Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Pendidikan Agama Islam

Tentang:

“Syari`ah”

Dosen Pengampu:

Feri Irawan,M.PD.

Disusun oleh:

Dhea Miranda Fajrin : (22332003)

Afdhal Dwi Ramadhan : (22027064)

Rafinas : (22135088)

Safrinaldi : (22020036)

Intan Puti Maharani : (22332007)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022 M / 1444 H

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan salah satu tugas makalah Pendidikan Agama
Islam yang berjudul “”.

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak FERI IRAWAN M.Pd selaku dosen pengampu
mata kuliah umum Pendidikan Agama Islam yang membimbing kami dalam pengerjaan makalah
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang selalu setia membantu
dalam mengumpulkan data dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian.

Padang, September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. Latar belakang makalah...........................................................................................4


B. Rumusan masalah....................................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................................4
D. Manfaat penulisan....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................5

A. Konsep syariah atau hukum Islam…………………………………………...........5


B. Dasar-dasar Hukum Islam…………………………………………………….......6
C. Implementasi syariah hukum Islam dalam kehidupan……………………….........10

BAB III PENUTUP.............................................................................................................12

Kesimpulan..............................................................................................................12
Saran........................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Syariah Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh rasul terakhir, Mempunyai
keunikan tersendiri. Syariah ini bukan saja menyeluruh atau Komprehensif, tetapi juga
universal. Karakter istimewa ini diperlukan sebab tidak Akan ada syariah lain yang
datang untuk menyempurnakannya.Komprehensif Berarti syariah Islam merangkum
seluruh aspek kehidupan, baik ibadah maupun Muamalat. Adapun muamalat diturunkan
untuk menjadi rules of the game atau Aturan main manusia dalam kehidupan sosial
(Muhammad Syafi’i Antonio, 2001: 4).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Syari’ah ?
2. Apa Dasar-dasar Hukum Islam?
3. Bagaimana lmplementasi syariah/hukum Islam dalam kehidupan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian dari Syari’ah
2. Untuk mengetahui tentang dasar-dasar hukum Islam
3. Untuk mengetahui tentang implementasi syariah ,hukum Islam dalam kehidupan
4. Untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh bapak Feri Irawan

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan tentang syariat islam dan bagaimana cara
implemaentasi syariat islam yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi pembaca
Diharapkan kepada pembaca setelah membaca makalah ini dapat
menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan syariat islam yang ada dan
sesuai dengan meteri yang ada pada makalah ini.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Syariah/Hukum Islam


1) Pengertian Syari’ah
Syariah adalah kata Syari’ah berasal dari kata syara’a. Kata ini menurut ar-Razi
dalam bukunya Mukhtar-us Shihab bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha
(menjelaskan) dan bayyan-al masalik (menunjukkan jalan). Sedangkan menurut Al-
Jurjani Syari’ah bisa juga artinya mazhab dan thriqah mustaqim / jalan yang lurus. Jadi
arti kata Syariah secara bahasa banyak artinya. Ungkapan Syari’ah Islamiyyah yang kita
bicarakan maksudnya bukanlah semua arti secara bahasa itu. Kata syari’ah juga seperti
itu, para ulama akhirnya menggunakan istilah Syari’ah dengan arti selain arti bahasanya
lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata Syari’ah langsung dipahami dengan artinya
secara tradisi itu. Imam al-Qurthubi menyebut bahwa Syari’ah artinya adalah agama yang
ditetapkan oleh Allah swt.untuk hamba-hambaNya yang terdiri dari berbagai hukum dan
ketentuan. Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan
dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup.
Makanya menurut ibn-ul Manzhur syariat itu artinya sama dengan agama.Yang dimaksud
dengan syariat atau ditulis dengan syari’’ah, secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata)
air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim,syariat merupakan jalan hidup
muslim, ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan
maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Ali,
Mohammad Daud, 2011:.46).Dilihat dari segi ilmu hukum, syari’at merupakan norma
hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam bedasarkan iman
yang berkaitan dengan akhlak, baik dlam hubungannya denganAllah maupun dengan
sesama manusia dan benda dalam masyarakat. Nrma hukum dasar ini dijelaskan dan atau
dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul-Nya.Karena itu, syari’at
terdapat di dalam al-Qur’an dan di dalam kitab-kitab Hadis.
2) Kedudukan syariah
Sebagaimana tersebut dalam Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36, bahwa sekiranya
Allah (Islam) dan Rasul- Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak
diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami
bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul- Nya belum menetapkan
ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman
makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa
hal- hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah SWT.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup
beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang
disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang
masuk dalam kategori Furu’ Syara’.

5
a) Asas Syara’ Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran
atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari’at Islam dimana Al Quran itu
Asas Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas kedua Syara’. Sifatnya, pada
dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan
Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
b) Furu’ Syara’ Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al
Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari’at Islam. Sifatnya pada
dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri
setempat sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah
kekuasaanya.
3) Sumber-sumber syariah:
Syariah diambil daripada dalil-dali syarak. Terdapat dua jenis dalil: pertama dalil
yang disepakati. Iaitulah al-Quran yang merupakan sumber yang paling utama, kemudian
sunnah, ijmak dan qias. Jenis yang kedua pula dalil yang terdapat perselisihan antara
ulama seperti amalan umat terdahulu, masaleh mursalah, istihsan, uruf, istishab dan
sebagainya (rujuk kitab-kitab usul fiqh) Semua sumber-sumber ini sudah memadai bagi
menyelesaikan setiap permasalahan manusia.

B. Dasar - dasar hukum Islam


1. Pengertian Hakim (Al-Hakim)
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia,
yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab,
yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum, yang menetapkan segala sesuatu,
dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan
untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan.Untuk pengertian yang terakhir ini,
dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qhadi.Dari segi etimologi fiqh, kata
hakim atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di pengadilan.
Adapun menurut terminologi ushul fiqh maka makna dan cakupanya jauh lebih
luas, kata hakim menunjuk kepada pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum
syariat secara hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta
dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah; al-
Hakim adalah Allah).
Sebagaimana Firman Allah ta’ala, pada surah al-An’am ayat ke-57, “Katakanlah:
“Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang
kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya
disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang berhak
mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu, hamba-hamba-
Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-Nya.Dalam konteks penetapan
hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm
6
(yang menetapkan hukum) dan Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi
nyata).Yang dimaksud dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan
menetapkan hukum.Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah
Subhanahu Wata’ala, tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah.
Akan tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-Syaari’
(pembuat syariat), harus pula ditambahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
bukankarena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan syariat, tetapi
karena beliaulah yang diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-aturan hukum syariat
yang juga bersumber dari wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks inilah
dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw
(wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang tidak
dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah).
Dari definisi hukum dan penjelasan satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil
pengertian bahwa hakim adalah;
Pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan hukum dan yang
membuat sumber hukum.
Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang
memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat bahwa Al-Hakim adalah Allah
Subhanahu Wata’ala.Dialah pembuat hukum dan menjadi satu-satunya sumber hukum
yang wajib ditaati dan diikuti oleh semua mukallaf. Dan dari pemahaman seperti ini
pulalah, para ahli ushul bersepakat untuk membuat sebuah teori bahwa “Tidak ada
hukum kecuali yang bersumber dari Allah, sedangkan dasar munculnya teori tersebut
adalah firman Allah ta’ala pada ayat-ayat-Nya yang mulia, yaitu;Al-An’am:57
“Menetapkan hukum itu hanyalah Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik.
Al- Maidah;49,44 dan 45 Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
2. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Para ulama’ ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih
adalah seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah ta’ala, yang disebut
dengan mukallaf.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh,
istilah mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah
orang yang telah di anggap mampu bertindak melaksanakan hukum, baikyang
berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan
hukum mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah,
7
maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia
mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum
terpenuhi.
Mahkum ‘Alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuataannya dikenai
hukum-hukum syariat. Mahkum alaih dapat juga dikatakan sebagai subyek dari hukum
atau orang yang dibebani hukum, dalam kajian ushul fiqh ini juga disebut dengan
Mukallaf. Perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah
dewasa (Balligh) meliputi seluruh gerak geriknya, pembicaraannya, maupun niatnya.
Mahkum Alaih adalah subyek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-
perbuatan Taklif (hukum yang menuntun manusia untuk melakukan, meninggalkan, atau
memilih antara berbuat atau meninggalkan1.
Syarat-Syarat Mahkum ‘Alaih
Mukalaf yang dituntut melaksanakan hokum syara’ mampu memahami dalil
taklif, baik dalil yang bersumber dari Al-qur’an maupun Sunnah atau dengan melalui
orang lain. Orang yang belum mampu dalil taklif tentunya tidak mungkin dapat
melaksanakan apa yang dibebankan kepadanya dan tidak dapat melaksanakan taklif
sesuai dengan yang dimaksut syara’, orang yang tidak mengerti bahasa arab hendaklah
belajar bahasa arab karena dengan dibebankan kepadanya atau melalui buku agama
dalam bahasa yang mereka pahami. Seperti firman Allah SWT dalam surat Ibrahim Ayat
4:
‫َو َم ا َأْر َس ْلَنا ِم ْن َر ُسوٍل ِإال ِبِلَس اِن َقْو ِمِه ِلُيَبِّيَن َلُهْم‬
Artinya : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka...2
Kemampuan memahami dalil tentunya erat hubungannya dengan perkembangan
akal, karena akal merupakan alat untuk memahami dalil taklif. Dan orang yang sempurna
daya tanggapnya adalah orang yang sudah mencapai usia baligh dan tidak menderita
penyakit yang menyebabkan daya tanggapnya hilang atau terganggu. Seperti anak kecil,
orang yang gila, orang yang lupa, orang yang tidur, dan orang yang mabuk.
Dalam firman Allah Surat an nisa’ ayat 43 :

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ال َتْقَر ُبوا الَّصالَة َو َأْنُتْم ُس َك اَر ى َح َّتى َتْع َلُم وا َم ا َتُقوُلوَن‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.
3. Pengertian Mahkum Bih
Adalah perbuatan manusia yang hukum syara’ ditemukan didalam perbuatan
tersebut, baik berupa tuntutan, pilihan atau wadl’iy.Sebagian ulama ushul fiqh
menggunakan istilah mahkum bih untuk menunjuk pengertian objek hukum. Adapun
yang menjadi objek hukum (mahkum bih) adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau
diamnya mukallaf. Dalam hal ini, yang dapat diberi ketentuan, wajib, sunnah,
makruh,atau haram,atau mubah adalah perbuatan mukallaf.
8
Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Bih).
Agar suatu perbuatan mukallaf pantas diberi predikat salah satu dari hukum taklifi yang
lima, maka perbuatan tersebut mestilah memenuhi beberapa kriteria persayaratan.
Kriteria perbuatan seorang mukallaf yang dapat diberi predikat hukum taklifi ialah
sebagai berikut :
a) Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang memerintahkan
atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu perintah atau larangan yang
tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun tidak langsung, berasal
dari Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat hukum taklifi.
b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau
ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau
meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf
tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang
tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan
shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum
ada perincian tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya.
Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum
wajib melaksanakan shalat.Karena itulah rasulullah SAWkemudian memberi
contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah
jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat
hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.
c) Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang melakukannya
atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan manusia untuk
melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan Allah SWT
adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu, Allah
SWT tidak pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu perbuatan
yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam
surah Al-Baqarah;286

Macam-Macam MahkumBih

Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi
kebenaranya yakni dari segi material dan Syaratnya terdiri atas :

a. Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ : misalnya
makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak terkait
hukum syara’.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud
dan qishas.

9
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
d. Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya hukum
syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.

C. lmplementasi syariat /hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari


Bagaimana Anda Menjalankan Syariat Islam Di Indonesia ?
Jawaban : Pelaksanaan syariat islam di Indonesia untuk diri pribadi, setidaknya bisa
dengan menghormati pendapat orang lain, jangan menyela pembicaraan, jangan
bertengkar, tidak mencuri, menyuap, membunuh, korupsi serta menjaga persatuan dan
kesatuan bersama.
Penerapan syariat Islam merupakan salah satu perintah Allah SWT dan
merupakan kewajiban umat Islam untuk melaksanakannya. Semua umat Islam
berkewajiban untuk menerapkan hukum Syariah Islam dengan benar. Secara pribadi,
Muslim yang ta’at tidak melakukan hal-hal yang ilegal dan hal yang tidak di perbolehkan
oleh agama.
Penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
Sederhananya, penerapan syariat islam di indonesia dapat di mulai dari pembuat
kebijakan dan perundang-undangan yang tidak menyimpang dari ajaran agama islam.
Para pemangku kepentingan yang taat, pasti akan menetapkan kebijakan berdasarkan
norma dan aturan agama yang ada. Selain itu, sebagai warga Negara yang taat dan
beragama. Kita harus tetap menjaga perdamaian dan persatuan. Jangan sampai terjadi
perpecahan, yang menimpulkan permusuhan antar suku, golongan, ras dan agama. Tetap
bersatu padu meski berbeda-beda.
Penerapan Syariat Islam Dalam Kerangka Hukum Nasional dalam praktek
bernegara di Indonesia, penerapan syariat islam sendiri terjadi dalam tiga cara, sebagai
berikut :
1. Penggunaan resmi hukum syariah, khususnya untuk wakaf dan perbankan syariah
serta beberapa hukum khusus seperti hukum keluarga, zakat dan haji yang
menjadi hukum saat ini.
2. Penerapan hukum syariah secara substansial, yaitu untuk hukum privat selain
yang disebutkan di atas, yang jumlahnya sangat sesuai dengan substansi atau
substansi hukum Islam. Hukum ini seperti hukuman mati untuk kejahatan
pembunuhan, yang pasalnya mirip dengan hukum qishâsh.
3. Penerapan syariat secara esensial, yaitu implementasi hukum pengganti. Misalnya
pidana penjara karena mencuri yang pada dasarnya itu juga sesuai menurut
syariat. Mencuri merupakan kejahatan yang wajib mendapatkan hukuman.

Bagaimana sih cara mengamalkan syariat islam dan menjadi muslim yang baik?

10
Dengan cara menyampaikan kepada orang-orang terdekat bahwa kehidupan
dalam beragama akan membawa seseorang kearah kebaikan, ketenangan jiwa dan
bertoleransi dengan sesama manusia maupun dengan agama lain. Karena di agama
mana pun akan mengajarkan kebaikan.

Disisi lain untuk mengajak orang ke arah kebaikan dengan selalu memberi
imbauan dalam segala kegiatan seperti dalam suatu pertemuan organisasi, atau
membuat tulisan yang mengajak kebaikan. Dan dalam kesempatan pertemuan apapun
perlu disampaikan bahwa dalam kehidupan ini selalu mengacu pada ajaran Al-
Qur’an.

Cara mengamalkan syariat Islam:

1. Berpedoman kepada Alquran


2. Berpedoman kepada hadis nabi SAW yang shahih
3. Menjaga perkataan dan perbuatan
4. Hijrah menuju jalan Allah subhanahu wa ta’ala

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

11
Jadi, pada dasarnya syariat Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam
berbagai macam aspek kehidupan umatnya. Syariat Islam telah dibuat dengan sebaik – baiknya,
sehingga tidak mungkin menyusahkan atau menghambat umatnya untuk melakukan aktivitas
sehari – hari. Dengan menerapkan syariat Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan sehari – hari,
maka hidup kita pun akan menjadi lebih teratur dan terarah.

Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan makalah ini dengan sumber-sumber lebih banyak yang
tentunya dapat dipertanggung jawabkah.

Untuk saran bisa berupa kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi
terhadap kesimpulan dari bahasa makalah yang telah dijelaskan.

DAFTAR PUSTAKA

12
 Dahlan, Abd.Rahman ,Ushul Fiqh (Jakarta:AMZAH,2010).
 Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:Darul Hikmah
Jombang,2008.
 Faizah , Dzurrotun Ainin, Hakim, Mahkum Bihi,Mahkum Fihi dan mahkum Alaihi ,
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.co.id/2014/04/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-
dan-mahkum.html ,Selasa, 29 April 2014.
 Syafe’i ,Rachmad,IlmuUsulFiqih, cet,IV (Bandung:PustakaSetia 2010).
 Umam, Khairul, ushul fiqih 1, (Bandung, cv pustaka setia, 2000).
 Haroen,Nasroen, ushul fiqih 1, (Bandung, logos, 1999).
 Karim, A.Syafi’I, fiqih-ushul fiqih, (Bandung, cv pustaka setia, 1997).
 https://egametube.com/2021/11/11/bagaimana-anda-menjalankan-syariat-islam-di-
indonesia-berikut-jawaban-dan-penjelasannya/
 https://www.kompasiana.com/helenslshrv/60cb304f06310e33eb1374e4/ayo-
mengamalkan-syariat-islam-dan-menjadi-muslim-yang-baik

13

Anda mungkin juga menyukai