Anda di halaman 1dari 23

BAB

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL


Oleh : Agus Subagyo

A. Pengertian Politik dan Strategi Nasional


1. Pengertian Politik
Secara etimologis, kata “politik” berasal dari bahasa Yunani, yakni
Politeia. Politeia berasal dari akar kata polis dan teia. Polis mengandung arti
kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara. Sedangkan teia
mengandung arti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics
mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik
merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan
policy memiliki hubungan yang erat dan timbal balik. Politics memberikan
asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan pertimbangan
cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya1.
Dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip),
keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan
tertentu. Sedangkan policy, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai kebijaksanaan, adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang
dianggap dapat lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita atau
tujuan yang dikehendaki. Pengambil kebijaksanaan biasanya dilakukan oleh
seorang pemimpin2.
Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan
cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-
kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan, pembagian,
atau alokasi sumber-sumber yang ada. Perlu diingat bahwa penentuan
kebijakan umum, pengaturan, pembagian, maupun alokasi sumber-sumber

1
Sumarsono, et.al., Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 137
2
Ibid.
1
yang ada memerlukan kekuasaan dan wewenang (authority). Kekuasaan dan
wewenang ini memainkan peran yang sangat penting dalam pembinaan
kerjasama dan penyelesaian konflik yang mungkin muncul dalam proses
pencapaian tujuan3.
Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan
dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision
making process) kebijakan umum (public policy), dan distribusi atau alokasi
sumber daya (distribution of value or resources)4.
2. Pengertian Strategi
Strategi berasal dari bahasa Yunani, yakni strategia, yang artinya
adalah seni seorang panglima yang biasanya digunakan dalam peperangan
(the art of general). Di era modern sekarang ini, penggunaan kata strategi
tidak lagi terbatas pada konsep atau seni seorang panglima dalam
peperangan, tetapi sudah digunakan secara luas, termasuk dalam ilmu
ekonomi, ilmu teknik, olahraga, dan ilmu lainnya. Dalam pengertian umum,
strategi adalah cara untuk mendapatkan kemenangan atau pencapaian tujuan.
Dengan kata lain, strategi pada dasarnya merupakan seni dan ilmu
menggunakan dan mengembangkan kekuatan (ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya dan hankam) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya5.
3. Pengertian Nasional
Nasional berasal dari bahasa Inggris, yakni “national” yang akar
katanya adalah “nation”, yang dalam bahasa Indonesia berarti bangsa.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan “nation” adalah sesuatu yang
berhubungan atau berkaitan dengan skala nasional yang merujuk pada bangsa
dan negara.6
3
Ibid.
4
Ibid., lihat Pula dalam Mirriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, 1990;
dan Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Grasindo, 1992.
5
Ibid.
6
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1990.
2
4. Politik dan Strategi Nasional
Politik nasional adalah asas, haluan, usaha, serta kebijaksanaan negara
tentang pembinaan (perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan
pengendalian) serta penggunaan kekuatan nasional untuk mencapai tujuan
nasional. Strategi nasional disusun untuk pelaksanaan politik nasional,
misalnya strategi jangka jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang. Dengan demikian, strategi nasional adalah cara melaksanakan
politik nasional dalam arti mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan oleh
politik nasional.7

B. Dasar Penyusunan Politik dan Strategi Nasional


Dalam penyusunan politik dan strategi nasional, tentunya harus berlandaskan
pada dasar pemikiran yang absah, legal, dan jelas sehingga akan mencerminkan
kepentingan nasional seluruh komponen bangsa Indonesia. Berikut ini adalah dasar
pemikiran penyusunan politik dan strategi nasional.
1. Proses penyusunan politik dan strategi nasional perlu memahami pokok-
pokok pikiran yang terkandung dalam sistem manajemen nasional yang
berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional. Landasan pemikiran dalam sistem manajemen nasional
ini sangat penting sebagai kerangka acuan dalam penyusunan politk dan
strategi nasional, karena didalamnya terkandung dasar negara, cita-cita
nasional dan konsep strategis bangsa Indonesia8.
2. Proses penyusunan politik dan strategi nasional juga harus mengacu pada
nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945 sehingga akan menjadi
pedoman, petunjuk, dan koridor bagi terselenggaranya semua program
pembangunan nasional.

7
Sumarsono, et.al., Op. Cit.
8
Ibid.
3
3. Proses penyusunan politik dan strategi nasional juga harus mencerminkan jati
diri, budaya, adat istiadat, bahasa, dan lingkungan masyarakat Indonesia,
yang beradab dan adi luhung.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyusunan Politik dan Strategi Nasional


Proses penyusunan politik dan strategi nasional selalu memperhatikan
perkembangan lingkungan strategis, baik dalam skala global, regional, nasional
maupun lokal, sebagaimana diuraikan sebagai berikut :
1. Perkembangan Global
Dalam penyusunan politik dan strategi nasional tentunya pemerintah
harus memperhatikan aspek global yang sedang berkembang, khususnya
yang berhubungan dengan isu demokrasi, HAM, lingkungan hidup,
terorisme, globalisasi, pasar bebas dan perdagangan bebas. Para pengambil
kebijakan dalam menyusun politik dan strategi nasional pasti akan
mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis pada skala global,
khususnya yang terkait dengan hubungan luar negeri, politik luar negeri dan
perdagangan internasional. Berbagai perjanjian dan konvensi internasional
yang dihasilkan dalam kerangka multilateral, trilateral maupun bilateral
menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan politik dan strategi nasional.
2. Perkembangan Regional
Dalam penyusunan politik dan strategi nasional tentunya hal-hal yang
berhubungan perkembangan lingkungan strategis dalam skala regional,
seperti kejahatan transnasional, perbatasan, keamanan regional, dan
organisasi regional dalam kerangka ASEAN dan APEC tentunya menjadi
bahan pertimbangan yang sangat penting. Politik dan strategi nasional yang
disusun tentunya harus mampu merespon berbagai tantangan regional yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia. Sebagai komunitas regional Asia Tenggara,
bangsa Indonesia menjadi negara yang sangat penting bagi terwujudnya
kawasan regional Asia Tenggara yang aman, damai, sejahtera, dan dinamis,

4
sehingga politik dan strategi nasional yang disusun harus mampu
mengadaptasi perkembangan regional.

3. Perkembangan Nasional
Dalam penyusunan politik dan strategi nasional, perkembangan skala
nasional yang meliputi asta gatra (tri gatra dan panca gatra) menjadi masukan
yang sangat penting. Perubahan politik dan strategi nasional pada tataran
empiris yang mengalami perubahan dari masa Orde Lama, Orde Baru, dan
Orde Reformasi merupakan bukti nyata betapa perkembangan lingkungan
strategis di tingkat nasional sangat berpengaruh. Arus reformasi yang
menggelora pada akhir masa Orde Baru telah mengubah proses politik dan
strategi nasional sekarang ini. Perkembangan geografi, demografi, sumber
kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan, yang terjadi di Indonesia sebenarnya termanifestasikan dalam
politik dan strategi nasional. Politik dan strategi nasional yang disusun harus
mampu menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi pada skala nasional.
4. Perkembangan Lokal
Dalam penyusun politik dan strategi nasional, aspek lokal, seperti
berkembangnya otonomi daerah, desentralisasi, dan nilai-nilai kearifan lokal
juga menjadi bahan pertimbangan. Politik dan strategi nasional harus mampu
mengadaptasi berbagai gejala, fenomena, dan peristiwa yang ada di tingkat
lokal sehingga dapat menjadi pedoman atau petunjuk dalam proses
penanganannya. Proses penyusunan politik dan strategi nasional
memperhatikan jati diri masyarakat Indonesia di tingkat lokal dengan
mengadopsi mekanisme musyawarah mufakat, semangat toleransi, gotong
royong, dan nilai-nilai kemasyarakatan lainnya. Penyusunan politik dan
strategi nasional merupakan cerminan dinamika masyarakat di tingkat lokal
sehingga akan mampu diimplementasikan dalam aras kemasyarakatan,
khususnya di tingkat propinsi, kabupaten, kota, kecamatan, dan desa.

5
D. Proses Penyusunan Politik dan Strategi Nasional
Sejak Indonesia merdeka sampai dengan sekarang ini, Pemerintah telah
menyusun politik dan strategi nasional, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru,
Transisi Reformasi, dan Orde Reformasi, yang akan diuraikan sebagai berikut :
1. Orde Lama
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era Orde Lama
atau sering dikenal pula dengan sebutan “Demokrasi Terpimpin” ini diliputi
situasi, kondisi dan keadaan masyarakat dan negara yang serba tidak
memuaskan. Proses penyusunan politik dan strategi nasional dimulai dari
pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas) melalui UU No. 8
Tahun 1958. Tugas dari Depernas ialah untuk mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang Pembangunan Nasional yang Berencana. Setelah
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada Undang-
Undang Dasar 1945, Depernas disempurnakan dengan Penetapan Presiden
No. 4 Tahun 1959. Dalam jangka waktu 1 tahun, Depernas berhasil
menyusun Naskah Rancangan Undang-Undang Pembangunan Naisonal
Semesta Berencana Delapan Tahun (1961 – 1969). Pola Pembangunan
Nasional Semesta itu disampaikan oleh Depernas kepada Presiden pada
tanggal 13 Agustus 1960. Kemudian rancangan itu diteruskan kepada MPRS
untuk mendapat pengesahan9.
Dalam sidang yang pertama, MPRS menetapkan Rancangan Dasar
Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun
1961 – 1969 itu sebagai Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional
Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969. Ketetapan MPRS
No.II/MPRS/1960 itu dikenal dengan nama Haluan Pembangunan Negara
Republik Indonesia. Pola Pembangunan itu merupakan pimpinan bagi setiap
usaha perekonomian dan merupakan dasar segala pembangunan di sleuruh
pelosok tanah air pada waktu itu10.

9
C.S.T. Kansil, Modul Pancasila dan Kewarganegaraan, Jakarta, Pradnya Paramita, 2006, hal. 158
10
Ibid., hal. 159
6
Politik dan strategi nasional pada masa Orde Lama ditujukan untuk
merancang pola pembangunan masyarakat adil dan makmur atau masyarakat
sosialisme Indonesia. Adapun tujuan itu harus dicapai dengan pembangunan
nasional, semesta, dan berencana. Nasional : Karena pola pembangunan itu
harus menggambarkan keinginan seluruh daerah dan seluruh lapisan dan
golongan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semesta : Karena
pola tersebut harus meliputi seluruh lapangan hidup bangsa dan negara.
Berencana : Karena tidak mungkin tercapai pelaksanaan masyarakat adil dan
makmur sekaligus, akan tetapi dilaksanakan setapak demi setapak, tahap
demi tahap, tingkat demi tingkat, daerah demi daerah, lapangan demi
lapangan, dengan perkataan lain tidak ada sekaligus, tetapi secara berencana
namun cepat dan deras sesuai dengan irama gelombang Revolusi Indonesia11.
Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana ini merupakan
Tripola karena terdiri dari 3 pola, yaitu : (1) Pola Proyek; (2) Pola Penjelasan;
dan (3) Pola Pembiayaan. Dalam pekerjannya, Depernas selalu berpedoman
pada beberapa naskah nasional, yaitu : (1) UUD 1945; (2) Amanat
Pembangunan Presiden 28 Agustus 1959; (3) Penegasan Amanat
Pembangunan Presiden 9 Januari 1960. Dalam ketiga naskah itu telah
ditentukan bahwa tujuan seluruh pembangunan adalah untuk mewujudkan
amanat penderitaan rakyat, yaitu menciptakan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur menurut Pancasila12.
Namun demikian, Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
yang ditetapkan oleh Pemerintah ketika itu tidak berjalan lama karena pada
tahun 1965 – 1966 terjadi konflik politik dan ketidakstabilan politik yang
menyebabkan tumbangnya pemerintahan Orde Lama pimpinan Presiden
Soekarno digantikan dengan Pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden
Soeharto.
2. Orde Baru

11
Ibid., hal. 159 - 160
12
Ibid., hal. 160
7
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era Orde Baru
atau sering dikenal pula dengan sebutan “Demokrasi Pancasila” didasarkan
pada UUD 1945, khususnya pasal 3 (sebelum diamandemen), dimana MPR
menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Wujud nyata politik dan strategi nasional saat itu adalah GBHN
yang ditetapkan oleh MPR melalui TAP MPR kemudian diserahkan kepada
Presiden untuk dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
pembangunan nasional.
GBHN merupakan program pembangunan nasional di segala bidang
yang berlangsung terus menerus dalam rangka mencapai tujuan nasional dan
mewujudkan cita-cita nasional. GBHN memberikan kejelasan arah bagi
perjuangan negara dan rakyat Indonesia yang sedang membangun agar
mewujudkan keadaan dan mampu memberikan gambaran masa depan yang
diinginkan. GBHN merupakan rencana pembangunan lima tahunan13.
Sebagai produk MPR, yang merupakan lembaga tertinggi negara,
pemegang kedaulatan rakyat, pemegang kekuasan negara yang tertinggi,
GBHN mempunyai kedudukan yang amat penting dalam menjunjung tinggi
serta berperan aktif dalam melaksanakannya sesuai dengan fungsi, bidang
tugas, dan kemampuannya masing-masing. GBHN juga berfungsi sebagai
tolok ukur bagi penyelenggaraan negara14.
Dalam melaksanakan GBHN, presiden menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Repelita disusun oleh Presiden
dengan bantuan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Pada masa Orde Baru telah disusun 7 (tujuh) Repelita, yang dasar hukumnya
akan diuraikan sebagai berikut :15
a. Keputusan Presiden No. 319 Tahun 1968, dasar hukum Repelita I
(1969 – 1973).

13
Minto Rahayu, Pendidikan Kewarganegaraan : Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa, Jakarta,
Grasindo, 2007, hal. 101
14
C.S.T. Kansil, Op. Cit., hal. 95
15
Ibid., hal. 178
8
b. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN Tahun 1973 –
1978, dasar hukum Repelita II (1974/1975 – 1978/1979).
c. Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN Tahun 1978 –
1983, dasar hukum Repelita III (1979/1980 – 1983/1984).
d. Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN Tahun 1983 –
1988, dasar hukum Repelita IV (1984/1985 – 1988/1989).
e. Ketetapan MPR No. II/MPR/1988 tentang GBHN Tahun 1988 –
1993, dasar hukum Repelita V (1989/1990 – 1993/1994).
f. Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN Tahun 1993 –
1998, dasar hukum Repelita VI (1994/1995 – 1998/1999).
g. Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN Tahun 1998 –
2003, dasar hukum Repelita VII (1998/1999 – 2003/2004).
Berdasarkan rancangan pembangunan nasional yang disusun oleh
Pemerintah, Repelita I sampai dengan Repelita V disebut dengan Pola
Pembangunan Jangka Panjang (PJPT) Tahap I . Sedangkan Repelita VI dan
VII merupakan bagian dari Pola Pembangunan Jangka Panjang (PJPT) Tahap
II. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah menetapkan PJPT berjangka
waktu 25 tahunan, sehingga logikanya ketika pemerintah telah melaksanakan
5 (lima) kali Repelita, maka bisa dikatakan bahwa pemerintah telah
melaksanakan PJPT I.
Namun demikian, karena terjadi krisis ekonomi yang mengarah pada
krisis politik, krisis kepercayaan dan krisis multidimensional pada tahun 1997
– 1998, maka Pemerintahan Presiden Soeharto jatuh pada tanggal 21 Mei
1998 oleh gelombang reformasi mahasiswa bersama rakyat yang tidak puas
dengan program pembangunan nasional yang dijalankan ketika itu. Akhirnya
TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN Tahun 1998 – 2003 dicabut oleh
Sidang MPR melalui TAP MPR No. IX/MPR/1998.
3. Transisi Reformasi
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era transisi
reformasi diawali dengan diterbitkannya beberapa ketetapan MPR sebagai
9
respon terhadap berbagai tuntutan reformasi yang sangat deras ketika itu.
Ketetapan MPR tersebut, antara lain :

a. TAP MPR No. X/MPR/1998 Tentang Pokok-Pokok Reformasi Dalam


Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai
Haluan Negara.

b. TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang


Bersih dan Bebas KKN.

c. TAP MPR No. XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi Dalam


Rangka Demokrasi Ekonomi.

d. TAP MPR No. XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi


Daerah, pengaturan & Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusa dan Daerah Dalam
Kerangka NKRI.

e. TAP MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.

Berkaitan dengan politik dan strategi nasional, MPR hasil Pemilu


1999 pada Rapat Paripurna ke-12 Sidang Umum MPR pada tanggal 19
Oktober 1999 menetapkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN
Tahun 1999 – 2004. GBHN 1999-2004 tersebut memuat arah kebijakan
penyelenggaraan negara untuk menjadi pedoman bagi penyelenggara negara,
termasuk lembaga tinggi negara, dan seluruh rakyat Indonesia, dalam
melaksanakan penyelenggaraan negara dan melakukan langkah-langkah
penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan,
dalam kurun waktu tersebut. Sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004, arah
kebijakan penyelenggaraan negara tersebut dituangkan dalam Program
Pembangunan Nasional lima tahun (Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden
bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selanjutnya, Propenas diperinci
dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat Anggaran

10
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan oleh Presiden
bersama DPR.
Propenas, sebagai penjabaran dari GBHN 1999-2004, merupakan
rencana pembangunan lima tahunan. Kerangka waktu Propenas adalah tahun
2000-2004. Propenas adalah rencana pembangunan yang berskala nasional
serta merupakan konsensus dan komitmen bersama masyarakat Indonesia
mengenai pencapaian visi dan misi bangsa. Fungsi Propenas adalah untuk
menyatukan pandangan dan derap langkah seluruh lapisan masyarakat dalam
melaksanakan prioritas pembangunan selama lima tahun ke depan.
Perumusan Propenas dilakukan secara transparan dengan
mengikutsertakan berbagai pihak baik itu kalangan pemerintah, dunia usaha,
dunia pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun para
pakar, baik di pusat maupun di daerah. Berbagai upaya mencari masukan
dilakukan dengan tujuan agar semua pihak merasa ikut memiliki dan
berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Propenas bukanlah rencana
pembangunan pemerintah pusat saja, melainkan merupakan rencana
pembangunan seluruh komponen bangsa. Propenas merupakan payung bagi
seluruh lembaga tinggi negara dalam melaksanakan tugas pembangunan.
Proses penyusunan Propenas yang dilakukan secara transparan akan
meningkatkan rasa tanggung jawab dan mendorong pemerintah untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik.
Tiap-tiap lembaga tinggi negara, departemen dan lembaga pemerintah
non departemen menyusun Rencana Strategis (Renstra), sedangkan
pemerintah daerah menyusun Program Pembangunan Daerah (Propeda).
Renstra dan Propeda harus mengacu pada Propenas. Untuk Propeda,
dimungkinkan adanya penekanan prioritas yang berbeda-beda dalam
menyusun program-program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan
daerah masing-masing.
Propenas mempunyai karakteristik yang berbeda dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) yang lalu. Propenas berupaya untuk
11
memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi penyelenggara pembangunan
di pusat (Departemen/LPND) dan di daerah (Pemerintah Daerah) untuk
membuat rencana pembangunannya masing - masing. Hal ini sejalan dengan
semangat desentralisasi segala aspek kehidupan bernegara, termasuk dalam
hal pembangunan nasional.
4. Orde Reformasi
Proses penyusunan politik dan strategi nasional pada era reformasi
diawali dengan diterbitkannya UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dinyatakan bahwa yang dimaksud Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara
dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Dalam UU SPPN dinyatakan secara jelas bahwa terdapat tiga
dokumen perencanaan pembangunan nasional, yakni Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang berlaku 20 tahunan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berlaku 5 tahunan,
dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang berlaku tahunan. Sedangkan
untuk perencanaan pembangunan daerah ditetapkan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang berlaku 20 tahunan, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang berlaku 5 tahunan,
dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berlaku tahunan.
Sistem perencanaan pembangunan nasional mencakup lima
pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan, yaitu: politik; teknokratik;
partisipatif; atas-bawah (top-down); dan bawah-atas (bottom-up).
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah
adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan
pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan
12
masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah. Oleh karena itu, rencana
pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang
ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana
pembangunan jangka menengah. Perencanaan dengan pendekatan
teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka berpikir
ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk
itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap
pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan
menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan, bawah-
atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.
Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui
musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar ruang, antarwaktu,
antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah; menjamin
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin
tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan
berkelanjutan. Perencanaan Pembangunan Nasional menghasilkan : rencana
pembangunan jangka panjang; rencana pembangunan jangka menengah; dan
rencana pernbangunan tahunan.
Dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah, Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) adalah forum antar pelaku dalam
rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan
Daerah. Penyelenggaraan Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP dan
RKPD selain diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan juga mengikutsertakan
dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi profesi,
13
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemuka adat dan pemuka
agama, serta kalangan dunia usaha.
Ruang lingkup perencanaan pembangunan nasional dan daerah adalah
sebagai berikut :

NASIONAL DAERAH
Rencana Pembangunan Jangka Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Panjang Daerah
Rencana Pembangunan Jangka Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Menengah Daerah
Rencana Strategis Kementerian / Rencana Strategis Satuan Kerja
Lembaga Perangkat Daerah
Rencana Kerja Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah
Daerah
Rencana Kerja Kementerian / Rencana Kerja Satuan Kerja
Lembaga Perangkat Daerah

Sampai dengan saat ini, pemerintah dan DPR telah menerbitkan UU


No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005 – 2025. Dalam UU RPJPN tersebut ditegaskan kewajiban
pemerintah untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional, yaitu RPJM Nasional I Tahun 2005–2009, RPJM Nasional II Tahun
2010–2014, RPJM Nasional III Tahun 2015–2019, dan RPJM Nasional IV
Tahun 2020–2024. RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program Presiden ketika melaksanakan kampanye pada saat Pemilu.
Berkaitan dengan RPJMN, pemerintahan SBY telah menetapkan
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004 – 2009, yang merupakan
penjabaran visi, misi, dan program Presiden hasil Pemilu yang dilaksanakan
secara langsung tahun 2004. Presiden SBY juga telah menetapkan Peraturan
Presiden No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014, yang merupakan
penjabaran visi, misi, dan program Presiden hasil Pemilu yang dilaksanakan
secara langsung tahun 2009.
14
E. Implementasi Politik dan Strategi Nasional
1. Orde Lama
Dalam era dua puluh tahun pertama setelah kemerdekaan (1945–
1965), bangsa Indonesia mengalami berbagai ujian yang sangat berat.
Indonesia telah berhasil mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan
kedaulatan negara. Persatuan dan kesatuan bangsa berhasil pula
dipertahankan dengan meredam berbagai benih pertikaian, baik pertikaian
bersenjata maupun pertikaian politik diantara sesama komponen bangsa. Pada
masa itu para pemimpin bangsa berhasil menyusun rencana pembangunan
nasional. Namun, suasana yang penuh ketegangan dan pertikaian telah
menyebabkan rencana-rencana tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik.
Politik dan strategi nasional yang tertuang dalam Garis-Garis Besar
Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 –
1969 sangat didominasi oleh kebijakan Presiden Soekarno yang anti terhadap
Blok Barat dan cenderung ingin bersahabat dengan negara-negara Blok
Timur. Pada saat itu, Presiden Soekarno menetapkan “Politik sebagai
panglima” dan “Politik Mercusuar”. Pembangunan yang dijalankan lebih
diarahkan pada pembangunan politik sehingga sebagian besar program dan
kegiatan pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan dengan baik yang pada
akhirnya menyebabkan krisis ekonomi yang menyebabkan ketidakpuasan
rakyat terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno.
Akhirnya, melalui proses yang panjang dengan penuh kemelut politik
yang menimbulkan turbulensi politik yang menegangkan, Presiden Soekarno
jatuh dan pemerintahan Orde Lama digantikan dengan pemerintahan
Soeharto yang menyatakana diri sebagai pemerintahan Orde Baru dengan
komitmen akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
2. Orde Baru

15
Pada kurun waktu 1969–1997, bangsa Indonesia berhasil menyusun
rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima
tahunan. Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi
pembangunan negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang
diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu
telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan
dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam
berbagai indikator ekonomi dan sosial. Proses pembangunan pada kurun
waktu tersebut sangat berorientasi pada output dan hasil akhir. Sementara itu,
proses dan terutama kualitas institusi yang mendukung dan melaksanakan
tidak dikembangkan dan bahkan ditekan secara politis sehingga menjadi
rentan terhadap penyalahgunaan dan tidak mampu menjalankan fungsinya
secara profesional. Ketertinggalan pembangunan dalam sistem dan
kelembagaan politik, hukum, dan sosial menyebabkan hasil pembangunan
menjadi timpang dari sisi keadilan dan dengan sendirinya mengancam
keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri.
Menjelang timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1997, pembangunan
ekonomi sesungguhnya sedang dalam optimisme yang tinggi sehubungan
dengan keberhasilan pencapaian pembangunan jangka panjang pertama.
Namun, berbagai upaya perwujudan sasaran pembangunan praktis terhenti
akibat krisis yang melumpuhkan perekonomian nasional. Rapuhnya
perekonomian di negara-negara kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa
pondasi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia belum kuat menahan gejolak eksternal. Pertumbuhan cukup tinggi
yang berhasil dipertahankan cukup lama lebih banyak didorong oleh
peningkatan akumulasi modal, tenaga kerja dan pengurasan sumber daya
alam daripada peningkatan dalam produktivitas perekonomian secara
berkelanjutan. Dari krisis tersebut terangkat kelemahan mendasar bahwa
16
kemajuan selama ini belum diikuti oleh peningkatan efisiensi dan perbaikan
tata kelola kelembagaan ekonomi yang akhirnya meruntuhkan kepercayaan
para pelaku, baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, di
samping rentan terhadap gangguan eksternal, struktur perekonomian seperti
itu akan sulit berkembang jika dihadapkan pada kondisi persaingan yang
lebih ketat, baik pada pemasaran hasil produksi maupun pada peningkatan
investasi, dalam era perekonomian dunia yang makin terbuka.
Krisis tahun 1997 telah meruntuhkan pondasi perekonomian nasional.
Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun nilai tukar merosot drastis
mencapai sekitar Rp15.000,00 per US $ 1. Implikasinya, utang pemerintah
dan swasta membengkak dan mengakibatkan permintaan agregat domestik
terus menurun sampai dengan pertengahan 1998. Akibatnya, PDB mengalami
kontraksi sekitar 13 persen pada tahun tersebut. Banyaknya perusahaan yang
bangkrut mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat tajam hampir tiga
kali lipat, yaitu sekitar 14,1 juta orang; jumlah masyarakat miskin meningkat
hampir dua kali lipat, dari sekitar 28 juta orang pada tahun 1996 menjadi
sekitar 53 juta orang pada tahun 1998.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multidimensi, yang
selanjutnya berdampak pada perubahan (reformasi) di seluruh sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi tersebut memberikan
semangat politik dan cara pandang baru sebagaimana tercermin pada
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan substansial dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang terkait dengan perencanaan pembangunan
nasional adalah : (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak
diamanatkan lagi untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN); (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat; dan (3) desentralisasi dan penguatan otonomi daerah.
3. Transisi Reformasi

17
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga
perencanaan, Bappenas telah menyelesaikan penyusunan Program
Pembangunan Nasional lima tahun (Propenas). Penyusunan Propenas
merupakan tugas Presiden, sebagai mandataris MPR, untuk menjabarkan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, sebagaimana penyusunan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang menjabarkan GBHN
selama periode 1971 hingga 1998. Propenas tentunya memiliki warna yang
berbeda dengan Repelita karena disusun dalam suasana dan semangat yang
berlainan.
Penyusunan kebijakan dan program dalam Propenas bertitik awal dari
tujuan pembangunan nasional, kondisi umum, visi dan misi pembangunan
nasional seperti yang diamanatkan oleh GBHN 1999-2004. Sebagai
penjabaran dari GBHN tentunya Propenas tidak bisa lepas dari maksud
penetapan GBHN oleh MPR, yaitu memberikan arah penyelenggaraan negara
dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan sosial,
melindungi hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum dalam tatanan
masyarakat dan bangsa yang beradab, berakhlak mulia, mandiri, bebas, maju,
dan sejahtera untuk kurun waktu lima tahun ke depan. Selain itu muatan
kebijakan dan program dalam Propenas disusun lebih rinci dan terukur
daripada GBHN.
Propenas adalah merupakan rencana program pembangunan nasional
untuk jangka waktu 5 (lima) tahunan. Selama 32 tahun terakhir, rencana
program pembangunan nasional lima tahunan negara kita disusun dalam apa
yang disebut dengan Repelita. Paradigma yang digunakan dalam perumusan
Repelita pada waktu itu sangat mendalam (komprehensif) yaitu menguraikan
secara panjang lebar dan terinci rencana pembangunan menurut sektor dan
daerah. Sedangkan dalam Propenas digunakan paradigma yang menekankan
pada skala prioritas dalam perumusan masalah dan penyelesaiannya
(strategic choices). Dalam Propenas agenda-agenda kebijakan yang penting,
mendesak, dan mendasar yang menjadi prioritas bagi bangsa pada masa lima
18
tahun ke depan lebih diutamakan dan ditonjolkan. Pendekatan ini sejalan
dengan keterbatasan pembiayaan dalam masa krisis ini. Propenas kemudian
dirinci ke dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan berbagai program penanganan krisis yang diselenggarakan
selama periode transisi reformasi, kondisi mulai membaik sejak tahun 2000.
Perbaikan kondisi tersebut ditunjukkan dengan beberapa indikator sebagai
berikut. Defisit anggaran negara turun dari 3,9 persen PDB pada tahun
1999/2000 menjadi 1,1 persen PDB pada tahun 2004, stok utang
Pemerintah/PDB dapat ditekan di bawah 60 persen, dan cadangan devisa
terus meningkat dalam empat tahun terakhir menjadi USD 35,4 miliar pada
tahun 2004. Nilai tukar dapat distabilkan pada tingkat sekitar Rp 9.000,00 per
US $ 1 dan inflasi ditekan di angka sekitar 6,0 persen pada tahun 2004.
Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi tersebut memberikan ruang gerak
bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap menurunkan suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penurunan suku bunga SBI tersebut diikuti
penurunan suku bunga simpanan perbankan secara signifikan, tetapi belum
sepenuhnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Meskipun
belum optimal, penurunan suku bunga itu telah dimanfaatkan oleh perbankan
untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat struktur permodalan, dan
meningkatkan penyaluran kredit, terutama yang berjangka waktu relatif
pendek. Di sektor riil, kondisi yang stabil tersebut memberikan kesempatan
kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara
internal.
Berbagai kinerja di atas telah berhasil memperbaiki stabilitas ekonomi
makro. Walaupun demikian, kinerja tersebut belum mampu memulihkan
pertumbuhan ekonomi ke tingkat seperti sebelum krisis. Hal tersebut karena
motor pertumbuhan masih mengandalkan konsumsi. Sektor produksi belum
berkembang karena sejumlah permasalahan berkenaan dengan tidak
kondusifnya lingkungan usaha, yang menyurutkan gairah investasi, di
19
antaranya praktik ekonomi biaya tinggi, termasuk praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) serta berbagai aturan yang terkait dengan pelaksanaan
otonomi daerah. Selain itu, sulitnya pemulihan sektor investasi dan ekspor
juga disebabkan oleh lemahnya daya saing nasional, terutama dengan makin
ketatnya persaingan ekonomi antar negara. Lemahnya daya saing tersebut,
juga diakibatkan oleh rendahnya produktivitas SDM serta rendahnya
penguasaan dan penerapan teknologi di dalam proses produksi. Permasalahan
lain yang juga punya pengaruh kuat ialah terbatasnya kapasitas infrastruktur
di dalam mendukung peningkatan efisiensi distribusi. Penyelesaian yang
berkepanjangan dari semua permasalahan sektor riil di atas akan mengganggu
kinerja kemajuan dan ketahanan perekonomian nasional, yang pada
gilirannya dapat mengurangi kemandirian bangsa.
Walaupun secara bertahap berkurang, jumlah penduduk miskin masih
cukup tinggi, baik di kawasan perdesaan maupun di perkotaan, terutama pada
sektor pertanian dan kelautan. Hingga tahun 2004, angka kemiskinan masih
sekitar 30 juta jiwa dan jumlah pengangguran masih sekitar 10 juta jiwa.
Oleh karena itu, kemiskinan masih menjadi perhatian penting dalam
pembangunan 20 tahun yang akan datang. Luasnya wilayah dan beragamnya
kondisi sosial budaya masyarakat menyebabkan masalah kemiskinan di
Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan
pengalaman kemiskinan yang berbeda. Masalah kemiskinan bersifat
multidimensi, karena bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan,
melainkan karena juga kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat
untuk menjadi miskin. Selain itu, kemiskinan juga menyangkut kegagalan
dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau
kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
4. Orde Reformasi
Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana
pembangunan jangka panjang pada masa yang akan datang. Pemilihan secara
langsung memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calon Wakil
20
Presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada
saat berkampanye. Keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan
ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya.
Desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan
perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi antara daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya serta antara pembangunan daerah dan
pembangunan secara nasional. Untuk itu, seluruh komponen bangsa sepakat
menetapkan sistem perencanaan pembangunan melalui Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(UU SPPN) yang di dalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 tahun),
jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan.
Belajar dari pengalaman masa lalu dengan mempertimbangkan
perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diperlukan perencanaan pembangunan jangka panjang untuk
menjaga pembangunan yang berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan
dan cita-cita bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu (1) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2)
memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
(4) ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan
nasional tersebut perlu ditetapkan visi, misi, dan arah pembangunan jangka
panjang Indonesia.
Berbagai pengalaman yang didapatkan selama lebih dari 60 tahun
mengisi kemerdekaan merupakan modal yang berharga dalam melangkah ke
depan untuk menyelenggarakan pembangunan nasional secara menyeluruh,
bertahap, dan berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
21
Ketika memulai awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB),
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengemukakan
permasalahan mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu tingginya
angka kemiskinan, tingginya tingkat pengangguran, dan besarnya utang
pemerintah. Presiden SBY juga berulang kali mengemukakan arah
pembangunan yang hendak diwujudkan melalui apa yang disebutnya sebagai
“Triple Track Strategy”, yaitu: pro-growth, pro-job, dan pro-poor.
Dalam mewujudkan sasaran tersebut, SBY menawarkan tiga solusi.
Track pertama adalah meningkatkan pertumbuhan dengan mengutamakan
ekspor dan investasi. Track kedua adalah menggerakkan sektor riil untuk
menciptakan lapangan kerja. Track ketiga adalah merevitalisasi pertanian,
kehutanan, kelautan dan ekonomi perdesaan untuk mengurangi kemiskinan.
Dengan demikian, pembangunan ekonomi diarahkan untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pemerataan, atau pertumbuhan
disertai pemerataan (growth with equity).
Tantangan Indonesia untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan menghadap tantangan yang cukup berat. Krisis global telah
menghambat kemajuan ekonomi domestik meski kita akui bahwa
kemerosotan ekonomi tidak terus berlanjut, dan perekonomian mencatat
pertumbuhan positif namun krisis itu belum sepenuhnya dapat kita lewati.
Selain itu, indikator makro ekonomi juga mencatat perbaikan seperti
pertumbuhan ekonomi yang positif sementara negara lain justru terkoreksi,
tingkat inflasi yang rendah, ekspor yang tinggi, stabilitas nilai tukar, indeks
pasar saham yang positif dan cadangan devisa yang mencapai posisi tertinggi
dalam sejarah perekonomian nasional. Stabilitas makro ekonomi yang
kondusif tersebut adalah prasyarat yang diperlukan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan.
Capaian menonjol yang telah ditorehkan oleh pemerintah melalui
politik dan strategi nasional yang tertuang dalam UU SPPN (RPJPN,
RPJMN, RKP) adalah pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6%, angka
22
kemiskinan berhasil diperkecil mencapai 20 juta orang, jumlah pengangguran
juga berhasil dientaskan sehingga menjadi 9 juta orang, dan masuknya
Indonesia dalam keanggotaan organisasi ekonomi dunia, yakni G-20.
Indonesia juga dinilai oleh Bank Dunia sebagai satu dari tiga negara di dunia
(dua negara lainnya adalah Cina dan India) yang mampu mempertahankan
pertumbuhan ekonomi yang stabil ketika dihantam oleh krisis ekonomi global
tahun 2008 yang lalu.

F. Diskusi dan Aplikasi

23

Anda mungkin juga menyukai