Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Dosen Pengampu : Hj. Sri Hidayanti, LC.MA
Disusun oleh :
Puji syukur kepada Allah Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami dalam mengarungi proses
penyelesaianmakalah ini sebagaimana mestinya.
Dalam penyusunan makalah ini yang berjudul “Fiqih Jinayat” tidak terlepas
bantuan dari para pihak, baik berupa sarana maupun konstribusi pemikiran. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya penyusun menyampaikan ucapan terimakasih kepada
pihak yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
1. 1. Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1. 2. Rumusan Masalah...........................................................................................2
1. 3. Tujuan Penulisan.............................................................................................2
1. 4. Manfaat Penulisan...........................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
2.1. Pengertian Fikih Jinayat..............................................................................3
2.2. Sumber – Sumber Fikih Jinayat..................................................................3
2.3. Jarimah Sariqah dan Hirabah......................................................................7
2.4. Jarimah Syurbul Khamr..............................................................................9
2.5. Jarimah Zina dan Qazaf.............................................................................10
2.6. Jarimah Pemberontakan (Baghyu)............................................................13
2.7. Had, Qishas, Diyat dan Ta’zir...................................................................14
BAB III........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Jiwa manusia dan darahnya adalah perkara yang sangat dijaga dalam syari‟at
Islam. Demikian juga kegunaan dan fungsi anggota tubuh pun tak lepas dari penjagaan
syari‟at. Semua ini untuk kemaslahatan manusia dan kelangsungan hidup mereka,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
“Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah/2:179)”
Hal ini nampak jelas dengan larangan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pembunuhan, dalam banyak ayat dan hadits
nabawi. Ayat-ayat al-Qur`ân itu di antaranya adalah: Firman Allah Azza wa Jalla :
1
b) Dari Abu Sa‟id al-Khudri Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah RA, dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda:“Andaikata segenap penghuni langit dan
penghuni bumi bersekongkol menumpahkan darah seorang Mukmin, maka
niscaya Allah akan menjebloskan mereka ke dalam api neraka.”
Demikian juga kaum Muslimin berijmâ‟ atas hal ini. Oleh karena itu, syari‟at
Islam memberikan hukuman dan balasan terhadap para pelaku pembunuhan dan
penganiayaan terhadap tubuh manusia yang dikenal dengan fikih Jinâyât.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kamus al-Munjid Jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.
1
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana.
Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian antara lain
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Qadir ‘Audah bahwa Jinayah adalah
“nama untuk perbuatan haram secara syar’i, baik terjadi pada jiwa, harta dan
sebagainya”.
Dengan demikian jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’
karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, akal, keturunaan dan lainnya.
Sebagian Ahli fikih menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan
dengan jiwa atau anggota badan, seperi membunuh, melukai, menggugurkan
kandungan (aborsi) dan lain sebagainya. Oleh karena itu, istilah fikih jinayah sama
dengan hukum pidana.
Berpijak pada uraian tentang fiqh dan tentang jinayah di atas, pengertian fiqh
jinayah dapat dirumuskan sebagai ilmu yang membahas hukum-hukum syar’i yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman (uqubah)
di dunia.
Hukum pidana Islam (jinayah) adalah bagian dari hukum Islam. Karena hukum
pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam, maka dengan sendirinya hukum
pidana Islam harus berpijak pada sumber hukum dari sumber hukum Islam berupa
Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Hukum-hukum yang diambil dari sumber-
sumber tersebut wajib diikuti. Urutan penyebutan menunjukkan urutan
kedudukannya. Yakni Al-Qur’an menjadi sumber yang pertama sebagai rujukan suatu
1
Luwis Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut: Dar al-Fikr,1954), hlm.88.
3
peristiwa. Apabila tidak terdapat hukum suatu peristiwa dalam al-Qur’an, maka dicari
dalam Sunnah, kalau tidak terdapat dalam Sunnah dicari dalam Ijma’, dan jika tidak
ditemui dalam Ijma’ maka di cari dalam Qiyas.2
1. Al-Quran
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
Maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Sedangkan balasan di akhirat adalah api neraka, kutuk, tuhan, dan laknatnya,
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 93:
2
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 25.
4
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Perbuatan-perbuatan yang lain dapat pula kita jumpai pada ayat-ayat Al-Qur’an
dengan kedua macam hukuman tersebut seperti tindak pidana pembegalan(Q.s. al-
Ma’idah, 33), Pencurian (Q.s. al-Ma’idah, 38), memakan harta anak yatim (Q.s. al-
Nisa’: 2 dan 10), memakan harta riba (Q.s. al-Baqarah: 275), murtad (Q.s. al-
Baqarah: 217).
Kedua macam hukuman tersebut buakan diadakan tanpa tujuan, tetapi memang
sejalan dengan logika Syari’at Islam yaitu kehidupan di dunia merupakan alam
percobaan dan bersifat sementara sedangkan akhirat merupakan tempat keabadian
dan balasan. Oleh sebab itu manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan di dunia dan diberikan balasannya di akhirat.
2. As-sunnah
Sunnah ialah apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW berupa kata-kata atau
perbuatan atau pengakuan. Kata-kata, perbuatan dan pengakuan (taqrir) Rasul yang
dimaksudkan sebagai peristiwa hukum dan diriwayatkan dengan sahih mengikat bagi
kaum muslimin dan wajib dilaksanakan. Ketentuan sunnah yang demikian itu
didasarkan atas ketentuan al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hasyr
ayat 7:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Amat keras hukumannya.”
5
sebagai kekhususan baginya yang tidak boleh ditiru oleh orang lain seperti masuk
kota Mekah tanpa ihram. Peristiwa Khusus ini tidak menjadi hukum Islam. Ketiga,
peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW berdasarkan atas pengalaman-
pengalaman beliau dalam kehidupan sosial seperti perdagangan, bercocok tanam,
militer dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa ini juga tidak menjadi sumber hukum.
Akan tetapi kata-kata dan perbuatan-perbuatan yang keluar dari Rasulullah saw
dengan maksud untuk memberi petunjuk dan tuntunan, maka peristiwa tersebut
merupakan sumber hukum yang harus dikuti, seperti kata-kata nabi : “Shalatlah
kamu seperti yang kamu lihat aku sedang shalat”.
3. Ijma’
Sumber hukum Islam (baca: hukum pidana Islam) setelah al-Qur’an dan al-
Sunnah adalah Ijma’. Ijma’ adalah: “Kesepakatan ulama mujtahid dari umat Islam
tentang hukum syara’ dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad”.
Adapun dasar kehujjahan ijma’ adalah sebagai berikut: Pertama, firman Allah dalam
QS. An-Nisa’ 115: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali.”
Kedua, banyak sunnah yang menunjukkan bahwa umat ini dijaga dari salah
ketika mereka bersepakat dalam suatu urusan. Ketiga, kesepakatan mujtahid pasti
mempunyai pijakan dalil syara’ karena dalam berijtihad mereka bukan berdasarkan
hawa nafsu, tapi sesuai dengan metode resmi, pedoman tertentu, dan cara yang
dibatasi yang menjaga mereka dari keinginan hawa nafsu.
4. Qiyas
6
karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat kesamaan illat (motivasi hukum).
Penggunaan Qiyas dapat dibenarkan dan dibolehkan mengingat qiyas menjadi salah
satu ara dalam berijtihad, selain itu qiyas bukan berarti menggunakan akal secara
bebas tanpa aturan yang jelas, akan tetapi qiyas memiliki sandaran dari nash karena
adanya persamaan illat dari suatu peristiwa hukum.
Jarimah Sariqah
Pencurian yang diancam dengan hukuman (hadd) dibedakan atas dua bagian,
yaitu pencurian ringan dan pencurian berat. Pencurian ringan adalah mengambil
harta milik orang lain secara diam-diam (sembunyi-sembunyi), dan pencurian berat
adalah mengambil harta milik orang lain secara kekerasan.
Dari definisi yang telah ditawarkan ‘Audah di atas, yaitu mengambil harta milik
orang lain secara diam-diam (sembunyi-sembunyi), maka bagi orang yang korupsi
atau koruptor dan pembajak tidak termasuk dalam kategori pencuri yang dapat
dihukumi hadd as-sirqah (pencurian), yaitu potong tangan.
Bentuk-bentuk hukuman bagi pencuri atau alternatifnya, yaitu :
Jarimah Haribah
Hirābah disebut juga perampokan di jalan atau pencurian besar. Oleh karena
itu, para ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikan hirābah. Menurut pendapat
Hanāfiyah bahwa hirābah adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan
kekerasan yang pada kenyataannya untuk menakut-nakuti orang yang lewat di jalan
atau mengambil harta, atau membunuh orang.
7
Bentuk-bentuk jarmah hirābah dan hukumannya ada 4 (empat) macam, yaitu:
Minum minuman keras adalah minuman yang bisa membuat mabuk, apapun
asalnya. Imam Malik, Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad seperti dikutip H.A. Djazuli,
berpendapat bahwa yang dimaksud khamr adalah minuman yang memabukkan, baik
3
‘Audah, ‘Abd al-Qādir, 2011, At-Tasyrī‘al-Islāmī, Jilid II, op cit, hlm. 532- 538.
8
disebut khamr atau dengan nama lain. Adapun Abu Hanifah membedakan antara
khamr dan mabuk. Khamr diharamkan meminumnya, baik sedikit maupun banyak,
dan keharamannya terletak pada dzatnya. Minuman lain yang bukan khamr tetapi
memabukkan, keharamannya tidak terletak pada minuman itu sendiri (dzatnya),
tetapi pada minuman terakhir yang menyebabkan mabuk. Jadi, menurut Abu
Hanifah, minum minuman memabukkan selain khamr, sebelum minum terakhir tidak
diharamkan.4
a. Asy-Syurbu (meminum)
b. Ada Niat yang Melawan Hukum
Para ulama sepakat bahwa para konsumen khamr ditetapkan sanksi hokum
had, yaitu hukum dera sesuai dengan berat ringannya tindak pelanggaran yang
dilakukan oleh seseorang. Terhadap pelaku pidana yang mengonsumsi minuman
memabukkan dan/ obat-obatan yang membahayakan, sampai batas yang membuat
gangguan kesadaran (teler), menurut pendapat Hanafi dan Maliki akan dijatuhkan
hukumancambuk sebanyak 80 kali. Menurut syafi‟i hukumannya hanya 40 kali.
Namun ada riwayat yang menegaskan bahwa jika pemakai setelah dikenai sanksi
hukum masih dan terus melakukan beberapa kali (empat kali) hukumannya adalah
hukuman mati.
Sanksi tersebut dikenakan kepada para pemakai yang telah mencapai usia
dewasa dan berakal sehat, bukan atas keterpaksaan, dan mengetahui kalau benda
yang dikonsumsinya itu memabukkan. Dalam islam selain ditetapkan hukumnya
minuman keras (khamr) juga ditetapkan hukumannya terhadap seseorang yang
mengonsumsinya.
4
Rahmat Haklim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 95
9
b. Sanksi Hukum dari Aspek Peraturan Perundang-undangan
Jarimah Zina
10
Hukuman/ sanksi bagi pezina ditetapkan dalam Al-Quran. Dasar dan ketentuan
sanksi bagi pelaku perzinahan dinyatakan dengan jelas dalam al-Qur’an Surah al-Nur
ayat 2 yang berbunyi: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belaskasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Hadis di atas menyatakan bahwa jalan yang dijanjikan Allah dalam al-Qur’an
terhadap pezina, adalah seratus kali cambukan, pengusiran selama satu tahun kepada
pezina yang bikir (perawan) dan rajam terhadap pezina muhsan (sudah menikah).
Dan apabila terdapat pelaku zina yang pernah kawin baik laki-laki maupun
perempuan bial terbukti nyata dan atau dia telah hamil atau pengakuannya sendiri,
maka dikenakan hukuman rajam.7
Jarimah Qazaf
Pengertian qazaf yang diancam dengan hukuman had adalah: “Menuduh orang
yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang
menghilangkan nasabnya”.
7
Kahiril Hamim, Fiqih Jinayah, (Sanabil : Mataram, 2020) hal. 119-144
11
Sedangkan arti qazaf yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah : “Menuduh
dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang
yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan”.
Jadi, Qazaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang
lain dengan tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas) atau
secara dilalah (tidak jelas)
Hukuman untuk jarimah qazaf ada dua macam, yaitu hukuman pokok dan
hukuman tambahan:8
1. Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali.
Hukuman ini adalah hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’,
sehingga ulil amri tidak punya hak untuk memberikan pengampunan.
Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama’ berbeda pendapat. Menurut
madzhab Syafi’i orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan,
karena hak manusia lebih dominan daripada hak Allah. Sedangkan menurut
madzhab Hanafi korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di
dalam jarimah qazaf hak Allah lebih dominan daripada hak manusia.
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya dan dianggap
orang yang fasik.
8
Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.
146.
12
Dalam menentukan sanksi terhadap para pelaku pember ulama figh membagi
jarimah pemberontak itu menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut.
1. Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak menguasai
daerah tertentu sebagai basis mereka, pemerintah boleh memenjarakan mereka
sampai mereka bertaubat.
2. Para pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan senjata,
pemerintah harus melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk Surah Al-Hujurât
(49) ayat 9. Pemerintah harus mengimbau mereka untuk mematuhi segala
peraturan yang berlaku. Apabila usaha ini disambut dengan gerakan senjata,
pemerintah boleh memerangi mereka. Di samping Surah Al-Hujurât (49) ayat 9,
langkah tegas pemerintah ini juga didasarkan atas firman Allah berikut.
فَ َم ِن ا ْعتَدَى َعلَ ْي ُك ْم فَا ْعتَدُوا َعلَ ْي ِه بِ ِم ْث ِل َما َأ ْعتَدَى َعلَ ْي ُك ْم
Atas dasar ayat ini, para pemberontak dijatuhi sanksi sama dengan sikap
mereka dalam melakukan jarimah. Tentang sanksi pidana pemberontak ini, juga
disebutkan dalam hadis sebagai berikut.
13
Dari Marwan bin Al-Hakam, ia berkata, "Pada waktu terjadi Perang Jamal,
terdengar suatu teriakan kepada Ali, Janganlah sekali-kali seseorang membunuh
orang yang sudah mundur dan jangan bertekad menghabisi nyawa seseorang yang
telah terluka. Barangsiapa yang telah menutup pintunya maka ia aman dan
barangsiapa yang melemparkan pedangnya maka ia aman."" (HR. Sa'id bin
Mansur)
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk menjatuhkan sanksi bagi
pelaku jarimah al-baghyu ini harus dilakukan secara hati-hati dan tidak boleh
gegabah. Sebab bagaimanapun yang dihadapi oleh pemerintah itu bukan musuh yang
harus dibunuh, melainkan sedang berhadapan dengan pihak yang kecewa terhadap
kebijakan yang selama ini telah dijalankan. Selain itu, sangat mungkin pemberontak
itu juga beragama Islam, sama dengan pemerintah yang mau enghukumnya. Oleh
sebab itu, dalam menjatuhkan sanksi betul-betul harus dicermati dengan baik.9
Had
Arti hudud secara teminologis yaitu hukuman yang telah ditentukan sebagai hak
Allah SWT, dimana hukuman tersebut telah dibatasi, ditentukan, seta tidak dapat
digugurkan baik oleh individu, maupun kelompok. Berdasarkan pengertian hudud di
atas, difahami bahwa had merupakan ketentuan hukum yang batasannya tercantum
dalam nash (al-Qur’an dan Hadits).
Batasan ini melitputi kisaran perbuatan pidana, kisaran hukuman, serta tata
pelaksanaan hukuman bagi pelaku pidana dalam islam.
Berdasarkan penjelasan di atas, jika kita tarik sebuah definisi, maka Had yaitu
tindak pidana yang sanksinya telah ditentutakan dalam syariat. Al-Qur’an atau Hadits
telah menerangkan bagaimana batasan-batasan hukumannya, serta mekanisme
pelaksanaan sanksi kepada pelaku.
9
Nurul Irfan, Fiqih Jinayah (AMZAH : Jakarta, 2013), hal. 59-72
14
Qishas
Jika pelaku membunuh, maka ia dibunuh menurut hukum. Jika pelaku melukai
korban, maka ia juga harus dilukai sesuai dengan penderitaan yang dialami korban.
Dalam qisas, hak korban / keluarga korban lebih dominan, jika mereka berkehendak
untuk memaafkan si pelaku, maka negara, dalam hal ini, harus mengikuti kehendak
korban / keluarganya.
Qisas (Qishash) dalam Islam berarti pembalasan yang sama, yaitu hukuman
setimpal yang dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan / yang melukai anggota badan
orang lain.
Qisas bukan merupakan hak Allah, melainkan hak manusia. Karenanya, qisas
tidak berlaku apabila pelaku dimaafkan oleh korban/keluarga korban. Meski
demikian, pelaku tetap dikanakan membayar ganti rugi (diyat), dalam bentuk materi,
yang diberikan kepada korban / keluarga korban sebagai tebusan.
Diyat
Diyat yaitu ganti rugi yang diberikan kepada korban / keluarganya atas
kejahatan pembunuhan atau kejahatan lainnya yang mewajibkan Qisas.
Menurut para ahli fiqih, Diyat berbeda dengan Arsy, diyat ditunaikan atas
kejahatan pembunuhan, sedang Arsy ditunaikan atas kejahatan melukai badan korban.
15
Ta’zir
Dalam ta’zir, nash Qur’an atau hadits tidak menyebutkan bagaimana ketentuan,
batasan dan mekanisme hukumannya. Negara dalam hal ini diberi ruang untuk
menentukan dan menetapkan aturan berikut sanksinya.
Di sini, hak negara lebih dominan. Mengingat ta’zir adalah ketentuan hukum
yang sanksinya tidak ditetapkan oleh syariat, dan negara memiliki wewenang untuk
merumuskan dan menetapkan sanksinya, maka setiap warga negara haruslah patuh
terhadap hukum-hukum yang telah dirumuskan tersebut.
1. Hukuman mati
2. Hukuman cambuk
3. Hukuman penjara
4. Hukuman pengasingan
5. Hukuman denda
6. Mengubah bentuk barang
7. Peringatan10
10
Drs. Makhrus Munajat, M. Hum., Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm:
196.
16
BAB III
PENUTUP
3. 1. Kesimpulan
3. 2. Saran
Demikian isi makalah yang kami buat ini semoga bermanfaat bagi kita semua,
terutama bagi kami, adapun harapan kami para kawan-kawan dapat memberikan
masukan yang bermanfaat baik berupa kritik maupun saran, agar makalah kami
selanjutnya dapat berkembang lagi, dan dapat memberika banyak manfaat.
17
DAFTAR PUSTAKA
Rokhmadi. 2015. Hukum Pidana Islam. CV. Karya Abadi Jaya : Semarang. Hal. 73-87
Irfan, Nurul. Masyrofah. 2013. Fiqih Jinayah. AMZAH : Jakarta. Hal 59-72
18