Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HADIST TENTANG JINAYAT

Disusun Oleh:

Muhammad Mukmin Toat (2210700022)

Erlangga Syahreza Harahap (2210700027)

Mata Kuliah:

Hadist Jinayah

Dosen Pengampu:

Dr. H. Ali Sati, M.Ag.

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY

PADANG SIDEMPUAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan kasih-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Hadis Jinayah yang berjudul
“Hadis Tentang Jinayat” dengan baik.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi persyaratan
kelulusan pada mata kuliah yaitu tugas yang sudah diberikan oleh dosen pengampu mata
kuliah yakni Bapak Dr. H. Ali Sati, M.Ag.. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis tentang Hadis Jinayat.

Selain itu, penulis berharap agar makalah ini dapat menambah referensi bagi setiap
pembaca dalam memahami sistem yang ada selama ini. Penulis menyadari masih banyak
kesalahan dan kekurangan yang ada dalam penulisan makalah ini. Sehingga penulis berharap
kepada pembaca untuk dapat memberi kritik dan saran yang membangun sehingga penulis
bisa berubah menjadi lebih baik.

Padang Sidempuan, 06 Maret 2024

Kelompok 01

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB 1.........................................................................................................................................1

PENDAULUAN........................................................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................................................1

B. Tujuan................................................................................................................................1

C. Manfaat..............................................................................................................................1

BAB II........................................................................................................................................2

PEMBAHASAN........................................................................................................................2

A. Defensi Jinayat..................................................................................................................2

B. Hadis Hadis Tentang Jinayat.............................................................................................2

C. Pembagian Jinayat.............................................................................................................7

D. Perbedaan Jinayah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif........................................8

BAB III.....................................................................................................................................11

PENUTUP................................................................................................................................11

A. Kesimpulan......................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

ii
BAB 1
PENDAULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat Allah SWT yang mengatur
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh
orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman
atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadis. Hukum pidana Islam pada
hakikatnya mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap
manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat menempatkan Allah SWT
sebagai pemegang segala hak. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi
perintah Allah SWT tersebut. Perintah Allah SWT yang dimaksud, harus ditunaikan baik
untuk kemaslahatan manusia pribadi maupun orang lain. Berbeda dengan hukum pidana
positif yang nyata-nyata buatan manusia. Karena produk hukum tersebut merupakan olahan
pikiran dari manusia, pastilah mempunyai kekurangan maupun celah-celah sehingga manusia
dengan seenaknya dapat melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

B. Tujuan
1. Membahas Pengertian Jinayah, Hadis tentang Jinayah dan Pembagian Jinayah.

C. Manfaat
1. Memahami dan menambah wawasan mengenai Jinayah,Hadis Jinayah dan Pembagian
Jinayah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defensi Jinayat
Kata "jinayah" merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata "jana". Secara
etimologi "jana" berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa
atau perbuatan salah.1Seperti dalam kalimat jana 'ala qaumihi jinayatan artinya ia telah
melakukan kesalahan terhadap kaumnya. Kata jana juga berarti "memetik", seperti dalam
kalimat jana as-samarat, artinya "memetik buah dari pohonnya". Orang yang berbuat jahat
disebut jani dan orang yang dikenai perbuatan disebut mujna alaih. Kata jinayah dalam istilah
hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayah
mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan Imam Al-Mawardi bahwa
jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama (syara') yang diancam dengan
hukuman had atau takzir.2

Menurut Abd al Qodir Awdah dalam buku Hukum Pidana Menurut Al Quran
karangan Ahmad Wardi Muslich, jinayat adalah perbuatan yang dilarang syariat. Perbuatan
terlarang yang dimaksud berkaitan dengan jiwa, harta benda, atau lainnya.

Adapun pengertian jinayah, para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah yang
dimaksudkan di sini adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu
mengenai jiwa, harta benda, atau lain-lainnya. Sayyid Sabiq memberikan definisi jinayah,
bahwa istilah jinayah menurut syara' adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan perbuatan
yang dilarang itu menurut syara' adalah dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya
mengenai agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda.3

B. Hadis Hadis Tentang Jinayat

: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن عبد هللا ابن مسعود رضي هللا عنه قال‬
: ‫ال يحل دم امرىء مسلم يشهد أن ال إله إال هللا وأني رسول هللا إال بإحدى ثالث‬
) ‫ ( متفق عليه‬.‫الثيب الزاني والنفس بالنفس والتارك لدينه المفارق للجماعة‬.
Artinya :
1
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 1.
2
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. hlm. 9.
3
Ibid

2
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a, katanya : “Rasulullah SAW bersabda: “Tidak
dihalalkan darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali salah satu di antara tiga kelompok orang
ini, yaitu seorang janda ( orang yang telah menikah ) yang berzina, seseorang yang
membunuh orang lain, dan orang yang meninggalkan agamanya, yakni orang yang
memisahkan dirinya dari jama’ah. ( HR. Muttafaq ‘Alaih )

Pembunuhan adalah tindakan pidana yang paling besar sebab telah menghilangkan nyawa
seseorang sehingga menyengsarakan orang-orang yang berada dalam tanggungan orang yang
terbunuh, seperti membuat anak-anaknya menjadi yatim, istrinya menjadi janda, dan
tanggung jawab sosialnya menjadi berantakan. Hidup dan kehidupan merupakan hak setiap
manusia yang tidak boleh dirampas oleh siapapun.

Oleh karena itu, pembunuhan merupakan tindakan pidana yang amat dibenci dan dikecam
oleh Sang Maha Pemberi hidup dan kehidupan, sebagaimana tertera dalam firman-Nya surah
Al-maidah ayat 32, yang artinya:

“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa yang
membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” (QS. Al-Maidah: 32).

Ancaman pembunuhan tersebut diundangkan dalam ayat Madaniyah, di antaranya tercantum


dalam surah Al-baqarah ayat 178 – 179, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka; hmaba dengan hamba; dan
wanita dengan wanita. Maka barang siapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam
qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa (menjaga diri dari kejahatan).” (QS. Al-Baqarah: 178 – 179).

3
‫وعن أنس رضى هللا تعالى عنه أن الربيع بنت النضر عمته كسرت ثنية جارية‬
‫فطلبوا إليها العفو فأبوا فعرضوا األرش فأبوا فأتوا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ فقال أنس بن‬.‫ فأمر رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بالقصاص‬.‫فأبوا إال القصاص‬
.‫ يا رسول هللا أتكسر ثنية الربيع ؟ ال والذي بعثك بالحق ال تكسر ثنيتها‬: ‫النضر‬
‫ فرضي القوم‬.‫ يا أنس كتاب هللا القصاص‬: ‫فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ إن من عباد هللا من لو أقسم على هللا‬: ‫فعفوا فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
) ‫ ( متفق عليه واللفظ للبخارى‬.‫ألبره‬.

Artinya :

“Dari Anas r.a, dia berkata : “ Sesungguhnya Rubayyi bintu An-Nadhr, bibi Anas,
mematahkan gigi seorang wanita. Kemudian, keluarga Rubayyi itu minta maaf kepadanya.
Akan tetapi, keluarga wanita itu menolaknya. Keluarga Rubayyi menawarkan denda, tetapi
mereka tetap menolaknya. Kemudian mereka datang menghadap Rasulullah SAW tetapi
mereka tidak mau selain qishash. Lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk di qishash.
Anas bin An-Nadhr berkata: “Apakah gigi seri Rubayyi akan dipecahkan ? jangan, demi
Tuhan yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, janganlah dipecahkan gigi serinya.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Anas, Kitabullah telah menetapkan qishash.
Maka keluarga wanita itu merelakan dan memeaafkan Rubayyi. Kemudian Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu terdapat orang-orang yang
bersumpah dengan nama Allah, dan dia akan berlaku jujur kepada-Nya.” ( HR. Muttafaq
‘Alaih dan susunan matannya dari riwayat Al-Bukhari )

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa salah satu di antara sikap pertengahan dan
keelastisan syari’at Islam adalah keberadaan syari’at qishash. Hal ini karena – sebagaimana
definisinya secara etimologis yang berarti pembalasan – qishash disyari’atkan untuk
mengimbangi perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh seorang terhadap sesamanya. Dari
sini dapat dipahami bahwa di dalam syari’at qishash terdapat usaha untuk menengahi
permasalahan, yang dalam hal ini adalah masalah pembunuhan. Di satu sisi, Islam melarang
pemeluknya untuk membunuh karena perbuatan tersebut dikutuk Allah dan Rasul-Nya, tetapi

4
di sisi lain Al-Qur’an juga menetapkan syari’at qishash untuk membalas tindakan
pembunuhan tersebut.

Syari’at qishash juga merupakan tindakan antisipasi dalam menghindari tindak pidana
pembunuhan sebab orang akan berpikir dua kali untuk melakukan pembunuhan apabila dia
ingat konsekuensi yang akan dideritanya. Dengan demikian, kehidupan manusia menjadi
terjaga, sebagaimana yang dinyatakan di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 179:

Artinya :

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 179).

Pada mulanya qishash dapat berlaku di dalam berbagai tindak pidana, seperti pembunuhan
dibalas dengan pembunuhan, melukai dibalas dengan melukai, pemotongan dibalas dengan
pemotongan, sebagaimana yang disyari’atkan pada Nabi Musa.

Kemudian Allah mengkhususkan pemberlakuan qishash dalam pembunuhan bagi kaum


muslimin, sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an surah Al-baqarah ayat 178, yang
artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka; hmaba dengan hamba; dan
wanita dengan wanita. Maka barang siapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-
Baqarah: 178).

Indikator lain yang mencerminkan fleksibilitas dan sikap pertengahan yang dimiliki oleh
Islam adalah adanya keringanan dalam melepaskan hukuman qishash terhadap pelaku tindak
pidana, yakni apabila keluarga yang dirugikan memberikan maaf, hukuman qishash ini dapat
digantikan dengan denda tertentu sebagai tebusan.

5
‫وعن ابن عمر رضي هللا عنهما قال قتل غالم غيلة فقال عمر لو اشترك فيه أهل‬
‫صنعاء لقتلتهم به أخرجه البخاري‬

Artinya :

“Dari Ibnu Umar r.a, dia berkata: “Seorang anak telah dibunuh secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian Umar berkata, “Seandainya penduduk Shan’a’ ikut serta dalam pembunuhan
tersebut, saya akan membunuh mereka karena perbuatannya.” ( HR. Bukhari ).

Hadits di atas memiliki latar belakang kisah sebagaimana yang tercantum di dalam riwayat
Ath-Thahawi dan Al-baihaqi, dari Ibnu Wahhab, dia berkata, yang artinya:

“Jarrir bin Hazim telah menceritakan kepadaku bahwa al-Mughirah bin Hakim Ash-
Shan’ani telah menceritakan kisah kepadanya yang diperoleh dari ayahnya, “Seorang wanita
penduduk Shan’a ditinggal pergi oleh suaminya dengan meninggalkan seorang anak laki-laki
bernama Ushail dari istri yang lain dalam asuhan wanita tersebut. Karena ditinggal lama oleh
suaminya, wanita tersebut mempunyai kekasih lagi. Kemudian wanita itu berkata kepada
kekasihnya, “Sesungguhnya anak ini akan membuka rahasia kita. Oleh karena itu, sebaiknya
anak ini dibunuh saja. Akan tetapi, kekasihnya menolak untuk membunuh anak tersebut.
Wanita itu terus-menerus menekan kekasihnya untuk membunuh anak tersebut sehingga
lelaki itupun menyetujuinya. Maka bersepakatlah seorang lelaki dan seorang lelaki lainnya
lagi bersama istri dan pembantunya untuk membunuh anak tersebut. Setelah membunuh anak
itu, mereka memotong-motongnya dan memasukkan potongan-potongan tersebut ke dalam
suatu kantong, kemudian mereka buang ke sebuah sumur tidak berair yang ada di pinggiran
kampung. Dalam kisah berikutnya, kekasihnya itu ditangkap dan dia mengakui perbuatannya.
Begitu pula lelaki yang lainnya, mengakui perbuatan yang telah dilakukannya. Ya’la, kepala
pemerintahan mereka pada waktu itu, melaporkan kejadian tersebut kepada Umar r.a, maka
Umar pun menyuruhnya untuk membunuh mereka semua, seraya dia berkata, “Demi Allah,
seandainya semua penduduk Shan’a bersekongkol dalam membunuh anak ini, maka sungguh
saya akan membunuh mereka semuanya.”

Dari peristiwa ini terdapat isyarat bahwa pengeroyokan itu dilarang di dalam Islam.

6
C. Pembagian Jinayat

Jinayah atau Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi,
secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi. Ditinjau
dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi tiga bagian antara lain yaitu jarimah
hudud, jarimah qishash /diat dan jarimah tak’zir.

1. Jarimah Hudud
Kata hudud (berasal dari bahasa arab) adalah jamak dari kata had. Secara
harfiah ada beberapa kemungkinan arti antara lain batasan atau defenisi, siksaan,
ketentuan atau hukuman. Dalam bahasa fiqh (hukum islam), had artinya ketentuan
tentang sanksi terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral, menurut
syari‟at yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam Al-qur‟an, dan /atau kenyataan
yang dilakukan oleh Rasulullah. Tindak kejahatan baik dilakukan oleh seorang atau
kelompok, sengaja atau tidak sengaja, dalam istilah fikih disebut dengan jarimah.
Jarimah al-hudud berarti tindak kejahatan yang menjadikan pelakunya dikenakan
sanksi had.4
Jarimah hudud ini ada tujuh macam antara lain sebagai berikut:
1. Jarimah zina
2. Jarimah qazdaf
3. Jarimah syurbul khamr
4. Jarimah pencurian
5. Jarimah hirabah
6. Jarimah riddah
7. Jarimah Al Bagyu (pemberontakan)
2. Jarimah Qishash / Diat
Adapun arti qishash secara terminology yang dikemukakan oleh AlJurjani,
yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) keepada pelaku persis seperti
tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban). Secara harfiah
qishash berarti memotong atau membalas. Qishash dalam hukum pidana islam adalah
pembalasan setimpal yang di kenakan kepada pelaku pidana sebagai sanksi atas
perbuatannya

4
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 106

7
Yang dimaksud dalam jarimah ini ialah perbuatan-perbuatan yang di
ancamkan hukuman qishash atau hukuman diat. Baik qishash maupun diat adalah
hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas
terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian
bahwa sikorban bisa memaafkan sipembuat, dan apabila dima‟afkan, maka hukuman
tersebut menjadi dihapus.5
Jarimah qishâsh dan diat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan dan
penganiayaan. Namun apabila diperluas maka ada lima macam yaitu:
1. pembunuhan sengaja.
2. pembunuhan menyerupai sengaja.
3. pembunuhan karena kesalahan.
4. penganiyaan sengaja.
5. penganiyaan tidak sengaja
3. Jarimah Ta‟zir
Secara bahasa, ta’zir bermakna al-Man’u artinya pencegahan. Menurut istilah,
ta’zir bermakna at-Ta’dib (pendidikan) dan at- Tankil (pengekangan). Adapun
defenisi ta‟zir secara syar’i adalah sanksi yang ditetapkan atas tindakan maksiat yang
di dalamnya tidak ada had dan kifarat.
Jarimah ta‟zir yaitu semua tindak pidana yang tidak secara tegas diatur oleh
al-Qur’an dan hadis. Aturan teknis, jenis, dan pelaksanaannya ditentukan oleh
penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai
dengan kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan dalam diri manusia.6

D. Perbedaan Jinayah Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif


Jika diperbandingkan ketentuan di dalam hukum pidana Islam dengan ketentuan
hukum pidana positif, pada dasarnya dapat dilihat bahwa hukum pidana Islam merupakan
hukum yang mengatur tentang kejahatan dan sanksi-sanksinya, yang tujuannya adalah untuk
memelihara kehidupan manusia didalam agamanya, dirinya, akalnya, hartanya,
kehormatannya dan hubungannya antara pelaku kejahatan, si korban dan umat. Sedangkan
hukum pidana positif hanya cenderung berpihak kepada si pelaku saja, meskipun pada
dasarnya hukum pidana positif bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia didalam
masyarakat agar tertib dan damai.

5
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1986), Cet 3, h. 8
6
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2013), 3-4

8
Mengapa demikian ? Karena pengaturan hukum pidana positif hanya mengarah
kepada penghukuman bagi si pelaku tanpa memperhatikan kerugian maupun hak-hak yang
harus diterima si korban. Sedangkan di dalam hukum pidana Islam, disamping penghukuman
bertujuan mendatangkan efek jera bagi pelaku maupun masyarakat, namun keberpihakan
kepada korban juga menjadi perhatian di dalam ketentuan syara’. Hal ini terlihat di dalam
tindak pidana Qishas, dimana terdapat pemaafan dari pihak korban atau ahli waris sehingga
pelaku dapat saja membayar diyat kepada korban atau ahli warisnya sebagai konsekuensi dari
pemaafan tersebut.

Sebagai contoh perbandingan yang lain, dapat diambil mengenai masalah perzinaan.
Di dalam hukum positif, KUHP tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan atas dasar
suka sama suka dam keduanya belum menikah. KUHP hanya melarang perbuatan perzinaan
yang dilakukan atas dasar suka sama suka dimana salah seorang atau keduanya sudah terikat
perkawinan dan hal itupun hanya dapat ditindak apabila ada pengaduan dari pihak istri atau
suami si pelaku. Konsekuensinya, apabila tidak ada pengaduan maka perzinaan seolah-olah
menjadi sesuatu yang “dihalalkan”, padahal perbuatan tersebut dari segi agama jelas-jelas
merupakan dosa besar. Sedangkan di dalam hukum pidana Islam, apapun bentuk perzinaan,
baik hubungan suka sama suka yang dilakukan oleh yang sudah terikat pernikahan maupun
yang masih sama-sam “lajang” tetap dikenakan hukuman tindak pidana perzinaan sesuai
dengan ketentuan syara’.

Selain itu, hukum pidana yang masih berlaku di Indonesia saat ini, apabila dilihat dari
filosofi terbentuknya hukum positif tersebut lebih mengutamakan kebebasan, menonjolkan
hak-hak individu yang lebih mengutamakan si pelaku, dan kurang berhubungan dengan
moralitas umat manusia pada umumnya.20 Hukum positif hanya lebih mengarah kepada
upaya menanggulangi kejahatan, cenderung berupaya untuk menghukum pelaku, namun
seringkali mengabaikan hak-hak korban. Disamping itu, ketentuan di dalam hukum pidana
Islam lebih tegas dibandingkan dengan hukum pidana positif. Di dalam hukum positif, apa
yang dinamakan dengan menjatuhkan hukuman lebih cenderung merupakan hak para hakim
untuk menentukan apakah akan dipakai batas minimal atau batas maksimal hukuman yang
ditetapkan undang-undang. Sedangkan di dalam hukum pidana Islam ada hukuman yang
dinamakan dengan hak Allah (had), yang kadarnya tidak boleh dikurangi atau ditambah.

Hukuman penjara sebagai satu-satunya bentuk hukuman (jika bukan dianggap sebagai
salah satu bentuk hukuman selain hukuman mati karena hukuman mati jarang dijatuhkan di

9
negara kita) bagi seluruh bentuk kejahatan, ternyata melahirkan segudang persoalan. Betapa
banyak penjahat pemula yang setelah keluar dari penjara (setelah berguru kepada penjahat
yang lebih senior) justru berubah menjadi penjahat yang lebih lihai. Betapa banyak terjadi
penularan penyakit yang berbahaya di dalam penjara karena padatnya jumlah penghuninya.
Betapa banyak penyimpangan seksual yang dialami oleh para narapidana karena dalam
jangka waktu yang cukup lama tidak berhubungan dengan istri atau suaminya. Betapa besar
anggaran yang harus ditanggung oleh negara untuk memberi makan para narapidana, padahal
anggaran itu diambil dari pajak masyarakat. Betapa banyak waktu produktif para narapidana
yang terbuang percuma hanya untuk mendekam di dalam penjara, yang membuat mereka
menjadi pemalas setelah keluar dari penjara.

Hukum pidana Islam memberikan solusi atas semua persoalan tersebut. Bentuk
hukuman dalam Islam tidak memakan waktu lama sehingga tidak memakan waktu produktif
si terpidana. Hukum pidana Islam tidak mengenal biaya tinggi dan memberikan efek jera,
baik bagi si terhukum maupun masyarakat. Berbeda dengan hukum konvensional atau hukum
positif yang merupakan ciptaan manusia dan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman,
hukum pidana Islam sebagai hukum ciptaan Allah SWT bersifat abadi, fleksibel untuk
diterapkan di segala tempat dan waktu, sesuai dengan fitrah manusia, serta sejalan dengan
logika dan hati nurani manusia.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Para fuqaha menyatakan bahwa lafal jinayah yang dimaksudkan di sini adalah setiap
perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lain-
lainnya. Sayyid Sabiq memberikan definisi jinayah, bahwa istilah jinayah menurut syara'
adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan perbuatan yang dilarang itu menurut syara' adalah
dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya mengenai agama, jiwa, akal,
kehormatan, atau harta benda.

Jinayah atau Jarimah itu sebenarnya sangat banyak macam dan ragamnya, akan tetapi,
secara garis besar kita dapat membaginya dengan meninjaunya dari beberapa segi. Ditinjau
dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dapat dibagi tiga bagian antara lain yaitu jarimah
hudud, jarimah qishash /diat dan jarimah tak’zir.

Jika diperbandingkan ketentuan di dalam hukum pidana Islam dengan ketentuan


hukum pidana positif, pada dasarnya dapat dilihat bahwa hukum pidana Islam merupakan
hukum yang mengatur tentang kejahatan dan sanksi-sanksinya, yang tujuannya adalah untuk
memelihara kehidupan manusia didalam agamanya, dirinya, akalnya, hartanya,
kehormatannya dan hubungannya antara pelaku kejahatan, si korban dan umat. Sedangkan
hukum pidana positif hanya cenderung berpihak kepada si pelaku saja, meskipun pada
dasarnya hukum pidana positif bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia didalam
masyarakat agar tertib dan damai.

11
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi ,Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1986).


Irfan ,M. Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2013).

Munajat ,Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

Muslich ,Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2004

12

Anda mungkin juga menyukai