Kelompok : 10
Nama Kelompok:
Ika Puspita Sari
@gmail.com
Institut Agama Islam Negeri Pekalongan
Ryan Deriansyah
dersderiansyah14@gmail.com
Institut Agama Islam Negeri Pekalongan
Topan Nugroho
@gmail.com
Institut Agama Islam Negeri Pekalongan
Nur Wahidah
@yahoo.com
Institut Agama Islam Negeri Pekalongan
Abstrak
Kata Kunci :
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rule of Law
Rule of law adalah kekuasaan public yang diatur secara legal berdasarkan
pengertian tersebut maka setiap negara yang legal senantiasa menegakkan rule of law.
Rule of law berdasarkan subtansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap negara
akan mengatakan mendasarkan pada rule of law dalam kehidupan kenegaraannya,
meskipun negara tersebut adalah negara otoriter. Atas dasar alasan ini maka diakui
maka sulit menentukan pengertian rule of law secara universal, karena setiap
masyarakat melahirkan pengertian itupun secara berbeda pula, dalam hubungan inilah
maka rule of law dalam hal munculnya bersifat endogen artinya muncul dan
berkembang dari suatu masyarakat tertentu.1
Rule of law atau aturan hukum disebut juga dengan supremasi hukum, berarti
bahwa hukum diatas semua orang berdasarkan pengertian, Friedmen membedakan
rule of law menjadi 2 yaitu, pengertian secara formal (in the formal sense) dan
hakiki/materiil (ideological sense). Secara formal, rule of law diartikan sebagai
kekuasaan hukum yang teroganisir (organized public power). Hal ini dapat diartikan
bahwa setiap negara mempunyai aparat penegak hukum yang menyangkut ukuran
baik dan buruk (just and unjust law).2
Kehadiran Rule of Law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap
Negara absolute (kekuasaan di tangan penguasa). Rule of Law pada hakikatnya
merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia dan
juga “keadilan social”. Inti dari Rule of Law adalah adanya keadilan bagi masyarakat,
terutama keadilan social. Secara sederhana, yang dimaksud dengan Negara hukum
adalah Negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dan lembaga – lembaga
lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan
dipertanggungjawabkan secara hukum.
1
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Paradigma, 2016), hlm. 117.
2
Nana Triana, Rule of Law dan HAM,
https://www.academia.edu/33793459/Rule_of_Law_dan_ham, diakses pada 14 November 2019
B. Prinsip – Prinsip Rule Of Law
Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) erat kaitannya dengan
(penyelenggaraan menyangkut ketentuan-ketentuan hukum) “the enforcement of the
rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam penegakan
hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.
Berdasarkan pengalaman berbagai Negara dan hasil kajian, menunjukan
keberhasilan “the enforcement of the rules of law” bergantung pada kepribadian
nasional setiap bangsa (Sunarjati Hartono: 1982). Hal ini didukung kenyataan bahwa
rule of law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas
dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Karena bersifat legalisme maka
mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani dengan pembuatan sistem
peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal
dan otonom.
Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait rule of law
telah banyak dihasilkan di Indonesia, tetapi implementasinya belum mencapai hasil
yang optimal sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of law
belum dirasakan di masyarakat. ü Negara yang menganut sistem Rule of Law harus
memiliki prinsip-prinsip yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi
Rule of Law itu sendiri.
Menurut Albert Venn Dicey dalam Introduction to the Law of The
Constitution, memperkenal istilah the Rule of Law yang secara sederhana diartikan
sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang
fundamental dalam Rule of Law, yaitu:
1. Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang,
dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di muka hukum.
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh UU serta keputusan-keputusan
pengadilan.
3
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat) (Bandung: Rafika Aditama, 2009),
hlm. 1.
Dengan membatasi kekuasaan negara dalam suatu negara hukum, tujuannya
adalah agar hak-hak rakyat tidak dilanggar oleh pemerintah. Karena kekuasaan
negara yang tidak terkontrol akan menimbulkan tirani yang mengabaikan kepentingan
rakyat.Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan negara yang absolut
cenderung untuk korup secara absolut. Karena itu, konsep negara rule of law
mempunyai esensi dasar berupa:
1. Negara memiliki hukum yang adil;
2. Berlakunya prinsip distribusi kekuasaan;
3. Semua orang, termasuk penguasa negara harus tunduk kepada hukum;
4. Semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam hukum;
5. Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.
Selain daripada itu, meskipun konsep negara hukum atau negara yang
berdasarkan rule of Law memiliki ciri-ciri fundamental yang sama, tetapi wujud
konkrit dari pengaturan dan sistem dalam negara tersebut dapat beraneka ragam. Di
samping tidak selalu matching antara konsep negara hukum dengan konsep negara
demokrasi, dalam konsep negara hukum itu sendiri terdapat kelemahan-kelemahan
yang inheren, meskipun kelemahankelemahan tersebut bukannya tidak dapat diatasi
atau diminimalisir. Kritik yang sering ikan terhadap konsep negara hukum atau
negara rule of law, antara sebagai berikut:
1. Konsep negara hukum mendasari konsepnya kepada sektor hukum yang dianggap
lengkap dan pasti. Padahal dalam kenyataannya, sektor hukum tidak mungkin
dapat mengatur segala persoalan secara detil, karena begitu kompleksnya masalah-
masalah manusia yang diatur oleh hukum tersebut. Di samping itu, ketidakpastian
dalam hukum dapat juga disebabkan oleh faktor bahasa yang sering sekali dapat
ditafsirkan bermacam-macam;
2. Konsep negara hukum mendasari konsepnya kepada sektor hukum yang dianggap
netral. Padahal dalam kenyataannya seringkali hukum tersebut tidak netral, dan
seringkali memihak kepada pihak tertentu, terutama memihak kepada pihak yang
kuat bargaining powernyadalam proses pembuatan dan penerapan hukum;
3. Konsep negara hukum mendasari konsepnya kepada sektor hukum yang dianggap
selalu bersifat objektif. Padahal dalam kenyataannya, hukum seringkali tidak
berlandaskan kepada fakta dan pertimbangan yang objektif, melainkan selalu
dipengaruhi oleh pola pikir, agama, kepercayaan, paham politik dan golongan
politik, perasaan, dan hal-hal yang bias lainnya dari para pembuat hukum dan
penegak hukum.
Di samping itu, agar dapat terlaksananya suatu prinsip rule of law dalam
praktik, masyarakat dan pemimpin negara di berbagai cabang pemerintahan haruslah
selalu dapat memahami dan menghayati konsep rule of law tersebut. Karena, jika
kurang pemahaman dan penghayatan tersebut, pelaksanaan konsep rule of law justru
dapat tergelincir ke arah the rule of men, yang memang merupakan kecenderungan
bawaan umumnya manusia, di mana pelaksanaan konsep the rule of men pada zaman
modern jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan konsep the rule of men yang
dipraktikkan.
D. Pengertian HAM
Pada ketentuan pasal 1 UU No. 39 dinyatakan bahwa HAM merupakan
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.4
Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar yang
dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugrah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Ini
berarti bahwa sebagai anugrah dari tuhan kepada makhluknya, Hak asasi tidak dapat
dipisahkan dari eksistensi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh
4
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Semarang : Universitas Diponegoro Semarang, 2012),
hlm. 99
suatu kekuasaan atau oeleh sebab-sebab lainnya, karena jika hal itu terjadi maka
manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.5
c. Periode 1959-1966
Dicirikan :
1) Masa berakhir demokrasi Liberal
2) Muncul system Terpemimpin
3) Kekuasaan ditangan Pressiden
4) Pemasungan hak-hak asassi warga Negara
d. Periode 1966-1998
Dicirikan :
1) Zaman Orde Baru
2) Banyak pelanggaran HAM
3) Pelaksanaan HAM terjadi kemunduran sejak awal 1970-an – 1980-an
6
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: Mandar Maju,
2011), hlm. 130.
7
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 49.
kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan
asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu
negara, tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi
kemanusiaan itu, oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia, merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara
yang disebut sebagai negara hukum.
Jika dalam suatu negara, HAM terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan
penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, negara yang
bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang
sesungguhnya.
Untuk melihat lebih lanjut negara hukum dengan HAM, dapat dikaji dari
sudut pandang demokrasi, sebab HAM dan demokrasi, merupakan konsepsi
kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan, dari sejarah peradaban manusia di
seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil
perjuangan manusia, untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya,
sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasi yang terbukti paling
mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang
menjamin derajatnya sebagai manusia. Hakhak inilah yang kemudian disebut dengan
HAM, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya, sebagai manusia yang merupakan
karunia Sang Pencipta, hal ini dengan tegas dimuat dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya UU HAM)
yang mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk TuhanYang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang
sama, prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi
sosial, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa hal ini tidak mungkin dapat
dilakukan secara individual, pencapaiannya harus melalui organisasi atau
perkumpulan, untuk itu dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial
tersebut dan diberi kekuasaan secara demokratis.
Setiap orang, selama hidupnya memiliki hak dan kewajiban yang hakiki
sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak
boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia,
karena itu jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang
sebagai warga suatu negara. Setiap orang di mana pun ia berada harus dijamin hak-
hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di mana pun ia berada, juga
wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri
pandangan dasar bangsa Indonesia, mengenai manusia dan yang kemanusiaan yang
adil dan beradab.8
Dari uraian-uraian di atas terlihat jelas ketetaurtn antara negara hukum dengan
HAM. Hubungan ini bukan hanya dalam bentuk formal semata-mata, dalam arti
bahwa perlindungan HAM merupakan ciri utama konsep negara hukum, tapi juga
hubungan tersebut terlihat secara materil. Hubungan secara materiil ini dilukiskan
atau digambarkan dengan setiap sikap tindak penyelenggara negara harus bertumpu
pada aturan hukum sebagai asas legalitas.
Konstruksi yang demikian ini menunjukkan pada hakikatnya semua kebijakan
dan sikap tindak penyelenggara penguasa bertujuan melindungi HAM. Pada sis ilain,
kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan
manapun merupakan wujud perlindungan dan penghormatan terhadap manusia dalam
negara hukum.
8
Indrijanto Seno Adji, Catatan tentang Pengadilan HAM dan Masalahnya. Artikel dalam
Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XIX No. 1 Januari, 2000 (Bandung: Fak. Hukum Universitas
Parahyangan, 2001), hlm. 18.
Daftar Referensi