Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“FIKIH QADHA’ DAN JINAYAT”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Dosen Pengampu : Hj. Sri Hidayanti, LC.MA

Disusun oleh :

Aulia Hafiza (101221010129)


Herwinares (101221010136)
Nurrisky Rima Maharani (101221010024)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami dalam mengarungi proses
penyelesaianmakalah ini sebagaimana mestinya.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita


Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju
alam yang terang benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan.

Dalam penyusunan makalah ini yang berjudul “Fiqih Jinayat” tidak terlepas
bantuan dari para pihak, baik berupa sarana maupun konstribusi pemikiran. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya penyusun menyampaikan ucapan terimakasih kepada
pihak yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini.

Pada akhirnya penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak


kekurangan, karena itu kritik serta saran yang membangun sangat penyusun
harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi para pembaca.

Pekanbaru, 07 April 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
1. 1. Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1. 2. Rumusan Masalah...........................................................................................2
1. 3. Tujuan Penulisan.............................................................................................2
1. 4. Manfaat Penulisan...........................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
2.1. Pengertian Fikih Jinayat..............................................................................3
2.2. Sumber – Sumber Fikih Jinayat..................................................................3
2.3. Jarimah Sariqah dan Hirabah......................................................................7
2.4. Jarimah Syurbul Khamr..............................................................................9
2.5. Jarimah Zina dan Qazaf.............................................................................10
2.6. Jarimah Pemberontakan (Baghyu)............................................................13
2.7. Had, Qishas, Diyat dan Ta’zir...................................................................14
BAB III........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang Masalah

Jiwa manusia dan darahnya adalah perkara yang sangat dijaga dalam syari‟at
Islam. Demikian juga kegunaan dan fungsi anggota tubuh pun tak lepas dari penjagaan
syari‟at. Semua ini untuk kemaslahatan manusia dan kelangsungan hidup mereka,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

“Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah/2:179)”

Hal ini nampak jelas dengan larangan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pembunuhan, dalam banyak ayat dan hadits
nabawi. Ayat-ayat al-Qur`ân itu di antaranya adalah: Firman Allah Azza wa Jalla :

“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha


Penyayang kepadamu” (QS. an-Nisâ‟/4:29)

Sedangkan dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya


adalah :

a) Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi tujuh perkara yang
membinasakan.” Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, apa saja itu?” Beliau menjawab, “(Pertama) menyekutukan Allah,
(kedua) perbuatan sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah Allah haramkan
(membunuhnya) kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan harta benda
anak yatim, (kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada waktu menyerang
musuh (desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina) perempuan-perempuan
Mukmin yang tidak tahu menahu (tentang itu).”

1
b) Dari Abu Sa‟id al-Khudri Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah RA, dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda:“Andaikata segenap penghuni langit dan
penghuni bumi bersekongkol menumpahkan darah seorang Mukmin, maka
niscaya Allah akan menjebloskan mereka ke dalam api neraka.”

Demikian juga kaum Muslimin berijmâ‟ atas hal ini. Oleh karena itu, syari‟at
Islam memberikan hukuman dan balasan terhadap para pelaku pembunuhan dan
penganiayaan terhadap tubuh manusia yang dikenal dengan fikih Jinâyât.

2.2. Rumusan Masalah

1. 2. 1. Apa yang dimaksud dengan Fikih Jinayat ?


1. 2. 2. Apa saja sumber-sumber Fikh Jinayat ?
1. 2. 3. Apa itu Jarimah Sariqah dan Hirabah ?
1. 2. 4. Apa itu Jarimah Syurbul Khamr ?
1. 2. 5. Apa itu Jarimah Zina dan Qazaf ?
1. 2. 6. Apa itu Jarimah Pemberontakan (Baghyu) ?
1. 2. 7. Apakah yang dimaksud dengan Had, Qishas, Diyat dan Ta’zir?

2.3. Tujuan Penulisan

Penulis menuliskan makalah ini bertujuan untuk memenugi tugas mata


kuliah Pendidikan Agama. Selain itu, tujuan dibuatnya makalah ini untuk
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai Fikih Jinayat agar ilmu
dalam makalah ini dapat disebarluaskan dan dipakai sebagai sumber belajar.

2.4. Manfaat Penulisan

 Bahan makalah ini bisa dimanfaatkan sebagai acuan membuat maklah


berikutnya
 Bahan makalah ini mampu memberikan pengetahuan dan wawasan bagi para
generasi muda agar bisa lebih peduli lagi dengan perbuatan-perbuatan mereka.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.5. Pengertian Fikih Jinayat

Dalam kamus al-Munjid Jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.
1
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana.
Secara terminologi kata jinayah mempunyai beberapa pengertian antara lain
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Qadir ‘Audah bahwa Jinayah adalah
“nama untuk perbuatan haram secara syar’i, baik terjadi pada jiwa, harta dan
sebagainya”.

Dengan demikian jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’
karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, akal, keturunaan dan lainnya.
Sebagian Ahli fikih menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan
dengan jiwa atau anggota badan, seperi membunuh, melukai, menggugurkan
kandungan (aborsi) dan lain sebagainya. Oleh karena itu, istilah fikih jinayah sama
dengan hukum pidana.

Berpijak pada uraian tentang fiqh dan tentang jinayah di atas, pengertian fiqh
jinayah dapat dirumuskan sebagai ilmu yang membahas hukum-hukum syar’i yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman (uqubah)
di dunia.

2.6. Sumber – Sumber Fikih Jinayat

Hukum pidana Islam (jinayah) adalah bagian dari hukum Islam. Karena hukum
pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam, maka dengan sendirinya hukum
pidana Islam harus berpijak pada sumber hukum dari sumber hukum Islam berupa
Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Hukum-hukum yang diambil dari sumber-
sumber tersebut wajib diikuti. Urutan penyebutan menunjukkan urutan
kedudukannya. Yakni Al-Qur’an menjadi sumber yang pertama sebagai rujukan suatu
1
Luwis Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut: Dar al-Fikr,1954), hlm.88.

3
peristiwa. Apabila tidak terdapat hukum suatu peristiwa dalam al-Qur’an, maka dicari
dalam Sunnah, kalau tidak terdapat dalam Sunnah dicari dalam Ijma’, dan jika tidak
ditemui dalam Ijma’ maka di cari dalam Qiyas.2

1. Al-Quran

Pada garis besarnya hukum-hukum al-Qur’an dibagi menjadi dua. Pertama,


Hukum-hukum untuk menegakkan agama, yang meliputi persoalan aqidah dan
ibadah. Kedua, hukum-hukum untuk mengatur negara dan masyarakat serta hubungan
perseorangan dengan lainnya, yang meliputi hukum keluarga, hukum pidana dan
perdata, hukum internasional dan lain sebagainya.

Hukum-hukum yang disebutkan di dalam alQuran dengan segala macamnya


diturunkan dengan tujuan supaya tercipta kebahagian dan kemaslahatan bagi manusia
itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu tiap-tiap perbuatan di
dunia mengandung konsekuensi akhirat. Dua macam akibat atau balasan tersebut
dapat kita dapati pada tiap-tiap hukum yang disebutkan Al-Quran. Misalnya dalam
pembunuhan sengaja, balasan di dunia adalah Qishash seperti diuangkapkan dalam
Surat al-Baqarah ayat 178:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
Maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Sedangkan balasan di akhirat adalah api neraka, kutuk, tuhan, dan laknatnya,
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 93:

2
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 25.

4
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

Perbuatan-perbuatan yang lain dapat pula kita jumpai pada ayat-ayat Al-Qur’an
dengan kedua macam hukuman tersebut seperti tindak pidana pembegalan(Q.s. al-
Ma’idah, 33), Pencurian (Q.s. al-Ma’idah, 38), memakan harta anak yatim (Q.s. al-
Nisa’: 2 dan 10), memakan harta riba (Q.s. al-Baqarah: 275), murtad (Q.s. al-
Baqarah: 217).

Kedua macam hukuman tersebut buakan diadakan tanpa tujuan, tetapi memang
sejalan dengan logika Syari’at Islam yaitu kehidupan di dunia merupakan alam
percobaan dan bersifat sementara sedangkan akhirat merupakan tempat keabadian
dan balasan. Oleh sebab itu manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan di dunia dan diberikan balasannya di akhirat.

2. As-sunnah

Sunnah ialah apa yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW berupa kata-kata atau
perbuatan atau pengakuan. Kata-kata, perbuatan dan pengakuan (taqrir) Rasul yang
dimaksudkan sebagai peristiwa hukum dan diriwayatkan dengan sahih mengikat bagi
kaum muslimin dan wajib dilaksanakan. Ketentuan sunnah yang demikian itu
didasarkan atas ketentuan al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hasyr
ayat 7:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Amat keras hukumannya.”

Peristiwa-peristiwa yang diperbuat oleh Rasulullah SAW dapat dibagi menjadi


beberapa macam, pertama, ada yang keluar dari Rasulullah SAW sebagai seorang
manusia biasa, seperti makan, minum, dan sebagainya. Peristiwa ini tidak menjadi
sumber hukum. Kedua, Ada juga peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW

5
sebagai kekhususan baginya yang tidak boleh ditiru oleh orang lain seperti masuk
kota Mekah tanpa ihram. Peristiwa Khusus ini tidak menjadi hukum Islam. Ketiga,
peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW berdasarkan atas pengalaman-
pengalaman beliau dalam kehidupan sosial seperti perdagangan, bercocok tanam,
militer dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa ini juga tidak menjadi sumber hukum.
Akan tetapi kata-kata dan perbuatan-perbuatan yang keluar dari Rasulullah saw
dengan maksud untuk memberi petunjuk dan tuntunan, maka peristiwa tersebut
merupakan sumber hukum yang harus dikuti, seperti kata-kata nabi : “Shalatlah
kamu seperti yang kamu lihat aku sedang shalat”.

3. Ijma’

Sumber hukum Islam (baca: hukum pidana Islam) setelah al-Qur’an dan al-
Sunnah adalah Ijma’. Ijma’ adalah: “Kesepakatan ulama mujtahid dari umat Islam
tentang hukum syara’ dalam suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad”.

Adapun dasar kehujjahan ijma’ adalah sebagai berikut: Pertama, firman Allah dalam
QS. An-Nisa’ 115: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali.”

Kedua, banyak sunnah yang menunjukkan bahwa umat ini dijaga dari salah
ketika mereka bersepakat dalam suatu urusan. Ketiga, kesepakatan mujtahid pasti
mempunyai pijakan dalil syara’ karena dalam berijtihad mereka bukan berdasarkan
hawa nafsu, tapi sesuai dengan metode resmi, pedoman tertentu, dan cara yang
dibatasi yang menjaga mereka dari keinginan hawa nafsu.

4. Qiyas

Yang dimaksud dengan Qiyas adalah mempersamakan hukum peristiwa yang


belum ada ketentuannya dengan hukum peristiwa yang sudah ada ketentuannya

6
karena antara kedua peristiwa tersebut terdapat kesamaan illat (motivasi hukum).
Penggunaan Qiyas dapat dibenarkan dan dibolehkan mengingat qiyas menjadi salah
satu ara dalam berijtihad, selain itu qiyas bukan berarti menggunakan akal secara
bebas tanpa aturan yang jelas, akan tetapi qiyas memiliki sandaran dari nash karena
adanya persamaan illat dari suatu peristiwa hukum.

2.7. Jarimah Sariqah dan Hirabah

Jarimah Sariqah

Pencurian yang diancam dengan hukuman (hadd) dibedakan atas dua bagian,
yaitu pencurian ringan dan pencurian berat. Pencurian ringan adalah mengambil
harta milik orang lain secara diam-diam (sembunyi-sembunyi), dan pencurian berat
adalah mengambil harta milik orang lain secara kekerasan.

Dari definisi yang telah ditawarkan ‘Audah di atas, yaitu mengambil harta milik
orang lain secara diam-diam (sembunyi-sembunyi), maka bagi orang yang korupsi
atau koruptor dan pembajak tidak termasuk dalam kategori pencuri yang dapat
dihukumi hadd as-sirqah (pencurian), yaitu potong tangan.
Bentuk-bentuk hukuman bagi pencuri atau alternatifnya, yaitu :

1) Pencuri wajib dipotong tangannya;


2) Sebaiknya pencuri dipotong tangannya;
3) Pencuri boleh dipotong tangannya;
4) Pencuri tidak harus dipotong tangannya hanya ditakut-takuti saja.

Jarimah Haribah

Hirābah disebut juga perampokan di jalan atau pencurian besar. Oleh karena
itu, para ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikan hirābah. Menurut pendapat
Hanāfiyah bahwa hirābah adalah keluar untuk mengambil harta dengan jalan
kekerasan yang pada kenyataannya untuk menakut-nakuti orang yang lewat di jalan
atau mengambil harta, atau membunuh orang.

7
Bentuk-bentuk jarmah hirābah dan hukumannya ada 4 (empat) macam, yaitu:

1) Menakut-nakuti orang di jalan, tanpa mengambil harta dan tanpa membunuh,


hukumannya adalah pengasingan. Menurut Abū Hanīfah dan Ahmad, tetapi
menurut asy-Syāfi’ī dan Syī’ah Zaidiyyah, hukumannya adalah ta’zīr. Arti
pengasingan adalah dipenjara, baik ditempat terjadinya perampokan, atau di
tempat lain. Lamanya pengasingan (dipenjara) tidak terbatas sampai ia betul-
betul bertaubat dan tingkah lakunya baik.
2) Mengambil harta tanpa membunuh, hukumannya adalah dipotong tangan dan
kakinya secara bersilang. Ini adalah pendapat Abū Hanīfah, Ahmad, asy-Syāfi’ī
dan Syī’ah Zaidiyah. Sedangkan menurut Mālik, hukumannya diserahkan kepada
hakim untuk memilih, asal tidak hukuman pengasingan.
3) Membunuh tanpa mengambil harta, hukumannya adalah dibunuh sebagai
hukuman hadd tanpa disalib. Ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi’ī dan
Ahmad, sedangkan Syī’ah Zaidiyah, maka hukumannya adalah dibunuh dan di
salib.
4) Mengambil harta dan membunuh orangnya, hukumannya adalah dibunuh dan
disalib, tanpa dipotong tangan dan kakinya. Ini pendapat Hanīfiyyah, asy-Syāfi’ī,
Ahmad, Syī’ah Zaidiyah. Sedangkan pendapat Abū Hanīfah, hakim boleh
memilih dari 3 alternatif;
a) Potong tangan dan kaki, lalu dibunuh atau disalib.
b) Dibunuh tanpa disalib dan dipotong tangan dan kaki.
c) Disalib baru dibunuh.3

2.8. Jarimah Syurbul Khamr

Minum minuman keras adalah minuman yang bisa membuat mabuk, apapun
asalnya. Imam Malik, Imam Syafi‟I dan Imam Ahmad seperti dikutip H.A. Djazuli,
berpendapat bahwa yang dimaksud khamr adalah minuman yang memabukkan, baik
3
‘Audah, ‘Abd al-Qādir, 2011, At-Tasyrī‘al-Islāmī, Jilid II, op cit, hlm. 532- 538.

8
disebut khamr atau dengan nama lain. Adapun Abu Hanifah membedakan antara
khamr dan mabuk. Khamr diharamkan meminumnya, baik sedikit maupun banyak,
dan keharamannya terletak pada dzatnya. Minuman lain yang bukan khamr tetapi
memabukkan, keharamannya tidak terletak pada minuman itu sendiri (dzatnya),
tetapi pada minuman terakhir yang menyebabkan mabuk. Jadi, menurut Abu
Hanifah, minum minuman memabukkan selain khamr, sebelum minum terakhir tidak
diharamkan.4

Unsur – unsur jarimah syurbul khamr, antara lain sebagai berikut.

a. Asy-Syurbu (meminum)
b. Ada Niat yang Melawan Hukum

Hukuman meminum khamr ditinjau dari dua aspek, antara lain :

a. Hukuman dari Aspek Hukum Islam

Para ulama sepakat bahwa para konsumen khamr ditetapkan sanksi hokum
had, yaitu hukum dera sesuai dengan berat ringannya tindak pelanggaran yang
dilakukan oleh seseorang. Terhadap pelaku pidana yang mengonsumsi minuman
memabukkan dan/ obat-obatan yang membahayakan, sampai batas yang membuat
gangguan kesadaran (teler), menurut pendapat Hanafi dan Maliki akan dijatuhkan
hukumancambuk sebanyak 80 kali. Menurut syafi‟i hukumannya hanya 40 kali.
Namun ada riwayat yang menegaskan bahwa jika pemakai setelah dikenai sanksi
hukum masih dan terus melakukan beberapa kali (empat kali) hukumannya adalah
hukuman mati.

Sanksi tersebut dikenakan kepada para pemakai yang telah mencapai usia
dewasa dan berakal sehat, bukan atas keterpaksaan, dan mengetahui kalau benda
yang dikonsumsinya itu memabukkan. Dalam islam selain ditetapkan hukumnya
minuman keras (khamr) juga ditetapkan hukumannya terhadap seseorang yang
mengonsumsinya.

4
Rahmat Haklim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 95

9
b. Sanksi Hukum dari Aspek Peraturan Perundang-undangan

Minuman khamr dan obat-obatan terlarang lainnya sudah menjadi masalah


nasional yang perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat.
Akhir-akhir ini minuman memabukkan dan atau obat-obat terlarng lainnya tampak
semakin marak dikonsumsi oleh orang tertentu sehingga sudah meresahkan
masyarakat dan menimbulkan gangguan kesehatan.

Untuk itu, upaya meningkatkan pengawasan pengamanan terhadap minum-


minuman memabukkan dalam masyarakta, pihak pemerintah telah mengeluarkan
peraturan Menteri Kesehatan No.86/Men.Kes/IV/1997 tentang Minuman
Memabukkan. Selain itu di dalam KUHP memberikan sanksi atas pelaku
(penggunaan khamr) hanya jika sampai mabuk dan mengganggu ketertiban umum,
yakni kurungan paling lama tiga hari hingga paling lam tiga bulan (pasal 536).
KUHP juga memberikan sanksi atas orang yang menyiapkan atau menjual khamr,
sanksi hukuman kurungan dimaksud, paling lama tiga minggu (pasal 537), apalagi
jika yang diberi minuman adalah anak dibawah umur 16 tahun (pasal 538 dan
539).5

2.9. Jarimah Zina dan Qazaf

Jarimah Zina

Dalam kitab Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid karya Imam al-


Qurtubi al-Andalusi dijelaskan bahwa zina adalah : “Zina adalah setiap
persetubuhan yang terjadi diluar pernikahan yang sah dan bukan pernikahan yang
samar dan bukan pula karena kepemilikan”. 6

M. Quraish Shihab merumuskan pengertian zina adalah persentuhan dua alat


kelamin dari jenis yang berbeda dan yang tidak terikat oleh akad nikah atau
kepemilikan, dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran).
5
Marsaid, al fiqh al jinayat, (cv. Amanah, palembang, 2020), hal. 168-170
6
Muhammad Ibn Shalih al-Uthaymin, Al-Syarhul Mumti’ Ala Zadil Mustaqni’ fikhtisharil Muqni’, Jilid 6
(Beirut: Al-Kitab al-Alami li al-Nasyr, 2005), hlm. 221

10
Hukuman/ sanksi bagi pezina ditetapkan dalam Al-Quran. Dasar dan ketentuan
sanksi bagi pelaku perzinahan dinyatakan dengan jelas dalam al-Qur’an Surah al-Nur
ayat 2 yang berbunyi: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belaskasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Sedangkan dalam hadist, diambil beberapa sebagai dasar penetapan hukuman


bagi pelaku zina, antara lain sebagai berikut.

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, “Ambillah dariku, ambillah dariku! Allah telah menjadikan bagi
mereka jalan keluar. (Apabila berzina) jejaka dengan gadis (maka haddnya)
dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun. (Apabila berzina) dua orang yang
sudah menikah (maka hadd-nya) dicambuk seratus kali dan dirajam.” (HR. Muslim).

Hadis di atas menyatakan bahwa jalan yang dijanjikan Allah dalam al-Qur’an
terhadap pezina, adalah seratus kali cambukan, pengusiran selama satu tahun kepada
pezina yang bikir (perawan) dan rajam terhadap pezina muhsan (sudah menikah).
Dan apabila terdapat pelaku zina yang pernah kawin baik laki-laki maupun
perempuan bial terbukti nyata dan atau dia telah hamil atau pengakuannya sendiri,
maka dikenakan hukuman rajam.7

Jarimah Qazaf

Pengertian qazaf yang diancam dengan hukuman had adalah: “Menuduh orang
yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan tuduhan yang
menghilangkan nasabnya”.

7
Kahiril Hamim, Fiqih Jinayah, (Sanabil : Mataram, 2020) hal. 119-144

11
Sedangkan arti qazaf yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah : “Menuduh
dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang
yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan”.

Jadi, Qazaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang
lain dengan tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas) atau
secara dilalah (tidak jelas)

Hukuman untuk jarimah qazaf ada dua macam, yaitu hukuman pokok dan
hukuman tambahan:8

1. Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali.
Hukuman ini adalah hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’,
sehingga ulil amri tidak punya hak untuk memberikan pengampunan.
Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama’ berbeda pendapat. Menurut
madzhab Syafi’i orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan,
karena hak manusia lebih dominan daripada hak Allah. Sedangkan menurut
madzhab Hanafi korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena di
dalam jarimah qazaf hak Allah lebih dominan daripada hak manusia.
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya dan dianggap
orang yang fasik.

2.10. Jarimah Pemberontakan (Baghyu)

Secara etimologis, al-baghyu berarti menuntut sesuatu. Sedangkan secara


terminologis diambil dari salah satu kalangan yakni pemberontakan ialah sikap
menolak untuk taat terhadap seseorang yang dianggap sah kepemimpinannya bukan
lantaran kemaksiatan dengan cara melakukan perlawanan, walaupun dengan
argumentasi kuat.

8
Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.
146.

12
Dalam menentukan sanksi terhadap para pelaku pember ulama figh membagi
jarimah pemberontak itu menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut.

1. Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak menguasai
daerah tertentu sebagai basis mereka, pemerintah boleh memenjarakan mereka
sampai mereka bertaubat.
2. Para pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan senjata,
pemerintah harus melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk Surah Al-Hujurât
(49) ayat 9. Pemerintah harus mengimbau mereka untuk mematuhi segala
peraturan yang berlaku. Apabila usaha ini disambut dengan gerakan senjata,
pemerintah boleh memerangi mereka. Di samping Surah Al-Hujurât (49) ayat 9,
langkah tegas pemerintah ini juga didasarkan atas firman Allah berikut.

‫فَ َم ِن ا ْعتَدَى َعلَ ْي ُك ْم فَا ْعتَدُوا َعلَ ْي ِه بِ ِم ْث ِل َما َأ ْعتَدَى َعلَ ْي ُك ْم‬

Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan


serangannya terhadapmu. (QS. Al-Baqarah (2): 194)

Atas dasar ayat ini, para pemberontak dijatuhi sanksi sama dengan sikap
mereka dalam melakukan jarimah. Tentang sanksi pidana pemberontak ini, juga
disebutkan dalam hadis sebagai berikut.

َ ِّ‫اح ٍد ي ُِري ُد َأ ْن يُفَر‬


‫ق‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل َم ْن َأتَا ُك ْم َوَأ ْم ُر ُك ْم َج ِمي ٌع َعلَى َر ُج ٍل َو‬ €ُ ‫ع َْن َعرْ فَ َجةَ قَا َل َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرسُو َل هللا‬
ُ‫َج َما َعتَ ُك ْم فَا ْقتُلُوه‬

Dari Furjah bin Suraihe, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda,


'Barangsiapa yang menyerang kalian, padahal kalian berada dalam sebuah
kesepakatan, sedangkan orang tersebut bermaksud mengacaukan persatuan kalian
maka bunuhlah ia."" (HR. Muslim)"

Sementara itu, Al-Syaukani mengutip hadis yang agak tendensius karena


berkaitan dengan Perang Jamal.

13
Dari Marwan bin Al-Hakam, ia berkata, "Pada waktu terjadi Perang Jamal,
terdengar suatu teriakan kepada Ali, Janganlah sekali-kali seseorang membunuh
orang yang sudah mundur dan jangan bertekad menghabisi nyawa seseorang yang
telah terluka. Barangsiapa yang telah menutup pintunya maka ia aman dan
barangsiapa yang melemparkan pedangnya maka ia aman."" (HR. Sa'id bin
Mansur)

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk menjatuhkan sanksi bagi
pelaku jarimah al-baghyu ini harus dilakukan secara hati-hati dan tidak boleh
gegabah. Sebab bagaimanapun yang dihadapi oleh pemerintah itu bukan musuh yang
harus dibunuh, melainkan sedang berhadapan dengan pihak yang kecewa terhadap
kebijakan yang selama ini telah dijalankan. Selain itu, sangat mungkin pemberontak
itu juga beragama Islam, sama dengan pemerintah yang mau enghukumnya. Oleh
sebab itu, dalam menjatuhkan sanksi betul-betul harus dicermati dengan baik.9

2.11. Had, Qishas, Diyat dan Ta’zir

Had

Arti hudud secara teminologis yaitu hukuman yang telah ditentukan sebagai hak
Allah SWT, dimana hukuman tersebut telah dibatasi, ditentukan, seta tidak dapat
digugurkan baik oleh individu, maupun kelompok. Berdasarkan pengertian hudud di
atas, difahami bahwa had merupakan ketentuan hukum yang batasannya tercantum
dalam nash (al-Qur’an dan Hadits).

Batasan ini melitputi kisaran perbuatan pidana, kisaran hukuman, serta tata
pelaksanaan hukuman bagi pelaku pidana dalam islam.

Berdasarkan penjelasan di atas, jika kita tarik sebuah definisi, maka Had yaitu
tindak pidana yang sanksinya telah ditentutakan dalam syariat. Al-Qur’an atau Hadits
telah menerangkan bagaimana batasan-batasan hukumannya, serta mekanisme
pelaksanaan sanksi kepada pelaku.

9
Nurul Irfan, Fiqih Jinayah (AMZAH : Jakarta, 2013), hal. 59-72

14
Qishas

Segala ketentuan, batasan, dan bahkan mekanisme penerapan hukuman Qisas


telah dibicarakan dalam nash, ada dalam Qur’an dan/atau Hadits. Hanya saja,
hukuman Qisas harus sepadan, sesuai dengan perbuatan yang dilakukan si pelaku.

Jika pelaku membunuh, maka ia dibunuh menurut hukum. Jika pelaku melukai
korban, maka ia juga harus dilukai sesuai dengan penderitaan yang dialami korban.
Dalam qisas, hak korban / keluarga korban lebih dominan, jika mereka berkehendak
untuk memaafkan si pelaku, maka negara, dalam hal ini, harus mengikuti kehendak
korban / keluarganya.

Qisas (Qishash) dalam Islam berarti pembalasan yang sama, yaitu hukuman
setimpal yang dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan / yang melukai anggota badan
orang lain.

Qisas bukan merupakan hak Allah, melainkan hak manusia. Karenanya, qisas
tidak berlaku apabila pelaku dimaafkan oleh korban/keluarga korban. Meski
demikian, pelaku tetap dikanakan membayar ganti rugi (diyat), dalam bentuk materi,
yang diberikan kepada korban / keluarga korban sebagai tebusan.

Ada dua macam Qisas, yaitu:

1. Qisas jiwa, diterapkan dalam kasus pembunuhan.


2. Qisas badan, diterapkan pada pelaku yang melukai raga korban.

Diyat

Diyat yaitu ganti rugi yang diberikan kepada korban / keluarganya atas
kejahatan pembunuhan atau kejahatan lainnya yang mewajibkan Qisas.

Menurut para ahli fiqih, Diyat berbeda dengan Arsy, diyat ditunaikan atas
kejahatan pembunuhan, sedang Arsy ditunaikan atas kejahatan melukai badan korban.

15
Ta’zir

Dalam ta’zir, nash Qur’an atau hadits tidak menyebutkan bagaimana ketentuan,
batasan dan mekanisme hukumannya. Negara dalam hal ini diberi ruang untuk
menentukan dan menetapkan aturan berikut sanksinya.

Di sini, hak negara lebih dominan. Mengingat ta’zir adalah ketentuan hukum
yang sanksinya tidak ditetapkan oleh syariat, dan negara memiliki wewenang untuk
merumuskan dan menetapkan sanksinya, maka setiap warga negara haruslah patuh
terhadap hukum-hukum yang telah dirumuskan tersebut.

Adapun macam-macam hukuman ta’zir dapat anda ketahui sebagaimana berikut:

1. Hukuman mati
2. Hukuman cambuk
3. Hukuman penjara
4. Hukuman pengasingan
5. Hukuman denda
6. Mengubah bentuk barang
7. Peringatan10

10
Drs. Makhrus Munajat, M. Hum., Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm:
196.

16
BAB III

PENUTUP

3. 1. Kesimpulan

Jinayat adalah sebuah kajian ilmu hukum Islam yang berbicara


tentangkriminalitas. Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut
jugadengan hukum pidana Islam.Jenis-jenis pembunuhan terbagi menjadi tiga,
yaitu (1) pembunuhandengan sengaja (al-‘Amd), (2) pembunuhan yang mirip
dengan sengaja (syibhul-’Amdi), (3) pembunuhan karena keliru (al- Khatha’).
Syarat-syarat qishas antara lain: Orang yang terbunuh terpeliharadarahnya;
Pembunuh sudah baligh atatu berakal; Pembunuh bukan bapak dariterbunuh;
Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yangmembunuh atau tidak
lebih rendah; Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota
badan dengan anggota badan seperti mata denganmata, telinga dengan telinga dan
sebagainya

3. 2. Saran

Demikian isi makalah yang kami buat ini semoga bermanfaat bagi kita semua,
terutama bagi kami, adapun harapan kami para kawan-kawan dapat memberikan
masukan yang bermanfaat baik berupa kritik maupun saran, agar makalah kami
selanjutnya dapat berkembang lagi, dan dapat memberika banyak manfaat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Rokhmadi. 2015. Hukum Pidana Islam. CV. Karya Abadi Jaya : Semarang. Hal. 73-87

Marsaid . 2020. Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam). CV. Amanah :


Palembang. Hal. 167-170

Hamim, Khairul. 2020. Fiqih Jinayah. Sanabil: Mataram. Hal 119-155.

Irfan, Nurul. Masyrofah. 2013. Fiqih Jinayah. AMZAH : Jakarta. Hal 59-72

Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia.Teras: Yogyakarta.. hlm:


196.

18

Anda mungkin juga menyukai