Anda di halaman 1dari 32

MENGKAJI NILAI-NILAI DAN ETIKA KEILMUAN ALIRAN-ALIRAN

FILSAFAT PENDIDIKAN

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah etika keilmuan yang diampu oleh Prof. Dr.
Andi Mappiare, M.Pd. dan Dr. Blasius Boli Lasan, M.Pd.

Disusun oleh
Aisyah Ummu Hamidah (200111842005)
Amalia Zakia Ekasari (200111842024)
Daris Maramis (200111850433)
Nauval Bachtiar (200111842013)
Shafna Utami Nur Fairuz (200111842019)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan makalah. Makalah disusun
berdasarkan materi pembelajaran pada mata kuliah etika keilmuan dengan judul
“Mengkaji Nilai-Nilai dan Etika Keilmuan Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini, khususnya kepada Prof. Dr. Andi Mappiare, M.Pd. dan
Dr. Blasius Boli Lasan, M.Pd. selaku dosen mata kuliah etika keilmuan dalam BK
yang senantiasa membimbing penulis. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam menyusun makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha kita, serta penulis
berharap, makalah sederhana yang disajikan ini dapat memberi manfaat dalam
menambah wawasan ilmu pengetahuan kita, baik itu bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Aamiin.

Malang, 21 Oktober 2020

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB 1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan Penelitian........................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................................................3
A. Pengertian Etika Keilmuan Filsafat Pendidikan.....................................3
B. Nilai-Nilai dan Etika Keilmuan Filsafat Pendidikan...............................4
1. Aliran Idealisme......................................................................................4
2. Aliran Parenialisme.................................................................................8
3. Aliran Esensialisme...............................................................................10
4. Aliran Progresme..................................................................................20
5. Aliran Pragmatisme..............................................................................20
BAB III
PENUTUP.....................................................................................................................26
A. Simpulan.......................................................................................................26
DAFTAR RUJUKAN.................................................................................................27

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum, pendidikan diartikan sebagai upaya mengembangkan
kualitas pribadi manusia dan membangun karakter bangsa yang dilandasi
nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, social budaya, dan ipteks yang bermuara
pada pembentukan pribadi manusia bermoral dan berakhlak mulia serta
berbudi pekerti luhur. Pendidikan diartikan juga sebagai upaya untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki idealisme nasional dan
keunggulan profesional, serta kompetensi yang dimanfaatkan untuk
kepentingan bangsa dan Negara. Pendidikan dipahami sebagai pembelajaran
pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau
penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi
juga memungkinkan secara otodidak. Disini dapat kita ketahui bahwa
pendidikan bukan hanya persoalan teknis akan tetapi mencakup persoalan etis
juga teologis yang tentu saja semua itu saling melengkapi satu sama lain.
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para
ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan objek
permasalahan hidup didunia, telah melahirkan berbagai macam pandangan.
Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan yang lain
hanya bersifat saling kuat-menguatkan, tapi tidak jarang pula yang berbeda
atau berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang di
pakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama.
Karena perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-
kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang
saling berlawanan. Selain iu faktor zaman dan pandangan hidup yang melatar
belakangi mereka, serta tempat di mana mereka bermukim juga ikut
mewarnai pemikiran mereka.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, berikut ini rumusan
masalah makalah:
a. Bagaimana pengertian etika keilmuan filsafat pendidikan?
b. Bagaimana nilai-nilai dan etika keilmuan dalam aliran-aliran filsafat
pendidikan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, berikut ini tujuan
penulisan makalah:
a. Menjelaskan pengertian etika keilmuan filsafat pendidikan.
b. Menjabarkan nilai-nilai dan etika keilmuan dalam aliran-aliran filsafat
pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika Keilmuan Filsafat Pendidikan


Etika berasal dari bahasa Yunani "ethos" (jamak -ta etha) yang berarti
adat istiadat. Moralitas berkaitan dengan kebiasaan baik individu dan
masyarakat. Moralitas berkaitan dengan nilai, tata cara hidup yang baik,
aturan hidup yang baik, dan semua kebiasaan yang diturunkan dari satu orang
ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi lainnya.
Dalam bahasa Yunani, etika berarti etika, yang berarti kepribadian,
kebiasaan, kecenderungan dan sikap, yang meliputi pencarian karakter moral
atau perilaku moral seperti kebutuhan, kesalahan yang benar, atau kebaikan
moral. Analisis konsep seperti mengejar kehidupan. Secara lebih rinci, etika
adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau manusia dari segi
moralitas.
Etika adalah ilmu, bukan doktrin tentang bagaimana hidup, tapi
doktrin moral. Ilmu dan etika merupakan ilmu yang dapat mengurangi dan
menghentikan perilaku sosial dan kejahatan yang tidak normal. Masyarakat
mengharapkan ilmu dan etika menumbuhkan kesadaran moral pada
masyarakat sekitar, sehingga mampu menjadi ilmuwan yang berakhlak mulia.
Dari sudut pandang filosofis, tujuan etika adalah memungkinkan setiap
orang memperoleh gagasan yang sama tentang mengukur perilaku baik dan buruk
pada setiap waktu dan tempat dalam ruang lingkup pemikiran manusia. Namun,
dalam upaya mencapai tujuan ini, moralitas sulit, karena setiap kelas di dunia
memiliki standar (standar) yang berbeda mengenai pandangan baik dan buruk.
Secara metodologis, tidak semua perilaku menghakimi dapat dikatakan etis.
Etika membutuhkan sikap kritis, sistematis dan sistematis dalam refleksi. Inilah
mengapa etika adalah ilmu. Sebagai ilmu, objek moralitas adalah perilaku manusia.
Namun, berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang juga mempelajari perilaku manusia,
etika memiliki sudut pandang normatif, yaitu memandang perilaku manusia dari
sudut pandang baik dan buruk.
Sebagai obyek, etika berkaitan dengan konsep-konsep yang dimiliki
oleh individu dan kelompok untuk menilai apakah tindakan yang diambil
benar atau salah, baik atau buruk. Dengan cara demikian, dalam proses

3
evaluasi ilmu pengetahuan sangat berguna untuk memberikan arahan atau
pedoman dan tujuan bagi setiap orang. Ilmu pengetahuan harus berkomitmen
secara moral untuk kesejahteraan umat manusia tanpa mengorbankan
martabat manusia.
Kode etik mengatur tentang batasan dan standar yang mengatur
interaksi manusia dalam kelompok sosialnya. Batasan dan standar tersebut
kemudian ditransformasikan menjadi aturan tertulis, yang secara sistematis
dan sengaja dirumuskan berdasarkan prinsip moral yang ada dan tersedia
pada saat dibutuhkan. Pedoman untuk melakukan tindakan tertentu terhadap
berbagai tindakan pada umumnya dianggap menyimpang dari kode etik yang
telah ditetapkan dan disepakati. Ilmu sebagai kaidah moral atau etika
memiliki tujuan khusus, yaitu memiliki kegunaan universal bagi manusia
dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Oleh karena itu, disinilah pentingnya etika dan moral dalam ilmu
pengetahuan, dan menyangkut tanggung jawab manusia dalam
pengembangan ilmu pengetahuan guna memaksimalkan kemanfaatan bagi
manusia. Karena sains memiliki konsekuensi positif dan negatif bahkan
destruktif dalam penerapannya, maka dibutuhkan nilai atau norma untuk
mengendalikannya. Di sinilah moralitas menjadi aturan mutlak, dan akan
mengontrol penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan
taraf hidup, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

B. Nilai-Nilai dan Etika Keilmuan Filsafat Pendidikan


1. Aliran Idealisme
a. Nilai-Nilai Filsafat Pendidikan Idealisme
Idealisme berasal dari kata “Idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Filsafat idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu berasal dari roh (sukma), yaitu sesuatu yang
tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi dan zat itu hanyalah
suatu jenis daripada penjelmaan rohani. Hakikat benda adalah rohani,
spirit, atau sejenisnya dan nilai roh lebih tinggi daripada badan, lebih
tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Roh itu dianggap

4
sebagai hakikat yang sebenarnya sehingga materi hanya badannya,
bayangan, atau penjelmaan saja. Manusia lebih dapat memahami
dirinya daripada dunia luar dirinya. Materi ialah kumpulan energi yang
menempati ruang. (Suaedi, 2016)
Sutardjo Wiramihardja (2007) dalam Tumanggor, R. O., &
Sudaryanto (2017) mengungkapkan bahwa kaum idealis berpandangan
bahwa nilai spiritual lebih tinggi daripada nonspiritual (nilai material).
Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang tinggi karena nilai
religi membantu manusia dalam menemukan akhir hidupnya, dan
merupakan kesatuan dengan nilai spiritual.
Pendidikan dan nilai memiliki hubungan signifikan dengan
hakikat dan tujuan hidup manusia yang memang merupakan ide
kebaikan tertinggi manusia, dan sesungguhnya telah ada bersamaan
dengan kemunculan dirinya di dunia. Nilai apapun yang ada di dunia ini
selalu bersifat tetap dan tidak berubah-ubah, atau absolut. Sesuatu yang
baik, bajik, yang benar dan yang cantik atau bahkan yang
menyenangkan dan lain sebagainya tidak dapat berubah secara
fundamental dari generasi ke generasi, serta dari masyarakat yang satu
ke masyarakat yang lain. Nilai dalam hal ini bukanlah produk manusia
tetapi merupakan bagian dari alam jagad raya, yang eksitensinya
mengikuti sifat dan watak natural manusia yang sejati. Oleh karena
tugas manusia adalah bagaimana agar nilai-nilai kebaikan dan kebajikan
itu dapat teraplikasi dalam keseluruhan realitas aktifitasnya di dunia,
maka tugas utama para pendidik adalah bagaimana subjek didiknya
memiliki kestabilan mental yang dapat memampukan dirinya untuk
merealisasikan ide bawaan yang bercirikan moralitas dan dapat
terealisasi sedemikian rupa sehingga benar-benar menjadi watak dan
tabiatnya di dunia (Bakar, Y. A. 2014).
Mengigat perealisasian nilai-nilai kemanusiaan itu erat
kaitannya dengan keseluruhan aktifitas spritual manusia, maka dalam
upaya pendidikan dan peraihan nilai, subjek didik mesti diposisikan
sebagai makhluk spiritual yang sepenuhnya mesti menyadari bahwa

5
dirinya membutuhkan pengupayaan nilai-nilai kebaikan dalam realitas,
agar benar-benar menjadi manusia sesuai dengan kelahirannya ke
dunia. Subjek didik ditempatkan secara harmonis dengan keseluruhan
spiritual yang lebih besar yang dimiliki. Subjek didik mesti menyadari
bahwa dosa atau perbuatan salah itu tidak semata-mata untuk dirinya
atau masyarakat atau bahkan umat manusia secara keseluruhan, tetapi
juga jiwa alam jagad raya. Nilainya menjadi signifikan hanya ketika
terkait kepada tatanan alam spiritual yang lebih tinggi (Bakar, Y. A.
2014).
b. Etika Filsafat Pendidikan Idealisme (Immanuel Kant)
Immanuel Kant adalah filsuf yang di dalam ruang lingkup
filsafat etika termasuk pada filsafat etika aliran deontology. Deontology
adalah aliran filsafat yang menilai setiap perbuatan orang dan
memandang bahwa kewajiban moral dapat diketahui dengan intuitif
dengan tidak memperhatikan konsep yang baik (Ninggolan, 1997 dalam
Sumarna, E.).
Gusmian, I., 2014. menyebutkan bahwa di dalam
mengembangkan etikanya, Kant bertolak belakang dalam pendekatan
dengan filsuf sebelumnya. Ia menolak pola etika sebelumnya yang
berpusat pada pertanyaan mengenai “kebahagiaan”. Dan etika
sebelumnya berkepentingan untuk mengajak manusia cara hidup yang
harus dilalui agar bahagia. Hal tersebut bagi Kant bukan persoalan
mendasar yang menentukan dalam moralitas, melainkan pertanyaan:
“apa yang membuat manusia baik?” Pertanyaan ini kemudian
dirumuskan dalam inti etikanya menjadi: “apa yang baik pada dirinya
sendiri?” Wujud dari yang baik pada dirinya sendiri ini bukanlah benda
atau keadaan di dunia, maupun sifat atau kualitas manusia. Hanya ada
satu kenyataan yang baik tanpa batas, baik pada dirinya sendiri, yaitu
“Kehendak Baik”. Inilah titik tolak pemikiran etika Kant. Kehendak itu
baru baik apabila mau memenuhi kewajibannya. Kita bersedia
melakukan sesuatu sebab kita memang harus melakukan sesuatu
tersebut, tanpa memperhitungkan rasa senang atau tidak senang

6
terhadap perbuatan kita tersebut. Di sini, Kant melihat kewajiban dalam
konteks paham apriori akal budi praktis murni (apa yang menjadi wajib
tidak ditentukan oleh dari realitas empiris, seperti suatu kebutuhan,
tujuan, nilai dan sebagainya).
Tindakan wajib dilakukan atau tidak, didasarkan pada patokan-
patokan disebut maxime, yaitu “prinsip subjektif yang menentukan
kehendak”. Jadi maxime bukan segala macam pertimbangan. Maxime
adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada
sejumlah maksud dan tindakan konkret. Contoh: orang yang berniat
untuk selalu memperhatikan perasaan orang lain, atau sebaliknya, yang
selalu akan memperjuangkan kepentingannya sendiri, seperlunya
dengan mengorbankan orang lain. Jadi, maxime itu bisa baik dan bisa
juga tidak baik. Sehingga moralitas itu ditentukan oleh maxime ini.
Moral itu baik jika maxime yang melandasinya baik, dan jahat apabila
maxime yang melandasinya jahat (Gusmian, I., 2014.)
Kant memandang bahwa perbuatan moral itu dapat diketahui
dengan kata hati, melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan
baik. Ia mengambil contoh, perbudakan merupakan perbuatan buruk
karena memakai manusia sebagai alat. Mempekerjakan pembantu
rumah tangga dengan kasar merupakan perbuatan buruk pula, karena
menjadikan manusia sebagai hewan. Hukum moral ini hanya berjalan
sesuai dengan kata hati, dalam arti bahwa kata hati ini menjadi syarat
kehidupan moral. Supaya moral ini baik, seseorang harus berbuat
dengan rasa. Kant melihat bahwa, sebagaimana alam bisa berjalan
dengan tertib, maka seperti itu pula dengan moral. Hukum moral harus
berjalan secara tertib pula. Dalam konsepnya tentang moral yang
dikaitkan dengan hukum alam ini, pada gilirannya Kant dapat
menemukan Tuhan, dalam arti bahwa, seseorang dapat memiliki rasa
tentang idea fenomena ketuhanan jika ia berusaha memikirkan
hubungan Tuhan dengan dunia. Hal ini dapat dianalogikan dengan
hubungan yang erat antara seorang ayah dengan anak-anaknya.
Sebenarnya dari konsep inilah, lahirlah pemikirannya tentang perbuatan

7
baik yang harus muncul sebagai kewajiban untuk berbuat baik
sebagaimana layaknya seorang anak kepada bapaknya. Hanya dengan
menjaga keharmonisan hubungan alam (termasuk tingkah manusia)
dengan Tuhan, maka dapat tercapai adanya kebahagiaan itu.
(Ninggolan, 1997, & Encyclopedia America, 1977 dalam Sumarna, E.).
Mengutip Encyclopedia America, 1977, Sumarna E.
mengungkapkan bahwa kebahagiaan hidup seseorang sehingga dapat
mencapai pengetahuan yang baik dan memiliki perilaku yang utama
hanya didapat saat mampu menyatu dengan gejala alam yang secara
kodrati telah diatur oleh Tuhan. Inilah makna dari kesucian hati.
Dengan demikian, setiap orang sebenarnya mampu untuk membawa
dirinya kedalam lingkungan alamnya sendiri sehingga dapat menjumpai
pandangan-pandangan moralnya yang dengannya ia sendiri dapat
bekerja. Keyakinan inilah sebenarnya yang menjadi kunci dari filsafat
moral kant dan pandangan-pandangannya secara umum.

2. Aliran Parenialisme
a. Konsep Filsafat Parenialisme
Parrenial berarti everlasting, tahan lama, atau abadi.Dalam
sejarah peradaban manusia dikenal sejumlah gagasan besar (great ideas)
yang tetap menjadi rujukan sampai kapan pun juga.Aliran ini mengikuti
paham realism, yang sejalan dengan Aristoteles bahwa manusia itu
rasional.Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan
kecerdasan.Siswa seyogianya diajari gagasan besar agar mencintainya,
sehingga mereka menjadi intelektual sejatri. Akar filsafat ini tentunya
datng dari gagasan besar Plato dan Aristoteles  dan kemudian dari St.
Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh pada model-model sekolah
katolik. Lazimnya ada dikenal dua aliran besar yaitu Thomas Aquinas
dan kemudian abad ke 20 aliran MORTIMER adler dan Robert
Hutchins. Seperti halnya filsafat esensialisme, aliran ini pun kurang
fleksibel dalam mengembangkan kurikulum.

8
Kaum parrenialis mendasarkan teorinya pada pandangan
universal bahwa semua manusia memiliki sifat esensial sebagai
makhluk rasional, jadi tidaklah baik meenggiring dan mencocok hidung
mereka ke penguasaan keterampilan vokasional.Ini semua berpotensi
mengganggu perkembangan rasionalnya.Berbeda dari aliran esensialis,
eksperimen saintifik dianggap mengurangi pentingnya kapasitas
manusia untuk berpikir.Pelajaran filsafat dengan demikian menjadi
penting, agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik, fleksibel, dan
penuh imajinatif. Pengikut filsafat ini merekomendasikan mahasiswa
membaca buku-buku agung atau greats books yang begitu mendalam,
indah, bermakna, dan tetap menyorotkan kebenaran sepanjang hayat.
Mereka menyayangkan perubahan universitas dari tempat mencari
kebenaran dan kebijaksanaan menjadi tempat latihan demi karir
mahasiswa.
Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah
mata pelajaran yang umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional,
yang humanistic bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan
memenuhi fungsi humanistiknya, yakni pembelajaran secara umum
yang mesti dimiliki manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini: (1)
Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu,
dan orang; (2) pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman
atas kebenaran; (3) kebenaran dapat ditemukan dalm karya-karya
agung; dan (4) pendidikan adalah kegiatn liberal untuk
mengembangkan nalar. 
b. Tokoh Aliran Parenialisme
1) Plato (427-347 SM)
Aliran ini dipelopori oleh Plato. Plato ingin membangun dan
membina tata kehidupan dunia yang ideal, diatas tata kebudayaan
yang tertib dan sejahterah, membina cara yang menuju kepada
kebaikan. Dalam pandangan Plato, manusia tidak menciptakan
kebenaran, pengetahuan dan nilai moral., melainkan bagaimana

9
menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio,
semuanya dapat ditemukan kembali oleh manusia.
2) Aristoteles (384-322)
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid plato, namun dalam
pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya yaitu plato yang
menekankan berfikir rasional spekkuatif. Aristoteles menggunakan
cara berfikir rasional empiris realistis. Aristoteles dinyatakan sebagai
pemikir abad pertengahan renaissance, manusia adalah makhluk
materi dan rohani sekaligus.
c. Kelebihan dan Kelemahan Aliran Parenialisme
 Kelebihan:
1) Perenialisme mengangkat kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang menjadi pandangan hidup yang kokoh pada zaman
kuno dan abad pertengahan dan pendidikan lebih banyak
mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji
dan tangguh.
2) Kurikulum menekankan pada perkembangan intelektual siswa pada
seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar dan menjadi kultural, para
siswa harus berhadapan pada bidang-bidang seni dan sains yang
merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan
oleh manusia.
 Kelemahan 
1) Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan
kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham ini
menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang
tidak terkait pada tempat dan waktu aliran ini lebih berorientasi ke
masa lalu.
2) Perenialisme kurang menerima adanya perubahan-perubahan,
karena menurut mereka perubahan-perubahan banyak
menimbulkan kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.

10
3) Dalam proses belajar mengajar, guru menjadi dominan sehingga
seakan tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk turut aktif.

3. Aliran Esensialisme
Aliran filsafat esensialisme adalah suatu aliran yang menginginkan
agar manusia kembali kepada kebudayaan lama yang dianggap telah
banyak memberi kebaikan-kebaikan bagi umat manusia. Yang dimaksud
dengan kebudayaan lama adalah kebudayaan yang telah ada semenjak
peradaban umat manusia yang pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang
paling dominan adalah peradaban semenjak zaman renaissance. Dan
karena aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan lama, maka para ahli
menganggapnya sebagai conservative road to culture. Sedang makna
pendidikan bagi aliran ini dianggap sebagai pemelihara kebudayaan,
education as cultural conservation. Dalam zaman renaissance telah
berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali
ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan kuno (Yunani dan Romawi).
Pada zaman ini muncul tahap-tahap pertama dari pemikiran-pemikiran
esensialis yang berkembang selanjutnya sepanjang perkembangan zaman
renaissance itu sendiri.
Timbulnya esensialisme pertama-tama merupakan reaksi terhadap
simbolisme mutlak dan dokmatisme abad pertengahan. Oleh karena aliran
ini muncul sejak zaman renaissance, maka konsep yang diletakkannya
merupakan bagian dari ciri alam pikir modern. Aliran filsafat esensialisme
dibangun oleh dua corak aliran, idealisme dan realisme secara eklektik.
Artinya kedua aliran pendukung ini bertemu tetapi tidak lebur menjadi
satu, tidak melepaskan sifat utama masing-masing. Untuk mengantisipasi
terhadap tuntutan zaman modern yang ditandai dengan suasana hidup yang
mengarah pada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi
sejalan dengan gaungnya renaissance, realisme dan idealisme menyusun
kepercayaan atau prinsip-prinsip dasar yang tahan lama, kaya akan isi,
mempunyai dasar-dasar yang kuat dan dapat menjadi panutan bagi
manusia untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan tersebut.

11
Dasar-dasar filosofis yang telah ditemukannya dirangkum dalam
suatu bangunan konsep filsafat pendidikan esensialisme yang tampak
manifestasinya dalam sejarah semenjak zaman renaissance sampai
munculnya progresivisme. Ciri dari pandangan-pandangan filosofis baik
idealisme dan realisme (modern), secara singkat digambarkan oleh J.D.
Butler bahwa realisme modern memandang alam yang pertama-tama
memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal
berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan
disanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-
persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat
diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang
berasal dari dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan mengenai adanya
kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah
saja, bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan
pertemuan antara keduanya. Sementara itu, idealisme modern memandang
bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di
balik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan yang
merupakan pencipta cosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir
berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan
menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat
mencapai kebenaran yang sumbernya adalah Tuhan sendiri. Gambaran
yang lebih luas lagi bisa diambil dari tokoh-tokoh utama realisme dan
idealisme modern yang membahas pokokpokok persoalan yang berkaitan
dengan manusia, substansi, dan pengetahuan. Oleh karena bahasannya
dekat dan berada dalam lingkungan manusia itu sendiri, maka tinjauan ini
memberikan jalan bagi perkembangan baru dalam kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Baruch de Spinoza (1632-1677) mengutamakan kebenaran
berpikir, juga dalam bidang agama.
Menurutnya, hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Satu substansi
itu meliputi baik dunia maupun manusia. Tuhan disamakan dengan segala
sesuatu yang ada. Pemikiran ini disebut dengan panteisme. Lebih lanjut
Spinoza beranggapan bahwa satu substansi itu mempunyai ciri-ciri yang

12
tak terhingga jumlahnya, dan setiap ciri tersebut mengekspresikan hakikat
Tuhan seluruhnya. Sedang manusia hanya mengenal dua ciri saja,
pemikiran (jiwa) dan keluasan (tubuh). G.W. Leibniz (1646-1718) seorang
Jerman, ahli ilmu pasti dan filsafat, menyatakan bahwa terdapat banyak
substansi, jumlahnya tak terhingga. Ia menamakan substansi dengan istilah
monade. Monade-monade tidak bersifat materi dan tidak dapat dibagi-
bagi. Jiwa merupakan suatu monade, tetapi materi juga terdiri dari banyak
monade. Setiap monade mencerminkan semua monade yang lain, sehingga
dalam diri setiap monade mengenal realitas seluruhnya. Setiap monade
menurut kodratnya bersifat aktif dan aktivitasnya ada dua macam,
mengenal dan menghendaki.
Immanuel Kant (1724-1804) menyelidiki tentang kemungkinan-
kemungkinan pengetahuan yang dihasilkan oleh akal budi manusia sampai
di mana akal budi mampu mencapai pengetahuan. Ia menyatakan bahwa
dengan akal budi murni, orang tidak mungkin mengenal yang di luar
pengalaman, karena pengetahuan akal budi itu selalu dimulai dengan
pengalaman. Kant membedakan akal budi (verstand) dengan dengan rasio
(vernunft). Tugas akal budi adalah menciptakan orde antara datadata
inderawi, dalam arti akal budi mengucapkan putusan-putusan. Pengenalan
akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk (apriori yang terdapat pada
akal budi) dengan materi (data-data inderawi). Sedang rasio bertugas
menarik kesimpulan dari putusan-putusan. Dengan lain perkataan, rasio
mengadakan argumentasi-argumen tasi dan juga menggabungkan putusan-
putusan.
Lebih lanjut, Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk
argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide: jiwa, dunia,
dan Tuhan. Dalam kajiannya lebih mendasar, Kant sampai pada
pengakuan bahwa ilmu itu mengandung kebenaran, dan budi manusia
dapat mencapai kebenaran tersebut. Tokoh idealisme lainnya adalah
G.W.F. Hegel (1770-1831). Hegel mencoba mencari yang mutlak dari
yang tidak mutlak. Yang mutlak itu adalah roh (jiwa) yang lambat laun
menjadi sadar akan dirinya. Roh ini dalam intinya adalah ide atau berpikir.

13
Hegel sangat mementingkan rasio dalam arti bukan saja rasio pada
manusia perorangan, tetapi juga rasio pada Subyek Absolut. Ia
menyatakan bahwa semua yang real bersifat rasional, dan semua yang
rasional bersifat real. Artinya bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya
realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (ide) yang
memikirkan dirinya sendiri. Sementara itu, pandangan-pandangan filosofis
realisme modern banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh emperis Inggris,
seperti Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume.
Thomas Hobbes (1588-1679) menganggap pengalaman inderawi sebagai
permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari pada
semacam kalkulus, yaitu penggabungan datadata inderawi yang sama
dengan cara yang berlainan. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan
yang dapat dijangkau oleh indera. Sedang persentuhan dunia luar dengan
indera menjadi pangkal dan sumber pengetahuan.
Dalam bukunya Leviathan (berkenaan dengan bidang politik), ia
mengingkari bahwa manusia secara kodrati adalah makhluk sosial.
Menurutnya, manusia itu cenderung bersifat materialistik, egoistik, dan
homo homini lupus. Oleh karenanya perlu adanya pemerintahan yang kuat
dan mempunyai kekuasaan absolut terhadap para warganya. John Locke
(1632-1704) memberi ulasan tentang cara mencapai pengetahuan. Ia
menggunakan istilah sensation dan reflection. Sensasi disebutnya sebagai
sesuatu yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, tetapi belum
sempurna. Sedang refleksi adalah pengetahuan intuitif yang memberi
pengetahuan kepada manusia lebih baik dan lebih sempurna dari pada
sensasi. Tiap pengetahuan terjadi dari kerja sama antara sensasi dengan
refleksi.Berbeda dengan Locke yang masih menerima adanya
substansisubstansi di luar kita, George Berkeley (1685-1753) berpendapat
bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi materiil. Yang ada
hanyalah ciri-ciri yang diamati atau pengalaman dalam roh saja (ideas).
Lebih lanjut ia mengatakan “Esse est percipi” (being is being perceived),
yang berarti bahwa dunia materiil sama saja dengan ide-ide yang saya
alami.

14
a. Prinsip-Prinsip Utama Pendidikan Esensialisme
Kajian-kajian terdahulu pada dasarnya sudah memberikan
gambaran tentang pandangan atau prinsip-prinsip dasar pendidikan
esensialisme baik dari segi filosofis, pola dasar, maupun konsep
operasionalnya. Walaupun demikian, untuk memperkokoh kajian tentang
hal-hal yang prinsipil dalam pendidikan esensialisme, perlu dituangkan di
sini prinsip-prinsip utama pendidikannya, seperti prinsip education as
cultural concervation, prinsip penyesuaian kepada natural law, prinsip
demokrasi, dan prinsip-prinsip dalam belajar dan kurikulum.
1) Prinsip Education as Cultural Concervation
Semangat ingin kembali kepada warisan kebudayaan masa silam
yang agung, ideal, dan telah teruji oleh zaman, merupakan watak dan
prinsip utama pendidikan esensialisme. Pendidikan, oleh karena itu,
menjadi pemelihara kebudayaan yang ada. Ide dasar prinsip ini
muncul sebagai reaksi atas kenyataan atau diagnose bahwa
kebudayaan modern gagal mencapai prospek ideal. Untuk
mengantisipasi hal ini, esensialisme berusaha dalam suatu misi
mengabdikan diri untuk mengembalikan kebudayaan modern sekarang
kepada kewibawaan sebagaimana dimiliki kebudayaan warisan masa
lampau. Para penganut esensialisme yakin, secara teoretis dan dengan
praktek pendidikan yang mereka terapkan, akan mampu menciptakan
kebudayaan ideal dengan berpegang teguh kepada nilai-nilai dan
norma-norma budaya yang telah teruji oleh sejarah. Pemikiran tentang
pentingnya pendidikan yang berorientasi pada nilai dan norma-norma
budaya yang ada dapat dijelaskan bahwa manusia sepanjang
kehidupannya berada dalam suatu kontak sosial. Kehidupannya berada
dalam rangkaian sistem keterkaitan, baik lingkungan budaya maupun
sosialnya. Kehidupan dalam ruang budaya dan sosial ini dibangun
oleh manusia secara bersama-sama yang kemudian menghasilkan
norma dan nilai-nilai. Manusia, baik individu maupun kelompok, oleh
karena itu mempunyai kewajiban untuk mentaati dan
menggunakannya sebagai pegangan hidupnya.

15
Vitalitas dan urgensi norma dan nilai dalam ruang budaya yang
telah dibangun ini perlu dipelihara dan dikembangkan melalui
pendidikan. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, untuk itu berfungsi
mendidik warga negara untuk hidup sesuai dengan nilai dan
normanorma budaya yang ada, dan membina serta
mengembangkannya. Lebih lanjut, Kandel (seorang tokoh realisme)
menjelaskan bahwa tanggung jawab yang tepat dan utama dari
pendidikan adalah membina kembali tipe dan mengoperkan
kebudayaan, warisan sosial, dan membina kemampuan menyesuaikan
diri individu terhadap masyarakat dengan menanamkan pengertian
tentang fakta, kecakapan, dan ilmu pengetahuan.
2) Prinsip Penyesuaian kepada Natural Law
Esensialisme, baik realisme maupun idealisme, meyakini bahwa
alam semesta ini tersusun dari tatanan yang pasti, ajeg, teratur, dan
sistematis, baik dalam bentuknya yang materi maupun ide. Hukum
alam ini perlu diterapkan dalam pendidikan, atau dengan perkataan
lain pendidikan harus mengikuti natural law. Sebagaimana dijelaskan
pada prinsip pertama, secara implisit tatanan-tatanan yang ada dalam
kehidupan sosial, dalam warisan budaya dan lingkungan yang ada
merupakan tatanan yang sistematis, mengikuti pola hukum alam.
Semua aturan, lembaga, norma dan nilai yang ada dalam masyarakat
pada dasarnya mengikuti keteraturan alam semesta. Prinsip ini
dijadikan dasar esensialisme dalam menjadikan pendidikan sebagai
media untuk menyesuaikan diri warga negara terhadap budaya, nilai,
norma, dan tatanan sosial yang ada. Salah satu natural law adalah
evolusi, yaitu suatu proses perubahan yang sistematis ke arah
kematangan. Semua makhluk mengalami proses evolusi, bahkan
proses sejarah dan sosial dianggap mengikuti proses ini.
Dalam dunia pendidikan, para tokoh esensialisme juga
merumuskan aturan-aturan pendidikan dan pengajaran berdasarkan
natural law. Mereka menandaskan bahwa proses belajar mengajar
harus sistematis, dari yang mudah menuju yang sukar, dari sederhana

16
ke arah yang kompleks, dan metode pengajaran perlu mengikuti
prinsip penyesuaian ini. Demikian juga agar pendidikan berjalan
dengan lancar dan tertib, harus ada disiplin. Kurikulum harus
disesuaikan dengan taraf kemampuan siswa dan disusun secara
sistematis. Semua ini merupakan konsekuensi logis dan praktis dari
prinsip mengikuti atau menyesuaikan kepada natural law.
3) Prinsip Demokrasi
Aliran filsafat yang mendukung esensialisme sama-sama me-naruh
perhatian kepada perlunya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Penganut idealisme memandang demokrasi sebagai
perpaduan spiritual pribadi-pribadi, suatu bentuk super-person.
Sedangkan penganut realisme menafsirkan demokrasi dalam arti
kebebasan individu sebagai lambang kemajuan dalam evolusi
makhluk-makhluk. Ini berarti idealisme cenderung menekankan pada
kepribadian individu, sedang realisme lebih memberikan ruang pada
kebebasan individu. …idealisme tends to emphasize the selfhood and
subjectivity of the individual more strongly than realisme, thus
allowing more room for personal freedom ang autonomous action.
Penganut esensialisme di Amerika Serikat percaya dan menganut
nilai-nilai demokrasi. Demokrasi bagi mereka tidak hanya sekedar
proses interaksi antara individu dengan masyarakat, antara pendapat
tentang nilai sebagai alat dan sebagai tujuan, tetapi lebih bermakna
sebagai suatu corpus, suatu susunan asas, lembaga-lembaga yang
diwarisi di mana pendidikan dan warga negara berkewajiban untuk
menjunjungnya. Para tokoh esensialisme juga bercita-cita membina
kebudayaan manusia sekarang dengan asas-asas demokrasi,
democratic way of life. Menurut mereka, hanya dengan asas-asas
demokrasi itu keharmonisan dan kesejahteraan yang berdasarkan
penghormatan kepada martabat manusia akan terwujud. Sebab krisis
kebudayaan modern sekarang tidak hanya timbul sebagai pengaruh
kemajuan teknologi, politik, dan ekonomi yang lepas nilai, tetapi lebih
banyak disebabkan oleh perkosaan atas hak asasi manusia dan

17
kurangnya rasa hormat atas martabat manusia serta kurangnya respek
atas nilai-nilai yang berlaku.
Untuk menegakkan demokrasi, warga negara harus belajar
mengatur, membina dan memelihara nilai dan ideal-ideal sebagaimana
yang ada dalam kebudayaan yang telah teruji. Karena itu, mereka
harus diberi bekal dasar pengetahuan dan keterampilan membaca,
menulis, berhitung, mendengar, dan berbicara. Kalau warga negara itu
masih bodoh dengan hal-hal di atas, maka sulit untuk menjunjung
demokrasi, kebebasan dan kemerdekaan.
4) Prinsip-prinsip dalam Belajar
Esensialisme dalam mengkaji masalah belajar meletakkan dasar
pijakannya pada pemikiran filosofis dan cara kerja ilmiah. Dasar-dasar
ini telah diletakkan oleh para tokoh idealisme maupun realisme seperti
Leibniz, kant, Hegel, dan tokoh-tokoh realisme seperti Thomas
Hobbes, John Locke, Hume, dan Thorndike. Dari sini, esensialisme
tidak hanya menganggap proses belajar sebagai bidang psikologi saja,
tetapi belajar juga dianggap sebagai masalah ontologi, epistemologi,
dan axiologi.
Pandangan ini bersumber pada prinsip perlu adanya verifikasi
kodrat realita yang kita pelajari, dan perlu reliabilitas pengetahuan
yang dipelajari dan nilai dari realita atau pengetahuan itu sendiri.
Menurut esensialisme, proses belajar secara sederhana dapat
diletakkan pada prinsip-prinsip; “melatih daya jiwa yang potensial
telah ada, dan proses belajar sebagai proses penyerapan apa yang
berasal dari luar, yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di
dalam kurikulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara”.
Idealisme memandang manusia sebagai pribadi atau subyek.
Subyek ini bergerak memahami diri sendiri menuju pemahaman dunia
obyektif, atau bisa dikatakan bahwa mikro kosmos adalah asas untuk
mengerti makro kosmos. Dengan demikian, idealisme cenderung
menekankan proses ide subyektif kejiwaan individu sebagai asas
pengertian. Berdasarkan pandangan subyektif-individual ini, idealisme

18
menganggap belajar sebagai proses self-development of mind as
spiritual substance. Ini berarti bahwa jiwa itu bersifat kreatif. Sedang
pendidikan merupakan proses melatih dan mengembangkan dayadaya
jiwa untuk memahami realita, kebenaran, dan nilai-nilai, baik sebagai
warisan budaya maupun makro kosmos. Karena idealisme percaya
bahwa individu memulai dengan mengerti dirinya untuk dapat
mengerti makro kosmos, maka tujuan akhir belajar adalah untuk
mengerti Tuhan. Di sisi lain, realisme memandang proses belajar
sebagai hubungan antara pribadi dengan lingkungan. Ini berarti bahwa
belajar merupakan proses penyesuaian terhadap lingkungan dalam
pola stimulus-respon.
Badley dan Finney lebih lanjut menerangkan prinsip-prinsip
belajar dalam perspektif realisme. Menurut Badley, proses belajar
meliputi proses pengenalan kepada warisan-warisan manusia lampau
sebagai dasar interpretasi bagi realitas yang ada sekarang. Sedang
Finney mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu, terutama the
social nature of mental life dari kepribadiannya, yang menentukan
hubungan dengan sosiokulturalnya. Dan manusia melalui pendidikan
akan menerima warisan kebudayaan itu. Pendidikan, oleh karena itu,
merupakan proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan
sosial. Sedang belajar adalah menerima dan mengenal dengan
sungguh-sungguh nilainilai sosial oleh angkatan baru untuk ditambah
atau dikurangi serta diteruskan kepada angkatan berikutnya.
Para penganut esensialisme, lebih spesifik lagi, menjabarkan
pandangan tentang belajar secara sistematis dalam rangkaian postulat
yang terkenal dengan istilah the five postulates of essentialisme yaitu;
postulate of the rational nature of man, mental faculties, formal
discipline, transfer of training, dan postulate of essential subjects.
Postulate of the rational nature of man memandang esensi manusia
adalah makhluk rasional. Urusan yang penting dalam pendidikan
adalah menggali dan menumbuhkan intellectual virtues. Bertolak dari
pandangan ini, para psikolog esensialisme mengembangkan

19
konsepnya tentang mental faculties yang dalam istilah psikologi
disebut faculty of psychology yang juga perlu digali dan
dikembangkan. Secara umum, konsep ini meliputi semua aktivitas
mental seperti sensasi, persepsi, memori, perhatian, berpikir, dan
merasa.
Postulate of formal discipline memandang bahwa setiap
kemampuan mental dapat diperkuat dengan latihan atau studistudi
yang sesuai dengan perkembangannya, seperti pelajaran sejarah dan
geografi untuk mengembangkan daya ingatan, dan lain sebagainya.
Kemudian transfer of training mengasumsikan bahwa daya-daya yang
dikembangkan dengan beberapa studi atau latihan yang sesuai akan
bermanfaat bagi tugas-tugas lain yang meliputi perbuatan dari daya
yang dikembangkan. Sedang postulate of essential subjects
menambahkan bahwa pendidikan harus ditekankan pada studi-studi
yang esensi dan seksama, dari sedikit subyek yang terseleksi untuk
kepentingan yang mendasar dan universal. Para tokoh esensialisme,
dalam hal ini, bersepakat mengenai subyek-subyek yang esensi yaitu;
membaca, menulis, dan berhitung. Subyek-subyek ini berlaku umum
untuk semua sekolah. Tetapi sebagian esensialis menambahkan
dengan materi intelektual seperti grammar, logika, dan bahasa.
5) Prinsip-prinsip Kurikulum
Rangkaian postulat-postulat di atas yang berakhir pada postulat
essential subjects, memberikan gambaran awal bagaimana suatu
kaidah atau prinsip umum kurikulum dirumuskan. Penjabaran lebih
lanjut, oleh para tokoh esensialisme diformulasikan dalam bentuk
kurikulum yang kaya, berurutan dan sistematis, yang didasarkan pada
target tertentu yang tidak dapat dikurangi sebagai satu kesatuan
pengetahuan, kecakapan, dan sikap yang berlaku di dalam kebudayaan
yang demokratis, a rich, sequential, and systematic curriculum based
on an irreducible body of knowledge, skill, and attitudes common to a
democratic culture. Prinsip yang lain adalah kurikulum yang
menekankan penguasaan yang tepat atas isi atau materi kurikulum itu,

20
“curriculum, moreover, in which there is stress upon adequate mastery
of the content”. Artinya bahwa kurikulum dibuat memang sudah
didasarkan pada urgensi yang ada di dalam kebudayaan tempat hidup
si anak.

4. Aliran Progresme

5. Aliran Pragmatisme
Pragmatisme sebagai aliran filsafat dikembangkan pertama kali di
Amerika. Filsuf pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan
pemikiran pragmatisme adalah Charles S. Peirce yang menekankan
tentang aktifitas dan tujuan manusia dalam memperoleh pengertian dan
pengetahuan. Pemikir Amerika yang sangat lekat dengan filsafat
pendidikan pragmatisme adalah John Dewey. Pragmatisme sebagai aliran
filsafat dapat dipahami secara metafisis, epistemologis dan aksiologis.
Pragmatisme adalah gerakan filosofi yang merangkul berbagai solusi yang
diusulkan untuk masalah dalam epistemologi dan logika ilmu pengetahuan
alam. Pragmatis percaya bahwa pembenaran ilmiah bersifat rasional dari
keyakinan ilmiah yang bergantung pada apakah metode yang
menghasilkan keyakinan adalah yang terbaik yang tersedia untuk
memajukan tujuan kognitif penjelasan dan prediksi yang tepat. Suatu teori
atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu
hasil, dengan kata lain suatu teori adalah benar apabila dapat
diaplikasikan. Falsafah ini cenderung kepada falsafah epistemologi dan
aksiologi dan sedikit perhatian terhadap metafisik.
Realitas dalam pandangan pragmatisme adalah kenyataan yang
tidak tetap dan terus berubah. Perubahan-perubahan dalam realitas itu
menuntut perubahan juga dalam pemahaman tentang realitas. Jika realitas
berubah secara kontinyu, maka yang dibutuhkan adalah transformasi
dalam memahami realitas. Transformasi itu nampak dalam pendekatan
epistemologis menurut pragmatisme. Epistemologi melibatkan individu,
organisme, dan lingkungan. Individu berinteraksi dengan lingkungan

21
untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Interaksi ini dapat mengubah
lingkungan atau bahkan mengubah individu. Pengetahuan adalah transaksi
antara individu sebagai orang yang belajar dengan lingkungannya. Dasar
atas interaksi ini adalah konsep tentang perubahan. Masing-masing
interaksi mungkin memiliki beberapa aspek umum atau
pengalamanpengalaman yang dapat ditransfer untuk interaksi berikutnya.
Jadi, individu akan berubah dan demikian juga transaksi akan berubah.
Kebenaran bagi pragmatisme adalah ketika suatu konsep itu bekerja dan
mampu digunakan untuk memecahkan masalah. Falsafah ini merupakan
falsafah di antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai
nihilisme dan irasionalisme. Pada awal perkembangannya, pragmatisme
lebih merupakan suatu usaha- usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan
dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan
praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme
akhrinya berkembang menjadi suatu metode untuk memecahkan berbagai
perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir
mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman
Yunani Kuno (Guy W. Stroh: 1968).
Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua
hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang
harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Kedua, tujuan dari
tindakan itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya
merupakan suatu paket tunggal dan metode bertindak yang pragmatis.
Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang ingin
direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia
mengambil keputusan yang berisi: akan dilakukan tindakan tertentu
sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana
diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari
tujuan tertentu, dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh
dari tindakan itu sendiri, atau konsekuensi praktis dari adanya tindakan itu.
Aliran ini memandang realita sebagai suatu proses dalam suatu periode
tertentu, ini berarti bahwa orang yang mengetahui mempunyai peranan

22
untuk menciptakan atau mengembangkan hal-hal yang diketahui. Hal ini
berarti pula bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki
pengetahuan dapat menjadi unsur penentu untuk mengembangkan
pengetahuan tersebut.
a. Tujuan Pendidikan
Dalam penyusunan program pendidikan, pragmatisme
mengemukakan tiga kriteria seperti yang diungkapkan oleh Miler dan di
kutip oleh As’ari Djohar, yaitu;
1) Pertama, tujuan pendidikan harus bersumber kepada situasi
kehidupan yang sedang berlangsung.
2) Kedua, tujuan pendidikan harus fleksibel. Terakhir, tujuan
pendidikan harus mencerminkan aktivitas bebas “individuals with
special needs are served through vocational education”.
Sehingga tujuan menurut pragmatisme dipahami sebagai sesuatu
yang bersifat temporer, yang berarti apabila suatu tujuan telah tercapai
maka hasil dari tujuan tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan
berikutnya. Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang
berlaku secara umum, dan tidak ada pula tujuan pendidikan yang
bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat
nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat
ditetapkan untuk semua masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer,
dan tujuan merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah
dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai tujuan
berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal
tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara. Pendidikan
pragmatisme dalam kontek ke-Indonesiaan terlihat jelas dalam
pendidikan yang berbasis kompetensi yang berorientasi pengembangan
kemampuan sumber daya manusia, yaitu; pendidikan kejuruan, dimana
pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memiliki sifat untuk
menyiapkan penyediaan tenaga kerja. Karena komitmennya yang tinggi
untuk selalu berorientasi pada dunia kerja, pendidikan kejuruan

23
mempunyai ciri berupa kepekaan atau daya sesuai (adaptasi) terhadap
perkembangan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada
khususnya, oleh karena itu perkembangan ilmu dan teknologi serta
inovasi baru dalam bidang produksi dan jasa mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap pendidikan kejuruan.
b. Nilai dan Etika
Pragmatis mengajarkan bahwa tujuan berfikir adalah kemajuan
hidup, yakni untuk memajukan dan memperkaya kehidupan. Nilai
pengetahuan manusia dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut
Dewey dan Pierce “Suatu ide itu benar apabila berakibat memberikan
kepuasan jika diuji secara objektif dan ilmiah”. Secara khusus
pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung kepada
konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi secara objektis dan ide
tersebut operasional.
Pandangan pragmatis mengemukakan tentang nilai bahwa nilai itu
relatif. Kaidah-kaidah moral dan etika tidak tetap, melainkan selalu
berubah, seperti perubahan kebudayaan, masyarakat dan
lingkungannya. Untuk menguji kualitas nilai sama dengan cara menguji
kebenaran pengetahuan. Nilai moral maupun etis dilihat dari
perbuatannya bukan dari segi teori. Jadi pendekatan terhadap nilai
adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman menusia
dalam kehidupan sehari-hari. James mengemukakan bahwa tiada
kebenaran mutlak, yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab, pengalaman kita berjalan
terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan itu
senanrtiasa berubah. Hal itu disebabkan karena dalam
perkembangannya ia dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
c. Implikasi dalam Pendidikan
Pragmatisme Pendidikan yang dipelopori oleh filsuf Amerika John
Dewey didasarkan pada perubahan, proses, relatifitas, dan rekonstruksi
pengalaman. Pragmatisme pendidikan Dewey cukup dipengaruhi oleh

24
teori evolusi Charles Darwin bahwa semua makhluk hidup baik secara
biologis maupun sosiologis memiliki naluri untuk bertahan hidup dan
untuk berkembang. Setiap organisme hidup di dalam habitat atau
lingkungannya. Dalam proses kehidupan, organisme manusia
mengalami situasi-situasi yang problematik sebagai ancaman bagi
kelanjutan eksistensinya. Manusia yang sukses dalam hal ini adalah
yang mampu memecahkan masalah-masalah itu dan menambahkan
rincian-rincian dari proses-proses pemecahan masalah yang berbeda-
beda ke dalam gudang pengalaman-pengalamannya untuk digunakan
menghadapi masalah-masalah yang mungkin saja mirip di masa akan
datang. Dalam filsafat pendidikan John Dewey, pengalaman adalah kata
kunci. Pengalaman dapat didefinisikan sebagai interaksi antara makhluk
manusia dengan lingkungannya. Dalam pandangan Darwin, untuk
hidup tergantungdari kemampuan memecahkan masalah-masalah, maka
Dewey memandang bahwa pendidikan menjadi tempat pelatihan bagi
ketrampilan-ketrampilan dan metode-metode pemecahan masalah
(problem solving skills and methods).
Filsafat pragmatis Dewey dapat juga disebut sebagai filsafat
eksperimentalisme. Hal itu disebabkan karena menurutnya “tujuan dan
rencana, dalam hal ini konsep-konsep manusia hanya dapat divalidasi
dengan menjadikannya dasar tindakan dan dari konsekuensi-
konsekuensi yang lahir dari tindakan-tindakan itulah tujuan, rencana
atau konsep-konsep manusia dapat dinilai.” Penilaian berdasarkan
konsekuensi tindakan juga diterapkan di dunia pendidikan. Bagi
Dewey, suatu kurikulum atau strategi metodologi hanya dapat
dikatakan valid dan berhasil bila telah diuji cobakan dan dari uji coba
itu hasil-hasilnya dapat dinilai. Ia dengan jelas menolak dasar
pendidikan yang a priori seperti yang dikembangkan oleh kaum idealis,
realis dan perennialis. Dewey menekankan metodologi yang
berhubungan dengan proses pemecahan masalah. Belajar berarti
seseorang terlibat di dalam pemecahan masalah. Dalam epistemologi
eksperimental menurut Dewey, siswa/pelajar, baik sebagai individu

25
maupun anggota kelompok menggunakan metode-metode ilmu untuk
memecahkan baik masalah pribadi maupun masalah sosial.

26
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pada hakikatnya, pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar,
dan melatih. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk
mentransformasikan segala nilai. Jika membahas tentang tujuan pendidikan,
akan terkait erat dengan sistem nilai dan norma- norma dalam suatu konteks
kebudayaan.
Dalam proses pendidikan, karakter merupakan proses mengukir atau
memahat jiwa sedemikian rupa sehingga berbentuk unik, menarik dan berbeda
dari yang lain. Membangun karakter harus dibangun mulai dari rumah,
sekolah dan kemudian masyarakat dan kita harus siap menghadapi berbagai
watak dan karakter dari orang disekitar kita, tetapi ada nilai- nilai umum yang
disepakati bersama. Jadi konsep etika merupakan komponen kunci dalam
pengambilan keputusan.
Antara ilmu (pendidikan), dan etika memiliki hubungan erat. Masalah
moral tidak dapat dilepas dengan tekat manusia, untuk menemukan kebenaran
dan mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral. Sulit
membayangkan jika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa
disertai adanya kendali dari dari nilai- nilai etika agama.
Pendidikan di orientasikan pada upaya menciptakan suatu keperibadian
yang mantap dan dinamis, mandiri, dan kreatif tidak hanya pada siswa, tetapi
juga pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Terwujudnya kondisi mental moral dan spiritual religius menjadi target arah
pengembangan sistem pendidikan.
Etika sangat besar mempengaruhi pendidikan, sebab tujuan pendidikan
itu adalah untuk mengembangkan perilaku manusia, antara lain afeksi peserta
didik. Segala sesuatu yang memiliki sisi keterkaitan, dengan nilai atau
memiliki relevansi etis dapat dipandang sebagai etika. Dari terwujudnya moral
seperti itu, menunjukkan terwujudnya target pengembangan sistem
pendidikan.

27
DAFTAR RUJUKAN

Bakar, Y. A. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. [Online]. Diakses dari:


digilib.uinsby.ac.id

Budiningsih, Asri. 2003. "Desain pesan pembelajaran." Yogyakarta: FIP.


Universitas Negeri Yogyakarta.

Corliss, Lamont. 1997. The Philosophy of Humanism. New York: Humanist Pre

Dewey, John. 1999. Reconstruction in Philosophy, Henry Holt and Company:


NY.

Gusmian, I. 2014. Filsafat Moral Immanuel Kant Suatu Tinjauan Paradigmatik.


Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, (XI) 2, 57-66. ISSN: 1693-
9867

Jalaludin & Abdullah Idi.1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media


Pratama.

James, William.1958. The Varieties of Religius Experience. New York: New


American Library.

John McLeod. 2008 Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Nahar, Novi Irwan. "Penerapan teori belajar behavioristik dalam proses


pembelajaran." NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 1.1
(2016).

NASUTION, Mariam. Teori pembelajaran matematika menurut aliran psikologi


behavioristik (tingkah laku). LOGARITMA: Jurnal Ilmu-ilmu
Kependidikan dan Sains, 2015, 3.1: 109-121.

Natawidjaja, Djohar As’ari.2007. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Bandung:


UPI Press

Psillos, Stathis & Curd, Martin.2008.The Routledge Companion to Philosophy of


Science Madison Ave, New York

Rusdi. 2013. Filsafat Idealisme (Implikasinya dalam Pendidikan). Jurnal


Dinamika Ilmu, 13(2), 291–306. https://doi.org/10.21093/di.v13i2.70

Stroh, Guy W. 1968. American Philosophy. Princenton: Duven Nostrand


Company, Inc

Suaedi. 2016. Pengatar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press

28
Sumarna, E. Filsafat Etika Immanuel Kant. [Online]. Diakses
dari:http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/196708282005011-
ELAN_SUMARNA/Artikel/Filsafat_Etika_Kant-Edit.pdf
Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Filsafat

Syah, Muhibbin. 1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Syaripudin Tatang dan Kurniasih. 2015. Pengantar Filsafat Pendidikan.


Bandung: Percikan Ilmu.

Sya'roni, M. (2014). Etika keilmuan: Sebuah kajian filsafat ilmu. Jurnal


THEOLOGIA, 25(1), 245-270.

Taylor, M. 1977. Philosophy of Education. Social Theory and Practice, 4(3),


357– 358. https://doi.org/10.5840/soctheorpract1977437

Teaching and Learning Resources Cognitivism.html. Diakses tanggal 9 Oktober


2015

Tumanggor, R. O., & Sudaryanto. 2017. Pengantar Filsafat untuk Psikologi.


Yogyakarta: PT Kanisius

29

Anda mungkin juga menyukai