Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIQH JINAYAH

PENGERTIAN, OBJEK PEMBAHASAN, DAN KAIDAH-KAIDAH FIQH JINAYAH

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Zakaria Syafe’I, M.Pd.

Kelompok 1

Harfika Nur Aprilia 211120012

Royan Azizah 211120020

HUKUM TATA NEGARA 4A

FAKULTAS SYARIAH

UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2023
KATA PENGANTAR

Bersyukur dan Ikhlas kita haturkan kepada Tuhan YME, berkat rahmat dan inayahnya-
Nya makalah yang diberi judul “Pengertian, Objek Pembahasan, dan Kaidah-Kaidah Fiqh
Jinayah” bisa rampung. Maksud membuat kertas kerja ini ialah supaya dapat menyelesaikan
tugas mata kuliah Fiqh Jinayah serta meningkatkan pengetahuan pada penyusun dan para
pembaca.

Saya haturkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Zakaria Syafe’I, M.Pd. sebagai
dosen mata kuliah Fiqh Jinayah, yang telah mengintruksikan tugas ini sehingga bisa
meningkatkan wawasan dan pengetahuan, semoga makalah ini bisa memberikan informasi
tentang “Pengertian, Objek Pembahasan, dan Kaidah-Kaidah Fiqh Jinayah” yang dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Kami mengetahui, tugas yang disusun ini masih belum bisa dikatakan telah dapat
menghasilkan karya terbaik. Sebab itu, teguran dan masukan yang membangun akan kami
nantikan untuk keutuhan tugas ini. Atas atensi dan apresiasi yang dialokasikan untuk membuat
tugas kerja ini saya lontarkan terimakasih.

Serang, 13 Februari 2023

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN .............................................................................................

a. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1


b. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
c. Tujuan .............................................................................................................. 1

BAB II: PEMBAHASAN ..............................................................................................

A. Pengertian Fiqh Jinayah ................................................................................. 2


B. Objek Pembahasan Fiqh Jinayah ................................................................... 3
C. Kaidah-Kaidah Fiqh Jinayah.......................................................................... 5

BAB III: PENUTUP ......................................................................................................

a. Kesimpulan .................................................................................................... 11
b. Saran .............................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah

Hukum islam merupakan hukum yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan hamba-
hamba-Nya di dunia maupun akhirat 1. Hukum islam berpedoman utama pada Al-Qur’an dan
Sunnahnya yang mana di dalamnya mengandung nilai-nilai kehidupan manusia, perintah dan
larangan, serta kebiasaan-kebiasaan manusia. Terdapat suatu disiplin ilmu yang membahas
tentang hukum-hukum syara’ yang sifatnya praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang
terperinci, disebut juga sebagai ilmu fiqh. Cabang umum ilmu fiqh salah satunya yakni jinayah.
Fiqh jinayah merupakan hukum islam yang membahas tentang perilaku yang dilarang syari’at
beserta hukuman yang akan didapat jika seseorang melakukannya, dengan kata lain, fiqh
jinayah membahas tentang hukum islam yang berfokus pada bidang kriminalitas. Pada makalah
ini, kami akan membahas tentang pengetahuan umum fiqh jinayah yang mencakup pengertian,
objek kajian, serta kaidah-kaidahnya.

b. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud fiqh jinayah?
2. Apa saja objek pembahasan pada fiqh jinayah?
3. Kaidah-kaidah apa yang terkandung dalam fiqh jinayah?
c. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fiqh jinayah
2. Untuk mengetahui objek pembahasan di dalam fiqh jinayah
3. Untuk mengetahui kaidah yang terkandung dalam fiqh jinayah

1
Muhammad Ichsan, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Laboratorium Hukum FH UMY, 2015, hlm. 2

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh Jinayah

Kata Fiqh Jinayah (‫ )فقه اجلناية‬berasal dari dua suku kata yakni fiqh dan jinayah. Fiqh
(Faqiha-Yafqahu-Faqihan) memiliki arti faham, mengetahui, memahami. Sedangkan jinayah
merupakan bentuk Masdar dari kata Jana yang berarti berbuat dosa atau salah, jadi jinayah
diartikan sebagai perbuatan dosa atau perbuatan salah. 2 Dengan demikian, fiqh jinayah
merupakan sebuah disiplin ilmu khusus yang membahas tentang perbuatan dosa. Secara
terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian antara lain sebagaimana yang
diungkapkan oleh Abdul Qadir ‘Audah bahwa Jinayah adalah,3

‫اسم لفعل محرم شرعا سواء وقع الفعل على نفس أومال أو غيرذالك‬

Artinya: Nama untuk perbuatan haram secara syar’i, baik terjadi pada jiwa, harta dan
sebagainya.

Pengertian yang sama dikemukakan Sayyid Sabiq bahwa kata jinayah menurut syariat
Islam ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat melakukannya. Perbuatan yang
dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus dihindari, karena perbuatan
ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan
harta benda.4

Dengan demikian jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena
dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, akal, keturunan dan lainnya Sebagian Ahli fikih
menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan,
seperti membunuh, melukai, menggugurkan kandungan (aborsi) dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.5

Jinayah secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:

1. Jinayat terhadap jiwa yaitu pelanggaran terhadap sesorang dengan


menghilangkan nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.

2
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam): Memahami Tindak Pidana Dalam Hukum Islam,
Palembang: Rafah Press, 2020, hlm. 53.
3
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Mataram: Sanabil, 2020, hlm. 3.
4
Marsaid, Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam): Memahami Tindak Pidana Dalam Hukum Islam,
Palembang: Rafah Press, 2020, hlm. 54.
5
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Mataram: Sanabil, 2020, hlm. 3.

2
2. Jinayah terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan
merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya baik
sengaja maupun tidak sengaja. 6

Para puqaha menyatakan bahwa lafal jinayah sama artinya dengan jarimah. Pengertian
jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta benda, atau lain-lainya. Adapun pengertian jarimah adalah laranganlarangan Syara’ (yang
apabila dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.7 Jarimah biasa dipakai
sebagai perbuatan dosa -bentuk, macam, atau sifat- dari perbuatan dosa tersebut, misalnya,
pencurian, pembunuhan, perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan
sebagainya. Semua itu disebut dengan istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan
satuan atau sifat perbuatan tadi. Oleh karena itu, kita menggunakan istilah jarimah pencurian,
jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan, dan jarimah politik dan bukan istilah jinayah
pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah perkosaan dan jinayah politik. 8

Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu
ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak
ditujukan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqh yang memuat
masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang
diancamkan kepada pelaku perbuatan disebut Fiqh Jinayah dan bukan istilah Fiqh Jarimah. 9

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua istilah tersebut adalah bahwa kedua istilah
tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya secara etimologis, kedua istilah tersebut
bermakna tunggal, mempunyai arti yang sama serta ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi
negatif salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan,
serta dalam rangkaian apa kedua kata itu digunakan. 10

B. Objek Pembahasan Fiqh Jinayah

Objek utama pembahasan fiqh jinayah jika dikaitkan dengan Al-Arkan Al-Jarimah (tindak
pidana) maka dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni, 11

6
Asadulloh Al-Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 45
7
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) Cet.I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 14.
8
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Mataram: Sanabil, 2020, hlm, 7.
9
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Mataram: Sanabil, 2020, hlm. 8.
10
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Mataram: Sanabil, 2020, hlm. 8-9.
11
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-Uqubah fi Fiqh Al-Islami Al-Jarimah, Al-Qahirah: Daar Al-Fikr Al-
Arabi, 1998, hlm. 393-395.

3
1. Al-Rukun Al-Syar’I atau unsur formil, adalah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas
melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
2. Al-Rukun Al-Madi atau unsur materiil, adalah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah
jarimah baik yang bersifat positif (aktif) maupun negative (pasif).
3. Al-Rukun Al-Adabi atau unsur moriil, adalah unsur yang menyatakan bahwa seseorang
dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur, atau sedang dibawah
ancaman.

Jika ditinjau dari segi ringan dan beratnya hukuman, maka kajian fiqh jinayah meliputi tiga
masalah pokok, yakni,

1. Jarimah Qishash dan Diyat, yang meliputi jarimah pembunuhan dan jarimah
penganiayaan. Jarimah qishash dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman qishash atau diyat. Baik qishash maupun diyat keduanya adalah hukuman
yang sudah ditentukan oleh syara'. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa
had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diyat adalah hak
manusia (individu). Dalam hubungannya dengan hukuman qishash dan diyat maka
pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau
dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
2. Jarimah Hudud, yang meliputi jarimah zina, jarimah qadzf, jarimah syurb al-khamr,
jarimah al-baghyu, jarimah al-riddah, jarimah al-sariqah, jarimah al-hirabah.12 Jarimah
hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had, Pengertian hukuman had
adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara' dan menjadi hak Allah (hak
masyarakat). ciri khas jarimah hudud itu sebagai berikut.
a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukumannya telah ditentukan
oleh syara' dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia
di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih menonjol.
Pengertian hak Allah sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut sebagai berikut:
hak Allah adalah sekitar yang bersangkut dengan kepentingan umum dan kemaslahatan
bersama, tidak tertentu mengenai orang seorang. Demikian hak Allah, sedangkan Allah

12
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-Uqubah fi Fiqh Al-Islami Al-Jarimah, Al-Qahirah: Daar Al-Fikr Al-
Arabi, 1998, hlm. 137.

4
tidak mengharapkan apa-apa melainkan semata- mata untuk membesar hak itu di mata
manusia dan menyatakan kepentingannya terhadap masyarakat. Dengan kata lain, hak
Allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada masyarakat dan tidak tertentu
bagi seseorang. Dalam hubungannya dengan hukuman had maka pengertian hak Allah
di sini adalah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (orang
yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh
negara.
3. Jarimah Ta’zir, yaitu semua jenis tindak pidana yang tidak secara tegas diatur dalam
Al-Qur’an dan Hadits, aturan teknis, jenis, atau pelaksanaannya ditentukan oleh
penguasa setempat. Bentuk jarimah sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan.13
C. Kaidah-Kaidah Fiqh Jinayah

Di antara kaidah-kaidah khusus fiqh jinayah yang penting antara lain :

1.

‫ال جر يمة و ال عقو بة بالىنص‬

“ Tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)”14

Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak
pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai
tindak pidana dan diberi sanksinya baik oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Hal ini berlaku
sejak Nabi pindah ke Madinah yaitu sekitar 14 abad abad yang lalu atau pada abad ke-7 M.

Semakna dengan kaidah di atas adalah :

‫ال حكم أل فعال العقال ء قبل ورود النص‬

“Tidak ada hukuman bagi orang berakal sebelum datangnya nash”

2.
‫إ د رء وا الحدو د با لشبها ت‬
“Hindari hukuman had karena ada syubhat”

13
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-Uqubah fi Fiqh Al-Islami Al-Jarimah, Al-Qahirah: Daar Al-Fikr Al-
Arabi, 1998, hlm. 89.
14
‘Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, cet. III, (Mesir:
Maktabah al-‘Urubah, 1963 M), hlm. 118.

5
Atau dengan ungkapan lain :

‫الحد وو تسقط (تدرأ) با لشبها ت‬


“Sanksi had gugur (tertolak) karena adanya syubhat”15

Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu : pertama,
syubhat yang berhubungan dengan pelaku (al-fa’il) yang disebabkan oleh salah sangkaan si
pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang dikira harta miliknya. Kedua, syubhat karena
perbedaan pendapat para ulama (fi al-jihah) seperti Imam Malik membolehkan nikah tanpa
saksi tapi harus ada wali. Imam Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada
saksi. Ketiga, syubhat karena tempat (fi al-mahal) seperti me-wathi istri yang sedang haidl.16

Untuk menghindari kesyubhatan sebagaimana tersebut di atas, maka penggunaan qiyas


tidak diperkenankan dalam hudud. Seperti kaidah berikut :

‫ال يجو ز إثبا ت الحدود من طريق القياس وإنما طر يق إثبا تها التو قيف‬

“Tidak boleh penetapan jarimah (tindak pidana) hudud dengan cara analogi,
penetapannya harus dengan nash”17

Menurut kaidah ini, tidak boleh menyamakan tindak pidana homoseksual atau lesbian
dengan zina, meskipun keduanya diharamkan oleh hukum Islam.

3.
‫كل من غصب شيىئا لز مه رده أو رد قيمته‬

“Barangsiapa yang merampas (ghasab) sesuatu, dia harus mengembalikannya atau


mengembalikan senilai harganya” 18

15
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al- Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, cet. I,
(Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1339H/1979) hlm. 136.
16
‘Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, cet. III, (Mesir:
Maktabah al-‘Urubah, 1963 M), hlm. 212.
17
Asyumuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet. I, hlm. 103.
18
Al-Subki, Imam Tajjudin ‘Abd a;-Wahab, al-Asybah wa al-Nazhair, cet. I, (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1414 H/1991 M), hlm. 320.

6
Yang dimaksud dengan ghasab adalah mengambil dan menguasai hak orang lain
dengan maksud jahat. Maka orang tersebut harus mengembalikan hak orang lain yang
dirampasnya atau mengganti dengan harganya.

4.
‫التعز ير يدور مع المصلحة‬
“Sanksi ta’zir (berat ringannya) bergantung kepada kemaslahatan”19
Seperti diketahui bahwa sanksi ta’zir berkaitan dengan tindak pidana ta’zir. Tindak
pidana ta’zir ada 3 macam, yaitu : pertama, tindak pidana hudud atau qisas yang dikukuhkan
oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis tetapi tidak memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman had atau
qisas, seperti percobaan pencurian, perampokan, perzinaan atau pembuhan. Kedua, kejahatan-
kejahatan yang dikukuhkan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis tetapi tidak disebutkan sanksinya.
Sanksinya diserahkan kepada pemerintah (ulil amri), seperti penipuan, saksi palsu, perjudian,
penghinaan, dan lain sebagainya. Ketiga, kejahatan-kejahatan yang ditentukan oleh pemerintah
demi untuk kemaslahatan rakyatnya, seperti aturan lalu lintas, perlindungan hutan, dan lain
sebagainya. Sanksi ta’zir yang terberat adalah hukuman mati, sedangkan yang teringan adalah
berupa peringatan.

5.
‫التعز ير إلى اإلمام على قدر عظم الجرم و صغره‬
“Berat ringannya sanksi ta’zir diserahkan kepada Imam (hakim) sesuai dengan besar
kecilnya kejahatan yang dilakukan”
Kaidah ini memberi kewenangan kepada hakim dalam menjatuhkan berat ringannya
hukuman. Sudah barang tentu juga harus dipertimbangkan daya preventif dan represif (al-radd’
wa al-jazr) dari hukuman tersebut serta dipertimbangkan pula daya edukatif dan rehabilitatif
bagi yang bersangkutan.

6.
‫العبرة في الحدود بحال وجو دها ال حال إستفائها‬
“Yang dijadikan pegangan dalam menentukan tindak pidana hudud adalah pada waktu
untuk dilakukannya tindak pidana tersebut bukan pada waktu sempurnanya tindak pidana
tersebut”20

19
‘Abd al-Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’at al Islam, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1969), hlm. 55.
20
Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islami, cet. I, (Beirut: Dar al-Qalam, tt), hlm. 270.

7
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang melakukan kejahatan, maka yang dinilai
kejahatannya adalah pada waktu dilakukannya, bukan sesudah sempurna diproses
kejahatannya atau sesudah diproses di pengadilan. Contohnya : seorang mencuri, kemudian
tertangkap tangan. Harta yang dicuri pada waktu tertangkap tangan belum sampai kepada
nisab, maka dia tidak akan terkena sanksi potong tangan. Meskipun hartanya bertambah setelah
pencurian sehingga sampai kepada nisab, si pencuri hanya kena sanksi ta’zir.

7.
‫يضا ف الفعل إلى الفاعل ال االمر ما لم يكن مجبرا‬
“Suatu perbuatan itu dipertanggungjawabkan oleh pelaku bukan kepada yang
memerintahkan selama perintahnya tidak bersifat paksaan”
Kaidah di atas dalam kasus pidana termasuk dalam turut berbuat tidak langsung. Dalam
kasus tersebut, pelaku yang langsung harus bertanggung jawab apabila perintah itu tidak
bersifat paksaan.

8.
‫جنا ية العجماء جبار‬

“Tindakan jahat binatang tidak dikenai sanksi”

Kaidah ini lebih tegas lagi dalam hadis Nabi :

‫العجماء جر حها جبار‬

“Pelukaan karena binatang tidak ada sanksinya” (HR. Bukhari Muslim dari Abu
Hurairah)

Dalam hukum Islam, yang dapat dikenai sanksi hanyalah manusia, karena dialah subjek
hukum. Binatang adalah benda. Adapun pemilik binatang yang binatangnya melukai orang lain
atau bahkan membunuh orang lain, harus dilihat kasus per kasus.

9.
‫إقامة الحدود ورفع التنازع في الحقوق يختص با لحكام‬

8
“Melaksanakan sanksi hudud (pidana) dan menyelesaikan persengketaan tentang hak
(perdata), diserahkan kepada pemerintah (pengadilan)”21

Maksud kaidah ini adalah tidak bisa seseorang yang tidak memiliki kekuasaan untuk
melaksanakan hudud atau menyelesaikan pertengkaran, kecuali melalui petugas khusus dari
penguasa.

10.

‫ال ر جعية في التشريع الجنائى‬

“Aturan pidana itu tidak berlaku surut”22

Kaidah ini akibat dari kaidah No. 1; jadi karena tidak ada tindak pidana dan tidak ada
hukuman sebelum adanya nash, maka baru ada tindak pidana dan hukumannya setelah adanya
aturan. Oleh karena itu, hukum pidana itu tidak berlaku surut. Meskipun demikian, di kalangan
ulama ada yang berpendapat bahwa untuk kejahatan yang benar-benar berbahaya bagi
masyarakat dan keamanan, maka aturan pidana boleh berlaku surut, seperti dalam perampokan.
Selain itu, aturan pidana dapat berlaku surut jika aturan itu menguntungkan bagi si pelaku.

11.

‫عمد الصبي خطاء‬

“Kesengajaan anak kecil dianggap sebagai kesalahan”23

Oleh karena itu, anak kecil atau orang yang belum dewasa apabila melakukan kejahatn,
tidak boleh dijatuhin hukuman had, tetapi boleh diberi hukuman ta’zir, yang bersifat mendidik,
karena kesengajaan anak kecil dianggap sebagai kesalahan.

12.

‫ال يجوز ألحد أن يأ خذ مال أحد بال سبب شرعي‬

21
Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1420 H/2000 M), cet. V, hlm. 202.
22
‘Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, cet. III, (Mesir:
Maktabah al-‘Urubah, 1963 M), hlm. 262.
23
‘Abd al-Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, hlm. 137.

9
“Tidak boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan oleh
syariah”

Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syariah adalah pencurian atau
perampasan harta yang ada sanksinya. Tetapi jika dibenarkan oleh syariah maka dibolehkan.

13.

‫كل جان جنايته عليه‬

“Setiap pelaku kejahatan maka (tanggung jawab) kejahatan itu kembali kepada dirinya
sendiri”24

Kaidah ini berhubungan dengan sanksi pidana itu bersifat individual. Artinya, hanya
pelaku kejahatan itu sajalah yang kena sanksi, bukan keluarganya atau yang lainnya.

24
Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1420 H/2000 M), cet. V, hlm. 124.

10
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Pengertian fiqh jinayah menurut Sayyid Sabiq, bahwa kata jinayah menurut syariat Islam
ialah segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat melakukannya. Perbuatan yang
dilarang ialah setiap perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus dihindari, karena
perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga
diri, dan harta benda. Objek utama pembahasan pada fiqh jinayah dibagi menjadi tiga bagian
yakni;

1. Al-Rukun Al-Syar’i
2. Al-Rukun Al-Madi
3. Al-Rukun Al-Adabi

Adapun objek pembahasan fiqh jinayah jika ditinjau dari segi ringan dan beratnya hukuman
terbagi menjadi tiga, yakni;

1. Qishash dan Diyat


2. Hudud
3. Ta’zir

Kaidah-kaidah yang terdapat dalam fiqh jinayah antara lain;

1. Adanya Nash
2. Adanya tindakan yang melawan hukum sehingga membentuk jarimah tersebut
3. Pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya

b. Saran

Sebagai manusia haruslah memiliki nilai perikemanusiaan terhadap manusia lainnya.


Janganlah berbuat dosa, karena bukan hanya dihukum di dunia, namun juga di akhirat kelak.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruk, A. (2009). Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Bogor: Ghalia Indonesia.
DR. H. Marsaid, M. (2020). Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam): Memahami Tindak
Pidana Dalam Hukum Islam. Palembang: Rafah Press.
Dr. Khairul Hamim, M. (2020). FIKIH JINAYAH. Mataram: Sanabil Creative.
Dr. Rokhmadi, M. (2015). Hukum Pidana Islam. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Ichsan, M. (2015). Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Laboratorium Hukum FH UMY.

iii

Anda mungkin juga menyukai