Anda di halaman 1dari 22

GURU DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

(TELAAH PEMIKIRAN BUYA HAMKA)

Ryan Deriansyah
Institut Agama Islam Negeri Pekalongan
dersderiansyah14@gmail.com
 
Abstrak

Dalam Islam, citra seorang guru (agama) sangat strategis. Selain mengemban misi ilmiah agar siswa
menguasai ilmu agama, guru juga mengemban misi suci, misi kenabian, yaitu membimbing dan
membimbing siswa di jalan kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Dengan peran strategis tersebut,
tentu tidak mudah untuk menjadi seorang guru agama. Selain itu, dalam menjalankan tugasnya,
ustadz akan menghadapi tantangan berat, baik tantangan internal (berkaitan dengan materi agama
dan guru) maupun tantangan eksternal (terkait kekhawatiran orang tua, lingkungan yang kurang
kondusif, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi). Slain menghasilkan efek positif,
teknologi itu juga menghasilkan efek negatif). Buya Hamka adalah sosok pembaharu pemikiran
Islam di Indonesia. Beliau banyak menuliskan pemikiran-pemikiran beliau dalam bukunya yang
bergenre keagaamaan, pendidikan, juga roman. Dalam pendidikan keIslaman bahkan menuliskan
kitab tafsir yang berjudul Tafsir Al-Azhar yang menunjukkan kedalaman beliau dalam ilmu tafsir.
Banyak pemikiran-pemikiran beliau yang masih relevan untuk dikaji dan di terapkan di era sekarang
ini. Terutama kaitannnya dengan bagaimana guru yang sesuai dengan prespektif ajaran Islam. Beliau
banyak mengungkapkan syarat-syarat juga cara agar dapat menjadi guru yang sesuai dengan ajaran
Islam.

Kata Kunci: Guru, Pendidik, Prespektif Islam

Abstract

In Islam, the image of a teacher (religion) is very strategic. In addition to carrying out a scientific
mission so that students master religious knowledge, teachers also carry out a sacred mission, a
prophetic mission, namely guiding and guiding students on the path to Allah Subahanahu Wa
Ta’ala. With this strategic role, it is certainly not easy to become a religious teacher. In addition, in
carrying out their duties, ustadz will face serious challenges, both internal challenges (related to
religious materials and teachers) and external challenges (related to parental concerns, an

1
unfavorable environment, and the development of science and technology). besides producing
positive effects, the technology also produces negative effects). Buya Hamka is a reformer of Islamic
thought in Indonesia. He wrote a lot of his thoughts in his books which were in the genre of religion,
education, and romance. In Islamic education, he even wrote a book of commentaries entitled Tafsir
Al-Azhar which shows his depth in the science of interpretation. Many of his thoughts are still
relevant to be studied and applied in today's era. Especially in relation to how teachers are in
accordance with the perspective of Islamic teachings. He revealed many conditions as well as ways
to become a teacher in accordance with Islamic teachings.

Keywords: Teacher, Educator, Islamic Prespective

A. PENDAHULUAN 
Pendidikan yang ada saat ini sejatinya tidak lepas dari peran tokoh-tokoh perjuangan
pendidikan yang pada zaman dahulu berjuang dengan begitu keras mengerahkan segala pikiran,
keringat bahkan seluruh tumpah darahnya. Jadi tidak bijak jika kita membicarakan hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan namun tidak mengaitkannya dengan mereka setelah kita di era sekarang
ini menikmati hasil jerih payah dan karya-karya mereka. Tokoh-tokoh perjuangan pendidikan di
Indonesia ini sejatinya cukup banyak dan sangat berjasa bagi adanya dunia pendidikan di bangsa ini
(Hasbullah, 2008).

Dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, tokoh-tokoh yang berperan dalam perjuangan
pendidikan khususnya pendidikan Islam juga sangatlah banyak yang mana buah jerih payah
perjuangan mereka dapat kita sebagai umat Islam dapat nikmati saat ini. Banyak diantara mereka
yang menjadi guru, ustadz, syekh, maupun kyai. Pada dasarnya beberapa sebutan tadi mengerucut
pada satu kata yakni pendidik. Guru atau pendidik dalam dunia Islam tentu punya prespektif
tersendiri dan acuan tersendiri yakni yang diajarkan oleh Rasulullah, para sahabat dan tabi’in yang.
Untuk itu pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan pemikiran dari salah satu tokoh
pendidikan Islam di Indonesia yang sangat terkenal dan pemikirannya berjasa hingga saat ini. Ia
adalah Buya Hamka.

Buya Hamka, sebagai salah seorang tokoh Islam yang memperhatikan tentang pendidikan.
Mempunyai pandangan yang sangat mendalam akan keberadaan dan perkembangan pendidikan Islam
di Indonesia. Ia berpendapat bahwa pendidikan merupakan suatu sarana penunjang serta dasar suatu
kemajuan dan kejayaan umat manusia dalam memperoleh berbagai ilmu pengetahuan. Pendidikan
yang dimaksud Buya Hamka ini merupakan gabungan dua prinsip yang saling mendukung satu sama

2
lain, yakni prinsip keberanian serta kemerdekaan berfikir (Hamka, 1980). Dalam pembahasan berikut
ini, akan memaparkan terkait dengan biografi singkat, karya-karya, konsep pemikiran pendidikan
Buya Hamka tentang pendidikan Islam, serta pandangan Buya Hamka tentang guru dalam prespektif
pendidikan Islam.

B. METODE 
Artikel Ilmiah ini menggunakan penelitian berjenis kepustakaan atau library research.
Adapaun prosedur yang dilakukan berkenaan dengan pengumpulan data kepustakaan berupa jurnal-
jurnal, buku, serta artikel sebagai penunjang data kemudian dilakukan literasi, pencatatan, serta
dilanjutkan dengan pengolahan data yang diperoleh dari proses tersebut. Pendikatan yang dilakukan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang kemudian menghasilkan data berupa
kalimat-kalimat deskriptif yang bersumber dari literatur-literatur yang berkaitan dengan persolan
yang dibahas dalam penelitian ini.

C.  HASIL DAN PEMBAHASAN 


Penelitian pustaka mengambil dari beberapa sumber literatur yakni e-book yang berjudul
“Falsafah Hidup” karya Buya Hamka yang berisikan tentang konsep kehidupan yang berkaitan
dengan Islam kemudian di dalamnya terdapat bahasan tentang bagaimana pendidikan itu
dilaksanakan terutama dalam konteks keIslaman. Kemudian dalam jurnal karya Dian Rahmi Zul
yang berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Buya Hamka yang mengulas konsep pemikiran
pendidikan Islam dan relevansinya di era sekarang ini. Ada pula jurnal karya Hikmat Kamal yang
berjudul “Kedudukan dan Peran Guru dalam Prespektif Pendidikan Islam”. Jurnal karya M. Yusuf
Ahmad dan Balo Siregar tentang “Guru Profesional Menurut Imam Al-Ghazali dan Buya Hamka.
Serta artikel-artikel lain yang membahas tema serupa sebagai penguat.

1. Hasil 
a. Biografi Singkat Buya Hamka
Buya Hamka atau yang bernama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian
disingkat HAMKA, lahir di daerah bernama Sungai Batang, Maninjau, Provinsi Sumatera
Barat tepat pada hari Ahad, tanggal 17 Februari 1908 M atau bertepatan pada tanggal 13
Muharram 1326 H. Beliau berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayah beliau bernama
Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan Haji Rasul. Ayah Buya Hamka ini
merupakan ulama Minangkabau yang pernah melaksanakan studi di Mekkah, ia juga

3
merupakan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau yang juga mempelopori kebangkitan kaum
mudo.

Dari latar belakang singkat saja, sudah kita ketahui bersama bahwa Buya Hamka berasal
dari keluarga yang agamanya kuat dan memiliki hubungan yang erat dengan genarasi para
tokoh pembaharu Islam di wilayah Minangkabau era akhir abad ke-18 sampai abad ke-19. Di
Minangkabau, struktur masyarakatnya menganut sistem matrilineal yang menjadikan ibu
sebagai penisbatan silsilah keluarga. Hal ini yang menjadikan Buya Hamka menggunakan
silsilah dari suku tanjung yang mana itu dari ibunya.

Latar belakang pendidikan seorang Buya Hamka bisa dikatakan tidak begitu tinggi.
Beliau saat berusia 8-15 tahun mengawali pendidikannya di Diniyyah School di Padang
Panjang dan Sumatera Thawalib di Parabek. Adapun guru-guru beliau antara lain Ibrahim
Musa Parabek, Sutan Murajo, Zainuddin Labey Al-Yunusy dan Engku Mudo Abdul Hamid.

Pada saat itu, proses pendidikan masih sangat bersifat tradisional yakni dengan
membentuk semacam halaqah-halaqah. Sistem klasikal baru ada dan diperkenalkan ketika
berada di Sumatera Thawalib Jembatan Besi yakni pada tahun 1916. Walaupun sistem klasikal
ini sudah masuk, namun belum ada sistem pembelajaran dengan tempat duduk, papan tulis,
dan lain sebagainya. Pendidikan masih dalam kisaran pengkajian kitab-kitab kuning seperti
nahwu, sharaf, bayan, mantiq, fiqh, dan lain sebagainya. Kemudian metode yang digunakan
juga menekankan pada metode hafalan jadi masih terdapat sistem pendidikan tradiosionalnya.

Sosok Buya Hamka merupakan salah seorang tokoh pembaharu Islam di wilayah
Minangkabau. Meski dilahirkan oleh sistem pendidikan lama karena pada saat itu peradaban
pendidikan masih bersifat sederhana, beliau memiliki tingkat intelektual serta wawasan yang
luas juga visioner dalam memiliki pandangan dan gagasan. Hal ini diawali ketika beliau
mengelola Masjid Al-Azhar atas permintaan yayasan yaitu Ghazali Syahlan dan Abdullah
Salim. Beliau menunjukkan gagasan dalam hal pembaharuan pendidikan Islam dengan
menjadikan Masjid Al-Azhar bukan hanya sekedar Institusi Agama, melainkan juga menjadi
suatu lembaga sosial, yakni antara lain :
1) Lembaga Pendidikan Islam mulai dari tingkat TK Islam hingga Perguruan Tinggi Islam.
2) Badan Pemuda. Adapun badan ini secara berkala memiliki kegiatan seperti; pesantren
kilat, seminar, diskusi, olah raga, dan kesenian.

4
3) Badan Kesehatan yang memilki dua kegiatan utama, yakni; poliklinik umum dan
poliklinik gigi dengan tujuan melayani para siswa, jemaah masjid, maupun masyarakat
umum juka memperlukan pengobatan.
4) Akademi, Kursus, serta Bimbingan Masyarakat yang memiliki kegiatan antara lain;
Akademi Bahasa Arab, Kursus Agama Islam, pelatihan membaca Al-Quran, manasik haji,
serta pendidikan kader muballigh atau da’i.

Selain dari keempat gagasan di atas, Buya Hamka meminta agar dibangun sebuah
perkantoran, aula pertemuan, serta ruang-ruang belajar yang berfungi menjadi suatu media
pendidikan dan sosial masyarakat. Gagasan-gagasan tersebut berhasil mengubah stigma
masyarakat tentang Islam yang dianggap “marjinal” menjadi sangat “berharga” dan
bermanfaat lebih serta membaur dengan masyarakat. Sehingga kesan eksklusif pada suatu
lembaga ke-Islamian dapat berubah menjadi lebih inklusif, saling menghargai dan
mensejahterakan. Dari itu semua, dewasa ini sudah berhasil mencetak para pemikir Islam
antara lain; Niurcholis Madjid, Jimy Assidiqy, Habib Abnmdulah, Wahid Zaini, Syifa Anwar
serta lain sebagainya (Samsul Nizar, 2008).

Buya Yahya berpendapat bahwa pendidikan tidak seharusnya terlepas dengan

pendidikan ketika di rumah. Karena pendidkan anak adalah bukan hanya mutlak guru atau

ustadznya melainkan harus ada sinergi antara guru dengan walid murid atau orang tua dari

peserta didik. Karena itulah Buya Hamka menjadikan Masjid Al-Azhar sebagai tempat

silatirahmi guru dengan orang tua untuk membicarakan terkait dengan perkembangan

anaknya selama belajar. Buya Hamka berkata, “Kalaulah Kalaulah rumahnya berjauhan, akan
bertemu pada hari Jum’at”(Muhammad Herry, 2007).

Buya Hamka wafat pada tanggal 24 Juli 1981. Meski begitu, jasa dan pengaruhnya
dari perjuannganya semasa hidup masih terasa sehingga hingga saat ini dalam memajukan
pendidikan Islam di Indonesia. Memang Buya Hamka bagi masyarakat lebih dikenal sebagai
pujangga, wartawan, ulama, serta budayawan, akan tapi tidak boleh dilupakan kontribusi
besar beliau sebagai seorang pemikir pendidikan khususnya dalam pendidikan Islam yang
pemikirannya masih relevan serta baik untuk dikaji dan diterapkan di era sekarang ini.

b. Karya-Karya Buya Hamka


Sejak usia 17 tahun hingga akhir haytnya yakni tahun 1925 sampai tahun 1975 Buya
Hamka telah menyukai menulis buku-buku. Karena itu juga beliau menonjol dan dikenal

5
dengan karirnya sebagai penulis. Karangan-karangan beliau secara garis besar membahas
terkait masalah agama, sejarah, budaya, filsafat serta sastra.

Adapun karya-karyanya antara lain; Khatibul Ummah pada tahun 1925-1935 dimana
terdiri dari 3 jilid, berbahasa Arab, dan menjadi awal mula kiprah belau dalam dunia
penulisan. Kemudian dilanjutkan buku dengan judul Majalah Kemauan Zaman pada tahun
1925. Empat tahun berselang menyelesaikan buku dengan judul Pembela Islam (Tarikh
Sayyidina Abu Bakar) pada tahun 1929, ditahun yang sama yakni 1929 melahirkan buku
Adat Minangkabau dan Agama Islam, Ringkasan Tarikh Umat Islam yang berisikan sejarah
dari Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam, Sejarah Khalifah Empat, Bani Abbasiyyah dan
Bani Umayyah, Kepentingan Melakukan Tabligh. Pada tahun 1932 Buya Hamka kembali
melahirkan buku yang berjudul Hikmah Isra’ dan Mi’raj, Arkanul Islam, Majalah Tentara (4
Nomor) dan Majalah al-Mahdi (9 Nomor) (Muhammad Damami, 1931) di Makassar, serta
pada tahun 1934 menyelesaikan buku yang berjudul Mati Mengandung Malu.

Karya-karya yang disebutkan di atas hanya sebagian saj dan masih banyak karya dari
Buya Hamka yang beliau tuliskan dalam bentuk cerita-cerita, sajak-sajak dan berbagai karya
di surat kabar serta majalah-majalah. Beberapa hasil karya beliau lain yang dituliskan dari
tahun 1935 sampai tahun 1942 antara lain; Di Bawah Lindungan Ka’bah tahun 1936,
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tahun 1937, Di Dalam Lembah Kehidupan tahun 1939
yang semuanya di terbitkan oleh Balai Pustaka dan Merantau Ke Deli pada tahun yang sama.
Empat karya tersebut Buya Hamka sajikan dalam bentuk roman, dimana isi dan gaya
bahasanya tergolong tinggi. Oleh karena teknik penulisan yang spesial tersebut banyak dari
pembaca merasa terpukau dengan corak gaya bahasa yang disajikan. Keterampilan Buya
Hamka ini dipengaruhi oleh sastrawan asal Mesir yang bernama Musthafa Luthfi al-
Manfaluti yang menggunakan ciri penulisan samacam ini.

Tak berhenti samapai disitu, karya buya Hamka berlanjut dengan memghasilka judul
antara lain; Pedoman Muballig Islam tahun 1937, Tuan Direktur tahun 1939, Dijemput
Mamaknya tahun 1939, Agama dan Perempuan dtahun 1939, Keadilan Ilahi tahun 1939,
Tasawuf Modern tahun 1939, Falsafah Hidup tahun 1939, Lembaga Hidup tahun 1940.
Lembaga Budi tahun 1940, dan Margaretta Gauthie (terjemahan) tahun 1940. Dari beberapa
buku-buka novel yang beliau tuliskan atau terjemahkan bahan pembicaraan pemuda-pemudi
saat itu. Tak hanya itu, kalimat “Haji atau ulama roman?”, itu bahkan menjadi kritik tajam bagi

6
sebagian para ulama tradisional yang pada saat itu kurang menerima jika ada ulama yang
menulis karya bertemakan percintaan dan roman (Alvia Harafit, 2006).

Tak hanya karya-karya tentang ilmu agama dan novel saja, Buya Hamka juga
menuliskan suatu karya yang menjadi salah satu karya terbesar yakni Kitab Tafsir Al-Quran
Al-Azhar. Bahkan ini menjadi suatu karya yang monumental bagi Buya Hamka dan
menunjukkan bahwa beliau juga memiliki kedalaman ilmu dalam bidang tafsir. Kitab ini
dituliskan pada tahun 1966 dan terdiri dari 30 jilid, beliau menuliskannya saat berada dalam
tahanan era pemerintahan Presiden Soekarno (A. Suyanto, 2007).

c. Konsep Tentang Pendidikan Islam


1) Pengertian Pendidikan Islam
Arti pendidikan Islam dalam bahasa Arab mengacu kepada beberapa kata yakni
tarbiyah, ta’dib, ta’lim, dan tahdzib. Tarbiyah sendiri diambil dari huruf ‫ ر‬yang memiliki
arti mengembangkan, menumbuhkan atau bertambah (M. Munir Mursi, 2009).
Berdasarkan arti di atas bisa diuraikan bahwa dalam pendidikan itu sendiri memiliki
tujuan menumbuhkan, mengembangkan, dan bertambahnya potensi diri atau kemampuan
diri.

Syed Muhammad An-Nauqib Al-Attas tidak sependapat akan hal itu. Beliau tidak
setuju jika kata tarbiyah diartikan dengan pendidikan Islam. Menurut beliau kata ta’dib
lah yang paling tepat untuk konsep makna pendidikan Islam yang di dalamnya termuat
tarbiyah dan ta’lim (Syed Muhammad An-Nauqib, 1984). Ahmad Fu’ad Al-Ahwani
menyatakan bahwa kata tarbiyah yang konsep ditonjolkan adalah aspek kasih sayang,
berbeda dengan ta’dib yang lebih menonjolkan ilm atau pengetahuan. Pada zaman dahulu
seorang guru dikenal dengan sebutan mu’addib yang mengandung makna teladan,
kemudian dewasa ini berubah atau beralih menjadi murabbi (Ahmad Fu’ad Al-Ahwani,
1967). Namun terjadinya pergesaran istilah tersebut tidak ada catatan persis waktunya.
Jika perubahan tersebut terjadi di era sekarang ini maka pendapat Syed Muhammad ada
benarnya juga.

Menurut para ahli pengertian pendidikan Islam memiliki tinjauannya masing-


masing. Zakiyah Darajat misalnya, ia menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan
yang membentuk kepribadian dari seorang muslim (Zakiyah Darajat, 1983). Berbeda
dengan Zakiyah Darajat, Yusuf Al-Qardhawiy mengemukakan bahwa pendidikan

7
Islam merupakan suatu pendidikan manusia seutuhnya, dimana di dalamnya ada akal
dan hati, rohani dan jasmani, serta akhlak dan keterampilan (Yusuf Al-Qardhawiy,

1980). Sedangkan menurut Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, pendidikan Islam adalah


pendidikan akhlak, namun tidak meninggalkan ilmu untuk mempersiapkan hidup yakni
ilmu tentang usaha dan rezeki. Untuk itu di dalamnya memuat juga ilmu pendidikan
jasmani, rohani, keterampilan, bahasa, dan lain sebagainya. Hal itu dikarenakan sejak
zaman lahirnya Islam, pendidikan agama Islam, akhlak, pengamalan, serta jasmani
diajarkan seluruhnya tanpa meninggalkan salah satu dari itu. Karena tujuan pendidikan
Islam sendiri adalah untuk mendidik, membersihkan jiwa, mencerdaskan akal pikirannya,
serta melatih jasmani agar menjadi kuat. (Muhammad ‘Athiyah, 1975).

Dari pengertian-pengertian tentang pendidikan Islam di atas, sebenarnya tidak


ada perbedaan yang signifikan. Melainkan lebih kepada cara menguraikan makna dari
pendidikan Islam itu sendiri. Karena sejatinya pendidikan Islam itu didasarkan pada
ajaran Islam itu sendiri, dan ajaran Islam bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad Salallahu ’Alaihi Wasallam yang tujuan akhir dari itu adalah kebahagiaan
fiiddunya wal akhiarah atau dunia dan akhirat.

2) Tujuan Pendidikan Islam


Tujuan pendidikan Islam menurut para ahli dikategorikan menjadi 4 hal yakni;

tujuan umum, tujuan akhir, tujuan sementara, dan tujuan operasional (Zakiyah Darajat,

1983). Tujuan pendidikan Islam haruslah sejalan dengan tujuan umat Islam, maka dari itu

dalam pelaksanaannya ini menjadi tujuan khusus karena dikaitkan dengan keadaan
setempat pelaksanaan pendidikan Islam tersebut (Sofiyani, 1987). Sebagai contoh, jika
tujuan pendidikan Islam itu dilaksanakan di Indonesia maka harus dikaitkan dengan

falsafah bangsa yakni Pancasila dan UUD 1945.

Tujuan umum pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil yakni manusia
yang bertaqwa kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Setiap tingkatan umur mempengaruhi
bobot tujuan yang hendak dicapai. Mungkin kerangka tujuan umumnya sama, namun
secara bobot baik itu kecerdasan, situasi, dan kondisi itu berbeda disesuaikan dengan umur.

d. Pemikiran Buya Hamka Tentang Guru dalam Prespektif Pendidikan Islam


1) Makna dan Hakikat Guru

8
Guru atau pendidik merupakan komponen terpenting dalam berlangsungnya suatu
pendidikan. Tidak adanya guru, sangat sulit kiranya proses pendidikan itu bisa berjalan.
Sejak manusia itu dilahirkan peran guru dalam hidupnya sudah mulai berjalan melalui
pendidikan dan pengajaran dari kedua orang tuanya terutama seorang ibu. Karena dalam
agama Islam, Ibu merupakan madrasatul ula atau tempat belajar yang pertama diterima
oleh seorang anak manusia. Baru setelah memasuki pendidikan formal maka guru dalam
sekolahlah yang memberikan pendidikan kepadanya, namun itu tidak menjadikkan orang
tua lepas tanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada anaknya, karena
pendidikan bukan hanya tentang akademik, namun akhlak, moral, spiritual, sosial dan
perilaku sangatlah penting untuk diajarkan. Guru tidak terbatas akan dua kompenen
tersebut saja, namun siapapun yang melakukan transfer pengetahuan/ilmu disebut dengan
guru dan murid.

Buya Hamka berpendapat bahwa seorang guru seyogyanya menanamkan sikap


berani pada diri peserta didiknya. Berani untuk berpendapat, berargumen, dan berfikir
kritis bisa menggunakan metode menceritakan riwayat atau kisah-kisah orang pemberani
orang terdahulu. Selian itu seorang guru harus membiasakan peserta didik untuk berterus
terang ketika berbicara, tidak mudah mempercayai tahayul atau khurafat, serta membekali
diri dengan memprkaya ilmu-ilmu yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain
di sekitarnya.

Guru adalah sosok terpenting dalam proses berjalannya pendidikan serta selalu
menjadi perhatian utama dari peserta didik. Maka sudah menjadi kewajiban bahwa guru
harus memberikan contoh akhlak dan perilaku yang baik bagi peserta didik. Dengan guru
yang memiliki akhlakul karimah akan menjadi figur yang menginspirasi peserta didik
untuk memiliki sikap yang sama. Karena proses pendidikan bukan hanya pada transfer of
knowlage saja, namun juga kepada pendidikan kepribadian atau karakter yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam (Hamka, 1984).

Jadi proses pendidikan pada hakikatnya sangat memerlukan guru yang mampu
menjadi sebenar-benarnya guru atau pendidik agar pendidikan itu dapat berjalan secara
efisien. Guru yang telah melalui perjalanan panjang dalam menempuh pendidikannya
untuk menjadi guru pendidikan Islam, guru tersebut juga harus membekali dirinya dengan
landasan dasar yang kuat. Sikap, moralitas, serta keimanan yang kokoh kepada Allah
Subahanahu Wa Ta’ala menjadi landasan seorang guru yang nantinya akan menjadi acuan

9
peserta didik mencapai tujuan pendidikan yang telah diharapkan dan direncanakan. Serta
dengan itu pula, peserta didik dapat menerima ilmu pengetahuan yang baik untuk
kemudian di terapkan dalam kehidupan sehari-hari (Samsul Nizar, 2008).

Buya Hamka mempunyai beberapa istilah tentang pendidik atau guru. Adapun
antara lain; Mu’allim, Mu’addib, Murabbi, Mudarris dan Mursyid. Istilah mu’allim
memiliki arti bahwa guru itu memiliki bekal ilmu pengetahuan yang tidak atau belum
dimiliki oleh peserta didik serta masyarakat di sekitarnya kemudian ia mengajarkannya.

Sosok guru yang dikatakan mu’allim haruslah orang yang ‘alimun yakni ilmuan
atau orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam tentang manusia, alam
semesta, serta semua makluk ciptaan Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Ia hidup dengan
mengamalkannya bukan hanya sebagai pemahaman teoritis belaka dan mampu
menempatkan diri dengan baik untuk membantu peserta didik dalam hal pengembangan
dirinya akan potensi yang ia miliki.

Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Al-Quran surat Al- Baqarah ayat
ke 31;

‫س َمٓا ِء ٰۤهُؤٓاَل ِء اِنْ ُك ْنتُ ْم‬ ْ ِۢ‫ض ُه ْم َعلَى ا ْل َم ٰلِٓئ َك ِة فَقَا َل اَ ْنب‬
ْ َ ‫ـُئونِ ْي بِا‬ ْ َ ‫َو َعلَّ َم ٰا َد َم ااْل‬
َ ‫س َمٓا َء ُكلَّ َها ثُ َّم َع َر‬
َ‫ص ِدقِيْن‬ ٰ
Artinya:
Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang yang ‘alim seyogyanya memiliki


perbendaharaan ilmu pengetahuan yang mumpuni serta dapat mengajarkannya kepada
halayak disekitarnya. Selain itu Buya Hamka menyampaikan bahwa seorang guru harus
memiliki kebijaksanaan dalam bersikap dan bertindak. Ketika terdapat suatu permasalah yang
terjadi kepada peserta didiknya, ia harus mampu menghadapinya serta berperan dalam
menyelesaikannya.

Kemudian pendidik disebut Mu’addib yakni memiliki makna insan yang beradab.
Tentunya guru sebagaimana namanya yaitu digugu dan ditiru hendaklah memiliki adab
yang senantiasa melekat dalam dirinya. Tak hanya berhenti pada dirinya saja, melainkan

10
guru sebagai seorang mu’addib memiliki tugas menanamkan serta menumbuhkan adab
ke dalam diri murid-muridnya. Dengan adab tersebut, guru dapat menerapkannya dalam
kedisiplinan, pengetahuan, jiwa serta perilakunya yang senantiasa mengharapkan ridho
Allah Subahanahu Wa Ta’ala.

Guru sebagai mudarris yakni seseorang yang dengan usahanya bekerja keras
untuk mencerdaskan peserta didik, meniadakan konsep ketidaktahuan, memberantas
kebodohan, melatih keterampilan sesuai dengan minat, bakat serta kemampuannya
masing-masing, dan tentuya memberikan pendidikan akan hal-hal yang belum mereka
ketahui sebelumnya.

Guru sebagai murabbi yang memiliki arti mengasuh, mendidik, serta


memelihara. Allah Subahanahu Wa Ta’ala salah satu Nama-Nya adalah Rabb Al-Alamiin
karena Allah lah yang memelihara serta mendidik seluruh alam semesta. Seorang guru
jika dikatakan murabbi berarti setidaknya ia memiliki sifat rabbani yakni julukan yang
diberikan kepada orang yang bijaksana serta terpelajar akan pengetahuan tentang
Rabbnya. Pengetahuan akan Rabbnya terbagi kedalam dua sisi, yakni yang pertama
tentang sisi pengetahuan akan Ar-Rabb yang nantinya akan mengantarkan kepada
pengetahuan serta tindakan syahadah terhadap Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Kemudian
di sisi lain, pengetahuan serta syahadah akan Ar-Rabb itulah yang menjadikannya pantas
dianggap menjadi murabbi. Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman dalam A l - Quran
Surat Al- Fatihah ayat ke 2 ;

َ‫ اَ ْل َح ْم ُد هّٰلِل ِ َر ِّب ا ْل ٰعلَ ِميْن‬

Artinya: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa secara hakikat Allah Subahanahu Wa


Ta’ala merupakan Murabbi atau pendidik yang Maha Agung untuk seluruh alam semesta.
Pendidikan dan Pemeliharaan Allah Subahanahu Wa Ta’ala terhadap manusia sendiri
mencakup kepada apa saja yang ada di diri manusia tersebut. Allah tahu betul apa saja
yang dibutuhkan makhluknya dan apa yang tidak dibutuhkan makhluknya

2) Konsep Pendidikan Islam Menurut Buya Hamka


a) Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam menurut Buya Hamka

11
Hakikat pendidikan Islam sebagaimana dirumuskan oleh Buya Hamka lebih
menekankan kepada pembentukan karakter peserta didik dengan keberagaman warna
Islami atau Buya Hamka dalam bukunya menyebutnya dengan istilah pribadi. Yaitu
pribadi yang telah mapan atas segala potensi yang dimiliki guna mewujudkan terciptanya
manusia seutuhnya yakni yang sesuai dengan ketentuan hidup seorang muslim.

Dalam memandang hakikat pendidikan Islam, Buya Hamka berpendapat bahwa


itu merupakan sebuah usaha guna menumbuh kembangkan potensi-potensi yang ada di
dalam diri manusia, yakni berupa akal, budi pekerti, cita-cita, serta kondisi fisiknya agar
tercipta pribadi yang ber-akhlakul karima tercermin dalam tiap perilaku kesehariannya
sesuai dengan pedoman hidup umat Islam.

Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Buya Hamka berdasarkan bukunya


yakni yang berjudul Falsafah Hidup serta Pribadi Hebat, menyampaikan agar peserta didik
dijauhkan dari perasaan keinginan membuat orang lain teraniaya dalam artian yang kuat
menindas yang lemah. Untuk itu diharapkan bahwa pendidikan itu mampu dalam
penanaman rasa bahwa hidup itu tidak bisa sendiri, maka perlu bantuan dan pertolongan
orang lain karena kita manusia adalah makhluk sosial. Kemudian dalam proses pendidikan
ini menjadikan peserta didik mampu berkhidmat kepada akal fikiran dan ilmunya, bukan
kepada perasaan hawa nafsunya dan bukan pula kepada orang lain yang
mengendalikannya.

b) Cara Pelaksanaan Pendidikan Islam menurut Buya Hamka


Kaitannya dengan cara pelaksanaan pendidikan Islam, Buya Hamka membaginya
kedalam dua hal yang harus dilakukan oleh tiap-tiap individu, yakni berfikir serta bekerja.
Berfikir adalah kemampuan menyusun suatu teori dengan benar. Dan bekerja marupakan
kemampuan dalam menerapkan teori tersebut dalam proses pekerjaan yang benar dan
maksimal.

Selanjutnya Buya Hamka menyatakan bahwa proses atau tata cara pelaksanaan
pendidikan Islam terdiri dari dua proses penting yakni melatih berfikir dan melatih
bekerja, keduanya saling berkaitan satu sama lain demi mencapai kesempurnaan pribadi
yang telah dianugerahkan Allah Subahanahu Wa Ta’ala. Adapun yang termasuk dalam
proses berfikri menurut Buya Hamka antara lain; mengetahui bakat anak, mengajarkan
dalam kebebasan berfikir dengan keteladanan, mengajaknya dalam diskusi atau

12
musyawarah, mengajarkannya dengan berbagai ilmu pengetahuan seperti agama dan sains
supaya mereka mampu berkhidmat kepada akal serta jiwanya. Selanjutnya yang termasuk
kedalam proses melatih bekerja yakni mengajarkan kemandirian, tidak adanya pemaksaan,
serta mengajarkannya sikap bertanggung jawab dan tidak dimanjakan dengan berlebihan
(Hamka, 1962).

c) Manfaat Pendidikan Islam menurut Buya Hamka


Buya Hamka menyampaikan bahwa pendidikan Islam ini memiliki manfaat
antara lain yakni untuk menyiapkan peserta didik yang tangguh baik secara mental
maupun ilmu pengetahuannya kaitannya dalam menghadapi rintangan yang semakin berat
dalam menjalani kehidupan. Jelasnya bahwa manfaat pendidikan Islam ini adalah untuk
mempersiapkan generasi mendatang akan kecakapan sosial, politik, pendidikan,
teknologi, kesehatan serta ekonomi agar nantinya dapat berperan aktif dalam
mempertahankan kemerdakaan dan kedaulatan bangsa Indonesia dan tidak menjadi budak
negara lain. Untuk itu terciptanya generasi-generasi yang mandiri atau manusia yang
merdeka adalah tujuan yang harus diusahakan.

Untuk menjabarkan terkaif pendidikan Islam yang dikemukakan Buya Hamka,


maka akan lebih jelas jika dibagi berdasarkan beberapa pembagian sesuai yang telah
disampaikan sebelumnya, antara lain; Tujuan pendidikan, Kurikulum, Pendidik, materi
pembelajaran serta peserta didik.

Tujuan Pendidikan
Tujuan Pendidikan Islam menurut Buya Hamka secara umum memuat 2 dimensi
yang cukup fundamental yakni untuk meraih kebahagiaan di dunia dan tentunya di
akhirat. Kedua tujuan ini perlu kesungguhan dalam memaksimalkan segala potensi yang
ada di dirinya, kesungguhan dalam menuntut ilmu, beribadah dengan sebaik mungkin,
serta menembalikan segala apa yang kita peroleh baik itu ilmu atau apapun Lillah karena
Allah. Karena pada akhirnya, sepanjang apapun proses belajar kita akan sampai kepada
hilirnya yakni menjadi Abdullah atau Hamba Allah.

Kurikulum
Sebenarnya pemikiran Buya Hamka terkiat kurikulum ini masih belum begitu
banyak dijumpai karena Buya Hamka secara pemikiran pendidikan lebih mengarah
kepada keadaan guru dan murid. Akan tetapi, Buya Hamka pernah menyampaikan

13
bahwa kurikulum merupakan suatu aspek yang sangat fundamental untuk pendidikan
Islam.

Keberadaan adat atau kebiasaan dalam suatu kelompok masyarakat serta


ketetapan perpolitikan negara cukup memberikan dampak yang signifikan bagi
perkembangan personalitas peserta didik pada masa yang akan datang. Karena itu,
semua lini sosial tempat peserta didik itu belajar harus kondusif dan sesuai untuk
menjadi landasan berkembangnya fitrah yakni beraneka ragamnya identitas dari peserta
didik. Sudah semestinya masarakat serta negara melihat suatu kebiasaan dan ketetapan
dari pemerintah itu sesuatu yang tidak kaku dan mengekang, dan setiap pendapat yang
ada itu dihargai sebagai suatu keberagaman yang indah. Dengan begitu, maka akan
tumbuh sikap kritis dalam berfikir namun tetap mengahargai kemerdekaan orang lain
tanpa adanya rasa tersinggung satu sama lain (Hamka, 1962: 190).

Pendidik atau Guru


Sama dengan pembahasan kurikulim di atas, Buya Hamka tidak begitu detail
dalam merumuskan pengertian tentang guru atau pendidik. Namun apa yang beliau
sampaikan dalam karya-karyanya tentang tugas seorang guru yakni seseorang yang
berperan menyiapkan peserta didik untuk memiliki kecakapan ilmu pengetahuan,
memiliki akhlak yang mulia, serta bermanfaat dalam kehidupannya di tengah masyarakat.

Ki Hajar Dewantara, M. Syafei, Dr. Sutomo, dan lain sebagainya menyetujui apa
y ang disampaikan oleh Buya Hamka tersebut. Bahkan Dr. Sutomo sempat
memiliki pendapat bahwa agar sistem pondok dalam pendidikan lebih dahulu
dilaksanakan kembali. Menurut penulis, hal ini menunjukkan bahwa sebagai seorang guru
atau pendidik, jangan hanya menjadikan peserta didik pandai dalam bidang akademik
saja. Akan tetapi juga harus berguna bagi bangsa dan agamanya. Karena pendidikan
bukan hanya tentang menuntut ilmu saja, melainkan membangun kepribadian akhlak
yang mulia, menebar kemanfaatan dari ilmu yang kita miliki, serta dapat mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk (Hamka, 1962).

Menurut Buya Hamka, guru atau pendidik dikalisifikasikan menjadi tiga unsur
utama yakni; orang tua, guru dan masyarakat.
1) Orang tua

14
Orang tua adalah sosok yang paling dekat dengan peserta didik. Tempat bagi
peserta didik pertama kali menerima pendidikan. Hubungan peserta didik yang menjadi
anak dari orang tuanya memiliki hak untuk menerima pendidikan dan penagajaran, baik
ilmu maupun akhlak. Bahkan dalam agama Islam menjadikan seorang ibu sebeagai
madrasatul ula atau madrasah pertama bagi seorang anak untuk belajar. Jadi selain
nafkah, tempat berlindung, kasih sayang, dan perhatian, memberikan pengajaran juga
merupakan kewajiban bagi orang tua.

Buya Hamka memiliki pendapat yang sejalan dengan ajaran dan sesuai dengan
yang diajarkan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa anak-anak yang telah
mencapai umur 7 tahun orang tuanya menyuruh anak tersebut untuk sholat, setelah
mencapai umur 10 tahun harus dipaksa agar anak tersebut tidak meninggalkannya, sholat
di awal waktu hingga hati cenderung kepada ketaatan (thau’an), jika terdapat keraguan
maka paksa hati itu (karhan). Beberapa hal tadi pada ilmu jiwa sekarang disebut dengan
sugesti. Dengan pembiasaan setiap hari maka akan menjadi suatu yang melakat untuk
selalu dilakukan.

Buya Hamka menegaskan bahwa kewajiaban orang tua dalam memberikan


pendidikan secara langsung jangan sampai melimpahkan seluruhnya kepada guru di
sekolah. Karena waktu belajar anak di sekolah sangatlah terbatas, berbeda jika dirumah
yang lebih panjang. Adapun di sekolah anak hanya memperoleh pengajaran saja,
sedangkan di rumah anak ajan lebih banyak menerima pendidikan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sejatinya peran orang tua tidaklah ada yang
mempu menggantikan. Bahkan guru di sekolah seklipun sebenarnya tidak dapat
menggantikan peran orang tua sebagai pendidik seutuhnya. Bukan hanya itu, orang tua
tentunya memiliki kasih sayang dan perhatian yang lebih daripada seorang guru, karena ia
adalah darah dagingnya dan tentu orang tua lebih memahami akan karakter, perilaku, serta
kepribadian anaknya.

2) Guru
Menurut Buya Hamka, pendidikan di sekolah mempunyai keterkaitan yang
sangat kuat dengan pendidikan yang ada di rumah. Jadi sudah seharusnya guru memiliki
hubungan baik dengan orang tua murid dengan saling mengunjungi dan saing berdiskusi
satu sama lain suatu waktu.

15
Dalam ajaran Islam, hal ini seharusnya tidaklah sulit dilakukan karena
Rasulullah Salallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kita umat Islam untuk saling
bersilaturrahim. Dengan saling berkunjung, dan membicarakan akan perkembangan anak
maka akan tercipta harmonisasi dan saling melengkapi apa yang diajarkan guru di
sekolah dengan orang tua di rumah.

Terdapat suatu pepetah yang berbunyi, “Air itu turun dari cucuran atap” yang
memiliki arti pengaruh keadaan sekeliling, pekerjaan, kepandaian, dan pendidikan orang
tua pada zaman dahulu mempunyai dampak besar pada tingkat kecerdasan anak. Hal ini
dibuktkan dengan orang tua yang cenderung bodoh pemikiranya maka akan menurun
kepada anaknya. Sebaliknya, jika orang tua ini pintar, maka anaknya pun sama pintarnya.
Namun Buya Hamka mempunyai keoptimisan bahwa ditangan guru yang baik dan
berkualitas, anak yang kurang pintar dapat diajarkan hingga menjadi pandai.

Buya Hamka mengungkapkan bahwa guru yang baik haruslah memenuhi syarat
sekaligus kewajiban sebagai seorang guru, anatara lain;
a) Mampu betlaku adil dan obyektif kepada semua peserta didiknya.
b) Memiliki akhlakul karimah, penampilan yang menarik, rapi dalam berpakaian, dan
tidak melakukan perbuatan yang tercela. Karena hal tersebut akan dicontoh oleh
peserta didiknya.
c) Menyampaikan ilmu yang ia miliki dengan jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Karena ilmu yang diperoleh peserta didik tidak boleh setengah-setengah, justru akan
lebih baik jika ditambah dengan nasihat-nasihat yang dapat berguna baginya dalam
kehidupan bermasyarakat.
d) Menghormati keberadaan peserta didik sebagai insan yang dinamis karena mereka
memiliki hak untuk berfikir, berkreasi, berpendapat, dan memberikan kesimpulan
dari apa yang ia pelajari. Jadi mereka berhak memoeroleh kemerdekaan akan itu.
e) Ilmu pengetahuan diberikan sesuai tempat dan waktu, kemampuan intelektual serta
perkembangan kejiwaan peserta didik.
f) Upah dan gaji bukan menjadi alasan utama dalam melaksanakan tugas sebagai guru.
Buya Hamka berpendapat bahwa mencari upah dalam bekerja bukanlah hal yang
salah, namun jika menjadi orientasi utama maka tanggung jawab, keikhlasan, dan niat
mulia dalam mendidik bisa rusak dan bisa berakhir celaka. Orang yang berorientasi
pada upah ketika bekerja biasanya tidak dapat dipercaya. Bagusnya pekerjaan hanya
karena upah yang diperoleh, jika upahnya sedikit maka pekerjaannya tidaklah tuntas.

16
g) Menanamkan dalam diri peserta didik keberanian budi. Yakni dengan melatih agar
berarani menyatakan pendapat yang ia yakini benar serta tidak takut akan kegagalan.

3) Masyarakat
Sebagaimana umumnya manusia, peserta didik juga merupakan makhluk sosial
yang memerlukan interaksi serta bantuan dari orang lain di sekitarnya. Kondisi
masyarakat yang beragam, bentuk interaksi yang bervariasi, dan kemungkinan pendidikan
lapangan yang bisa diperoleh menjadi lading peserta didik untuk menuntut ilmu. Perlu
suatu pendekatan psikologis-sosiologis agar proses bermasyarakat sekaligus belajar
langsung di masyarajat dapat terlaksana dengan baik. Nilai sosial jangan sampai
terabaikan, adat kebiasaan setemoat harus bisa dijaga agar tetap terjalin harmonisasi yang
efektif dan dinamis. Dengan pendekatan semacam itu semua maka pendidikan akan
berperan sebagai agent of change dan agent of social culture.

Peserta didik disebut oleh Buya Hamka sebagai sebuah bunga masyarakat. Yang
suatu saat akan mekar dan akan bertumbuh menjadi tubuh dari masyarakat tersebut. Maka
setiap anggota dalam masyarakat hendaknya bertanggungjawab melindungi dan
menjaganya dari apa saja yang berpotensi menghambat kemajuannya.

Menurt Buya Hamka, akhlak pada diri peserta didik merupakan cerminan dari
akhlak masyarajat di sekitarnya. Karena apa yang peserta didik lihat dalam masyarakat
dapat dengan mudah diconroh dan menjadi kebiasaan peserta didik. Keberadaan
masyarakat layaknya sebuah laboratorium serta sumber nyata yang akan memperkaya
pelaksanaan proses berjalannya pendidikan. Maka semua unsur dalam masyarakat wajib
bekerja sama sebagai alat sosial control bagi pendidikan (Ramayulis, 2005).

4) Materi Pembelajaran
Buya Hamka menuturkan bahwa ada dua jenis orientasi materi dalam pendidikan
Islam. Kedua materi tersebut antara lain pengembangan akal atau filsafat dan rasa atau
agama. Keduanya penting dan saling mengisi antara satu dengan yang lain. Kaitannya
dengan bidang pendidikan Islam, penyampaian materi serta bahan ajar yang diberikan
haruslah mengaitkan antara aspek keilmuan yang dpelajaru kepada aspek spiritual
keagamaan. Jangan sampai ada pemisahan atau dikotomi antara keilmuan dengan
spiritual keagaaman karena akan berdampak terciptanya golongan yang materialistik,

17
sekuler, bahkan sebaliknya yaitu golongan yang menafikkan dinamika dunia atau disebut
tradisional ortodoks.

Materi pendidikan Islam berdasarkan pemikiran Buya Hamka membaginya


kepada 5 bagian penting, antara lain;
a) Ilmu-ilmu Agama seperti; Tauhid, Akhlak, Fiqih, Tafsir, dan Hadits.
b) Ilmu-ilmu Umum seperti; Sejarah, Fiksafat, Ilmu Bumi, Ilmu Falak, Biologi, dan
Ilmu Jiwa.
c) Ilmu Kemasyarakatan seperti Sosiologi, Ilmu Pemerintahan, dan lain sebagainya
d) Keterampilan praktis seperti berenang, berkuda, olah raga, beladiri dan lain
sebagainya.
e) Ilmu Kesenian seperti Musik, menggambar, menyanyi, melukis dan lain sebagainya.

5) Peserta didik
Peserta didik layaknya cangkir yang kosong yang siap menampung apa saja yang
dituang ke dalamnya. Buya Hamka menyampaikan bahwa tugas dan tanggung jawab
seorang murid atau peserta didik adalah bersungguh-sungguh secara maksimal aka
potensi yang ia miliki serta potensi yang ada dirinya sebaik mungkin ia kembangkan serta
menambah ilmu pengetahuan sebagaimana fitrahnya yang telah Allah anugerahjan
kepadanya.
Peserta didik sebisa mungkin dalam menuntut ilmu harus berusaha dan beruapaya
(Samsul, 2008):
a) Jangan merasa cepat berputus asa.
b) Jangan mudah lalai, serta senantiasa mawas diri.
c) Jangan mejadikan usia sebagai penghalang, karena tidak ada batasan usia dalam
pendidikan.
d) Bertindak, berperilaku serta memilki akhlak sesuai apa yang telah dipelajari.
e) Memperindah tulisan agar mudah dibaca.
f) Senantiasa sabar, teguh dalam hati dan mengendalikan diri.
g) Memiliki hubungan yang erat dengan guru.
h) Khusyu, rajin serta tekun dalam belajar.
i) Senantiasa berbakti kepafa orang tua dan menjadikan ilmu untuk mengabdi kepada
umat.
j) Tidak berbicara sesuatu yang tidak betmanfaat.

18
k) Senantiasa bertafakur dan menganalisa fenomena alam yang terjadi dan
mengembalikan segalanya kepada Allah Subahanah Wa Ta’ala.

2. Pembahasan  
“Falsafah Hidup” karya Buya Hamka yang terbit pada tahun 1980, berisikan tentang
konsep kehidupan yang berkaitan dengan Islam kemudian di dalamnya terdapat bahasan tentang
bagaimana pendidikan itu dilaksanakan terutama dalam konteks keIslaman. Banyak ungkkapan-
ungkapan Buya Hamka yang menyinggung persoalan stigma masyarakat yang negtif tentang
persoalan ulama. Karene banyak ulama yang mengkritik Buya Hamka karena beliau menulis
buku bertemakan roman atau percintaan. Padahal dengan cara itulah Buya Hamka menarik
pembaca dari kalangan anak muda untuk lebih mengenal pendidikan Islam melalui peroalan anak
muda yakni persolan percintaan.

Kemudian dalam jurnal karya Dian Rahmi Zul yang terbit tahun 2021 ini berjudul
“Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Buya Hamka yang mengulas konsep pemikiran
pendidikan Islam dan relevansinya di era sekarang ini. Buya Hamka pada jurnal karya Dian
Rahma Zul ini mengulas secara jelas dan di bedah satu per satu dari biografi Buya Hamka,
dimana beliau lahir dari kalangan orang tua yang religius. Kemudian bagaimana Buya Hamka
tumbuh dan menempuh pendidikan di jenjang sekolah keIslaman. Disitu juga dijabarkan sebagian
karya-karya Buya Hamka yang fenomenal bahkaan monumental yakni kitab tafsir Al-Azhar dan
buku-buku lain yang indah secara penulisan. Menurut Dian Rahma Zul ini pemikiran pendidikan
Islam Buya Hamka masih relevan di era modrn sekarang ini, hanya saja tinggal disesuaikan
secara sistemaikanya.

Ada pula jurnal karya Hikmat Kamal yang berjudul “Kedudukan dan Peran Guru dalam
Prespektif Pendidikan Islam”. Guru dalam Islam sejatinya mempunyai kedudukan yang Istimewa
sebagaimana di ulas pada jurnal ini. Guru merupakan warisatul anbiya atau yang mewarisi
nubuwwah atau ilmu-ilmu tentang ajaran Islam. Apalagi guru yang dimaksud adalah seorang
ustdz, mu’allim, mursyid, mu’addib, mudaris, atau murabbi yang mempunyai kecenderungan
spesifik dalam mengajarkan ajaran Islam. Hal ini dijelaskaan secara gamblang dan seemuanya
bertujuan demi umat yang lebih baik kedepannya. Disini peran guru sangat penting bahkan
kedudukannya sangat tinggi bahkan dari orang tua sekalipun dalam hal kedudukan keilmuan.

Jurnal karya M. Yusuf Ahmad dan Balo Siregar tentang “Guru Profesional Menurut
Imam Al-Ghazali dan Buya Hamka”. Sebagaimana judul yang tertera, jurnal ini mengulas standar

19
profesionalitas guru menurut dua orang ulama besar yakni Al-Ghazali sebagai ulama terdahulu
yang karyanya masih dipelajari hingga sekarang dan Buya hamka seorang ulama asal
Minangkabau, Indonesia. Profesionalitas seorang guru menentukan kualitas dan kedudukannya.
Sebagaimana pada jurnal sebelumnya bahwa guru itu memiliki kedudukan yang sangat istimewa,
namun jika ia profesional. Profesional menurut Al-Ghazali dan Buya Hamka secara umum adalah
ketika ia memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Yakni tidak hanya skedar tahu, namun
memahami dan mengamalkannya. Kemudin menyampaikan Ilmu tidak secara setengah-setengah,
totalitas dan membedahnya hingga dapat memahami maknanya. Memberikan pendidikan tentang
akhlakul karimah, ini sangat penting karena ilmu tanpa akhlak atau adab menjadikan orang
sombong dan keras hati. Maka pemberian pendidikan akhlak sangat penting. Yang tak kalah
penting adalah mengajar tanpa mengharapkan upah atau tidak menjadikaan upah sebagai orientasi
utama. Karena dengan menjadikan upah sebagai tujuan utama, maka akan menjadikannya malas
ketika upahnya tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Dengan berorientasi pada upah pula akan
menjadikan ia berkurang bahkan hilang keikhlasannya. Padahal dengan mengajar secara ikhlas
akan menjadikan ilmunya bermanfaaat sebagai bekal menuju akhirat. Karena Rasulullah
Salallahu ‘Alaihi Wasllam pernah bersabda bahwa hal yang dapat menjadi bekal di akhirat adalah
ilmu yang bermanfaat.

D. SIMPULAN 
Buya Hamka adalah sosok ulama Nusantara yang memiliki kecerdasan dan keilmuan yang
mendalam. Pemikiran tentang pendidikan Islamnya menjadkan ia memiliki banyak karya-karya
tentang keIslaman. Adapun beberaapa kaaryanya adalah Khatibul Ummah pada tahun 1925-1935
dimana terdiri dari 3 jilid, berbahasa Arab, dan menjadi awal mula kiprah belau dalam dunia
penulisan. Kemudian dilanjutkan buku dengan judul Majalah Kemauan Zaman pada tahun 1925.
Empat tahun berselang menyelesaikan buku dengan judul Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abu
Bakar) pada tahun 1929, ditahun yang sama yakni 1929 melahirkan buku Adat Minangkabau dan
Agama Islam, Ringkasan Tarikh Umat Islam yang berisikan sejarah dari Rasulullah Salallahu
‘Alaihi Wasallam, Sejarah Khalifah Empat, Bani Abbasiyyah dan Bani Umayyah, Kepentingan
Melakukan Tabligh. Pada tahun 1932 Buya Hamka kembali melahirkan buku yang berjudul
Hikmah Isra’ dan Mi’raj, Arkanul Islam, dan masih banyak lagi. Salah satu karya monumentalnya
adala Kitab Tafsir Al-Azhar yang menjadi bukti kedalaman ilmu beliau.
Dalam hal pandangan belau tentang guru menurut prespekif Islam adalah bahwa guru
haruslah memiliki setidaknya salah satu dari istilah Uztadz, Mu’allim, Mu’addib, Murabbi,
Mudarris dan Mursyid. Hal ini dimaksudkan bukan hanya pada konteks istilahnya saja, namun

20
kepada esensinya. Bahwa guru itu harus berilmu yang baik, mendalam, dan mempunyai ilmu yang
belum diketahui muridnya kemudian ia ajarkan. Guru harus mengajarkan adab dan mencontohkan
bahwa dia beradab agar bisa dilihat oleh muridnya kemudian dijadikan role modeli atau panutan
oleh muridnya. Guru juga harus mempunyai sifat penyayang dan memelihara muridnya dengan baik.
Yang dimaksud memelihara disini adalah ia mengayomi, mendidik, sabar dan tekun dalam
menghadapi muridnya. Ia juga harus dapat menyampaikan ilmunya dengan baik, dengan lemah
lembut, kasih sayang, dan menjadikan muridnya semakin dekat dan bertaqwa kepada Allah
Subahahu Wa Ta’ala.

DAFTAR PUSTAKA

A, Susanto. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. (Cet. I.). Jakarta: Amzah.

Ahmad, Fu`ad al-Ahwani. 1967. Al-Tarbiyah fi al-Islam. (Cetakan II ). t.tp.: Dar al-Ma’arif.

Alvia H. L., Abdul M. 2006. Riwayat Hamka. Diakses dari http://riwayat-hamka.blogspot.com/


diunduh tanggal 28 Desember 2021.

Hamka. 1962. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni.

Hamka. 1980. Falsafah Hidup. Medan: Pustaka Islamiyah.

Hamka. 1984. Falsafah Hidup. (Cet. 2). Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hasbulah. 2008. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Mohammad, Damami. 2000. Tasawuf Positif. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Islami.

Muhammad, ‘Athiyat al-Abrāsyiy. 1975. Al-Tarbiyat al-Islamiyat wa Falāsifatuhā. Mishr: ‘Īsā al-
Bābiy al-Halabiy.
Muhammad, Munir Mursi. t.t. Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi alBilad
al-‘Arabiyah. Kairo: Alam al-Kutub.
Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ramayulis. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching.

21
Samsul, Nizar. 2008. Memperbincangkan Dinamika dan Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan
Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sofyani. 1987. Ilmu Pendidikan Islam. Banjarmasin: Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari.
Syed, Muhammad Naquib. 1984. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan.
Yūsuf, al-Qardhāwiy. 1980. Al-Tarbiyat al-Islāmiyat wa Madrasat Hasan al-Banna. (terj.: H.
Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-
Banna). Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Zakiah, Daradjat, dkk., 1983. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama/IAIN.

22

Anda mungkin juga menyukai