh berbeda pendapat tentang pertentangan antara 'urf 'amali dan
nash yang bersifat umum. Menurut mazhab Hanafiyah, jika ‘urf ‘amali tersebut
bersifat umum maka dapat mentakhsis nash yang bersifat umum, karena
pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan. Misalnya,
tradisi istisna’ yaitu jual beli dengan cara pesanan, Tradisi tersebut mengkhususkan
nash yang melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki.
Ketiga, pertentangan antara dan nash yang mana nash tersebut datang lebih
dahulu ketimbang tradisi (‘urf) Yang berkembang di masyarakat itu sendiri. Dalam
hal ini, ulama sepakat bahwa tradisi (‘urf) semacam itu tidak dapat dijadikan dalil
dalam menetapkan hukum Islam.
Kecuali, jika dalam kondisi nash memiliki ‘illat hukum yang bersumber dari ‘urf itu
sendiri, maka di sini ‘urf dapat mengubah ketentuan hukum yang terkandung dalam
nash sesuai dengan perubahan ‘urf dari waktu ke waktu. Ini adalah pendapat Abu
Yusuf murid Imam Abu Hanifah. Misalnya, kebiasaan diamnya wanita sebagai tanda
kerelaannya untuk dikawinkan walinya. Dengan berubahnya zaman, maka kebiasaan
itupun bisa berubah. sehingga diamnya seseorang gadis ketika diminta izinnya untuk
dikawinkan tidak secara langsung menunjukkan persetujuan. Inilah ‘urf yang terus
berkembang dan dapat diterima meskipun datang belakangan dengan nash Hadis
9
bahwa tanda-tanda kerelaan anak gadis ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh
walinya adalah diamnya.
(HR. Bukhari)
10
atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara
kesejahteraan (welfare state). Berbeda dari sistem kapitalisme, sistem Ekonomi Islam
menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang
penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kacamata Islam merupakan
tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi
dalam etika dan moral syariah Islam.19
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis
maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-tengah ketiga sistem
ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual,
sosialis yang memberikan hampir semua tanggung jawab kepada warganya serta
komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta
perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam
harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa
adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada setiap pelaku usaha.20
Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi Islam harus
mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain
itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain: Kesatuan (unity),
Keseimbangan (equilibrium), Kebebasan (free will), Tanggung jawab (responsibility).
Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat
individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah
semata, dan manusia adalah kepercayaan-Nya di bumi. Di dalam menjalankan
kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba seperti yang
dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 275. Ekonomi Islam mempunyai
tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Nilai
Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh
19 Veitzal Rivai, “Keistimewaan Ekonomi Islam dalam Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi Umat,”
Journal Analytica Islamica, Vol 1 no 2, (2012), 344-352.
20 Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, terj. Muhadi Zainuddin (Yogyakarta: UII Pres,
2000), 12-63
11
mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan
kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai kesejahteraan
(falah).
Sedangkan keterkairan antara hukum dan kegiatan ekonomi tercermin dari
terjadinya akad. Akad adalah proses yang penting di dalam proses kegiatan ekonomi,
tanpa adanya akad proses trransaksi menjadi tidak sah, karena tidak adanya perjanjian
di awal oleh kedua belah pihak. Proses kepemilikin adalah bentuk proses perpindahan
hak milik berdasarkan transaksi, setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah
pihak, untuk memindahkan hak milik kepada pihak kedua melalui pihak pertama,
misalnya dalam transaksi jual beli, sewamenyewa dan lain sebagainya. Dalam hal
tersebut selalu ada keterkaitan antara aspek hukum dan ekonomi Islam. Sehingga
kegiatan dalam ekonomi Islam digali dari hukum Islam itu sendiri, di dalam Islam
kegiatan ekonomi dan hukum tidak dapat dipisahkan.
Sumber utama dalam hukum Islam adalah al-Qur’an, didalamnya menegaskan
bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi kewenangan untuk
menjelaskan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan dalam beberapa hal
memberikan ketentuan hukum baru. Dengan demikian, Sunnah Rasul merupakan
sumber kedua hukum Islam setelah al-Qur’an. Sunnah Rasul memberikan
kesempatan kepada umat Islam untuk menemukan ketentuan-ketentuan hukum yang
tidak disebutkan dalam al-Qur’an atau Sunnah Rasul secara jelas dengan jalan ijtihad.
Dengan demikian, ijtihad dapat dipandang sebagai sumber ketiga hukum Islam.
Hukum-hukum ijtihadiyah pada pokoknya bersumber kepada qiyas dan
pertimbangan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Di antata yang akan
mendatangkan kebaikan dan memnuhi kepentingan masyarakat adalah mengukuhkan
berlakunya ‘urf yang tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan Sunnah Rasul.
12
G. APLIKASI ‘URF DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN
Dalam perbankan Islam, akad atau transaksi hutang piutang pada dasarnya adalah
tidak wajib. Perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 282
pada dasarnya bukan perintah wajib, melainkan perintah sunnah.
ْ ْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل م َُس ًّمى َف
ُاك ُتبُوه َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
ٍ ِين آ َم ُنوا إِ َذا َتدَ ا َي ْن ُت ْم ِبدَ ي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam tafsir Jalain disebutkan, tujuannya adalah sebagai tanda bukti dan supaya
tidak terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak. ‘Urf di Perbankan Islam adalah
setiap akad tabungan atau hutang piutang adalah wajib dicatat karena untuk
menghindari adanya kerugian di salah satu pihak. Karena syariat Islam mengajarkan
setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak haruslah tidak saling merugikan atau
membahayakan salah satunya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak
boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh pula merugikan orang lain”.
Hadist inilah yang menjadi prinsip muamalah dalam Islam. Dengan prinsip ini
maka ‘Urf perbankan Islam yang mewajibkan pencatatan dalam setiap transaksi
dengan tujuan merugikan salah satu pihak adalah sesuai dengan ajaran Islam.
Sehingga pencatatan tersebut tidak hanya wajib menurut perbankan tetapi wajib menurut
hukum Islam.21
Contoh lain ‘urf dalam ekonomi Islam adalah jual beli yang dilakukan
masyarakat tanpa mengucapkan shighat ijab (misal; saya jual-saya beli). Di
supermarket atau pusat perbelanjaan lainya pembeli tinggal mengambil barang yang
diinginkan sendiri kemudian langsung membayar dikasir. Apalagi uang sebagai alat
pembayaran transaksi juga sudah nontunai, cukup menggunakan uang elektronik,
kartu ATM atau lainnya. Kemudian diberbagai sektor pola konsumsi masyarakat hari
ini lebih ke non tunai dan online disegala aspek ekonomi, dari jalan tol, gaji bulanan,
bayar listrik, jasa ojek, pesan makan, pesan tiket dan hotel, beli perabotan rumah
tangga, buku dan lain sebagainya. Hari ini masyarakat dimudahkan dengan hanya
21 Nasrulloh, Hukum Adat dan Penerapannya dalam Ekonomi Islam, Jurnal Al-Munqidz.
13
membuka aplikasi kemudian memencet tombol-tombol dan akhirnya transaksi
berhasil.
Dalam fiqh muamalah semestinya shighat merupakan hal yang menjadi rukun
jual beli yang harus dipenuhi. Namun secara substantif, shighat itu adalah untuk
menunjukkan adanya ridha (kerelaan) dari kedua belah pihak sebagaimana yang
difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu
(Q.S.AN-Nisa’: 29). Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
“Sesungguhnya jual-beli itu haruslah dengan saling rela/ridha” (HR. Ibn Majah)”.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa setiap transaksi jual beli harus
dilakukan dengan kerelaan oleh kedua belah pihak. Pada mulanya, shighat haruslah
berupa ucapan (saya jual) dari penjual dan ucapan pembeli (saya beli). Namun
kebiasaan kegiatan transaksi ekonomi modern hari ini (‘urf) merubah segalanya
menjadi lebih mudah. Misal shighat menjual diwakili dengan label harga (online atau
offline) pada produk yang diinginkan dan shighat membeli diwakili dengan kesediaan
memberi uang (tunai atau non tunai) ataupun dengan hanya gerakan jari (pencet
tombol “ok”) di Hp atau yang sejenisnya. Walaupun tidak seperti shighat yang
dijelaskan di literature klasik, namun karena mengandung arti yang menunjukkan
kerelaan dari kedua belah pihak maka dapat disimpulkan bahwa hukum transaksi
modern tersebut boleh berdasarkan ‘urf.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
‘Urf merupakan suatu hal yang dikenal dan sudah menjadi kebiasaan masyarkat,
baik berupa ucapan ataupun perbuatan. ‘Urf terbagi menjadi dua, yaitu ‘urf shahih
dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, sedangkan ‘urf fasid adalah kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya ‘urf shahih yang bisa dijadikan sebagai
landasan sumber hukum Islam. Jadi dapat disimpulkan ‘urf dapat dijadikan landasan
hukum untuk melakukan transaksi ekonomi. Karena perkembangan industri yang
semakin maju akan berdampak pada perkembangan transaksi dalam ekonomi yang
semakin komplek sehingga banyak kegiatan transaksi yang membutuhkan ijtihad
untuk mencari solusinya dari permasalan yang mungkin muncul.
Contoh penerapan ‘urf dalam transaksi ekonomi Islam haru ini adalah seperti
dalam jual beli yang dilakukan masyarkat tanpa mengucapkan shighat ijab qabul
(saya jual-saya beli). Di supermarket atau pusat perbelanjaan modern pembeli tinggal
mengambil barang yang diinginkan sendiri kemudian langsung membayar dikasir.
Apalagi uang yang digunakan sebagai alat pembayaran transaksi juga sudah nontunai.
Dan masih banyak lagi kegiatan trasaksi ekonomi modern saat ini yang berbasis
elektronik dan internet. Walaupun tidak seperti shighat yang dijelaskan di literature
klasik, namun karena mengandung arti yang menunjukkan kerelaan dari kedua belah
pihak maka dapat disimpulkan bahwa hukum transaksi modern tersebut boleh
berdasarkan ‘urf.
B. SARAN
Akhir kata, semoga makalah tentang ‘Urf Dan Aplikasinya Dalam Ekonomi Dan
Keuangan Kontemporer ini dapat berguna bagi kita semua dan mohon maaf jika
15
terdapat kesalahan dalam makalah ini, karena sebagai manusia kita tak pernah luput
dari kesalahan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari ibu/bapak dan
kawan semua.
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad Mufid, Lc. M.H.I., Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,
Prenamedia Group, Jakarta, 2016
Rizal, F. 2019. Penerapan ‘Urf Sebagai Metode Dan Sumber Hukum Ekonomi
Islam. Al-Manhaj: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, 1 (2), 155-176.
16