Disusun oleh :
KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam
menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Ucapan terimakasih tak lupa kami sampaikan kepada Bapak Irfandi,
selaku dosen Mata kuliah Ushul Fiqih yang telah membimbing kami dalam
kepenulisan makalah ini.
Dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Ushul Fiqih kami kelompok
dua mendapat tugas makalah yang berjudul Pengertian dan Pembagian Hukum
Syara’. Dimana di dalam makalah itu kami membahas tentang pembagian-
pembagian hukum syara’ seperti hukum Takhlifi dan Hukum Wadh’i.
Kami kelompok dua sangat menyadari bahwa dalam kepenulisan makalah
ini sangat banyak sekali kekurangan. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Hormat kami
Kelompok dua
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................ I
DAFTAR ISI....................................................................................... II
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 1
C. Tujuan Kepenulisan................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’.......................................................... 2
B. Pembagian Hukum Syara’..................................................... 3
C. Pengertian Hukum Takhlifi Dan Hukum Wadh’i...................... 4
D. Macam-Macam Hukum Takhlifi................................................ 5
E. Macam-Macam Hukum Wadh’i................................................. 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................. 21
B. Saran........................................................................................... 21
DAFTAR ISI........................................................................................... 22
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu cabang keilmuan didalam islam ada Uhsul Fiqih, sebagai ilmu
yang membahas tentang fondasi yang melatar belakangi lahirnya hukum fiqih,
pembelajaran ushul fiqih semakin meningkat sebagai pegangan dalam menjawab
berbagai hukum kekinian.
Menurut imam Al-Ghozali didalam kitab Al-Mustashyfa (المستصفي من علم
)االصولbeliau menjelaskan pengertian ushul fiqih adalah istilah untuk seperangkat
dalil-dalil dari hukum-hukum syariat secara global, tidak terperinci.1
Dari pengertian Al-Ghozali diatas kita dapat membedakan pengertian serta
objek kajian antara Fiqih dan Ushul Fiqih. Didalam fiqih kita akan membahas
dengan princi mengenai hukum Haram, sunnah, mubah, atau makruh. Dalam
artian fiqih membahas tentang ini hukumnya apa? yang akan dijawab secara rinci.
Namun didalam objek kajian ushul Fiqih membahas tentang pendefinisian
apa itu hukum?, apa itu wajib, apa itu sunnah, dan lain sebagainya, bagaimana
caramembuat hukum?, bagaimana bisa sesuatu itu dikatakan wajib?.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Hukum Syara’?
2. Dibagi menjadi berapakah Hukum Syara’?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum takhlifi?
4. Apa yang dimaksud dengan hukum Wadh’i?
C. TUJUAN KEPENULISAN
1. Mengatahui pengertian Hukum Syara’
2. Mengatahui pembagian hukum syara’
3. Mengatahui pengertian dan pembagian hukum takhlifi
4. Mengatahui pengertian dan pembagian hukum wadh’i
1
Imam Al-Ghozali, Al-Mustashfa,( Beirut:Darul Qutub Al-Ilmiyah,2002 M). Hal. 5
IV
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum syara’ terbagi menjadi dua kata, yaitu hukum dan syara’. Hukum
secara bahasa bermakna memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Didalam
kamus at-taufik karangan KH. Taufiqul Hakim, hukum dari huruf pokok huruf
fi’il madhi ح ك مbermakna memutus atau menjatuhkan. Misalnya menjatuhkan
hukuman mati.
Kemudian arti hukum menurut beberapa Ahli diantaraya:
1. Menurut Wahhab Azzuhaili, hukum adalah “khitab allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf yang dapat berupa runtutan, pilihan, dan
ketentuan-ketentuan.
2. Menurut Abdul Wahhab Khalaf hukum mengganti kalimat “khitabh Allah
Swt dalam devinisi diatas dengan tuntutan syar’i bahwa hukum itu ditentukan
Allah dan Rosulullah berupa sunnah dan melalui ijma’ ulama.
Dari beberapa devinisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum
adalah seperangkat perarturan tentang tingkah laku manusia yang di tetapkan
dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat
untuk seluruh masyararakatnya.2
Kemudian syara’ dari masdar ش رعatau syariat secara bahasa bermakna
jalan, maksudnya ialah jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada Allah.
Atau “jalan tempat keluarnya air minum untuk manusia dan binatang”. Maksud
makna air adalah bahwa air merupakan kebutuhan untuk hidup manusia yang
paling penting. Air juga merupakan simbol keselamatan. Sama halnya dengan
syariat bahwasanya syariat mampu memberikan keselamatan didunia maupun
akhirat bagi orang yang mengikuti jalanya syariat.
V
manusia yang diakui dan diyakini serta berlaku untuk semua umat yang
beragama islam”. 3
Menurut salah satu ulama ahli fiqih yang beraliran ahlusunnahwaljama’ah
yang lahir pada tahun 1932 di Damaskus Syiria yaitu Syekh Wahbah Az-Zuhaili
atau Wahbah Bin Musthofa Az-Zhuhaili hukum syara’ adalah “ khitah Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf berupa tuntunan, pilihan-pilihan antara
berbuat atau meninggalkan sesuatu perintah yang bersifat mengikat, sepert,
sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lain “.4
Dalam disiplin ilmu. Ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqih keduanya mempunyai
aspek sudut pandang yang berbeda, menurut M. Abu Zahrah, ushul fiqih
memandang dari metode pengenalan dan sumbernya, sedangkan fiqih dari segi
perumusan dengan batasan yang sudah digariskan oleh ushul fiqih. 5
3
Ibid, hal. 346
4
Noviardi. Januari-juni 2011. Hukum syara’ dan iqh menurut wahbah az-zhuhaili. Jurnal
al-hurriyah. Vol. 12, no. 01, http://ejournal.iainbukittinggi, ac.Id/index.php /alhurriyah/article/
dowload/568/313
5
Ibid, hal. 6
6
Imam Al-Haramain. Al-Waraqat. (Surabaya: Al-Hidayah, 1990 M), Hal. 3
VI
C. Pembagian Hukum Takhlifi Dan Hukum Wadh’i
1. Hukum Takhlifi
Hukum taklifi dibagi menjadi beberapa macam. Adapun macam-macam
hukum takhlifi adalah sebagai berikut :
a. Al-Ijab ()الواجب
Al-Ijab (wajib) adalah titah (khithab) Allah yang mengandung tuntutan
pasti atau perintah untuk dikerjakan. Khithab merupakan sebutan bagi arahan
kalam yang berfaidah kepada orang lain, sementara orang tersebut bisa
mendengarnya.
Pengertian wajib adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan
pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Jika seseorang
meninggalkan tuntutan yang sudah pasti tersebut, dikenai sanksi atau hukuman.7
Contoh Al-Ijab yaitu sholat fardhu, pengurusan jenazah, mengganti puasa
wajib, dan membaca QS.Al-Fatihah saat solat.
b. Al-Nadb/ ()المندوب
An-Nadb (sunnah) adalah perintah yang boleh ditinggalkan tapi bagi yang
melaksanakan perintah itu memperoleh pahala dan bagi yang meninggalkannya
tidak mendapat dosa. Yang termasuk Al-Nadb adalah Al-I’tisa, Al-Mustahsan,dan
Al-Mustashab.8
Contoh an-Nadb adalah mengerjakan sholat wajib dengan cara berjamaah
dan puasa senin kamis.
c. At-Tahrim/ ()المحظور
At-Tahrim (haram) adalah suatu perbuatan yang akan mendapat dosa
apabila dilaksanakan dan mendapat pahala jika ditinggalkan. Setiap orang yang
beriman wajib meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah agar tidak
mendapat dosa dari apa yang dilakukannya.9
7
Abdul Hayy Abdul ‘Al, PENGANTAR USHUL FIQH, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
2014), hlm. 37
8
Tihami, “Konsep-Konsep Dalam Kajian Fiqh Menurut Ibn Hazm Al-Dhahiri”, Al-
Qalam, No. 53, Oktober 1995, hlm. 4.
9
Puspa Swara, Kitab Lengkap Sholat, Sholawat, Dzikir, Dan Doa Yasin, Tahlil, Doa Haji
Dan Umrah, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2017), hlm. 4
VII
At-Tahrim (haram) juga dapat berarti tuntunan atau perintah untuk tidak
mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang dilarang tersebut dikenal dengan
istilah haram.
Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna
pengharaman, seperti kata harrama, hurrima, atau layahillu, yang seluruhnya
mengandung makna pengharaman atau tidak dihalalkan. Tanda lainnya, yaitu
adanya kalimat yang berbentuk fi’il nahi atau kata kerja yang berarti larangan atau
kata perintah untuk menjauhi.
Contoh at-tahrim adalah memakan bangkai, meminum minuman keras,
berzina, berjudi, durhaka kepada orangtua, dan perbuatan tercela lainya.
d. Al-Ibahah
Kata al-ibahah berasal dari kata baha yang berarti lahir atau tampak atau
membolehkan, sedang al-ibahah berarti pembolehan dan mubah berarti yang
dibolehkan.10
Oleh sebab itu, al-ibahah dapat diartikan sebagai sesuatu yang boleh
dipilih atau ditinggalkan. Secara etimologis, rumusan masalah yang dikemukakan
oleh ulama ushul fiqh (sebagaimana dikutip oleh H.Nasrun Harun dari beberapa
ulama)11, yaitu :
1) Menurut Imam al-Syaukani, al-ibahah adalah sesuatu yang apabila
dikerjakan atau ditinggaalkan tidak mendapat pujian.
2) Menurut Imam al-Ghazali, al-ibahah adalah sesuatu yang ada
kezaliman kepada Allah SWT untuk melakukan atau tidak melakukannya yang
pelakunya tidak sertai dengan pujian atau dengan celaan dan orang yang tidak
melakukannya tidak pula di sertai dengan pujian dan celaan.12
VIII
1) Adanya ucapan pembuat hukum tentang tidak berdosa
Seperti dalam Q.S. al-Baqarah: 229, yaitu :
ْ فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد
َت بِ ِه
IX
Secara bahasa ‘azimah adalah kehendak untuk mengokohkan.14 Sedangkan
secara istilah‘Azimah adalah pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum
tanpa memandang kepada keadaan mukalaf yang melaksanakannya. Sebagaimana
contoh haramnya bangkai untuk semua umat Islam dalam keadaan apapun.15
Rukhshoh menurut bahasa adalah keringanan dan kemudahan.16 Menurut
istilah dapat dipahami bahwa rukhshoh adalah pelaksanaan hukum taklifi
berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena
keadaan tertentu. Umpamanya dibolehkannya seseorang dalam keadaan darurat
memakan bangkai , meskipun secara umum hukum memakan bangkai adalah
haram.17
Jadi rukhshoh adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi mukalaf
yang didasarkan pada udzur-udzur tertentu. Andaikan udzur-udzur itu tidak ada
maka kembali ke hukum asalnya. Pada umumnya, rukhshoh dapat mengubah
status hukum asal dari sebuah keharusan menjadi sebuah kebolehan, dan
terkadang menjadi sunah atau wajib.
14
Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, Rakhshu al-Syar’iyyah wa Isbatuhu
bi al-Qiyas, (Riyadh: Maktabah Rusyd, 2001) h.46.
15
Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 341.
16
Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, Op.cit., h.11.
17
Sulatri Chaniago, “’Azimah dan Rukhsoh Suatu Kajian Dalam Hukum Islam”, Jurnal
Islam Vol. 13 No. 02, 2014, h.116.
X
ُأ
ِ ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َ–م َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز
ٍ َير َو َما ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ ۖ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب
اغ َواَل
عَا ٍد فَاَل ِإ ْث َم َعلَ ْي ِه ۚ ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم
XI
Sebagai contoh yakni membayar zakat ¼ dari harta, bunuh diri sebagai
tobat, memotong pakaian yang terkena najis, dsb.
b) Rukhshoh dalam bentuk membolehkan beberapa bentuk akad yang tidak
memenuhi syarat yang ditentukan. Adanya rukhshoh ini disebabkan adanya
kebutuhan antara yang berakad.
Contohnya jual beli ‘ariyah, yaitu menukar kurma basah dengan kurma
kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini tentu saja
menyalahi ketentuan dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam ukuran
yang berbeda.
19
Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 386.
XII
dibayarkan pada akhir Ramadhan dan melaksanakan sholat jamak taqdim di
perjalanan.
f) Keringanan dalam mengubah bentuk kewajiban, seperti cara-cara
pelaksaan sholat dalam perang yang berubah dari bentuk biasannya yang
disebut sholat khouf.
g) Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan
haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur.
ان َو ٰلَ ِك ْن َم ْن َش َر َح بِ ْال ُك ْف ِر ْ َم ْن َكفَ َر بِاهَّلل ِ ِم ْن بَ ْع ِد ِإي َمانِ ِه ِإاَّل َم ْن ُأ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهُ ُم
ِ ط َمِئ ٌّن بِاِإْل ي َم
َضبٌ ِمنَ هَّللا ِ َولَهُ ْم َع َذابٌ َع ِظي ٌم َ ص ْدرًا فَ َعلَ ْي ِه ْم غ َ
XIII
keterpaksaan dan tidak hilangnya iman tidak mendapat adzab dari Allah
SWT.20
20
Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 388.
XIV
2. Macam-macam Hukum Wadh’i
a. Sebab (al-Sabab)
1) Pengertian al-Sabab
Sabab dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “sebab”,
menurut etimologi sabab adalah sesuatu yang memungkinkan dengan
sampai pada suatu tujuan. Sedangkan menurut terminologi Imam al-Amidi
mendifinisikan dengan sifat Dzahir yang dapat diukur yang ditunjukan
oleh dalil Sam’I (Al Quran dan Sunnah) bahwa keberadaan sebagai
pengenal bagi hukum syari’.21
Prof. DR. Rachmat Syafi’i, M.A dalam bukunya Usul Fiqih,
berpendapat bahwa sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada satu tujuan. Sedangkan menurut istilah adalah
suatu sifat yang dijadikan syari sebagai tanda dari suatu hukum.22
Jadi pada dasarnya al-Sabab menurut terminologi adalah suatu
perkara yang dijadikan syari’ dengan maksud tujuan untuk mengetahui
lebih dalam tentang hukum syariat tertentu, yang artinya bahwa suatu
hukum syari’ akan muncul ketika al-sabab itu ada, dan juga sebaliknya
hukum syariat akan hilang apabila al-sabab tersebut. Seperti dalam surah
al-Isra ayat 78.
ق اللَّ ْي ِل َوقُرْ آنَ ْالفَجْ ِر ۖ ِإ َّن قُرْ آنَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُود َّ َأقِ ِم ال
ِ صاَل ةَ لِ ُدلُو
ِ ك ال َّش ْم
ِ س ِإلَ ٰى َغ َس
21
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih,( Jakarta: Pustaka Firk, 2005), Hal. 64.
22
Prof. DR. Rachmat Syafi’i, M.A, Ilmu Usul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),
Hal. 313.
23
Op.cit, Ilmu Usul Fiqih, Hal. 312.
XV
2) Macam-macam al-Sabab
a) Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, al-Sabab dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1) Al-Sabab yang menjadikan sebab adanya hukum taklifi. Seperti
contoh, masuknya shalat yang dijadikan syari’ sebagi al-Sebab
adanya kewajiban shalat. Seperti firman Allah dalam surah al-Isra
ayat 78.
َق اللَّي ِْل َوقُرْ آنَ ْالفَجْ ِر ۖ ِإ َّن قُرْ آنَ ْالفَجْ ِر َكان َّ َأقِ ِم ال
ِ ُصاَل ةَ لِ ُدل
ِ وك ال َّش ْم
ِ س ِإلَ ٰى َغ َس
َم ْشهُودًا
Artinya :“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir .......”(Q.S al-Isra’: 78).
2) Al-Sabab yang menjadikan sebeb kepemilikan suatu barang atau
hak milik seseorang atas suatu barang. Seperti akad jual beli, nikah,
thalaq, dan lain-lain.
XVI
Apabila tidak adanya syarat hukumpun pasti tidak akan ada, akan tetapi
adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.24
Sedangkan menurut Abu Zahrah, syarat adalah suatu yang
tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya hukum,
tetapi tidaklah lazim dengan adanya hukum.25
Maksudnya disini kami menyimpulkan bahwa syarat adalah suatu
yang dapat dikatakan dengan adanya pemberian implikasi terhadap suatu
hukum, akan tetapi dengan adanya syarat saja berarti tidak terpenuhi
kesempurnaan hukum suatu perbuatan tersebut. Dengan kata lain, ada
tidaknya syarat tetap berakibat adanya hukum, tetapi adanya syarat tidak
menjamin kesempurnaan suatu perbuatan hukum.
2) Macam-macam Syarat
a) Dilihat dari hubungannya dengan al-sabab, al-Syarthu dibagi menjadi
dua macam,26 yaitu:
1) Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-Sabab, maksud disini iyalah
syarat yang menguatkan makna sebab akibat yang terdapat dalam
hukum tertentu. Seperti contoh, pencurian harta benda adalah
syarat untuk melakukan had dalam Islam.
2) Al-Syarthu menjadi pelengkap al-Musabbab, menguatkan
hakikat al-Musabbab atau rukunnya. Contoh menghadap kiblat
menjadi syarat sahnya shalat.
b) Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, Al-Syarthu dibagi menjadi
dua macam27,yaitu:
1) Al-Syarthu al- syar‟i, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh
syari’. Seperti syarat-syarat yang terdapat dalam ibadah,
muamalah, jinayah, dan lain- lain.
2) Al-Syarthu al-ja’lae, yaitu syarat yang dibuat serta ditetapkan
oleh seorang mukallaf. Seperti syarat terjadinya thalaq yang
24
Op.cit, “Ilmu Usul Fiqih”, Hal. 313.
25
Abu Zahrah, “Usul Fiqih”, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1958), Hal. 39.
26
Prof. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islam”, (Bandung: PT Al-Ma’ruf), Hal. 149.
27
Op.cit, “Usul Fiqih”, Hal. 77.
XVII
ditetapkan seorang suami terhadap istrinya. Seorang mukallaf
tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan al-syarthu
al-ja’lie, karena telah ada batasan-batasan syariat yang telah
ditentukan oleh agama Islam.
c) Al-Syarthu al-ja‟lie sendiri terbagi menjadi dua macam28, yaitu:
1) Syarat al-mu‟allaq, yaitu syarat yang sah dan dan tidaknya suatu
akad tergantung pada syarat tersebut, artinya seorang mukallaf
telah menetapkan syarat dalam suatu akad. Sebagai contoh,
perkataan seorang suami terhadap istrinya “jika kamu mencuri
maka kamu bukan istriku”
2) Syarat al-muqtarin bi al-aqdi atau syarat muqayyad, yaitu
syarat yang menyertai sebuah akad. Seperti seorang yang ingin
menyewakan rumah dengan syarat ditinggali selama satu tahun.
c. Pencegah (Al-Mani’)
1) Pengertian Al-Mani’
Al-mani’ menurut etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”.
Sedangkan secara terminologi, sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya
sesuatu sebab. Sebagai contoh sebuah akad pernikahan yang sah karena
telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris
mewarisi. Akan tetapi masalah waris mewarisi itu bisa terhalang
disebabkan suami misalnya membunuh istrinya.29
2) Macam-macam Al-Mani’
Al-Mani’ sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian :
a) Mani’ al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum
syariat. Seperti haid dan nifas yang menjadi mani’ untuk melaksanakan
shalat dan membaca al-Quran.
b) Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ Yang keberadaannya merusak hikmah
yang ada pada sebab. Seperti contoh hutang yang menyebabkan batalnya
28
Op.Cit, Prof Muhammad Abu Zahrah, Hal. 77.
29
Prof.Dr.H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005), Hal. 66.
XVIII
kewajiban zakat, karena hartanya tidak mencapai satu nisab lagi.
d. Sah (Al-Shihhah)
As-shihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari’
yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan
shalat dzuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat),
dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dan
sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah.30
Jadi dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sah adalah
sebuah perbuatan yang dilakukan yang manakala terpenuhinya sebab dan
syarat serta tidak adanya penghalang dalam melaksanakannya. Dan apa yang
dikerjakan merupakan tuntutan atau perintah agama yang telah ditentukan
syarat-syarat pelaksanaannya oleh syari’.
e. Batal (Al-Buthlan)
Al-Buthlan adalah sesuatu tindakan yang dilakukan atau diadakan oleh
orang mukallaf yang tidak sesuai dengan tuntutan syara’. Serta tidak sah
dalam pelaksanaannya, baik tidak sahnya itu karena cacat, maupun tidak
terpenuhinya syarat- syarat serta rukun-rukun yang diperlukan dan baik dalam
soal ibadah, maupun dalam soal muamalah. Maka atas dasar ini sebagian para
ahli ushul tidak membedakan antara pengertian bathil dan fasid.31
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh
islam, oleh sebab itu segala perbuatan yang tidak disyariatkan islam adalah
batal, seperti halnya: memperjual minuman keras, Narkoba.
30
Op.Cit, Prof.DR. Rachmat Syafe‟i, M. A,Hal. 315.
31
Prof.DR. Mukhtar Yahya dan Prof Drs. Fatchurrahman, Dasar- dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islam, (Bandung: PT.Al-Ma‟rif , 1983), Hal. 154.
XIX
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
XX
Dalam pembagian hukum takhlifi ada al-ijab yaitu titah (khithab) Allah
yang mengandung tuntutan pasti atau perintah untuk dikerjakan. Khithab
merupakan sebutan bagi arahan kalam yang berfaidah kepada orang lain,
sementara orang tersebut bisa mendengarnya. Al-nadb, al-tahrim, al-karahah, ai-
ibahah, al- ar-rukhsoh, dan al-azimah.
Dalam pembagian hukum wadh’i ada, sabab, syarat, mani’, sihhah,
butlan. Sabab ialah sesuatu yang memungkinkan sampai pada suatu tujuan.
Syarat, ialah suatu perkara yang berada pada hukum syar’i akan tetapi keberadaan
hukum syara’ tergantung padanya. Mani’ yaitu penghalang, penghalang bagi
adanya hukum atau penghalang bagi fungsinya sesuatu. As-shihah yaitu hukum
yang sesuai dengan ketentuan syar’i. Al-buthlan atau batal yaitu suatu tindakan
yang dilakukan oleh orang mukallah yang sesuai dengan tuntunan syara’ namun
tidak sah dalam pelaksanaanya.
B. SARAN
XXI
DAFTAR ISI
al-Marbawi, Abd al-Rauf. 1937. Kamus Idris al-Marbawi. Bairut : Dar al-Fikr
al-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad. 2001. Rakhshu al-Syar’iyyah
wa Isbatuhu bi al-Qiyas. Riyadh: Maktabah Rusyd
Effendi satria, M.Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu
XXII
Kartini. 2016. “Penerapan Al-Amr, AL-Nahy dan Al-Ibahah Sebagai Kaidah
Penetapan Hukum”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 9 No. 1
XXIII