Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen pengampu: Irfandi, S.H.I, M.H

Disusun oleh :

Ryan Deriansyah (2119260)


Achmad Munif (2119261)
Risma Ayuning Asti (2119280)
Ayu Nursyarifah (2119287)

KELAS B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2020
KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam
menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Ucapan terimakasih tak lupa kami sampaikan kepada Bapak Irfandi,
selaku dosen Mata kuliah Ushul Fiqih yang telah membimbing kami dalam
kepenulisan makalah ini.
Dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Ushul Fiqih kami kelompok
dua mendapat tugas makalah yang berjudul Pengertian dan Pembagian Hukum
Syara’. Dimana di dalam makalah itu kami membahas tentang pembagian-
pembagian hukum syara’ seperti hukum Takhlifi dan Hukum Wadh’i.
Kami kelompok dua sangat menyadari bahwa dalam kepenulisan makalah
ini sangat banyak sekali kekurangan. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Hormat kami

Kelompok dua

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................ I
DAFTAR ISI....................................................................................... II
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 1
C. Tujuan Kepenulisan................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’.......................................................... 2
B. Pembagian Hukum Syara’..................................................... 3
C. Pengertian Hukum Takhlifi Dan Hukum Wadh’i...................... 4
D. Macam-Macam Hukum Takhlifi................................................ 5
E. Macam-Macam Hukum Wadh’i................................................. 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................. 21
B. Saran........................................................................................... 21
DAFTAR ISI........................................................................................... 22

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu cabang keilmuan didalam islam ada Uhsul Fiqih, sebagai ilmu
yang membahas tentang fondasi yang melatar belakangi lahirnya hukum fiqih,
pembelajaran ushul fiqih semakin meningkat sebagai pegangan dalam menjawab
berbagai hukum kekinian.
Menurut imam Al-Ghozali didalam kitab Al-Mustashyfa (‫المستصفي من علم‬
‫ )االصول‬beliau menjelaskan pengertian ushul fiqih adalah istilah untuk seperangkat
dalil-dalil dari hukum-hukum syariat secara global, tidak terperinci.1
Dari pengertian Al-Ghozali diatas kita dapat membedakan pengertian serta
objek kajian antara Fiqih dan Ushul Fiqih. Didalam fiqih kita akan membahas
dengan princi mengenai hukum Haram, sunnah, mubah, atau makruh. Dalam
artian fiqih membahas tentang ini hukumnya apa? yang akan dijawab secara rinci.
Namun didalam objek kajian ushul Fiqih membahas tentang pendefinisian
apa itu hukum?, apa itu wajib, apa itu sunnah, dan lain sebagainya, bagaimana
caramembuat hukum?, bagaimana bisa sesuatu itu dikatakan wajib?.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Hukum Syara’?
2. Dibagi menjadi berapakah Hukum Syara’?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum takhlifi?
4. Apa yang dimaksud dengan hukum Wadh’i?

C. TUJUAN KEPENULISAN
1. Mengatahui pengertian Hukum Syara’
2. Mengatahui pembagian hukum syara’
3. Mengatahui pengertian dan pembagian hukum takhlifi
4. Mengatahui pengertian dan pembagian hukum wadh’i

1
Imam Al-Ghozali, Al-Mustashfa,( Beirut:Darul Qutub Al-Ilmiyah,2002 M). Hal. 5

IV
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara’

Hukum syara’ terbagi menjadi dua kata, yaitu hukum dan syara’. Hukum
secara bahasa bermakna memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Didalam
kamus at-taufik karangan KH. Taufiqul Hakim, hukum dari huruf pokok huruf
fi’il madhi ‫ ح ك م‬bermakna memutus atau menjatuhkan. Misalnya menjatuhkan
hukuman mati.
Kemudian arti hukum menurut beberapa Ahli diantaraya:
1. Menurut Wahhab Azzuhaili, hukum adalah “khitab allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf yang dapat berupa runtutan, pilihan, dan
ketentuan-ketentuan.
2. Menurut Abdul Wahhab Khalaf hukum mengganti kalimat “khitabh Allah
Swt dalam devinisi diatas dengan tuntutan syar’i bahwa hukum itu ditentukan
Allah dan Rosulullah berupa sunnah dan melalui ijma’ ulama.
Dari beberapa devinisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa hukum
adalah seperangkat perarturan tentang tingkah laku manusia yang di tetapkan
dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat
untuk seluruh masyararakatnya.2
Kemudian syara’ dari masdar ‫ ش رع‬atau syariat secara bahasa bermakna
jalan, maksudnya ialah jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada Allah.
Atau “jalan tempat keluarnya air minum untuk manusia dan binatang”. Maksud
makna air adalah bahwa air merupakan kebutuhan untuk hidup manusia yang
paling penting. Air juga merupakan simbol keselamatan. Sama halnya dengan
syariat bahwasanya syariat mampu memberikan keselamatan didunia maupun
akhirat bagi orang yang mengikuti jalanya syariat.

Dari devinisi-devinisi diatas dapat diartikan Hukum syara’ adalah


“seperangkat perarturan berdasarkan ketentuan dari allah tentang tingkah laku
2
Prof. Dr. H. Amir syarifuddin, ushul fiqih jilid 1, (jakarta:kharisma putra utama, 2011),
hal. 346

V
manusia yang diakui dan diyakini serta berlaku untuk semua umat yang
beragama islam”. 3
Menurut salah satu ulama ahli fiqih yang beraliran ahlusunnahwaljama’ah
yang lahir pada tahun 1932 di Damaskus Syiria yaitu Syekh Wahbah Az-Zuhaili
atau Wahbah Bin Musthofa Az-Zhuhaili hukum syara’ adalah “ khitah Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf berupa tuntunan, pilihan-pilihan antara
berbuat atau meninggalkan sesuatu perintah yang bersifat mengikat, sepert,
sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lain “.4
Dalam disiplin ilmu. Ilmu ushul fiqih dan ilmu fiqih keduanya mempunyai
aspek sudut pandang yang berbeda, menurut M. Abu Zahrah, ushul fiqih
memandang dari metode pengenalan dan sumbernya, sedangkan fiqih dari segi
perumusan dengan batasan yang sudah digariskan oleh ushul fiqih. 5

B. Pembagian Hukum Syara’


Dari devinisi-devinisi hukum syara’ diatas, maka hukum syara’ terbagi
menjadi 2 macam yaitu :
1. Hukum takhlifi (‫ )تكليفي‬yaitu khittah allah yang berisikan pembebanan atau
penyematan status hukum pada perbuatan manusia.
2. Hukum wadh’i (‫ )الوضعي‬yaitu informasi dari allah yang diberikan kepada kita
tentang syarat, sebab, ataupun pencegah dari keterlaksanaan hukum takhlifi.
Masing – masing dari hukum takhlifi atau hukum wadhi mempunyai
bagian-bagian . Seperti menurut penjelasan Imam Haramain dalam kitab Warakat
membagi hukum takhlifi menjadi tujuh macam yaitu , wajib, sunnah, mubah,
mahdzur (haram), makhruh, sahih, dan batal.6
Dan pembagian hukum wadh’i ada sebab, syarat, mani’,. Mengenai
pembagian masing-masing dari pembagian diatas akan kami urai sendiri dalam
sub bab berikutnya.

3
Ibid, hal. 346
4
Noviardi. Januari-juni 2011. Hukum syara’ dan iqh menurut wahbah az-zhuhaili. Jurnal
al-hurriyah. Vol. 12, no. 01, http://ejournal.iainbukittinggi, ac.Id/index.php /alhurriyah/article/
dowload/568/313
5
Ibid, hal. 6
6
Imam Al-Haramain. Al-Waraqat. (Surabaya: Al-Hidayah, 1990 M), Hal. 3

VI
C. Pembagian Hukum Takhlifi Dan Hukum Wadh’i
1. Hukum Takhlifi
Hukum taklifi dibagi menjadi beberapa macam. Adapun macam-macam
hukum takhlifi adalah sebagai berikut :
a. Al-Ijab (‫)الواجب‬
Al-Ijab (wajib) adalah titah (khithab) Allah yang mengandung tuntutan
pasti atau perintah untuk dikerjakan. Khithab merupakan sebutan bagi arahan
kalam yang berfaidah kepada orang lain, sementara orang tersebut bisa
mendengarnya.
Pengertian wajib adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan
pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Jika seseorang
meninggalkan tuntutan yang sudah pasti tersebut, dikenai sanksi atau hukuman.7
Contoh Al-Ijab yaitu sholat fardhu, pengurusan jenazah, mengganti puasa
wajib, dan membaca QS.Al-Fatihah saat solat.
b. Al-Nadb/ (‫)المندوب‬
An-Nadb (sunnah) adalah perintah yang boleh ditinggalkan tapi bagi yang
melaksanakan perintah itu memperoleh pahala dan bagi yang meninggalkannya
tidak mendapat dosa. Yang termasuk Al-Nadb adalah Al-I’tisa, Al-Mustahsan,dan
Al-Mustashab.8
Contoh an-Nadb adalah mengerjakan sholat wajib dengan cara berjamaah
dan puasa senin kamis.
c. At-Tahrim/ (‫)المحظور‬
At-Tahrim (haram) adalah suatu perbuatan yang akan mendapat dosa
apabila dilaksanakan dan mendapat pahala jika ditinggalkan. Setiap orang yang
beriman wajib meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah agar tidak
mendapat dosa dari apa yang dilakukannya.9

7
Abdul Hayy Abdul ‘Al, PENGANTAR USHUL FIQH, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
2014), hlm. 37
8
Tihami, “Konsep-Konsep Dalam Kajian Fiqh Menurut Ibn Hazm Al-Dhahiri”, Al-
Qalam, No. 53, Oktober 1995, hlm. 4.
9
Puspa Swara, Kitab Lengkap Sholat, Sholawat, Dzikir, Dan Doa Yasin, Tahlil, Doa Haji
Dan Umrah, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2017), hlm. 4

VII
At-Tahrim (haram) juga dapat berarti tuntunan atau perintah untuk tidak
mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang dilarang tersebut dikenal dengan
istilah haram.
Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna
pengharaman, seperti kata harrama, hurrima, atau layahillu, yang seluruhnya
mengandung makna pengharaman atau tidak dihalalkan. Tanda lainnya, yaitu
adanya kalimat yang berbentuk fi’il nahi atau kata kerja yang berarti larangan atau
kata perintah untuk menjauhi.
Contoh at-tahrim adalah memakan bangkai, meminum minuman keras,
berzina, berjudi, durhaka kepada orangtua, dan perbuatan tercela lainya.
d. Al-Ibahah
Kata al-ibahah berasal dari kata baha yang berarti lahir atau tampak atau
membolehkan, sedang al-ibahah berarti pembolehan dan mubah berarti yang
dibolehkan.10
Oleh sebab itu, al-ibahah dapat diartikan sebagai sesuatu yang boleh
dipilih atau ditinggalkan. Secara etimologis, rumusan masalah yang dikemukakan
oleh ulama ushul fiqh (sebagaimana dikutip oleh H.Nasrun Harun dari beberapa
ulama)11, yaitu :
1) Menurut Imam al-Syaukani, al-ibahah adalah sesuatu yang apabila
dikerjakan atau ditinggaalkan tidak mendapat pujian.
2) Menurut Imam al-Ghazali, al-ibahah adalah sesuatu yang ada
kezaliman kepada Allah SWT untuk melakukan atau tidak melakukannya yang
pelakunya tidak sertai dengan pujian atau dengan celaan dan orang yang tidak
melakukannya tidak pula di sertai dengan pujian dan celaan.12

Cara mengetahui al-Ibahah


Ahli hukum mengemukakan bahwa terdapat tiga cara untuk memangetahui
al-Ibahah,13 yaitu :
10
Abd al-Rauf al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi, (Bairut : Dar al-Fikr, 1937), h.142.
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 317-318.
12
Kartini, “Penerapan Al-Amr, AL-Nahy dan Al-Ibahah Sebagai Kaidah Penetapan
Hukum”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 9 No. 1, 2016, h.34.
13
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1996) h. 249-250.

VIII
1) Adanya ucapan pembuat hukum tentang tidak berdosa
Seperti dalam Q.S. al-Baqarah: 229, yaitu :

ْ ‫فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬
‫َت بِ ِه‬

Artinya : “Maka jika kamu khawatir keduanya tidak akan menjalankan


perintah Allah, tidak mengapa kalau keduanya bercerai dengan tebusan.”
Kata “la junaha” pada ayat di atas menunjukkan tidak terlarang/boleh atau
mubah hukumnya menebus perkawaninannya.
2) Adanya ucapan pembuat hukum yang secara jelas menghalalkan perbuatan
hukum.
Seperti dalam Q.S. al-Maidah : 96, yaitu :

ۗ ‫ص ْي ُد ْالبَرِّ َما ُد ْمتُ ْم ُح ُر ًما‬ َ ‫ُأ ِح َّل لَ ُك ْم‬


َ ‫ص ْي ُد ْالبَحْ ِر َوطَ َعا ُمهُ َمتَاعًا لَ ُك ْم َولِل َّسيَّا َر ِة ۖ َوحُرِّ َم َعلَ ْي ُك ْم‬
َ‫َواتَّقُوا هَّللا َ الَّ ِذي ِإلَ ْي ِه تُحْ َشرُون‬

Artinya : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang


berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang
dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat,
selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah
kamu akan dikumpulkan.”
3) Tidak adanya nash yang mengharamkannya.
Oleh karena itu kembali kepada hukum asal “selama tidak ada firman
Allah yang mengharamkan maka hukumnya adalah mubah. Dengan demikian,
hukum mubah tersebut hanya dapat diketahui bila dilakukan istimbath yang
diteliti dengan cermat terhadap nas-nas syara’.”

e. Azimah Dan Rukhsoh

IX
Secara bahasa ‘azimah adalah kehendak untuk mengokohkan.14 Sedangkan
secara istilah‘Azimah adalah pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum
tanpa memandang kepada keadaan mukalaf yang melaksanakannya. Sebagaimana
contoh haramnya bangkai untuk semua umat Islam dalam keadaan apapun.15
Rukhshoh menurut bahasa adalah keringanan dan kemudahan.16 Menurut
istilah dapat dipahami bahwa rukhshoh adalah pelaksanaan hukum taklifi
berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena
keadaan tertentu. Umpamanya dibolehkannya seseorang dalam keadaan darurat
memakan bangkai , meskipun secara umum hukum memakan bangkai adalah
haram.17
Jadi rukhshoh adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah bagi mukalaf
yang didasarkan pada udzur-udzur tertentu. Andaikan udzur-udzur itu tidak ada
maka kembali ke hukum asalnya. Pada umumnya, rukhshoh dapat mengubah
status hukum asal dari sebuah keharusan menjadi sebuah kebolehan, dan
terkadang menjadi sunah atau wajib.

e.1. Macam-macam Rukhshoh


1) Rukhshoh dilihat dari segi bentuk hukum asalnya,
Rukhshoh ini dibagi menjadi 2, yaitu rukhshoh memperbuat dan rukhshoh
meninggalkan.
a) Rukhshoh memperbuat merupakan keringanan untuk melakukan sesuatu
perbuatan, dalam hal ini hukum asal perbuatan adalah terlarang dan haram
hukumnya. Dalam keadaan darurat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh
hukumnya. Seperti perumpamaan diperbolehkannya memakan daging babi dalam
keadaan darurat atau terpaksa, hal ini didasari pada firman Allah dalam surat Al-
Baqarah (2) : 173 :

14
Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, Rakhshu al-Syar’iyyah wa Isbatuhu
bi al-Qiyas, (Riyadh: Maktabah Rusyd, 2001) h.46.
15
Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 341.
16
Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, Op.cit., h.11.
17
Sulatri Chaniago, “’Azimah dan Rukhsoh Suatu Kajian Dalam Hukum Islam”, Jurnal
Islam Vol. 13 No. 02, 2014, h.116.

X
‫ُأ‬
ِ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َ–م َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز‬
ٍ َ‫ير َو َما ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ ۖ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغ ْي َر ب‬
‫اغ َواَل‬
‫عَا ٍد فَاَل ِإ ْث َم َعلَ ْي ِه ۚ ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬

Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,


darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b) Rukhshoh meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan


yang menurut hukum asalnya adalah wajib atau sunah karena merasa perbuatan
tersebut dapat membahayakan dirinya, terdapat keringanan untuk
meninggalkannya.
Seperti dibolehkannnya meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang yang
sakit atau dalam perjalanan yang jauh. Hal ini terdapat dalam firman Allah pada
surat al-Baqarah (2) : 184 :

َ ‫ت ۚ فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا َأوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن َأي ٍَّام ُأ‬


‫خَر‬ –ٍ ‫ۚ َأيَّا ًما َم ْعدُودَا‬ 

Artinya : “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa


diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain.”

2) Rukhshoh ditinjau dari segi hukum asalnya ada 2 macam18 :


a) Rukhshoh dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap
umat sebelum islam yang dinilai terlalu berat untuk dilakukan umat Nabi
Muhammad.
18
Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 384.

XI
Sebagai contoh yakni membayar zakat ¼ dari harta, bunuh diri sebagai
tobat, memotong pakaian yang terkena najis, dsb.
b) Rukhshoh dalam bentuk membolehkan beberapa bentuk akad yang tidak
memenuhi syarat yang ditentukan. Adanya rukhshoh ini disebabkan adanya
kebutuhan antara yang berakad.
Contohnya jual beli ‘ariyah, yaitu menukar kurma basah dengan kurma
kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini tentu saja
menyalahi ketentuan dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam ukuran
yang berbeda.

3) Rukhshoh ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan.


Dalam hal ini ada 7 bentuk keringanan atau rukhshoh yang diberikan19 :
a) Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti
diperbolehkannya meninggalkan sholat jum’at, haji, umrah, dan jihad dalam
keadaan udzur.
b) Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban, seperti meng-
qasar sholat empat rakaat menjadi dua rakaat bagi orang yang sedang safar
atau perjalanan jauh.
c) Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban, seperti mengganti
kewajiban wudhu dan mandi dengan tayammum karena tidak ada air,
mengganti kewajiban berdiri dalam sholat dengan duduk, berbaring atau
dengan isyarat jika dalam keadaan tidak mampu, mengganti puasa Ramadhan
dengan membayar fidyah atau memberi makan orang miskin bagi orang tua
yang tidak mampu.
d) Keringanan dalam bentuk penagguhan pelaksanaan kewajiban,
seperti pelaksanaan sholat jamak takhir saat perjalanan, pelaksanaan puasa
ramadhan yang di qadha karena sakit atau perjalanan.
e) Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban,
seperti membayar zakat yang dianjurkan pada awal Ramadhan namun ditunda

19
Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 386.

XII
dibayarkan pada akhir Ramadhan dan melaksanakan sholat jamak taqdim di
perjalanan.
f) Keringanan dalam mengubah bentuk kewajiban, seperti cara-cara
pelaksaan sholat dalam perang yang berubah dari bentuk biasannya yang
disebut sholat khouf.
g) Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan
haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur.

4) Rukhshoh ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku


padanya rukhshoh, apakah masih berlaku saat itu atau tidak.
Dalam hal ini ulama Hanafiyah membaginya menjadi 2 macam, yakni
rukhshoh tarfih dan rukhshoh isqath.
a) Rukhshoh tarfih ialah rukhshoh yang meringankan dari
pelaksanaan hukum azimah tetapi hukum azimah berikut dalilnya tetap
berlaku. Hanya pada waktu itu mukalaf dibolehkan meninggalkan atau
mengerjakannya sebagai keringanan.
Seperti mengucapkan sesuatu yang menjadikannya kafir, namun
dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa dan hatinya tetap dalam keimanan.
Seperti yang ada dalam surat an-Nahl (16) : 106 :

‫ان َو ٰلَ ِك ْن َم ْن َش َر َح بِ ْال ُك ْف ِر‬ ْ ‫َم ْن َكفَ َر بِاهَّلل ِ ِم ْن بَ ْع ِد ِإي َمانِ ِه ِإاَّل َم ْن ُأ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهُ ُم‬
ِ ‫ط َمِئ ٌّن بِاِإْل ي َم‬
‫َضبٌ ِمنَ هَّللا ِ َولَهُ ْم َع َذابٌ َع ِظي ٌم‬ َ ‫ص ْدرًا فَ َعلَ ْي ِه ْم غ‬ َ

Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman


(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar.”
Walaupun ada ayat tentang rukhshoh, namun keharaman tentang
melafadzkan kalimat yang mengkafirkan tetap berlaku. Namun karena

XIII
keterpaksaan dan tidak hilangnya iman tidak mendapat adzab dari Allah
SWT.20

b) Rukhshoh isqath atau rukhshoh menggugurkan.


Seperti meng-qasar sholat dalam perjalanan berdasarkan firman Allah
dalam surat an-Nisa (4) : 101 :

‫صاَل ِة ِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأ ْن يَ ْفتِنَ ُك ُم‬ ُ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأ ْن تَ ْق‬


َّ ‫صرُوا ِمنَ ال‬ ِ ْ‫ض َر ْبتُ ْم فِي اَأْلر‬
َ ‫ض فَلَي‬ َ ‫َوِإ َذا‬
‫الَّ ِذينَ َكفَرُوا ۚ ِإ َّن ْال َكافِ ِرينَ َكانُوا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُمبِينًا‬

Artinya : “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah


mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang
nyata bagimu.”

Hukum Menggunakan Rukhshoh


Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum rukhshoh tergantung pada
udzur yang menyebabkan adanya rukhshoh. Jadi adakalanya rukhshoh itu
wajib, sunah, makruh serta mubah sesuai dengan keadaan seseorang saat
mengalami kesulitan.
Pada dasarnya adanya ‘azimah dan rukhshoh didalam hukum Islam
sesungguhya untuk memberikan kemaslahatan bagi umat serta
menghindarkan manusia dari keburukan. Pada situasi yang normal maka yang
berlaku adalah hukum ‘azimah, namun pada situasi atau keadaan tertentu
ketika hukum ‘azimah tidak memungkinkan dipakai karena keadaan yang
benar-benar darurat, maka mukalaf harus menggunakan rukhshoh sesuai
dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Dengan kata lain rukhshoh yang
berlaku terhadap satu orang belum tentu bisa diberlakukan sama terhadap
orang yang lain.

20
Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 388.

XIV
2. Macam-macam Hukum Wadh’i
a. Sebab (al-Sabab)
1) Pengertian al-Sabab
Sabab dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “sebab”,
menurut etimologi sabab adalah sesuatu yang memungkinkan dengan
sampai pada suatu tujuan. Sedangkan menurut terminologi Imam al-Amidi
mendifinisikan dengan sifat Dzahir yang dapat diukur yang ditunjukan
oleh dalil Sam’I (Al Quran dan Sunnah) bahwa keberadaan sebagai
pengenal bagi hukum syari’.21
Prof. DR. Rachmat Syafi’i, M.A dalam bukunya Usul Fiqih,
berpendapat bahwa sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada satu tujuan. Sedangkan menurut istilah adalah
suatu sifat yang dijadikan syari sebagai tanda dari suatu hukum.22
Jadi pada dasarnya al-Sabab menurut terminologi adalah suatu
perkara yang dijadikan syari’ dengan maksud tujuan untuk mengetahui
lebih dalam tentang hukum syariat tertentu, yang artinya bahwa suatu
hukum syari’ akan muncul ketika al-sabab itu ada, dan juga sebaliknya
hukum syariat akan hilang apabila al-sabab tersebut. Seperti dalam surah
al-Isra ayat 78.

‫ق اللَّ ْي ِل َوقُرْ آنَ ْالفَجْ ِر ۖ ِإ َّن قُرْ آنَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُود‬ َّ ‫َأقِ ِم ال‬
ِ ‫صاَل ةَ لِ ُدلُو‬
ِ ‫ك ال َّش ْم‬
ِ ‫س ِإلَ ٰى َغ َس‬

Artinya :“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir .......”(Q.S


al-Isra’: 78).
Jadi dalam kutipan ayat tersebut dijelaskan bahwa tergelincirnya
matahari atau condongnya matahari sebagai sebab adanya perintah hukum
shalat Dzuhur.23

21
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih,( Jakarta: Pustaka Firk, 2005), Hal. 64.
22
Prof. DR. Rachmat Syafi’i, M.A, Ilmu Usul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),
Hal. 313.
23
Op.cit, Ilmu Usul Fiqih, Hal. 312.

XV
2) Macam-macam al-Sabab
a) Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, al-Sabab dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1) Al-Sabab yang menjadikan sebab adanya hukum taklifi. Seperti
contoh, masuknya shalat yang dijadikan syari’ sebagi al-Sebab
adanya kewajiban shalat. Seperti firman Allah dalam surah al-Isra
ayat 78.

َ‫ق اللَّي ِْل َوقُرْ آنَ ْالفَجْ ِر ۖ ِإ َّن قُرْ آنَ ْالفَجْ ِر َكان‬ َّ ‫َأقِ ِم ال‬
ِ ُ‫صاَل ةَ لِ ُدل‬
ِ ‫وك ال َّش ْم‬
ِ ‫س ِإلَ ٰى َغ َس‬
‫َم ْشهُودًا‬
Artinya :“ Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir .......”(Q.S al-Isra’: 78).
2) Al-Sabab yang menjadikan sebeb kepemilikan suatu barang atau
hak milik seseorang atas suatu barang. Seperti akad jual beli, nikah,
thalaq, dan lain-lain.

b) Al-Sabab dilihat dari kesanggupan mukhallaf dalam melakukan


atau melaksanakan suatau hukum, maka al-Sabab dapat dibagi
menjadi dua macam,yaitu:
1) Suatu hal yang ada dalam batas kemampuan mukhallaf untuk
melakukannya. Seperti halnya berpergian yang menjadial-Sabab
diperbolehkannya berbuka puasa, serta pembunuhan yang menjadi
al-Sabab adanya kewajiban Qishas.
2) Suatu hal yang apabila dilakukan berada diluar dibatas kemampuan
seorang mukhallaf. Seperti terbenamnya matahari yang menjadi al-
Sabab diperintahkannya shalat maghrib.
b. Syarat (al-Syarthu)
1) Pengertian al-Syarthu
Syarat (al-Syarthu) adalah suatu perkara yang berada diluar hukum
syari’akan tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya.

XVI
Apabila tidak adanya syarat hukumpun pasti tidak akan ada, akan tetapi
adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.24
Sedangkan menurut Abu Zahrah, syarat adalah suatu yang
tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya hukum,
tetapi tidaklah lazim dengan adanya hukum.25
Maksudnya disini kami menyimpulkan bahwa syarat adalah suatu
yang dapat dikatakan dengan adanya pemberian implikasi terhadap suatu
hukum, akan tetapi dengan adanya syarat saja berarti tidak terpenuhi
kesempurnaan hukum suatu perbuatan tersebut. Dengan kata lain, ada
tidaknya syarat tetap berakibat adanya hukum, tetapi adanya syarat tidak
menjamin kesempurnaan suatu perbuatan hukum.
2) Macam-macam Syarat
a) Dilihat dari hubungannya dengan al-sabab, al-Syarthu dibagi menjadi
dua macam,26 yaitu:
1) Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-Sabab, maksud disini iyalah
syarat yang menguatkan makna sebab akibat yang terdapat dalam
hukum tertentu. Seperti contoh, pencurian harta benda adalah
syarat untuk melakukan had dalam Islam.
2) Al-Syarthu menjadi pelengkap al-Musabbab, menguatkan
hakikat al-Musabbab atau rukunnya. Contoh menghadap kiblat
menjadi syarat sahnya shalat.
b) Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, Al-Syarthu dibagi menjadi
dua macam27,yaitu:
1) Al-Syarthu al- syar‟i, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh
syari’. Seperti syarat-syarat yang terdapat dalam ibadah,
muamalah, jinayah, dan lain- lain.
2) Al-Syarthu al-ja’lae, yaitu syarat yang dibuat serta ditetapkan
oleh seorang mukallaf. Seperti syarat terjadinya thalaq yang
24
Op.cit, “Ilmu Usul Fiqih”, Hal. 313.
25
Abu Zahrah, “Usul Fiqih”, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1958), Hal. 39.
26
Prof. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islam”, (Bandung: PT Al-Ma’ruf), Hal. 149.
27
Op.cit, “Usul Fiqih”, Hal. 77.

XVII
ditetapkan seorang suami terhadap istrinya. Seorang mukallaf
tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan al-syarthu
al-ja’lie, karena telah ada batasan-batasan syariat yang telah
ditentukan oleh agama Islam.
c) Al-Syarthu al-ja‟lie sendiri terbagi menjadi dua macam28, yaitu:
1) Syarat al-mu‟allaq, yaitu syarat yang sah dan dan tidaknya suatu
akad tergantung pada syarat tersebut, artinya seorang mukallaf
telah menetapkan syarat dalam suatu akad. Sebagai contoh,
perkataan seorang suami terhadap istrinya “jika kamu mencuri
maka kamu bukan istriku”
2) Syarat al-muqtarin bi al-aqdi atau syarat muqayyad, yaitu
syarat yang menyertai sebuah akad. Seperti seorang yang ingin
menyewakan rumah dengan syarat ditinggali selama satu tahun.
c. Pencegah (Al-Mani’)
1) Pengertian Al-Mani’
Al-mani’ menurut etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”.
Sedangkan secara terminologi, sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya
sesuatu sebab. Sebagai contoh sebuah akad pernikahan yang sah karena
telah mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab waris
mewarisi. Akan tetapi masalah waris mewarisi itu bisa terhalang
disebabkan suami misalnya membunuh istrinya.29
2) Macam-macam Al-Mani’
Al-Mani’ sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian :
a) Mani’ al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum
syariat. Seperti haid dan nifas yang menjadi mani’ untuk melaksanakan
shalat dan membaca al-Quran.
b) Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ Yang keberadaannya merusak hikmah
yang ada pada sebab. Seperti contoh hutang yang menyebabkan batalnya

28
Op.Cit, Prof Muhammad Abu Zahrah, Hal. 77.
29
Prof.Dr.H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005), Hal. 66.

XVIII
kewajiban zakat, karena hartanya tidak mencapai satu nisab lagi.
d. Sah (Al-Shihhah)
As-shihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan ketentuan syari’
yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan
shalat dzuhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat),
dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dan
sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah.30
Jadi dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sah adalah
sebuah perbuatan yang dilakukan yang manakala terpenuhinya sebab dan
syarat serta tidak adanya penghalang dalam melaksanakannya. Dan apa yang
dikerjakan merupakan tuntutan atau perintah agama yang telah ditentukan
syarat-syarat pelaksanaannya oleh syari’.
e. Batal (Al-Buthlan)
Al-Buthlan adalah sesuatu tindakan yang dilakukan atau diadakan oleh
orang mukallaf yang tidak sesuai dengan tuntutan syara’. Serta tidak sah
dalam pelaksanaannya, baik tidak sahnya itu karena cacat, maupun tidak
terpenuhinya syarat- syarat serta rukun-rukun yang diperlukan dan baik dalam
soal ibadah, maupun dalam soal muamalah. Maka atas dasar ini sebagian para
ahli ushul tidak membedakan antara pengertian bathil dan fasid.31
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak disyariatkan oleh
islam, oleh sebab itu segala perbuatan yang tidak disyariatkan islam adalah
batal, seperti halnya: memperjual minuman keras, Narkoba.

30
Op.Cit, Prof.DR. Rachmat Syafe‟i, M. A,Hal. 315.
31
Prof.DR. Mukhtar Yahya dan Prof Drs. Fatchurrahman, Dasar- dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islam, (Bandung: PT.Al-Ma‟rif , 1983), Hal. 154.

XIX
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum syara’ adalah “seperangkat perarturan berdasarkan ketentuan dari


allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini serta berlaku untuk
semua umat yang beragama islam”.
Hukum syara’ terbagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Hukum takhlifi (‫ )تكليفي‬yaitu khithab Allah yang berisikan pembebanan atau
penyematan status hukum pada perbuatan manusia.
2. Hukum wadh’i (‫ )الوضعي‬yaitu informasi dari allah yang diberikan kepada kita
tentang syarat, sebab, ataupun pencegah dari keterlaksanaan hukum takhlifi.

XX
Dalam pembagian hukum takhlifi ada al-ijab yaitu titah (khithab) Allah
yang mengandung tuntutan pasti atau perintah untuk dikerjakan. Khithab
merupakan sebutan bagi arahan kalam yang berfaidah kepada orang lain,
sementara orang tersebut bisa mendengarnya. Al-nadb, al-tahrim, al-karahah, ai-
ibahah, al- ar-rukhsoh, dan al-azimah.
Dalam pembagian hukum wadh’i ada, sabab, syarat, mani’, sihhah,
butlan. Sabab ialah sesuatu yang memungkinkan sampai pada suatu tujuan.
Syarat, ialah suatu perkara yang berada pada hukum syar’i akan tetapi keberadaan
hukum syara’ tergantung padanya. Mani’ yaitu penghalang, penghalang bagi
adanya hukum atau penghalang bagi fungsinya sesuatu. As-shihah yaitu hukum
yang sesuai dengan ketentuan syar’i. Al-buthlan atau batal yaitu suatu tindakan
yang dilakukan oleh orang mukallah yang sesuai dengan tuntunan syara’ namun
tidak sah dalam pelaksanaanya.

B. SARAN

Demikianlah makalah ini dibuat, penulis menyadari bahwa dalam


pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kritik serta saran dari
semua pihak sangat kami harapkan, demi kesempurnaan isi dan penulisan
makalah ushul fiqih. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami semua khususnya
mahasiswa pendidikan agama islam iain pekalongan.

XXI
DAFTAR ISI

al-Marbawi, Abd al-Rauf. 1937. Kamus Idris al-Marbawi. Bairut : Dar al-Fikr

al-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad. 2001. Rakhshu al-Syar’iyyah
wa Isbatuhu bi al-Qiyas. Riyadh: Maktabah Rusyd

Chaniago, Sulatri . 2014 .“’Azimah dan Rukhsoh Suatu Kajian Dalam Hukum


Islam”, Jurnal Islam Vol. 13 No. 02 Abu Zahrah, Muhammad. 2005. Ushul
Fiqih. Jakarta. Pustaka Pirk

Effendi satria, M.Zein. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh, Jilid I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu

XXII
Kartini. 2016. “Penerapan Al-Amr, AL-Nahy dan Al-Ibahah Sebagai Kaidah
Penetapan Hukum”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 9 No. 1

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu

Syafe‟i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman. 1983. Dasar- dasar Pembinaan Hukum


Fiqih Islam. Bandung: PT Al-Ma‟rif.

Zaidan, Abdul Karim . 1976. Terjemah Kitab Al Wajiz Fi Ushul Al Fiqih.


Baghdad : Dar al-Fikr

XXIII

Anda mungkin juga menyukai