Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AKSIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Abdul Khobir, M.Ag.

Disusun Oleh:

1. Fitria Nurmala Sari (2119009)


2. Novi Alfiana (2119015)
3. Lies Naeni (2119020)
4. Indah Dharu Kartika (2119023)
5. Aminatul Khoeriyah (2119041)

Kelas B

JURUSAN PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah, Puji syukur ke hadirat Allah swt. atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Aksiologi Filsafat Pendidikan
Islam” ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi
Muhammad saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Ucapan terimakasih kami
tunjukkan kepada Bapak Abdul Khobir, M.Ag selaku dosen mata kuliah filsafat
pendidikan islam atas tugas yang diberikan sehingga dapat menambah wawasan
penulis tentang Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam. Makalah ini menjelaskan
Pengertian, objek dan strategi perkembangan ilmu aksiologi penulisannya
berdasarkan kaidah-kaidah penulisan karya secara umum dengan pendekatan gaya
selingkung yang dipakai di IAIN Pekalongan.
Makalah ini dibuat dengan semaksimal mungkin. Namun, apabila didapati
kekurangan dan kesalahan, penulis dengan senang hati menerima saran dan kritik
konstruktif dari pembaca guna penyempurnaan penulisan makalah yang
mendatang. Akhirnya, semoga makalah ini menambah khazanah keilmuan dalam
penulisan makalah dan bermanfaat bagi mahasiswa. Aamiin yaa robbal ‘alamin.

Pekalongan, 22 September 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I

PENDAHULUAN...................................................................................................3

A. Latar Belakang.............................................................................................3
B. Rumusan Masalah........................................................................................3
C. Tujuan .........................................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN......................................................................................................5

A. Pengertian Aksiologi ……………………………………………………. 5


B. Objek Aksiologi…….……………………………………………………. 6
C. Kaidah-Kaidah Penerapan Ilmu dalam Praktis…….…………………… 8
D. Implikasi Aksiologi Terhadap Pendidikan ……………………………. 10
E. Tujuan Pendidikan …………………………………………………………… 11

BAB III

PENUTUP……………………………………………………………………………. 14

A. Kesimpulan …………………………………………………………… 14
B. Saran …………………………………………………………………… 14

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam upaya memahami pendidikan Islam secara utuh, tidak
bisa kita hanya berhenti pada satu bentuk kajian. Terlebih masalah
pendidikan berkaitan dengan manusia sebagai subjek utamanya. Ketika
berkaitan dengan manusia pendidikan akan dihadapkan dengan masalah-
masalah pokok dalam kehidupan manusia. Dalam dunia pendidikan
manusia adalah makhluk yang di didik dan mendidik, menggali dan
mentransfer ilmu adalah hal yang menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam dunia pendidikan.
Akan tetapi, kemudian pendidikan akan menjadi pertanyaan besar
bagi manusia ketika sudah memasuki alam berpikir filsafat. Pertanyaan
tentang hakikat dari pendidikan, hakikat ilmu pengetahuan, dan tentang
cara memperoleh ilmu pengetahuan. Apa hakikat dari pendidikan,
mendidik dan di didik atau siapa yang harus mendidik dan siapa yang
harus di didik? Bagaimana cara untuk mendidik? Kenapa harus di didik?
Serta bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan? Dan masih banyak
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi penting. Lalu kemudian akan muncul
pertanyaan dari lanjutan pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan tentang apa
manfaat atau kegunaan, dan nilai dari proses pendidikan yang melibatkan
banyak komponen ini?
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Aksiologi?
2. Apa saja Objek Kajian Aksiologi?
3. Bagaimana implikasi aksiologi terhadap pendidikan?
4. Apa saja tujuan pendidikan islam?

3
C. Tujuan
1. Mengetahui hakikat Aksiologi
2. Mengetahui objek kajian aksiologi
3. Mengetahui implikasi aksiologi terhadap pendidikan
4. Mengetahui tujuan pendidikan islam

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari istilah Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar atau nilai. Sedangkan logos berari ilmu, atau lebih sering
disebut dengan teori nilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang
membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana
manusia menggunakan ilmu tersebut. Dalam hal ini yang ingin dicapai
oleh aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu
pengetahuan. Jadi aksiologi di sini adalah menyangkut masalah nilai
kegunaan ilmu. Adapun aksiologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia;
atau kajian tentang nilai, khususnya etika.1
Istilah aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti
nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah “teori
tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan
estetika.
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
yang umumnya ditinjau dari sudut panndang kefilsafatan. Aksiologi juga
menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam
penerapan ilmu ke dalam praktis.
Ada banyak cabang pengetahuan yang berhubungan dengan
masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan
estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan
masalah keindahan.
1
Mahfud, Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Islam,
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

5
Menurut Bramel, aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus, yaitu etika.
2. Estetic Expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan
keindahan.
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan
melahirkan filsafat sosial politik.

B. Objek Aksiologi
Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai, termasuk
nilai tinggi tentang Ketuhanan. Misalnya: nilai moral, nilai agama, nilai
keindahan (estetika). Aksiologi mengandung pengertian yang lebih luas
dari etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf
tinggi). Filsafat juga menyibukkan diri dengan berbagai masalah yang
datang dari konsep-konsep khusus dalam statistik, pengukuran, teologi,
misalnya peristiwa yang berbeda, keadaan dimana satu ilmu berkurang
untuk ilmu yang lain, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu
satu persatu.
1. Etika
Conny R. Semiawan menjelaskan tentang etika itu sebagai “the
study of the nature of morality and judgement” yang berarti kajian
tentang hakikat moral keputusan (kegiatan menilai). Etika digunakan
sebagai prinsip atau standar perilaku manusia yang kadang-kadang
disebut dengan moral. Kegiatan menilai (act of judgement) dibangun
berdasarkan toleransi atau ketidakpastian.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, yaitu :
a.) Etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
b.) Etika merupakan suatu predikat untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain.

6
Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan
mempelajari tingkah laku baik dan buruknya manusia.
Nilai dapat dikatakan subjektif atau objektif tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai dapat dikatakan subjektif
apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia
menjadi tolak ukur segalanya atau eksistensinya. Sehingga, nilai
subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki oleh akal budi manusia, seperti: perasaan, intelektualitas dan
hasil dari nilai subjektif akan selalu mengarah kepada hal suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang.
Sedangkan nilai dapat dikatakan objektif apabila ia tidak
bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif
muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme beranggapan bahwa tolak ukur suatu gagasan itu terletak
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas itu benar-
benar ada.
2. Estetika
Semiawan menjelaskan bahwa etika adalah “the study of beauty in the
fine art”, maksudnya estetika adalah mempelajari tentang hakikat
keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang hakikat baik dan buruk. Estetika dapat membantu
dan mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari
suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh
khalayak luas. Estetika berkaitan dengan kualitas dan pembentukan
mode-mode estetis dari pengetahuan imliah.2

2
Drs. A. Susanto, M.Pd., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), hlm. 116-119.

7
C. Kaidah-Kaidah Penerapan Ilmu dalam Praktis
Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat enam prinsip penerapan ilmu,
yaitu :
1. Prinsip objektivitas-kontekstualitas
Mengatakan bahwa Tuhan berada di langit kepada awan yang
sekiranya dikatakan sebagaimana adanya ia akan menjadi kafir, adalah
keharusan walaupun tidak sesuai dengan fakta. Dengan demikian,
dalam dimensi aksiologi, objektivitas ilmu dibatasi oleh nilai-nilai etis-
yuridis yang mengacu pada kesejahteraan-kebahagiaan yang
merupakan tujuan akhir ilmu sendiri. Oleh karena itu, Al-Ghazali
mengajukan teori stratifikasi pengartikulasian kebenaran metafisis dan
teori relativisme-kontekstualisme nilai, teori kedaruratan, termasuk
dalam konsep politik, dan teori strategi perkembangan ilmu.
2. Prinsip ilmu untuk amal untuk kebahagiaan
Menurut Al-Ghazali, ilmu bukan untuk ilmu atau kekuasaan,
melainkan amal dna kebahagiaan. Ilmu-ilmu faktual dasar, baik a
priori maupun inferensial merupakan landasan ilmu amali, dan amal
merupakan metode praktis untuk mencapai kebahagiaan abadi. Fokus
Al-Ghazali memang pada ilmu-ilmu keagamaan, baik teoritis maupun
praktis. Akan tetapi, prinsip ini dapat diterapkan di dalam ilmu-ilmu
lain dalam dimensi aksiologinya. Dalam konteks ilmu keagamaan, Al-
Ghazali mengecam keras ulama (ilmuwan) yang sikap dan perilakunya
itu tidak sesuai dengan ilmunya, sehingga ia membagi ulama dalam
dua kategori, yaitu:
a.) Ulama jahat (al-‘ulama’ al-su’u), yaitu ulama yang ilmunya
ditujukan untuk menikmati dunia dan meraih prestasi serta
kedudukan.
b.) Ulama akhirat (al-‘ulama’ al-akhirah), dengan ciri tertentu.
Menurutnya, buruknya perilaku ulama merupakan satu diantara
empat sebab utama melemahnya iman umat.

8
Orientasi “ilmu amali, dan amal ilmi” juga terlihat pada sistem atau
etika pendidikannya, baik pada komponen guru dan murid maupun
pada materi, proses, dan tujuannya.
3. Prinsip prioritas
Al-Ghazali menganjurkan agar penerapan ilmu dilakukan dengan
memperhatikan prinsip prioritas, seperti: mendahulukan kewajiban
individual dari kewajiban komunal, menempuh hal yang lebih ringan
diantara dua hal yang merugikan, mengutamakan hal yang lebih
penting atau mendesak daripada lainnya, seperti terlihat dari klasifikasi
ilmu secara aksiologis di muka.
4. Prinsip proposionalitas
Menurut Al-Ghazali, ilmu harus ditempatkan pada proporsi yang
sebenarnya, yaitu yang pasti pada kepastiannya, dan yang tidak pasti
pada ketidakpastiannya. Misalnya rincian teologi yang dihasilkan
epistimologi fase 1, yang bertaraf “akidah” (bukan ilmu) adalah
ijtihadi, sehingga seorang Asy’ari, Mu’tazili, Hanbali dan lainnya tidak
dapat saling mengafirkan apalagi di dalam bidang hukum ijtihadi.
5. Prinsip tanggung jawab moral dan profesional
Prinsip ini tercerminkan, baik dalam sikap dan perilaku Al-Ghazali
sendiri maupun dalam konsep etika dan hukumnya. Dalam hal
pertama, Al-Ghazali melepaskan semua kedudukan dan jabatannya di
Bagdad dalam rangka memecahkan problem epistimologi, karena
tuntutan tanggung jawab moral dan profesionalnya sebagai Hujjat al-
Islam. Ia juga keluar dari zawiyah untuk aktif kembali mengajar di
Nizamiyah Nesapur karena tuntutan tanggung jawab yang sama.
6. Kerjasama ilmu-politik dan ilmuwan-birokrat
Ilmu dan politik itu saling menunjang. Ilmu merupakan asas,
sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Sesuatu yang tanpa asas
pasti akan roboh, dan sesuatu yang tanpa penjaga pasti akan punah.
Dengan demikian, otoritas politik merupakan alat untuk melindungi,
mengembangkan, dan merealisasikan ilmu yakni hanya terbatas pada

9
dimensi aksiologinya. Tetapi apabila akan ada tiga hal yang perlu
diperhatikan dalam ilmu-politik, yaitu :
a.) Hukum mendirikan negara (pemerintah) adalah wajib secara pasti,
baik berdasarkan ijma’ maupun penalaran rasional dengan
menunjukkan urgensi dan fungsi negara sendiri dalam kaitannya
dengan agama dan fakta empirik-sosiologis kehidupan kolektivitas.
Menurutnya, hal ini disepakati oleh seluruh umat islam, kecuali Al-
Asam.
b.) Kepala negara (imam) adalah sah apabila secara formal mendapat
bai’at dari yang berkomponen, dan secara substansial memenuhi
10 kualifikasi, yaitu: dewasa, merdeka, berakal, laki-laki,
keturunan Quraisy, sehat pendengaran dan penglihatan,
berwibawa, dan memiliki kekuatan politik yang nyata, mampu
menjalankan pemerintahan dan pembangunan, wara’ dan takwa
sebagai syarat yang paling esensial dan harus dimiliki langsung
oleh pribadi kepala negara, dan memiliki ilmu agama yang cukup
meskipun tidak mencapai derajat mujtahid.
c.) Bila terjadi kontradiksi antara teori mengenai kualifikasi tersebut
dengan politik yang real, yaitu sebuah kekuatan mendominasi
semua kekuatan politik lain, rezim dominan itu sah secara darurat
dan tidak dibenarkan memberontak jika hal ini menimbulkan
bahaya yang lebih besar.3
D. Implikasi Aksiologi Terhadap Pendidikan
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan
mengintegrasikan nilai dalam kehidupan manusia dan menanamkan sikap
dalam kepribadian peserta didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang
baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi,
baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk
membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.

3
Dr. H. Saeful Anwar, M.A., Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 329-333.

10
Pendidikan harus memberikan pemahaman atau pengertian baik,
benar, bagus, buruk dan sejenisnya kepada peserta didik secara
komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial.
Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-
nilai di dalam rumah tangga atau keluarga, tetangga, kota, negara adalah
nilai-nilai yang tidak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan
sebaliknya harus mendapat perhatian. Ajaran Islam merupakan perangkat
sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami, sesuai dengan tuntunan
Allah SWT.
Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan,
dan target yang akan dicapai dalam pendidikan Islam. Sedangkan tujuan
pendidikan Islam menurut Abuddin Nata dalam kutipan ini adalah untuk
mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan gemar beramal
untuk tujuan akhirat.4
E. Tujuan Pendidikan Islam
Di antara persoalan pendidikan yang cukup penting dan mendasar
adalah mengenai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan termasuk masalah
sentral dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan pendidikan yang
baik, maka perbuatan mendidik bisa menjadi tidak jelas tanpa arah dan
bahkan bisa tersesat atau salah langkah.
Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi yang dikutip Omar Mohammad
al-Toumy alSyaibani, telah merumuskan tujuan pendidikan Islam secara
umum ke dalam lima tujuan, yaitu :
1. Untuk membentuk akhlak mulia. Kaum muslimin dari dulu sepakat
bahwa pendidikan akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan
yang sebenarnya;
2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam bukan
hanya menitikberatkan pada keagamaan atau keduniaan saja,

4
Mahfud, Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Islam,
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

11
melainkan pada keduanya dan memandang kesiapan keduanya sebagai
tujuan yang asasi;
3. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi kemanfaatan.
Pendidikan Islam tidak saja segi agama, akhlak dan spiritual semata,
tetapi juga menyeluruh bagi kesempurnaan kehidupan atau yang lebih
dikenal sekarang ini dengan nama tujuan-tujuan vokasional dan
professional
4. Menumbuhkan semangat ilmiah (scientific spirit) pada para pelajar,
dan memuaskan rasa ingin tahu (curiosity), serta memungkinkan
mereka mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri; dan
5. Menyiapkan pelajar dari segi profesi, tehnik dan perusahaan supaya
dapat menguasai profesi tertentu dan keterampilan pekerjaan tertentu,
agar dapat mencari rezeki dalam hidup, di samping memelihara dari
segi kerohanian atau keagamaan.

Di sini terlihat jelas, bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan usaha


dalam membangun manusia yang utuh dalam rangka pembentukan
kepribadian moralitas, sikap ilmiah dan keilmuan, kemampuan berkarya,
profesionalisasi sehingga mampu menunjukkan iman dan amal saleh
sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kehidupan.
Menurut Muhaimin dan Abdullah Mujib bahwa perumusan tujuan
pendidikan Islam itu harus berorientasi pada hakekat pendidikan yang
meliputi beberapa aspek seperti :
1. Tujuan dan tugas hidup manusia, yakni manusia tidak diciptakan
secara kebetulan melainkan mempunyai tujuan dan tugas hidup
tertentu;
2. Memperhatikan sifat dasar (nature) manusia yaitu konsep penciptaan
manusia dengan bermacam fitrah, mempunyai kemampuan untuk
beribadah dan mentaati khalifah di bumi;

12
3. Tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai budaya, pemenuhan
kebutuhan hidup maupun antisipasi perkembangan dan tuntutan
modern;
4. Dimensi - deminsi kehidupan ideal Islam. Dalam hal ini terkandung
nilai dalam mengelola kehidupan bagi kesejahteraan di dunia dan
akhirat, keseimbangan dan keserasian keduanya.

Dengan demikian, jelas sekali perumusan tujuan pendidikan Islam


harus sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan tugas-tugas kehidupan,
sesuai dengan sifatsifat dasar manusia yang tumbuh dan berkembang
dalam kehidupan dan sesuai pula dengan tuntutan masyarakat yang harus
mengalami kemajuan serta sesuai dengan nilai-nilai ideal ajaran Islam bagi
kehidupan manusia.
Menurut Abuddin Nata, tujuan pendidikan Islam itu memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi
dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas kemakmuran
dan mengolah bumi sesuai kehendak Tuhan;
2. Mengarahkan manusia agar seluruh tugas kekhalifahannya di muka
bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga
tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan;
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak
menyalah gunakan fungsi kekhalifahnya;
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya,
sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan. Semua ini dapat
digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya,
5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.5

5
Rahmat, PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI ILMU (Ontologi, Epistimologi dan
Aksiologi), Sulesana Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aksiologi berasal dari istilah Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar atau nilai. Sedangkan logos berari ilmu, atau lebih sering
disebut dengan teori nilai. Di Dunia ini terdapat banyak cabang
pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan
dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan,
dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan
mengintegrasikan nilai dalam kehidupan manusia dan menanamkan sikap
dalam kepribadian peserta didik.

B. Saran
Setelah mempelajari materi ini diharapkan agar peserta didik
mampu menilai sesuatu itu baik itu, benar, buruk dan jahat. diharapkan
juga agar peserta didik dapat mengemplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.

14
DAFTAR PUSTAKA

Susanto, A., 2011, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: PT Bumi Aksara).
Anwar, Saeful, 2007, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
(Bandung: Pustaka Setia).
Mahfud, Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Islam,
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 4, Nomor 1, Juni 2018
Rahmat, PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI ILMU (Ontologi, Epistimologi dan
Aksiologi), Sulesana Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011

15

Anda mungkin juga menyukai